OLEH
Biotoksin adalah racun yang terdapat pada biota atau makhluk hidup. Biotoksin yang terdapat
pada biota laut dikenal sebagai biotoksin laut (marine biotoxin). Biotoksin laut ini menyebabkan
sejumlah penyakit bawaan pangan yang berasal dari produk perikanan. Produk perikanan yang
berperan sebagai pembawa biotoksin adalah kekerangan dan ikan, yang merupakan sumber pangan
penting bagi manusia. Tetapi, sejatinya organisme yang menjadi sumber dan memproduksi
sebagian besar biotoksin adalah spesies alga laut mikro tertentu (kecuali tetrodotoxin, racun yang
dihasilkan oleh ikan buntal).
Alga mikro dari lautan di dunia ini adalah pakan yang penting bagi kekerangan, larva krustasea
dan ikan ekonomis penting lainnya. Dari 5.000 spesies alga mikro, sekitar 300 spesies mampu
berkembang dalam jumlah besar (blooming) sehingga dapat merubah warna permukaan laut, yang
disebut “red tide” (pasang merah).
Diantara spesies alga laut mikro yang suka blooming ini, ada sekitar 75 spesies yang memiliki
kemampuan untuk menghasilkan racun yang kuat (disebut phycotoxin), melalui rangkaian rantai
makanan (moluska, krustasea, dan ikan), yang akhirnya dikonsumsi oleh manusia sehingga
menyebabkan keracunan yang menimbulkan berbagai penyakit pencernaan dan neurologis.
Domain : Eukaryota
Kingdom : Protozoa
Subkingdom : Baciliata
Filum : Dinophyta
Subfilum : Dinozoa
Infrafilum : Dinoflagellata
Kelas : Dinophyceae
Subclass : Peridiniphycidae
Ordo : Peridiniales
Family : Gonyaulacaceae
Genus : Pyrodinium
Spesies : Pyrodinium bahamense
Racun kerang-kerangan telah diketahui sejak ratusan tahun yang lalu, tarutama di
Eropa dan Amerika Utara, namun kasus-kasusnya belakangan ini meningkat sehingga
menarik perhatian. Gejala keracunan kerang-kerangan ini 1) kehilangan rasa pada bibir,
lidah, dan ujung jari yang terjadi beberapa menit setelah memakan kerang-kerangan tsb; 2)
Selanjutnya diikuti oleh kehilangan rasa pada kaki, tangan dan tengkuk. 3) Gejala yang
bervariasi bervariasi, namun sebagian besar penderita tampak lesu namun tetap sadar; 4)
Bila penyakit ini serius, pernapasan terganggu dan berakhir dengan kelumpuhan atau
kematian dalam 2-12 jam; dan jika penderita dapat bertahan sampai 24 jam, maka
kemungkinan akan tetap hidup.
Kadar racun yang menyebabkan keracunan atau kematian bervariasi; kasus di Pantai
California, kadar racun 1.000-20.000 mous unit (MU) untuk keracunan; dan lebih dari
20.000 MU untuk kematian (1MU= jumlah racun yang dapat mematikan tikus putih (berat
20 g) dalam 15 menit). Pada kasus lain, kadar racun ditemukan 600 MU untuk kercunan
dan 3.000-5.000 MU untuk kematian. Keracunan dapat terjadi seketika dan setelah 1-3
minggu kerangan kembali aman untuk dikonsumsi. Keracunan sporadis oleh kerang-
kerangan ini disebabkan oleh alga dari jenis gonyoulax catanella. Alga ini menghasilkan
gejala yang sama pada tikus dengan gejala keracunan yang disebabkan oleh ekstrak racun
kerang-kerangan tersebut.
Racun tersebut dilaporkan masuk ke dalam tubuh kerang melalui makanan dan akan
terakumulasi di dalam hepatoprankreas. Remis secara priodik mengekskresikan racun yang
terkandung di dalam tubuhnya, sehingga dalam 1-3 minggu setelah terjadi blooming
Dinoflagellata, remis tersebut akan bebas dari racun. Pada Kijing (clam), racun tersebut
akan tertinggal berbulan-bulan di dalam tubuhnya, dan biasanya racun Dinoflagella tersebut
tidak berbahaya bagi kerang itu sendiri. Beberapa spesis Dinoflagellata diketahui dapat
menyebabkan kerangan- kerangan yang dikonsumsi manusia. Gonyaulax catanella yang
dijumpai di sepanjang pantai Pasifik Amerika Utara adalah jenis yang dominan penyebab
keracunan pada kerang- kerangan. Gonyoulax catanella adalah yang dominan penyebab
keracunan kerang-kerangan di British Columbia dan Gonyoulax Tamarensis penyebab
keracunan kerang-kerangan di Pantai Utara Atlantik Amerika Serikat dan perairan Utara
Eropa.
Jumlah racun yang terdapat pada kerang-kerangan tergantung pada jumlah
Dinoplagellata dalam perairan dan jumlah udara yang disaring oleh kerang-kerangan
tersebut. Remis yang terdapat di sepanjang pantai California misalnya, akan terdapat bila
terdapat lebih dari 200 sel Gonyoulax catanella per ml. Gelombang merah terjadi bila
jumlah organisme mencapai 20.000 per ml. Oleh karena racun tidak mempengaruhi kerang-
kerangan, maka sulit membedakan karakteristik kerang-kerangan yang berbahaya dengan
yang tidak berbahaya. Satu-satunya cara mendeteksi racun tersebut dengan bioessay pada
tikus, oleh karena itu, sampling dan uji bioessay secara periodik sangat perlu untuk
mencegah keracunan. FDA telah menetapkan 400 MU (80 mikrogram) tingkat maksimum
kandungan racun dalam daging kerang-kerangan.
Beberapa kesimpulan menyimpulkan bahwa komponen kimia dari racun kerang-
kerangan dan Gonyoulax catanella adalah tetrahidropurin. Racun ini termasuk yang paling
berbahaya, 1 MU racun ini sama dengan 0.18 mikrogram. Dosis Letal intravena racun
tersebut pada kelinci yang beratnya 1 kg adalah 3-4 mikrogram. Jika berat 3000 sampai
5000 MU merupakan dosis mematikan pada manusia seperti yang terjadi pada beberapa
kasus, maka racun yang menyebabkan kematian adalah 0.54-0.9 mg melalui mulut. Racun
tersebut menjadi perhatian para ahli fisiologi karena dapat menghambat propagasi impuls
pada syaraf dan otot tanpa depolarisasi. Beberapa Dinoflagellata lainnya yang diduga
menyebabkan keracunan pada kerang-kerangan adalah Gonyoulax polyedra , G. monilata,
G. veneficum, dan G. breve.
Epidemiologi
Insiden di Jepang pada periode 1976 hingga 1977, lebih dari 164 orang mengalami
diare, mual, muntah, dan sakit perut setelah makan kerang yang terkontaminasi
dinophysistoxin-1, DTX1 (Murata et al., 1982; Yasumoto et al., 1978a ). Analisis sisa
makanan yang awalnya dikonsumsi oleh delapan individu adalah dasar untuk
memperkirakan nilai pisah batas48 g asam okadaat (OA) setara/oranguntuk gejala ringan
dan80-280 g OA setara/ oranguntuk gejala yang parah. Dalam dekade berikutnya insiden
DSP dilaporkan juga di negara lain: Belgia (De Schrijver et al., 2002), Kanada (Quilliam et
al., 993a), Chili (Garcia et al., 2005; Lembeye et al., 1993 ), Prancis (Van Egmond et al,
1993), Selandia Baru (Fernandez dan Cembella, 1995), Belanda (Kat, 1979, 1983),
Norwegia (Torgersen et al., 2005; Underdal et al., 1985), Portugal (Vale dan Sampayo,
1999, 2002), Swedia (Krogh et al., 1985), Inggris (COT, 2006; Scoging dan Bahl, 1998),
dan Italia pada 2010 (Aurelia Tubaro, komunikasi pribadi). Dari insiden ini beberapa ratus
kasus dengan gejala ringan menguatkan50 g setara OA/orang(EFSA, 2008c).
Sebuah insiden pada tahun 2006 di Inggris melibatkan 159 orang yang mengalami gejala
keracunan setelah makan kerang (remis) di restoran yang berbeda. Tiga sampel dari
pemasok diperiksa dengan MBA dan LC-MS/MS, konsentrasi OA dalam sampel ini
berkisar antara258 dan 302 g setara OA/ kg kerang, sedangkan MBA hanya bisa
memberikan hasil positif untuk dua dari tiga sampel. Selain itu, paparan jangka panjang
terhadap toksin DSP konsentrasi rendah OA dan DTX1 diduga terkait dengan insidensi
penyakit yang lebih tinggi secara signifikan. kanker pencernaandalam populasi daerah
pesisir di Perancis (Cordier et al., 2000).
Pemantauan bahaya, penilaian risiko, dan manajemen risiko. Pemantauan bahaya
melibatkan pengukuran rutin dengan metode yang kuat dan sensitif untuk mendeteksi
perubahan lingkungan; oleh karena itu, tingkat paparan yang dapat diterima dan ambang
batas kekhawatiran toksikologi adalah dasar untuk evaluasi bahaya yang dipantau.
Pertimbangan membimbing menuju metode yang relevan untuk pemantauan termasuk
identifikasi, deteksi dan kuantifikasi agen kritis; namun, identifikasi ambang batas sebagian
besar tergantung pada database toksikologi yang relevan, yang dalam kasus biotoksin laut
terutama terkait dengan keracunan akut dari sangat sedikit kasus manusia yang
terdokumentasi dengan baik dan sejumlah besar uji hewan pengganti dengan relevansi yang
dipertanyakan terhadap manusia (lihat di atas).
Tugas beresiko: Proses evaluasi risiko kesehatan dari bahaya yang diakui adalah
penilaian risiko. Ini termasuk pemeriksaan sistematis terhadap sumber paparan potensial
dan strategi pengambilan sampel yang memadai yang membuktikan dasar yang
representatif untuk asersi. Evaluasi risiko adalah kombinasi informasi tentang besarnya dan
frekuensi paparan manusia, toksisitas yang melekat dari senyawa berbahaya dan sifat dan
tingkat kontaminasi.
Manajemen risiko
Manajemen risiko mengacu pada prosedur ilmu keselamatan peraturan yang
bertujuan untuk melindungi kesehatan masyarakat. Oleh karena itu, ambang batas untuk
kontaminasi dengan senyawa berbahaya ditetapkan. Bahwa penilaian risiko memberikan
informasi tentang beban potensial, manajemen risiko adalah tindakan pencegahan regulasi
berdasarkan informasi yang diberikan oleh penilaian risiko; sehingga penting untuk tujuan
manajemen risiko untuk memiliki informasi yang relevan mengenai latar belakang ilmiah
(toksikologi, kimia, epidemiologi, ekologi, dan statistik). serta informasi tentang
kemungkinan teknologi.
Pemantauan, penilaian, dan pengelolaan Karena nutrisi yang bersumber dari laut
merupakan komponen penting dari makanan dunia dan karena makanan dan produk laut
menjadi sasaran distribusi global, penting untuk memiliki metode yang andal, kuat, dan
sensitif untuk pemantauan rutin in situ (tempat asal) yang berkelanjutan terhadap kejadian
toksin di keduanya. organisme penghasil dan vektor serta konsentrasi toksin bebas di
lingkungan. Informasi dari penilaian risiko, yang merupakan dasar untuk manajemen risiko,
harus relevan dengan fisiologi manusia untuk tujuan manajemen risiko yang relevan dengan
manusia.
Ini termasuk juga informasi tentang potensi relatif biotoksin laut, lebih disukai pada
manusia, untuk menilai potensi beban paparan bahaya ini dan dengan demikian untuk
menentukan ambang batas yang relevan, tingkat paparan yang dapat diterima dan ambang
batas yang menjadi perhatian toksikologi (Botana et al., 2010). Meskipun globalisasi
distribusi produk ikan bersirip, kerang dan krustasea serta peningkatan distribusi produsen
toksin laut diakui dalam sains, upaya untuk mengatasi masalah mendesak ini di tingkat
regulasi sejauh ini tidak memuaskan.
Sebagian besar upaya telah diarahkan pada manajemen risiko melalui penerapan
tingkat regulasi biotoksin laut untuk dikendalikan di tingkat produsen. Saat ini, pendekatan
yang paling komprehensif telah dilaksanakan oleh Otoritas Kesehatan Kanada dan Jepang,
Otoritas Keamanan Makanan Eropa (EFSA) dan Administrasi Makanan dan Obat AS
(FDA); semuanya mendukung tingkat tunjangan maksimum untuk biotoksin laut tertentu.
Dasar ilmiah untuk tingkat tunjangan ini terutama berasal dari insiden keracunan
manusia akut, yaitu, studi kasus; namun, karena keterbatasan yang terkait dengan studi
kasus ini (lihat di atas), konsentrasi toksin yang tertelan yang kemudian menyebabkan
munculnya efek samping pada pasien lebih sering daripada sekadar perkiraan dosis yang
benar-benar efektif; dengan demikian, faktor penyisihan yang digunakan saat ini sangat
bergantung pada faktor keamanan yang digunakan untuk menghitung konsentrasi yang
diizinkan dalam produk akhir.
Memang, untuk sebagian besar jika tidak semua biotoksin laut, ada kelangkaan
metode yang relevan dengan manusia yang bertujuan untuk mengatasi semua titik akhir
fisiologis yang relevan dalam kasus keracunan. Misalnya, meskipun uji neuroblastoma
manusia (lihat di bawah) adalah metode yang relevan secara biologis dan manusiawi yang
sangat baik untuk menilai interaksi spesifik saluran natrium dari ciguatoxins, brevetoxins,
tetrodotoxins atau saxitoxins (Manger et al., 1993, 1994, 1995), subkronik , toksisitas
paparan kronis, atau berulang tidak dapat diuji. Selain itu, dan terlepas dari kenyataan
bahwa upaya keras terus dilakukan, ada kekurangan bahan referensi untuk analisis toksin.
Tingkat tunjangan peraturan saat ini dan latar belakangnya untuk racun yang dibahas
dalam lokakarya ini diringkas secara singkat. Sebagian besar data dilaporkan seperti yang
disajikan dalam dokumen asli, menunjukkan kurangnya harmonisasi dalam unit dan dalam
perhitungan tingkat yang diterima dengan aman. Sementara racun DSP tunduk pada
peraturan di berbagai belahan dunia, semua tingkat peraturan terutama didasarkan pada data
toksisitas yang berasal dari studi toksisitas pada tikus. Namun, analisis ratusan kasus
keracunan manusia dengan gejala ringan menguatkan LOAEL 50 g OA setara/orang (EFSA,
2008c). FDA AS telah menetapkan tingkat tindakan untuk OA pada 0,16 ppm, dan
merekomendasikan "pengobatan imun yang tersedia secara komersial.
Tinjauan tentang wabah NSP terbesar yang tercatat di Selandia Baru pada tahun
1992/1993 menunjukkan bahwa organisme penghasil toksin yang berbeda ditemukan di
mekar yang bertanggung jawab termasuk produsen BTX Karenia mikimotoi (Ishida dkk.,
1996; Ishida dkk., 1995; Morohashi dkk., 1995, 1999; Todd, 2002). Dari beberapa laporan
keracunan dengan BTX yang telah dipelajari, yang terbaik ditandai adalah wabah di North
Carolina 1987, di mana 48 dari 85 orang yang mengkonsumsi tiram terkontaminasi BTX
menunjukkan gejala efek kesehatan yang merugikan (Morris et al., 1991).
Dalam kasus terakhir, jumlah gejala meningkat dengan jumlah daging tiram yang
terkontaminasi dikonsumsi. Berdasarkan tingkat kontaminasi BTX yang ditentukan dalam
sisa (sisa) makanan yang dikonsumsi dan tiram yang dipanen dari area umum yang sama,
kontaminasi 35-170 unit tikus (MU) toksin kelompok BTX diperkirakan. Yang terakhir
akan membuat dosis toksik rendah 42-72 MU per orang, dengan asumsi total konsumsi 100
g daging tiram, sesuai dengan sekitar 168-288 g BTX-2, yaitu, untuk 60 kg orang menjadi
2,8-4,8 g/kg bb (Gessner, 2000). Memang, Florida telah melaporkan tingkat kontaminasi
BTX mulai dari 880 hingga 49.000 g setara BTX-2/ kg daging kerang (Naar et al., 2007;
Pierce et al., 2004; Steidinger et al., 1998; Watkins et al., 2008), yang akan melebihi tingkat
yang diizinkan saat ini yaitu 0,8 mg BTX-2 setara/kg daging kerang (20 MU/100 g) saat ini
diterapkan di AS (FDA, 2012), Selandia Baru dan Meksiko (Rodriguez-Velasco. Analisis
serupa terhadap ikan yang terkontaminasi (Naar et al., 2007), memberikan nilai mulai dari
580 hingga 6000 g setara BTX-3/kg daging ikan.
Meskipun tidak ada batasan regulasi Eropa untuk BTX, Panel EFSA CONTAM
menganggap bahwa dosis referensi akut (ARfD) harus ditetapkan (EFSA, 2010b); namun,
EFSA menganggap bahwa data yang tersedia saat ini terlalu kecil untuk memungkinkan
penurunan ARfD. Fakta bahwa tidak ada kasus keracunan NSP yang terdaftar di UE
tampaknya lebih merupakan masalah kurangnya pengakuan dan pelaporan yang sesuai
daripada kurangnya insiden yang sebenarnya. Namun yang terakhir menunjukkan bahwa
insiden NSP sampai saat ini jarang terjadi, karena keracunan yang lebih sering akan
mendapat perhatian dan dengan demikian menjadi lebih umum.
Dalam pengaturan yang lebih khas, efek merugikan manusia dari BTX juga dapat
terjadi melalui inhalasi dinoflagellata aerosol yang mengandung BTX seperti yang dapat
terjadi selama pasang merah seperti yang dilaporkan dari pantai Florida dan Texas (Backer
et al., 2003; Cheng et al. ., 2005; Fleming dkk., 2005; Pierce dkk., 2005. Pemantauan
bahaya, penilaian risiko, dan manajemen risiko - FDA, menetapkan tingkat tindakan 0,8
ppm setara BTX-2 yang dianalisis oleh MBA (FDA, 2011, 2012). Demikian pula, Selandia
Baru menggunakan tingkat BTX-2 yang dapat diterima sebesar 20 MU/100 g fw jaringan
kerang (Van Apeldoorn, 2001).
Terutama informasi yang mendasari didasarkan pada studi dari tahun 1960-an di
mana kematian tikus yang disuntik dengan ekstrak kasar dari kerang dibandingkan dengan
gejala manusia (Van Apeldoorn, 2001). Selain itu, penutupan tempat tidur kerang di AS
didasarkan pada kepadatan dinoflagellata penyebab, Karenia brevis, dan dibuka kembali
berdasarkan analisis MBA dari kerang.
Meskipun tidak ada batasan regulasi Eropa untuk BTX, panel EFSA CONTAM
menganggap bahwa dosis referensi akut (ARfD) harus ditetapkan (EFSA, 2010b); namun,
EFSA menganggap bahwa data yang tersedia saat ini terlalu sedikit untuk memungkinkan
penurunan ARfD. Otoritas Eropa merekomendasikan pendekatan LC-MS/MS dan juga
pengembangan lebih lanjut dari pengujian biomolekuler (EFSA, 2010b).
Gejala
Gejala dan tanda NSP antara lain mual, muntah, diare, menggigil, berkeringat,
penurunan sensasi suhu, hipotensi, aritmia, parestesia bibir, wajah dan ekstremitas, kram,
bronkokonstriksi, kelumpuhan, kejang, koma, dan kematian. Gejala biasanya terjadi dalam
waktu 30 menit sampai 3 jam setelah konsumsi kerang yang terkontaminasi dan dapat
berlangsung selama beberapa hari (Watkins et al., 2008). Menghirup aerosol brevetoxin
dapat menyebabkan kesulitan pernapasan dan iritasi mata dan membran hidung (Pierce et
al., 2005; Kirkpatrick et al., 2006).
Mode aksi - Toksin NSP memiliki beberapa tindakan pada keadaan transisi saluran
natrium berpintu tegangan (NaV) yang mengarah ke pergeseran ketergantungan tegangan,
penghambatan inaktivasi, dan keadaan subkonduktansi (Jeglitsch et al., 1998; Schreibmayer
dan Jeglitsch, 1992).
Hal ini menyebabkan masuknya Na+ yang tidak terkontrol dan depolarisasi neuron
diikuti oleh keadaan inaktif yang persisten dan blokade konduksi saraf (Huang et al., 1984;
Plakas dan Dickey, 2010), mirip dengan DA (lihat Gambar 11) dan ciguatoxins (lihat
Gambar. 11) Gambar 12) dan peningkatan Ca2+ intraseluler (Baden et al., 2005; Watkins et
al., 2008; LePage et al., 2003).
- Brevetoxin memiliki efek yang berbeda pada otot lurik, jantung dan polos; dan tindakan
diskrit pada diafragma didominasi oleh blok konduksi saraf (Ramsdell, 2008)).
- Secara sistemik BTX menargetkan sistem saraf otonom pada tingkat ganglion dan otak
tengah, menghasilkan efek depresan pada sistem kardiovaskular (Borison et al., 1980).
- Aktivasi toksin NSP saluran natrium (NaV) telah ditunjukkan dalam sel-sel kekebalan,
menginduksi proliferasi sel, transkripsi gen, produksi sitokin dan apoptosis (Murrell dan
Gibson, 2011).
Ada beberapa pengecualian untuk aturan ini, misalnya, susunan 5:6:6 untuk
spirolida G dan sistem cincin bispiroketal 5:6 untuk spirolida H dan I. Fragmen spiroketal,
dalam kasus terakhir, digantikan oleh cincin tetrahydrofuran dalam keluarga gymnodimine.
Epidemiologi
Sampai saat ini tidak ada catatan keracunan manusia karena SPX, GYM, PnTX atau
PtTX. Meskipun keberadaan CI di perairan lokal dan organisme laut (misalnya, hingga 200
g CI /kg jaringan tiram di Rangaunu Harbour, Selandia Baru pada tahun 1994), konsumsi
produk laut lokal pada periode yang sama tidak menyebabkan efek samping pada manusia
(McCoubrey, 2009; Munday et al., 2004; Richard et al., 2001).
Berdasarkan pengamatan terakhir, tidak ada batasan peraturan saat ini untuk CI
dalam kerang dan ikan, terlepas dari distribusi global dan dengan demikian keberadaan CI
dalam kerang dan produknya di Eropa, Asia-Pasifik, Jepang dan Amerika Serikat.
Namun demikian, ada tingkat kegelisahan yang tinggi dari otoritas pengatur
sehubungan dengan penilaian risiko CI (EFSA, 2010c), terutama karena MBA untuk
beberapa CI menunjukkan perbedaan besar antara toksisitas oral dan intrapretoneal. SPX
dan GYM berinteraksi dengan otot dan reseptor asetilkolin nikotinat saraf (nAChR) pada
konsentrasi subnanomolar (Bourne et al., 2010; Kharrat et al., 2008); dan interaksi ini
menyebabkan kelumpuhan pernapasan pada tikus dan tikus yang diobati dengan GYM
(Kharrat et al., 2008).
Pertanyaan yang perlu dijawab adalah apakah mekanisme ini juga berlaku untuk
manusia dan dengan demikian apakah data dari MBA cocok untuk penilaian risiko bagi
manusia. Panel kontaminan EFSA dalam rantai makanan, panel CONTAM, menganggap
MBA tidak pantas karena spesifisitas yang buruk dan karena alasan etis (EFSA, 2010c).
Namun, saat ini tidak ada alternatif selain uji in vivo untuk memperkirakan potensi risiko
kesehatan bagi manusia.
Dalam penyelidikan baru-baru ini, Wandscheer dan rekan (Wandscheer et al., 2010)
menunjukkan antagonisme kompetitif ireversibel SPX13- desmethyl C spirolide pada
reseptor ACh muskarinik (mAChR) dalam sel neuroblastoma manusia, sehingga
menekankan bahwa CI cenderung menginduksi efek samping pada manusia pada paparan
yang cukup. Dengan demikian, kurangnya laporan efek merugikan pada manusia yang jelas
terkait dengan konsumsi kerang yang terkontaminasi CI mungkin terutama disebabkan oleh
pengenalan yang buruk dan pelaporan efek samping kesehatan ringan hingga sedang,
misalnya, gangguan lambung dan takikardia, pada manusia (FAO/IOC / WHO, 2004)
dalam sistem kesehatan Eropa, AS, Jepang, Cina dan Asia-Pasifik daripada tidak adanya
toksisitas. Selain itu, karena potensi kurangnya pengenalan intoksikasi akut, kemungkinan
intoksikasi kronis juga tidak akan dikenali, oleh karena itu otoritas pengatur khawatir
tentang kemungkinan risiko kesehatan yang terkait dengan paparan CI kronis. Memang, CI
dengan cepat diambil melalui saluran pencernaan setelah paparan oral (Otero et al., 2012)
dan mencapai sistem saraf pusat tikus yang terpapar (Alonso et al., 2013a,b), sehingga
menunjukkan kapasitas untuk melintasi sawar darah otak dan berpotensi berinteraksi
dengan reseptor ACh muskarinik dalam hidup.
Pemantauan bahaya, penilaian risiko, dan manajemen risiko - Saat ini tidak ada
batasan peraturan untuk CI dalam kerang di Eropa atau di wilayah lain di dunia.
Laboratorium Referensi Komunitas UE untuk biotoksin laut (CRL-MB) telah mengusulkan
tingkat panduan 400 g CIP SPXs/kg daging kerang (CRLMB, 2005; Pigozzi et al., 2006).
Panel CONTAM dari EFSA telah memutuskan untuk menetapkan margin of
exposure (MOE) untuk CIP SPX, bukan ARfD. Panel menghitung data kejadian SPX pada
kerang dengan persentil ke-95 dari paparan 0,06 g/kg bb, yang melibatkan pendekatan
deterministik dan probabilistik. Berdasarkan nilai ini dan nilai LD50 SPX pada tikus (50
g/kg bw dan 500 g/kg bw yang diberikan secara gavage atau dalam pakan, masing- masing)
panel menganggap bahwa paparan SPX tidak menimbulkan kekhawatiran terhadap
kesehatan konsumen Eropa (EFSA, 2010c). Namun, harus dicatat bahwa MOE hanya
didasarkan pada data akut dan dengan demikian tidak memiliki bobot untuk perlindungan
konsumen terhadap toksisitas sub- kronis atau kronis.
Gejala
Imina siklik adalah racun yang bekerja cepat ketika disuntikkan secara
intraperitoneal ke tikus. Tidak ada laporan keracunan manusia dari paparan racun CI
(Munday et al., 2012; Richard et al., 2001) meskipun pinnatoxins mungkin terlibat dalam
keracunan makanan yang dimediasi kerang di Cina (Zheng et al., 1990) . Mode aksi -
Toksisitas CI untuk hewan pengerat tampaknya dimediasi oleh pemblokiran reseptor
asetilkolin muskarinik dan nikotinat (AChR) di sistem saraf pusat dan perifer (Munday,
2008).
Interaksi dengan reseptor mungkin berbeda antara kelompok CI yang berbeda
karena keduanya, pengikatan reversibel dan ireversibel, telah diamati (Molgo et al., 2008,
2007; Fonfria et al., 2010; Vilarino et al., 2009).
Keracunan Scombroid
Keracunan scombroid yang disebabkan oleh memakan ikan dari famili scombridea,
termasuk tuna, mackerel, sardin dan bonito. Keracunan ini disebabkan oleh kandungan
histamin yang dihasilkan dari proses dekarboxilasi histidin oleh bakteri Proteus morgani ,
Klebsiella sp dan hapnia sp .Gejala yang ditimbulkan adalah sakit kepala, panas pada muka,
tengkuk dan pusing. Kasus keracunan scromboid ini terjadi pada kandungan histamin >20 mg
per 100 gram ikan.
Kegiatan pemantauan biotoksin di Indonesia (program sanitasi kerang). Pemerintah
Indonesia telah menetapkan beberapa peraturan, yaitu Peraturan No. PER.01/MEN/2007 dan
Peraturan No. KEP.01/MEN/2007 yang mengatur persyaratan Jaminan Mutu dan Keamanan
Hasil Perikanan secara umum dan Keputusan Dirjen No. 010/DJP2HP/2007 tentang
pengendalian dan pengawasan resmi hasil perikanan.
Kegiatan pemantauan biotoksin yang juga dikenal sebagai program sanitasi kerang
telah dilakukan sejak tahun 1997 sebagai bagian dari program pemantauan umum yang
dirancang untuk mengidentifikasi dan mengevaluasi racun biologis serta kontaminasi kimia
dan mikrobiologi kerang dan kualitas air. Peraturan ini dapat membantu untuk menjaga dan
melindungi daerah pertumbuhan kerang dari limbah domestik dan industri yang dapat
mencemari kerang.
Dari 35,4% kasus infeksi dan keracunan makanan 34,2% disebabkan oleh bakteri dari
jenis Vibrio parahaemolyticus .Tingginya kasus infeksi dan keracunan makanan te sebut
disebabkan oleh kebiasaan orang Jepang yang suka memakan ikan, dalam keadaan mentah.
Kontaminasi bakteri patogen pada ikan dan hasil perikanan dapat berasal dari ikan itu sendiri
dan dapat pula berasal dari lingkungan (polusi) dan kontaminasi sewaktu memproses. Bakteri
tersebut akan masuk ke dalam tubuh manusia melalui konsumsi ikan, terutama ikan mentah
dan ikan yang kurang masak.
A. Bakteri Patogen Yang Berasal Secara Alami Dalam Perairan.
Clostridium botulinum Adalah bakteri yang hidup secara alami pada ikan dan produk
lainnya di perairan yang tidak tercemar. Bakteri ini berbentuk batang, gram positif,
membentuk spora, anaerobik sampai fakultatif anaerobik, dan menghasilkan toksin. Dari 7
tipe yang ada, tipe E adalah yang paling sering ditemukan pada ikan. Di perairan
Skandinavia, Alaska dan Jepang, bakteri tipe E ini hampir ditemukan pada setiap ikan.
Di Indonesia dan Amerika Latin yang beriklim tropis, tipe E hampir tidak ada, tetapi
tipe C lebih dominan. Hanya di UK type B, C dan F dijumpai pada ikan trout. Infeksi dan
keracunan pada manusia yang disebabkan oleh bakteri tipe A, B, E dan F, sementara tipe C
menyebabkan penyakit pada burung dan tipe D menyebabkan penyakit pada ternak besar.
Ikan segar merupakan medium yang baik bagi pertumbuhan bakteri tersebut, khususnya
strain yang psikrotropik dan nonproteolitik (typeE, B, F). Dari data juga dapat dilihat
pembentukan spora yang diiringi oleh pembusukan ikan secara sensoris. Dapat dikatakan
bahwa ikan merupakan komoditas yang sangat potensial bagi keracunan botulinum, namun
ikan segar belum pernah menyebabkan keracunan karena toksin yang dihasilkan sangat
labil terhadap panas. Pada pH netral, perlakuan panas pada 60-80HaiC dapat merusak
toksin tersebut dalam waktu 5 menit.
Vibrio Parahaemolyticus Bakteri ini juga asli hidup pada ikan, khususnya pada
perairan tropis. Ciri-ciri bakteri ini adalah gram negatif dan kadang-kadang gram positif,
halofilik, tumbuh pada suhu >8HaiC, dan tumbuh optimal pada suhu 37Haidan 2-4%
NaCL, memiliki waktu generasi 5-10 menit sangat kompetitif dengan bakteri lain. Pada
suhu optimum, bakteri ini dapat tumbuh sangat cepat dan menyebabkan penyakit dalam
beberapa jam. Untuk menyebabkan penyakit yang dibutuhkan 106-109 sel bakteri. Gejala
infeksi bakteri ini dimulai dengan diare, sakit perut, muntah, demam dan sakit kepala.
Gejala timbul 4-48 jam setelah konsumsi makanan yang mengandung bakteri tersebut.
Bakteri Vibrio parahaemolyticus ditemukan di pantai, muara sungai dan sedikit
sekalai di laut lepas. pertumbuhan bakteri tersebut tidak hanya dipengaruhi oleh suhu tetapi
juga limbah organik yang berasal dari industri pengolahan ikan dan limbah. Bakteri vibrio
parahaemolytius sensetif tehadap suhu dingin 0-8-C seperti yang terlihat pada tabel 3. Akan
tatapi, bakteri tersebut dapat bertahan hidup pada suhu beku.
B. Bakteri Patogen Pada Ikan, Berasal Dari Limbah Cair (Sewage) Dan
Kontaminasi Waktu Prosessing Stafilokokus. Bakteri Staphylococcus memilki ciri:
berbentuk batang, gram positif, tidak membentuk spora, suhu pertumbuhan 6.6-45.6o C,
aerobik, enterotoksin. Bakteri Staphylococcus termasuk bakteri yang menyebabkan
keracunan pada konsumen ikan yang tidak terdapat secara alami pada ikan.
Bakteri ini biasanya terdapat pada ikan yang dimasak seperti ikan asap, ikan
asin dan ikan kaleng dimana bakteri dapat meningkatkan dengan Staphylococcus
ini telah mati oleh perlakuan panas atau perlakuan lainnya. Kontaminasi
Sthapylococcus terjadi melalui para pekerja (handler) waktu proses, pemasakan
dan penyuguhan. Faktor lain yang menyebabkan kontaminasi Sthapylococcus
adalah kandungan protein ikan yang mendukung pertumbuhan bakteri tersebut.
Di Amerika Serikat kasus kercunan Stapylococcus ini dari tahun 1967-1969
dilaporkan 405 orang melalui konsumsi ikan tuna dan 500 orang di Puetro Rico melalui
ikan cod asin dan cod tepung. Stapyhlococcus dapat tumbuh dan menghasilkan enterotoksin
pada makanan yang disimpan pada suhu kamar atau dingin. Gejala kercunan : mual,
muntah, prostasidan diare yang terjadi dalam 1-9 jam, umumnya 2-4 jam. Saat keracunan,
ditemukan 1 juta bakteri per gram sampel. Pencegahan intosikasi dilakukan melalui
pengawasan kebersihan dan kesehatan para pekerja, sanitasi alat-alat proses, perlakuan
panas atau pemasakan yang sempurna (mencapai 71,1-73,90C), dan penyimpanan ikan pada
suhu <5,6oC.
Salmonella
Ciri-ciri: batang pendek (1-2µm), garam negatif , tidak membentuk spora, suhu optimum
38oC, tidak tumbuh pada 7-8oC dan 60oC • Salmonella hidup secara alami dalam usus manusia
dan hewan. Kontaminasi salmonella pada ikan dapat terjadi karena perairan dimana ikan tercemar
limbah cair, baik yang hasil buangan manusia ataupun industri.
Adanya kontaminasi Salmonella lainnya adalah waktu proses yang menggunakan air
pencuci yang terkontaminasi limbah atau para pekerja dan alat-alat yang tidak saniter. Kura-kura
laut dan kodok diketahui mengandung Salmonella; begitu juga ikan yang dipelihara di kolam juga
dapat mengandung Salmonella. Tuna yang disampel pada kapal penangkapan mengandung
Salmonellae yang mungkin berasal dari air pencuci yang terkontaminasi bakteri tersebut.
Tepung ikan setelah beberapa hari diproduksi, juga diketahui mengandung Salmonella; dan
kontaminasi tersebut diduga sebagai Sumber Salmonella pada ternak. Pada ikan asap juga
ditemukan Salmonella dan dilaporkan sebagai penyebab kasus infeksi makanan yang terbesar di
Amerika Serikat dari tahun 1960-1969. Pada ikan, Salmonellae hidup pada kulit dan usus; dan
kandungan Salmonella pada ikan tergantung pada kadar air oleh limbah cair. Salmonella banyak
ditemui di perairan pantai dan muara sungai; dan sedikit sekali pada periran dalam.
Untuk mencegah penyebaran Salmonellosis pada ikan, kontaminasi harus dihindarkan
mulai dari perairan atau habitat ikan, kapal penangkap, pabrik pengolahan, sampai kerestoran atau
jasa boga (layanan makanan) dan rumah tangga. Langkah pengawasan pertama adalah: 1)
mencegah pembuangan limbah cair yang tidak diolah atau kotoran manusia ke sungai, danau atau
laut dimana ikan dapat ditangkap atau di panen, 2) udara bersih hendaklah terus tersedia untuk
membuat dan mencuci ikan, 3) jika ikan sampai ke pabrik pengolahan, restoran dan jasa boga, ikan
ditangani oleh para pekerja dengan menggunakan alat-alat pengolahan yang memungkinkan terjadi
kontaminasi. Dengan demikian, pengawasan kesehatan para pekerja dan sanitasi alat-alat
pengolahan sangat perlu diperhatikan untuk menghindari kontaminasi. Untuk membunuh
Salmonella dengan perlakuan panas maka suhu yang digunakan harus mencapai 71.1 – 73.9HaiC
bahkan untuk tepung ikan, penggunaan suhu yang lebih tinggi disarankan.
Ikan harus disimpan dalam keadaan dingin sejak ditangkap sampai ke pengolahan. Khusus
untuk menghindari kontaminasi Salmonella, ikan yang dimasak atau dimasak dan tidak segera
dimakan, harus disimpan pada suhu >60HaiC atau <7.2HaiC.
Shigellae Berbentuk batang, gram negatif, aerobik, nonspora, Shigellae juga ditemukan
pada ikan, terutama pada ikan yang ditangkap dari perairan yang tercemar kotoran manusia.
Shigellae, khususnya Shigellae fleximeri dilaporkan telah menyebabkan infeksi pada konsumen
ikan melalui beberapa produk perikanan. Salad tuna dan udang dilaporkan yang paling banyak
menyebabkan shigellosis di Amerika Serikat. Shigellosis dapat terjadi, karena: 1) ikan dan produk
perikanan ditangani oleh pekerja pembawa bakteri, 2) ikan dan hasil perikanan disimpan pada suhu
optimum Shigella dan 3) ikan dan hasil perikanan dimakan oleh konsumen yang sensitif terhadap
Shigella. Untuk menghindarkan Shigellosis pada konsumen dapat dilakukan dengan: 1)
pengawasan kesehatan dan kebersihan para pekerja, 2) sanitasi alat-alat yang digunakan dalam
pengolahan, pemasakan dan penyuguhan ikan, 3) pengawasan suhu penyimpanan dan kontaminasi
silang.
Clostridium perfringen , Bacillus cereus dan Eterococci Enterococcus dan clostridium
perfringen sering ditemukan pada feses manusia dan hewan sehat, dan Bacillus cereus pada tanah
dan debu. Oleh karena bakteri ini terdapat dimana-mana, maka untuk menghindari kontaminasi
dengan makanan sangat sulit. Enterococci dan Clostridium perfringen ditemukan pada ikan segar
dan olahan, tetapi bacillus cereus hanya terdapat pada ikan olahan.
VIRUS PADA IKAN SEBAGAI PENYEBAB PENYAKIT (FOOD BORN ILLNESS)
PADA KONSUMEN
Virus hepatitis sering ditemukan pada kerang-kerangan yang ditangkap dari perairan yang
tercemar limbah cair. Kasus infeksi virus terjadi terutama karena mengkonsumsi kerang yang
terkontaminasi dalam keadaan mentah. Kontaminasi virus pada kerang-kerangan yang terjadi
melalui perairan oleh feses.Virus yang berada di perairan akan dimakan oleh kerang- kerangan dan
selanjutnya kerang-kerangan akan dimakan pula oleh manusia, sehingga menyebabkan penyakit.
Sumber Virus yang diduga berasal dari: 1) Oyster dan clam terkontaminasi oleh limbah
yang mengandung Virus hepatitis, 2) Tiram dan kerang memakan dan mengakumulasi virus di
dalam tubuhnya, dan selanjutnya tiram dan kerang dikonsumsi dalam keadaan mentah atau kurang
masak.
Cara yang efektif untuk menghindarkan kasus infeksi virus melalui konsumsi-kerangan ini
adalah : 1) pengawasan pembuangan limbah cair, 2) kerang-kerangan hanya boleh diambil atau
diambil dari perairan yang bebas kontaminasi limbah cair, 3) pencegahan kontaminasi setelah
pemanenan dan sewaktu penampungan, 4) penerapan sanitasi dalam proses pengolahan dan
penyuguhan.
PARASIT PADA IKAN YANG DAPAT MENULAR PADA MANUSIA MELALUI
KONSUMSI IKAN
Keberadaan parasit pada umumnya tidak membahayakan kesehatan konsumen ikan, tetapi
akan sangat mengganggu kualitas atau nilai estetika ikan ditolak pembeli dan konsumen. Pada
daerah tertentu keberadaan parasit pada ikan sangat banyak, sehingga pengambilan memerlukan
biaya besar.
A. Protozoa
Protozoa biasanya terdapat pada ikan bertulang banyak (bony fish), dan tidak
membahayakan konsumen ikan tersebut. Myxosporidae dapat merusak kualitas ikan karena
protozoa tersebut mengeluarkan enzim protease yang menyebabkan kulit dan daging ikan
lembut dan berlendir (milky spot).Myxosporidae sulit dilihat dengan mata telanjang, tetapi
setelah beberapa hari, daging ikan menjadi perangkat lunak dan berlendir pada lokasi
parasit tersebut. Jenis protozoa lain yang sering ditemukan pada ikan adalah Henneguya
zschokkei, yaitu dijumpai pada ikan salmon ( Oncorhynchus spp ) di Perairan Pasifik.
Protozoa ini menyebabkan lesi bulat berwarna abuabu dengan ukuran diameter 0,5 – 1 cm.
Lesi tersebut merupakan kista yang terdiri dari kapsul jaringan penghubung dan bagian
tengahnya mengandung spora yang berukuran diameter 10 mikron.
B. Trematoda (Cacing pipih)
Memiliki siklus hidup yang panjang yang meliputi satu atau dua inang intermediat.
Ikan berperan sebagai inang yang terakhir, dimana trematoda dewasa biasanya dijumpai
dalam saluran pencernaan. Manusia dapat menjadi inang perantara bagi larva (cerceria dan
metacerceria). Orang yang suka memakan ikan dalam keadaan mentah atau kurang masak,
mempunyai kesempatan besar untuk terinfeksi cacing ini. Siklus hidup cacing ini dapat
dilihat pada gambar di bawah ini.
Pada umumnya trematoda yang menyebabkan penyakit pada manusia dijumpai
diperairan tropis. Clonorchis sinensis, Opistorchis sp, Matagenimus yokagawai dan
Heterophyes heterophyes, dijumpai di perairan Timur Jauh, namun Heterophyes
heterophyes juga dijumpai di Delta Nil dan India. Clonorchis sinensis dan Opistorchis sp
adalah cacing hati yang terbentuk di saluran empedu manusia dan menyebabkan
perubahan inflamasi pada saluran empedu dan hati. Heterophyes – heterophyes dan
Matagenimus yokagawai hidup dalam usus manusia dan menyebabkan inflamasi, diare
dan nyeri pada perut. Trematoda lainnya adalah genus Paragonimus, yaitu cacing paruh
yang ditemukan di Asia; dan dapat menginfeksi manusia melalui konsumsi kepiting dan
udang air tawar mentah atau kurang masak. Parasit dewasa hidup dalam paru dan mungkin
berpindah ke hati, ginjal dan otak. Penyakit paru kronis terjadi bila cacing berkembang
dalam paru.
A. Cestoda (Cacing pita)
• Diantara cestoda, hanya Dhiphyllobothrium yang banyak ditemukan pada ikan.
• Cacing ini memiliki dua jenis inang intermediat, yaitu ikan dan copepoda.
• Dapat menyebabkan anemia pada mamalia
B. Nematoda (Cacing bulat)
• Nematoda juga dapat menular pada manusia melalui konsumsi ikan, moluska dan krustasea
yang terinfeksi cacing tersebut.
• Cacing hidup dalam usus, ginjal dan organ mamalia dan unggas lainnya yang memakan ikan
dan hasil perikanan yang terinfeksi.
• Telur cacing memerlukan udara untuk tumbuh menjadi dewasa, sedangkan ikan, reptil,
unggas berperan sebagai inang kedua dan ketiga.
• Pada ikan, larva nematoda berkembang di dalam rongga perut dan dalam otot lateral.
• Beberpa jenis nematoda yang sering ditemui pada ikan adalah genus Anasakidae,
berukuran panjang 1 – 6 cm.
• Jenis yang terkenal adalah Phocanema decipiens (cacing cod) yang merupakan masalah
serius di Amerika Utara, karena dapat menyebabkan granuloma pada saluran pencernaan
manusia. Gejala yang sama juga dijumpai setelah terinfeksi cacing pada ikan herring
(Anasakis marinae), terutama ikan haring asin. Nematoda lain yang terdapat pada produk
perikanan dan memiliki potensi bahaya pada manusia adalah jenis Angiostrongylus
cantonensis, yaitu dapat menyebabkan meningitis pada manusia. Inang menengah
Angiostrongylus cantonensis ini adalah keong, udang air tawar dan kepiting darat.
KOMPONEN KIMIA BERBAHAYA YANG TERDAPAT PADA IKAN DAN HASIL
PERIKANAN
Kemikalia yang terdapat pada daging ikan merupakan hasil dari proses
biomagnifikasi, dimana konsentrasi kemikalia pada rantai makanan di atas tingkat normal.
Hal lain adalah melalui proses bioakumulasi, dimana peningkatan konsentrasi kemikalia
dalam tubuh ikan berlangsung dalam waktu yang cukup lama. Dengan demikian ikan yang
lebih tua akan mengandung konsentrasi kemikalia lebih tinggi dari ikan muda.
A. Logam berbahaya
1. Merkuri (raksa)
Keracunan merkuri pertama kali terlihat di teluk Binamata, dimana 44 orang
mengalami gangguan penglihatan dan 111 orang lainnya mengalami gangguan tahun
penglihatan. Kontaminasi merkuri pada perairan teluk tersebut berasal dari buangan
industrikimia dan plastik. Ikan dan kerang-kerangan yang berada di perairan tersebut
terkontaminasi oleh merkuri; dan selanjutnya merupakan penyebab keracunan pada
konsumen. Raksa banyak digunakan pada industri dan pertanian, dan limbah ke alam
melalui limbah industri dan sisa bahan kimia pertanian. Raksa yang terdapat dalam limbah
dan senyawa pertanian ini biasanya dalam bentuk senyawa logam raksa, raksa organik,
raksa alkil, dan raksa alkoxialkil. Transformasi raksa anorganik menjadi organik yang
dilakukan oleh organisme yang hidup di dasar perairan, baik secara aerobik maupun
anaerobik. Jenis raksa yang banyak tertimbun dalam tubuh ikan adalah senyawa raksametil,
yaitu mendekati 100%.
Sedangkan pada senyawa kompleks kerang- kerangan ini mencapai 50% dari total
kadar raksa. Beberapa laporan kadar raksa total secara alami dalam perairan antara 0,1 – 0,2
mg/kg. Pada ikan kadar raksa total umumnya antara 0,1 – 0,2 mg/ kg. WHO dan FAO
mentolerir intake metil merkuri 0.2 mg per minggu per orang. Amerika Serikat dan kanada
mentolerir 0,5 mg Hg/kg ikan; dan negara lain ada yang mentolerir sampai 1 mg Hg/kg.
Indikasi yang ditimbulkan keracunan raksa yang ditandai oleh gejala gangguan, kadar raksa
pada rambut (50 mikrogram/gram) dan sel darah merah (0,4 mikrogram).
2. Kadmium
Di alam kadmium terdapat bersama-sama dengan seng dalam tanah dan bantuan mineral,
dengan perbandingan kadmium : seng sebesar 1 : 100 sampai 1 : 12.000.
Dalam industri, kadmium digunakan sebagai bahan pewarna dan plastikpenstabil,
bahan untuk peralatan listrik dan pupuk fosfat. Bahan plastik dan limbah industri dapat
sebagai sumber kontaminasi kadmium pada ikan. Konsumsi kadmium melalui makanan di
beberapa negara dapat dilihat pada tabel 7.
Tabel 7. konsumsi kadmium rata-rata melalui makanan di beberapa negara
negara Cd (ug/hari) Amerika Serikat Jerman Rumania Ceko Jepang 4 – 60 48 38 – 64 60 59
– 113
Kandungan kadmium dalam perairan sangat menentukan kadar kadmiumdalam
tubuh ikan, udang dan kerang-kerangan. Keracunan kadmium mulai mendapat perhatian
dunia setelah Malapetaka menimpa petani di sepanjang sungai Jintsu, jepang. Petani yang
memakan padi yang dipanen dari daerah sungai ini menderita gejala-gejala pada persendian
dan otot, tubuh mengecil, dan mengeropos (“itai- itai”) Wanita di sepanjang sungai
mengalami kekurangan kalsium dan vitamin D Keracunan kadmium di Jepang ini ditandai
dengan kerusakan sistem tulang melalui mobilisasi kalsium dari tulang.
Sebaliknya, pada penderita pekerja yang tercemar melalui debu yang mengandung
kadmium yang ditandai dengan kerusakan ginjal, dimana konsentrasi kadmium pada organ
tersebut mencapai 20 – 174 mikrogram/gram berat basah. Kadar 200 mencapai 200
mikrogram/gram pada kortex ginjal merupakan batas indikasi kerusakan ginjal. Kadar
kadmium normal pada individu adalah 25 – 100 mikrogram/gram berat basah. Untuk
menjaga agar kadar dalam ginjal tidak melebihi 50 mg/kg berat basah, maka konsumsi total
berat basah tidak boleh lebih dari 1 mikrogram/kilogram berat badan.
Angka-angka ini diperoleh dengan asumsi penyerapan kadmium oleh dinding usus
halus sama dengan 5% dan ekskresi setiap hari dengan 0,005%. Karena itu, peningkatan
batas konsumsi perorangan per minggu sebesar 400-500 mikrogram.
3. Timbal (Pb)
Timbal merupakan partikel polutan pada udara yang dapat meracuni melalui
pernafasan. Diperkirakan 20% dari kandungan timbal dalam tubuh total berasal dari udara;
dan Inhalasi timbal di kota besar mencapai 100 mikrogram/hari. Bayi dan anak-anak
mengalahkan timbal lebih banyak lagi karena kecepatan metabolitnya lebih tinggi dari
orang dewasa. Kontaminasi ikan oleh timbal dapat berasal dari perairan oleh industri
logam, atau timbunan logam yang berasal dari kapal tenggelam, dan pipa air Konsumsi
timbal di beberapa negara dilaporkan 0,15 mg/hari, USA 0.25 – 0.30/hari, dan Rumania 0.7
- 1.0 mg/hari. Kontaminasi juga dapat terjadi waktu proses yang menggunakan air yang
mengandung timbal. Logam ini dapat tertimbun di dalam tulang, hati dan ginjal. Konsumsi
timbal melalui makanan di daerah perindustrian berkisar antara 200 – 300 mikrogram per
hari.Makanan seperti hati dan ginjal merupakan sumber timbal yang perlu diperhatikan.
Konsumsi timbal melalui makanan mencapai 0,26 mg/hari dan dari minuman 0,02 mg/hari.
Pengeluaran timbal melalui kotoran, urin, keringat dan rambut adalah berturut-turut 0,175,
0,03 dan 0,09 mg/hari.
Penimbunan timbal dalam tulang mencakup hampir 90% dari total timbal di serap.
Parameter untuk menunjukkan adanya penyerapan timbal yang berlebihan adalah : 1) kadar
timbal darah, 360 mikrogram/ml pada anakanak, dan 600-800 mikrogram/ml pada orang
dewasa, 2) kadar timbal urin, keringat dan rambut berturut-turut adalah: 0,1750.3 dan 0,09
mg/hari. Keracunan timbal balik dengan kelesuan, anemia, gangguan waktu tidur, kolik dan
neuritis. Pada anak-anak, kercunan dapat menyebabkan ensefalopati, gangguan mental,
ginjal dan penglihatan
B. Risidu Pestisida
Pestisida biasanya digunakan sebagai racun serangga; namun pestisida dapat
membahayakan manusia melalui rantai makanan dan air minum dan tertimbun di dalam
tubuh.
1. Organokhlorin
Senyawa karbon yang mengandung khlor dan digunakan untuk pembasmi nyamuk
dan serangga. Karena sulit terurai, senyawa ini mungkin tertimbun dalam tubuh
manusia. Insektisida yang termasuk galongan ini adalah DDT, methoxikhlor, mirex
aldrin, lindane dll. Sampai sekarang hanya dua dari golongan ini yang digunakan, yaitu
toxafen dan methoxikhlor. Senyawa hidrokarbon yang mengandung khlor diketahui
dapat merusak sistem syaraf.
2. Senyawa Organofosfor
Insektisida golongan ini merupakan ester dari asam fosfat atau asam tiofosfat
dengan kejutan. ]Yang termasuk golongan ini adalah parathin, diazinon, disufolton dan
melathion yang merupakan jenis yang paling rendah daya racunnya terhadap mamalia
sehingga bersifat lebih selektif. Meskipun dalam bentuk senyawa ester, senyawa ini
mudah terurai, namun dapat merusak jaringan syaraf bila terakumulasi. Senyawa ini
juga dapat menghambat kerja enzim kholinestrase, yaitu enzim yang berfungsi
mengeliminasi senyawa asetilkolin yang mengstimulir urat syaraf. Akibat gangguan ini
terjadi asetilkolin yang merupakan gejala sesak nafas karena kontraksi bronkus,
pengeluaran lendir pada pernapasan, berliur, mata, kelelahan, lemah dan kejang.
3. Karbamat
Insektisida yang menggunakan senyawa ini sebagai bahan dasar adalah propoxur
(baygon), temik (aldicarb) dan sevin. Senyawa yang digunakan dalam bentuk asam
karbamat –N-metil. Sifat meracuni dari senyawa karbamat sama dengan senyawa
orgosforus, yaitu penghambatan kerja enzim kholinestase.
4. Fumigan
Fumigan merupakan gas yang digunakan untuk membasmi nematoda dalam tanah
dan melindungi biji-bijian pangan dari serangan hama. Kebanyakan dari zat yang
digunakan merupakan zat yang berbahaya sehingga dapat membahayakan bila terhirup.
Gas-gas yang digunakan meliputi akrilonitril, karbontetrakhlorida (CCL4), etilen-
dibromida, etilenoksida, hidrogensianida, formaldehida, dll. Karbontetrakhlorida
merupakn gas yang merusak jaringan hati, dan ginjal, tetapi dapat bersifat anestetik.
Bila terserap dalam darah, zat ini akan terbawa ke dalam hati dan diubah menjadi
senyawa radikal bebas oleh sistem enzim monooksigenase yang membutuhkan sitokrom
P-450. Enzim ini terdapat dalam retikulum endoplasma (dalam sel). Radikal bebas ini
dapat mengakibatkan peroksidasi lemak, yang berikatan secara kovalen dengan protein,
lipid, dan asam nukleat sehingga mengganggu fungsi masing-masing senyawa dan
mengakibatkan nekrosis hati.
5. Fungisida
Fungisida yang mengandung raksa sering digunakan untuk mengontrol cendawan,
sehingga kontaminasi fungisida ini dapat mengakibatkan keracunan seperti pada
pencemaran oleh raksa.
6. Herbisida
Komponen utama herbisida (racun alang-alang) adalah senyawa fenol seperti
dinitrofenol, dinitroortokresol dan pentakhlorofenol. Bahaya yang dapat ditimbulakan
oleh herbisida adalah pencemaran oleh 2, 3, 7, 8 tetrakhloro- dibenzodioxin (TCDD)
pada saat pembuatan herbisida tersebut yang sangat beracun. Gejala yang ditandai
dengan jerawatan, gangguan pencernaan, persendian yang sakit dan kehilangan
kehilangan.
C.Bahan tambahan kimia
Bahan tambahan kimia disebut juga aditif makanan, yaitu bahan yang sengaja
ditambahkan dalam produk pangan untuk : 1) memperbaiki nilai gizi, 2) memperpanjang
masa simpan dan 3) membantu proses pengolahan. Bahan-bahan tersebut meliputi bahan
pengawet, pemanis, penambah gizi, penambah rasa dan lain- lain.
1. Bahan pengawet
Sodium benzoat merupakan bahan pengawet yang termasuk aman (umumnya
dianggap aman, GRAS) karena tidak menimbulkan risiko akumulasi karena mamalia
memiliki sistem detoksifikasi yang efisien terhadap senyawa tersebut Namun begitu
penggunaan Sodium benzoat tetap dibatasi sampai 0.3% Paraben (ester alkil dari asam
phidroxibenzoat) banyak digunakan karena memiliki kisaran pH aktif yang lebih lebar
dari asam benzoat. Senyawa metil dan propil paraben termasuk dalam daftar GRAS,
dengan batas aman 0.1%. Asam propionat dalam tubuh juga mengalami metabolisme
sama dengan asam lemak; dan senyawa ini juga termasuk GRAS dengan batas
pemakaian aman 0.32%.
Senyawa sulfur dioksida dan sulfid merupakan bahan tambahan kimia yang
dugunakan untuk pemutih dan menginaktifkan enzim.Penggunaan lebih dari 500 ppm
pada bahan pangan menimbulkan rasa pahit sehingga menjadi batas
penggunaannya.Senyawa ini akhirnya menguap, dengan demikian jumlah yang
termakan lebih sedikit dari yang ditambahkan. Batas aman penggunaan zat ini adalah
350 ppm. Asam asetat yang umum digunakan untuk mengawetkan bahan pangan,
memiliki LD50 3300 mg/kg untuk tikus dan 500 mg/kg pada mencit. Nitrit dan nitrat
merupakan bahan tambahan kimia yang sering digunakan pada produk daging. Sodium
nitrat memiliki LD%) 200 mg/kg sedangkan sodium nitrit 330 mg/kg.
Dalam usus, nitrat dapat diubah menjadi nitrit yang bersifat toksik karena dapat
bereaksi dengan senyawasenyawa amin membentuk nitrosamin yang bersifat
karsinogenik. Batas aman penggunaan nitrat adalah 300 ppm dan nitrit 200 ppm. Gas
etilen dan propilen oksida merupakan bahan tambahan kimia yang dapat dihilangkan
dari produk dengan jalan penguapan. Meskipun gas etilen dan propilen oksida ini tidak
berbahaya pada manusia namun penggunaannya tetap dibatasi karena dapat merusak
zat-zat gizi, seperti riboflavin, pridoxin, niasin, asam folat, histidin dan methionin. Batas
aman penggunaan gas etilen dan propilen oksida ini adalah 300 ppm.
2. Antioksidan
Antioksidan sebagai bahan kimia yang ditujukan untuk menghambat atau mencegah
penengikan yang disebabkan oleh reaksi reaksi oksidasi asam- asam lemak tidak
jenuh.Penggunaan antioksidan sangat penting pada produk pangan yang banyak
mengandung lemak, khususnya asam lemak tidak jenuh. Antioksidan yang aman untuk
makanan meliputi: 1) BHT (butylated hydroxy-toluene), dengan batas aman 0.2% dari
kandungan total lemak, 2) BHA (butylated hydroxyanisole) , dengan batas aman 0.2% dari
kandungan total lemak, 3) Tokoferol, tidak dibatasi dan 4) Gum guaik, dengan batas aman
0,1%.