Agama Hadits
Agama Hadits
Puji Syukur Alhamdulillah kita panjatkan kehadirat Allas Swt. yang telah memberikan
rahmat dan karunianya kepada kita semua. Serta shalawat terhantur kepada nabi besar
Muhammad Saw, semoga kelak kita mendapat safaatnya, aminn.
Rasa terimakasih juga penulis hanturkan kepada dosen yang telah mempercayakan
pembuatan makalah ini kepada saya yang berjudul “ SEJARAH PEMBUKUAN ATAU
PENULISAN HADIST ”. Seperti kata pepatah tidak ada gading yang tak retak, begitu juga
dengan pembuatan makalah ini masih jauh dari kesempurnaan, sehingga membutuhkan saran
dan kritik yang membangun dari semua pihak sehingga makalah ini lebih baik nantinya.
Penulis
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
B. Rumusan Masalah
C. Tujuan Pembahasan
BAB II PEMBAHASAN
A. Sejarah Penulisan dan Pembukuan Hadits
B. Hadits pada Masa Rosul dan Masa Penyebarannya
C. Sistem Ulama-ulama Abad Kedua Membukukan Hadits
D. Masa-masa Hadits di Bukukan
E. Kedudukan dan Keadaan Kitab-kitab hadits abad ke II H
F. Pemisahan Hadits-hadits Tafsir dan Hadits-hadits Sirah
G. Hadits dalam Abad Ketiga
H. Masalah-masalah dalam Penulisan dan Pembukuan Hadits
Pada masa Al-Qur’an masih diturunkan, Nabi Muhammad SAW melarang menulis hadits
karena dikhawatirkan akan bercampur dengan penulisan Al-Qu’ran. Pada masa itu, di
samping menyuruh menulis Al-Qur’an, Nabi Muhammuad SAW juga menyuruh
menghafalkan ayat-ayat Al-Qur’an.
Menurut pendapat para ulama hadits, yang pertama-tama menghimpun hadits serta
membukukannya adalah Ibnu Syihab az-Zuhri, kemudian diikuti oleh ulama-ulama
diberbagai kota-kota besar lainnya.
Penulisan dan pembukuan hadits Nabi SAW ini dilanjutkan dan serta disempurnakan oleh
para ulama-ulama hadits pada abad berikutnya, sehingga menghasilkan kitab-kitab yang
besar seperti kitab al-Muwaththa’, Kutubus Sittah dan lain sebagainya.
Untuk mempermudah dalam memahami sejarah pembukuan hadits dan permasalahannya,
dalam makalah ini, kami membahas tentang :
1. Sejarah penulisan dan pembukuan hadits.
2. Masalah-masalah dalam penulisan dan pembukuan hadits.
3. Latar belakang pemalsuan hadits dan upaya penyelamatannya.
Pada abad pertama Hijriyah, mulai dari zaman Rasulullah SAW, masa khulafa rasyidin
dan sebagian besar zaman umawiyah, yakni hingga akhir abad pertama Hijrah, hadits-hadits
itu berpindah dari mulut ke mulut. Masing-masing perawi meriwayatkannya berdasarkan
kepada kekuatan hafalannya. Pada masa ini mereka belum terdorong untuk membukukannya.
Ketika kendali khalifah dipegang oleh ‘Umar ibn Abdil Aziz yang dinobatkan pada tahun 99
H sebagai seorang khalifah dari dinasti umawiyah yang terkenal adil, sehingga beliau
dipandang sebagai khalifa rasyidin yang kelima, tergeraklah hati untuk membukukan hadits.
Beliau sadar bahwa para perawi yang membendaharakan hadits dalam kepalanya, kian lama
kian banyak yang meninggal. Beliau khawatir apabila tidak segera dibukukan hadits dari para
perawinya, memungkinkan hadits-hadits tersebut itu akan lenyap dari muka bumi ini.
Untuk menghasilkan maksud mulia itu, pada tahun 100 H khalifah meminta kepada
Gubernur Madinah, Abu bakar bin Muhammad binAmr bin Hazm untuk membukukan hadits
Rasul dan hadits-hadits yang ada pada Al Qasim bin Muhammad bin Abi Bakar Ash
Shiddieq.
‘Umar bin Abdil Aziz menulis kepada Abu Bakar bin Hazm, yang bunyinya :
‘’Lihat dan periksalah apa yang dapat diperoleh dari hadits Rasulullah SAW, lalu tulislah
karena aku takut akan lenyap ilmu disebabkan meninggalnya ulama dan jangan anda terima
selain dari hadits-hadits Rasulullah SAW. Dan hendaklah Anda sebarkan ilmu dan
mengadakan majlis-majlis ilmu supaya orang yang tidak mengetahui dapat mengetahuinya,
lantaran tidak lenyap ilmu hingga dijadikan barang rahasia.”
Disamping itu ‘Umar mengirimkan surat-suratnya kepada gubernur ke wilayah yang di
bawah kekuasaannya supaya berusaha membukukan hadits yang ada pada ulama yang diam
di wilayah mereka masing-masing. Di antara ulama besar yang membukukan hadits atas
kemauan khalifah itu ialah : Abu Bakar Muhammad bin Muslim bin Ubaidillah bin Syihab az
Zuhry, seorang tabi’in yang ahli dalam urusan fikih dan hadits.
Kitab hadits yang ditulis oleh ibnu Hazm yang merupakan kitab hadits yang pertama yang
ditulis atas perintah kepala negara tidak sampai kepada kita, tidak terpelihara dengan
semestinya. Dan kitab itu tidak membukukan seluruh hadits yang ada di Madinah.
Membukukan hadits yang ada di Madinah itu, dilakukan oleh al-Imam Muhammad bin
Muslim bin Syihah az Zuhry yang memang terkenal sebagai seorang ulama besar dari ulama-
ulama hadits di masanya.
Kemudian dari itu, berlomba-lombalah para ulama besar membukukan hadits atas anjuran
Abu Abbas as Saffah dan anak-anaaknya dari khalifah-khalifah abbasiyah.
Pada zaman dahulu menyusun hadits tidak diberi upah, jangankan upah, tidak disuruh juga
mereka dengan senang hati menyusun hdits tanpa meminnta imbalan. Karena mereka
berfikir/berkata bahwa inilah hasil dari fikiran mereka, ddan ini bukanlah suattu pekerjaan
yang hharus diberi upah. Ulamma’ zaman dahulu benar-benar berbeda dengan ulama’ zaman
sekarang, mereka benar-benar berjuang di jalan Allah dan tidak mengharapkan imbalan
apapun.
Para pengumpul pertama hadits yng tercatat sejarah adalah :
a. Di kota Makkah, Ibnu Juraij (80 H= 669 M – 150 H 767 M).
b. Di kota Madinah, Ibnu Ishaq (.....H = 151 M..... H=768 M), atau Ibnu Dzi’bin. Atau
Malik bin Anas (93 H = 703 M – 179 H = 798 M ).
c. Di kota Bashrah, al Rabi’ bin Shabih (.....H =.....M – 160 H = 777 M). Atau Hammad bin
Salamah (176 H ), atau Sa’id bin Arubah (156H=773M).
d. Di Kufah, Sufyan ats Tsaury ( 161 H ).
e. Di Syam, al Auza’y (156 H ).
f. Di Wasith, Husyaim al Wasithy ( 104 H = 772 M – 188 H = 804 M ).
g. Di Yaman , Ma’mar al Azdy (95 H = 753 M -153 H = 770 M ).
h. Di Rei, Jarir al Dlabby ( 110 H = 728 M – 188 H = 804 M ).
i. Di Khurasan, bin Mubarak (118 H = 735 M - 18 H = 797 M ).
j. Di Mesir, al Laits bin Sa’ad ( 175 M ).
Kitab yang paling tua yang ada di tangan umat Islam dewasa ini ialah al Muwaththa’
susunan Imam Malik r.a. ats permintaan khalifah Al Manshur ketika dia pergi naik haji pada
tahun 144 H ( 143 H ).
Kitab al Muwaththa’ dianggap paling shahih, karena tingkat keshahihannya lebih tinggi
daripada kitab-kitab sebelumnya. Karena pada saat itu Imam Bukhory belum muncul, dari
sistematika itu yang paling baik.
Rasulullah hidup di tengah-tengah masyarakat dan sahabatnya. Mereka bergaul secara
bebas dan mudah, tidak ada peraturan atau larangan yang mempersulit para sahabat untuk
bergaul dengan beliau. Segala perbuatan, ucapan, dan sifat Nabi bisa menjadi contoh yang
nyata dalam kehidupan sehari-hari masyarakat pada masa tersebut. Masyarakat menjadikan
Nabi sebagai Panutan dan Pedoman dalam kehidupan mereka. jika ada permasalahan baik
dalam Ibadah maupun dalam kehidupan duniawi, maka mereka akan bisa langsung bertanya
pada Nabi. Kabilah-kabilah yang tinggal jauh di luar kota Madinah pun juga selalu
berkonsultasi pada Nabi dalam segala permasalahan. mereka. mempelajari hukum- hukum
syari'at agama. Dan ketika mereka kembali ke kabilahnya, mereka segera menceritakan
pelajaran (hadits Nabi)yang baru mereka terima
Selain itu, para pedagang dari kota Madinah juga sangat berperan dalam penyebaran
hadits. Setiap mereka pergi berdagang, sekaligus juga berdakwah untukmembagikan
pengetahuan yang mereka peroleh dari Nabi kepada orang-orang yang mereka temui.Pada
saat itu, penyebarluasan hadits sangat cepat. Hal tersebut berdasar perintah Rasulullah pada
para sahabat untuk menyebarkan apapun yang mereka ketahui dari beliau. Beliau bersabda
“Sampaikanlah daripadaku, walaupun hanya satu ayat.”
Dalam hadits lain disebutkan, “Ketahuilah, hendaknya orang yang hadir menyampaikan
kepada orang yang tidak hadir” (dalam majlis ini). Dengan adanya sabda-sabda Nabi diatas,
maka para sahabatpun sangat tergugah untuk mendengarkan, memperhatikan dan
menyampaikan hadits.kepada seluruh masyarakat muslim baik yang berada di Madinah
maupun yang di luar Madinah. sehingga mereka dapat mengetahui hukum–hukum agama
yang telah diajarkan oleh Rasulullah. Meskipun sebagian dari mereka tidak memperoleh
langsung dari Rasulullah, Mereka dapat memperoleh dari saudara–saudara yang langsung
mendengar dari rosulullah.metode penyebaran hadits tersebut berlanjut sampai wafatnya
Rasulullah
C. Sistem Ulama-ulama Abad Kedua Membukukan Hadits
Para ulama abad kedua membukukan hadits dengan tidak menyaringnya. Mereka tidak
membukukan hadits-hadits saja, fatwa-fatwa sahabat pun dimasukkan ke dalam bukunya itu,
bahkan fatwa-fatwa tabi’in juga dimasukkan. Semua itu dibukukan bersama-sama. Maka
terdapatlah dalam kitab-kitab itu hadits marfu’, hadits mauquf dan hadits maqthu’.
Masa pembentukan hadits tiada lain masa kerasulan Nabi Muhammad SAW itu sendiri,
ialah lebih kurang 23 tahun. Pada masa ini hadits belum ditulis, dan hanya berada dalam
benak atau hafalan para sahabat saja.
Periode ini disebut al wahyu wa at takwin, yaitu hadits yang penyampaiannya belum
ditulis/masih lisan, hanya masih dalam benak mereka. Periode ini dimulai sejak Nabi
Muhammad diangkat sebagai Nabi dan Rasul hingga wafatnya ( 610 M – 632 ).
Masa ini adalah masa pada sahabat besar dan tabi’in, dimulai sejak wafatnya Nabi
Muhammad SAW pada tahun 11 H atau 632 M. Pada masa ini kitab hadits belum ditulis
ataupun dibukukan. Seiring dengan perkembangan dakwah, mulailah bermunculan persoalan
baru umat Islam yang mendorong para sahabat saling bertukar hadits dan menggali dari
sumber-sumber utamanya.
Masa ini ditandai dengan sikap para sahabat dan tabi’in yang mulai menolak menerima
hadits baru, seiring terjadinya tragedi perebutan kedudukan kekhalifahan yang bergeser ke
bidang syari’at dan aqidah dengan munculnya hadits palsu. Para sahabat dan tabi’in ini
sangat mengenal betul pihak-pihak yang melibatkan diri dan yang terlibat dalam permusuhan
tersebut, sehingga jika ada hadits baru yang belum pernah dimiliki sebelumnya, diteliti
secermat-cermatnya, siapaa-siapa yang menjadi sumber dan pembawa hadits itu. Maka pada
masa pemerintahan khalifah ‘Umar bin ‘Abdul ‘Aziz sekaligus sebagai salah seorang tabi’in
memerintahkan penghimpunan hadits. Masa ini terjadi pada abad 2 H, dan hadits yang
terhimpun belum dipisahkan mana yang merupahan hadits marfu’, mana yang mauquf, dan
mana yang maqthu’.
Abad 3 H merupakan masa pentadwinan ( pembukuan ) dan penyusunan hadits. Guna
menghindari salah pengertian bagi umat Islam dalam memahami hadits sebagai perilaku Nabi
Muhammad SAW, maka para ulama mulai mengelompokkan hadits dan memisahkan
kumpulan hadits yang termasuk marfu’ ( yang berisi perilaku Nabi Muhammad ), mana yang
mauquf ( berisi perilaku sahabat ) dan mana yamg maqthu’ (berisi perilaku tabi’in ). Usaha
pembukuan hadits pada masa ini selain telah dikelompokkan juga dilakukan penelitian Sanad
dan Rawi-rawi pembawa beritanya sebagai wujud tash-hih (koreksi/verifikasi ) atas hadits
yang ada maupun yang dihafal. Selanjutnya pada abad 4 H, usaha pembukuan hadits terus
dilanjutkan hingga dinyatakan bahwa pada masa ini telah selesai melakukan pembinaan
mahligai hadits. Sedangkan abad 5 H dan seterusnya adalah masa memperbaiki susunan kitab
hadits seperti menghimpun untuk memudahkan mempelajari dengan sumber utamanya kitab-
kitab hadits abad 4 H.
Usaha penulisan hadits yang dirintis oleh Abu Bakar bin Hazm dan Ibnu Syihab az Zuhri
pada sekitar tahun 100 H, diteruskan oleh ulama’ hadits pada pertengahan abad II H. Perintah
kewarganegaraan mengenai pengumpulan hadits di atas dari khalifah II Abasyiah di
Baghdad, yaitu Abu Ja’far al-Mansur yang memerintah selama 22 tahun (136 – 158 H ).
Perintah ini ditujukan kepada Malik bin Anas sewaktu berkunjung ke Madinah dalam rangka
ibadah haji.
Banyak ulama’ hadits yang menghimpun bersamaan dengan kegiatan ulama’ dalam
bidang lain untuk menghimpun ilmu-ilmu agama seperti fiqih, kalam dan sebagainya. Karena
itu masa ini dikenal dengan “Ashrulal-Tadwin” ( masa pembukuan ). Karya ulama’ pada
masa ini masih bercampur antara hadits rasul dan fatwa sahabat serta tabi’in, bahkan mereka
belum mengklasifikasikan antara hadits sahih, hasan dan dlo'if.
Sistem pembukuan pada masa ini adalah dengan menghimpun hadits mengenai masalah
yang sama dalam satu bab, kemudian dikumpulkan dengan bab yang berisi masalah lain
dalam satu karangan.
Pada masa ini, terdapat 3 golongan yang memalsukan hadits, yaitu :
1. Golongan politik : permulaan abad II H, dari golongan Abbasiyah, syiah dan lain-lain
yang bertujuan merebut kekuasan dari dinasti Umayah.
2. Golongan tukang cerita : mereka mengarang hadits palsu untuk menambah hebat
ceritanya dan untuk mendapat kepercayaan dari orang-orang.
3. Golongan zindik : mereka mengarang hadits palsu untuk membuat fitnah dan kekacauan
di golongan umat Islam.
Untuk menjaga kemurnian dan keaslian hadits Nabi SAW, ulama’ pada masa ini
mengadakan perjalanan ke daerah-daerah untuk mengecek kebenaran hadits dan meneliti
sumber-sumbernya. Sehingga pada masa ini muncul kritikus hadits yang terkenal seperti
Yahya bin said bin al-Qaththan dan Abdurrahman bin Mahdi.
Di antara kitab-kitab abad kedua yang mendapat perhatian umum ulama adalah :
1. Al Muwaththa’.
2. Al Musnad, susunan al Imam asy Syafi’y.
3. Mukhtaliful Hadits.
4. As Siratun Nabawiyah ( al Maghazi wal Siyar ).
Al Muwaththa’ yang paling terkenal dari kitab-kitab hadits abad kedua dan mendapat
sambutan yang besar sekali dari para ulama. Kitab ini mengandung 1726 rangkain khabar
dari Nabi SAW, dari sahabat dan dari tabi’in. Kitab ini mendapat perhatian dari para ahli,
karena itu banyak yang membuat syarahnya dan yang membuat mukhtasarnya.
Adapun tingkat dan derajat hadits-hadits al-Muwaththa’ itu berbeda-beda. Ada di
antaranya yang shahih, ada yang hasan, dan ada pula yang dla’if. Asy-Syafi’y pernah berkata,
“Kitab yang paling shahih sesudah Al-Qur’an, ialah Al Muwaththa’.”
Mukhaliful Hadits adalah sebuah kitab asy-Syafi’y yang penting. Di dalamnya di
terangkan cara-cara menguatkan sunnah dan cara-cara yang mengharuskan kita menerima
hadits ahad. Adapun didalamnya di terangkan pula cara-cara menyesuaikan hadits-hadits
yang terlihat bertentangan satu sama lainnya. Di dalamnya terdapat pula hasil perdebatan asy-
Syafi’y dengan Muhammad bin al Hasan dan lain-lain.
Ahli abad ketiga ketika mereka bangkit mengumpulkan hadits, mereka memisahkan hadits
dari fatwa-fatwa itu. Mereka bukukan hadits saja dalam buku-buku hadits berdasarkan
statusnya. Akan tetapi satu kekurangan pula yang harus kita akui, ialah mereka tidak
memisah-misahkan hadits. Yakni mereka mencampurkan hadits shahih dengan hadits hasan
dan dengan hadits dla’if. Segala hadits yang mereka terima, dibukukan dengan tidak
menerangkan keshahihannya.
Dapat kita katakan bahwa besar kemungkinan, Shahifah Abu bakar bin Hazm membukukan
hadits saja mengingat perkataan ‘Umar kepadanya :
Awal mulanya kebanyakan ulama Islam mengumpulkan hadits-hadits yang terdapat di
kota mereka masing-masing. Namun, keadaan ini dipecahkan oleh al Bukhary. Beliaulah
yang mula-mula meluaskan daerah-daerah yang dikunjungi untuk mencari hadits. Beliau
pergi ke Maroko, Naisabur, Baghdad, Makah, Madinah dan masih banyak lagi kota yang ia
kunjungi.
Beliau membuat langkah mengumpulkan hadits-hadits yang tersebar diberbagai daerah. 16
tahun lamanya al Bukhary menjelajah untuk menyiapkan kitab shahihnya.
H. Masalah-masalah dalam Penulisan dan Pembukuan Hadits
Di antara hal yang tumbuh dalam masa ketiga ini ialah muncul orang-orang yang
membuat hadits-hadits palsu. Hal itu terjadi sesudah Ali r.a. wafat. Sejak dari timbul fitnah
di akhir masa ‘Usman r.a. umat Islam pecah menjadi beberapa golongan.
- Pertama : golongan Ali bin Thalib, yang kemudian dinamakan golongan “Syiah”.
- Kedua : golongan Khawarij, yang menentang Ali dan Mu’awiyah.
- Ketiga : golongan jumhur (golongan pemerintah pada masa itu ).
Terpecahnya umat Islam tersebut, didorong keperluan dan kepentingan golongan, mereka
mendatangkan keterangan hujjah untuk mendukung. Maka bertindaklah mereka membuat
hadits-hadits palsu dan menyebarkannya kedalam masyarakat.
Mulai saat itu, terdapatlah riwayat-riwayat yang shahih, dan riwayat-riwayat yang palsu, dan
kian hari kian bertambah banyaknya. Awal mula yang melakukan pekerjaan sesat ini adalah
golongan syi’ah sebagaimana yang diakui sendiri oleh Bin Abdil Hadid, seorang ulama
syi’ah dalam kitabnya Nahlul Balaghah, dia menulis, “Ketahuilah bahwa asal mula timbul
hadits yang menerangkan keutamaan pribadi-pribadi adalah golongan syi’ah sendiri.”
Perbuatan mereka ini ditandingi oleh golongan sunnah (jumhur) yang bodoh-bodoh. Mereka
juga membuat hadits untuk mengimbangi hadits-hadits yang dibuat oleh golongan syi’ah.
Maka dapat diambil kesimpulan bahwa kota yang mula-mula mengembangkan hadits-hadits
palsu ialah Baghdad (kaum syiah berpusat di sana).