Anda di halaman 1dari 7

Materi 5

KOGNISI
(Bagian 1)

1. Inteligensi umum
Kognisi adalah istilah umum untuk seluruh proses mental yang mengubah masukan-
masukan dari indra menjadi pengetahuan. Termasuk dalam proses adalah persepsi dan
pemikiran rasional.
a.Arti inteligensi umum
Bukti psikometri menunjukkan adanya inteligensi umum (general intelligence,
disingkat g). Menurut Spearman (1927) inteligensi umum merupakan kapasitas bawaan sejak
lahir. Secara tradisional inteligensi umum dilihat sebagai karakteristik dari individu. Carroll
(1993) menyebut hirarki yang terdiri dari tiga strata. Stratum 1 terdiri dari kemampuan-
kemampuan sempit dan khusus; stratum 2 terdiri dari faktor-faktor kelompok; stratum 3
adalah inteligensi umum.
Penelitian oleh Jensen (1985) di AS dengan responden Amerika asal Afrika dan
Amerika asal Eropa menyimpulkan adanya perbedaan kapasitas intelektual kedua kelompok.
Karena temuan ini diinterpretasikan sebagai perbedaan ras, maka pendekatan psikometri
terhadap kompetensi kognitif kemudian memantik kontroversi di kalangan ilmuwan.
Tes kognitif yang dilakukan Humphreys (1985) terhadap para responden dari kelompok
Amerika Afrika dan Amerika Eropa memperlihatkan adanya perbedaan performans (kinerja).
Perbedaan itu disebabkan oleh faktor-faktor lingkungan yang keras (misalnya status
sosioekonomi yang rendah) yang memengaruhi semua individu, tanpa membedakan ras.
Vernon (1969) menemukan model hirarki yang menggabungkan inteligensi umum dan
faktor-faktor lain yang lebih spesifik. Irvine (1979) juga, dalam risetnya di Afrika,
menemukan bukti adanya inteligensi umum dan faktor-faktor khusus lain seperti reasoning
(penalaran), penalaran verbal, figural, matematis, dan konseptual. Analisis ini sesuai dengan
perbedaan yang dikemukakan Carroll. Maka secara umum tes-tes inteligensi memperlihatkan
struktur yang sama di negara-negara Barat dan non-Barat.
Pertanyaannya, apakah perbedaan skor pada tes merefleksikan perbedaan kapasitas
bawaan? Mengacu pada konsep Hebb (1949) yang membedakan Inteligensi A dan Inteligensi
B (inteligensi A adalah perlengkapan dan potensialitas genetik dari individu, sedangkan
inteligensi B adalah hasil perkembangannya melalui interaksi dengan lingkungan kultural),
Vernon (1979) memasukkan lagi inteligensi C, yakni performans individu waktu tes
inteligensi. Perbedaan antara inteligensi B dan C menunjukkan adanya peran kebudayaan
karena inteligensi yang dikembangkan (B) mungkin tidak dinilai secara tepat oleh tes
inteligensi, sehingga menghasilkan performans (C) yang tidak mewakili secara persis
lingkungan fisik. Berbagai faktor kultural seperti bahasa, konten item, motivasi, dan
kecepatan mungkin saja menyebabkan bias. Jadi, peneliti hanya mendapat data yang bicara
langsung pada inteligensi C. Hanya dengan menarik kesimpulan dari data, peneliti dapat
mengatakan sesuatu tentang inteligensi B. Tes-tes dan observasi yang bias akan
menghasilkan interpretasi yang salah pula. Apalagi kalau kesimpulan diperluas lagi ke
konsep inteligensi A.
b. Bukti psikometrik di luar inteligensi umum
Perbedaan lintas budaya tidak saja dapat dilihat dari skor tes kognitif. Flynn (1987)
misalnya mengumpulkan data skor tes inteligensi dari 14 negara, paling banyak dari negara-
negara Barat. Ada pula data dari pelatihan militer. Data militer itu mencakup semua anak
muda di sebuah negara. Ternyata di semua negara terjadi peningkatan IQ dari waktu ke
waktu. Menurut Flynn tes IQ tidak mengukur inteligensi sebagai kemampuan general, tapi
hanya punya hubungan lemah dengan kemampuan general, sebab itu mungkin sekali ada
faktor2 lain yang berperan, seperti pendidikan. Kesimpulan Flynn ini penting untuk riset
lintas budaya karena memperlihatkan bahwa performans rata-rata pada tes IQ pada sebuah
populasi sama sekali tidak stabil dan dapat berubah cukup dramatis dalam waktu singkat.
Contoh lain berasal dari studi yang dilakukan Van de Vijver tentang penalaran induktif
di Zambia, Turki, dan Belanda dengan anak-anak di dua tingkat akhir sekolah dasar dan dua
tingkat pertama sekolah menengah. Hasil studi ini menyimpulkan bahwa penalaran induktif
dan berbagai proses komponennya terdapat di semua populasi kultural. Perbedaan kuantitatif
pada tingkat skor mean tidak harus diinterpretasikan berdasarkan face value. Maka dia
menyimpulkan bahwa penalaran induktif merupakan aspek dari kognisi dengan komponen-
komponen serupa pada kelompok sekolah, paling kurang pada akhir sekolah dasar.
Dalam riset lain Van de Vijver (1997) ingin menjawab pertanyaan tentang hubungan
antara pendidikan dan performans, dengan menggunakan indeks (yakni kemakmuran)
berdasarkan pengeluaran pendidikan dan GNP. Dia menemukan hubungan positif antara
kemakmuran dan perbedaan performans pada kelompok2 kultural, dan juga dengan jumlah
tahun sekolah. Maka dia menyimpulkan bahwa perbedaan kemakmuran suatu negara akan
berdampak pada perbedaan performans tes mental. Jadi hubungan antara performans tes
kognitif dan sekolah dapat dijelaskan dengan dua hal: performans dapat dipengaruhi oleh
pengalaman pendidikan, dan hubungan itu dapat jadi artifak dari konten tes yang sama
dengan material sekolah. Kesimpulan ini sesuai dengan temuan tentang hubungan antara
sekolah dan performans tes kognitif.
Perbedaan kultural ditemukan dengan membandingkan inteligensi lintas budaya dan
intra-negara (kelompok lintas etnokultural). Vijver menemukan bahwa effect sizes (besarnya
perbedaan kelompok) lebih besar pada studi internasional daripada studi intra-nasional, dan
ini mungkin disebabkan oleh efek akulturasi dari kehidupan bersama dalam sebuah
masyarakat umum, dengan sistem sekolah yang kurang lebih umum. Vijver berkesimpulan
bahwa tugas-tugas kognitif sederhana memiliki karakteristik yang menyebabkan perbedaan
performans lintas negara. Maka dapat dispekulasi bahwa ini mencakup pengenalan stimuli,
prosedur respons dan situasi tes pada umumnya.
Temuan selanjutnya mendukung interpretasi tentang bias kultural, yakni tugas-tugas
Barat menunjukkan perbedaan lintas budaya yang lebih besar dari tugas-tugas non Barat yang
maju. Temuan Vijver mendukung keberatan dasar terhadap interpretasi rasial. Perbedaan2
kelompok dalam hal kemampuan bawaan hanya dapat disimpulkan jika kualitas lingkungan
asal kondusif bagi perkembangan intelektual, sama. Pandangan umum yang dianut adalah
bahwa perbedaan-perbedaan individual dalam inteligensi umum dan kemampuan kognitif
disebabkan oleh faktor-faktor genetis. Tapi ini tidak sama dengan mengatakan bahwa
perbedaan-perbedaan kelompok disebabkan (paling tidak sebagiannya) oleh ras. Proses
perkembangan kognitif dapat merefleksikan interaksi antara organisme dan lingkungan.
Sulitlah untuk mempertahankan bahwa kondisi sosial ekonomi dari orang Amerika Afrika di
AS tidak menguntungkan dibanding orang Amerika Eropa.
c. Pendekatan lain terhadap inteligensi umum
Jadi, sudah jelas bahwa ada perbedaan pendapat tentang interpretasi perbedaan lintas
budaya pada skor tes dengan orientasi psikometri. Ilmuwan lain berpendapat bahwa
inteligensi seperti diukur dengan tes-tes (Barat) tidak sama dengan inteligensi seperti
diartikan pada masyarakat lain. Argumen-argumen lain seperti ini menyangkut populasi yang
tidak sekolah, misalnya di berbagai wilayah di Afrika (Segall et al. 1999).
Pendekatan yang sangat berbeda dengan pendekatan absolutis seperti itu berasal dari
perspektif pengetahuan pribumi (indigenous cognition) yang mengakui karakteristik universal
dari kognisi tapi mengakui adanya perbedaan dalam kehidupan kognisi dari kelompok
kultural yang sesuai konteks (lingkungan) spesifik tertentu. Pendekatan ini berasal dari
etnosains. Jadi, jelaslah bahwa memang sulit sekali menilai konsep inteligensi orang Cree
dengan tes-tes IQ standar. Jika inteligensi Cree diukur dengan tes-tes Cree, akan sulit untuk
membuat perbandingan antara hasilnya dan inteligensi kelompok-kelompok lain yang konsep
inteligensinya tidak sama dengan konsep Cree. Pendekatan psikometri secara keseluruhan
memang kaya dengan data tapi teorinya lemah. Kalau performans pada tes secara umum
dihubungkan satu sama lain, dan jika ada satu kapasitas kognisi yang mendasari performans,
faktor-faktor apa saja yang biasanya dianggap sebagai inteligensi yang menyebabkan
kapasitas tersebut? Ada ilmuwan berpendapat bahwa kecepatan dan efisiensi jaringan neural
merupakan variabel kunci, sedangkan ilmuwan lain menekankan pengalaman kultural.
McShane dan Berry (1988) misalnya menambahkan deprivasi individual (kemiskinan,
kurang nutrisi, dan kesehatan), disorganisasi kultural (deprivasi tingkat kelompok dimana
seluruh kelompok mengalami dekulturasi dan marginalisasi), dan disrupsi (uprooting) yang
mengakibatkan maladjustment dan hilangnya kemampuan coping.
Secara umum diakui bahwa proses-proses dan tingkat-tingkat kompetensi terdapat pada
berbagai kelompok kultural. Perbedaan performans disebabkan oleh perbedaan kultural atau
perbedaan lain dalam mengekspresikan kualitas-kualitas tersebut. Pandangan ini sesuai
dengan perspektif universalisme.
d. Pemrosesan Informasi
Pemrosesan informasi didasarkan pada konsep bahwa tugas-tugas kognitif dapat
dipecah-pecah menjadi komponen-komponen pemrosesan informasi dasar. Jadi, tugas dilihat
berdasarkan elemen-elemen atau langkah-langkah kognitif yang terjadi dalam problem
solving. Langkah-langkah itu misalnya encoding, inferensi, mapping, dan respons. Dengan
semakin kompleksnya proses mental, semakin banyak komponen ditambahkan, sehingga
lebih banyak waktu dibutuhkan untuk melaksanakan suatu tugas.
Untuk tugas dengan satu stimulus, waktu untuk respons kira-kira sama pada populasi
yang tidak sekolah dan yang sekolah. Ini menunjukkan bahwa ada perbedaan lintas budaya
dalam pemrosesan informasi di tingkat dasar. Untuk tugas-tugas yang agak kompleks, yakni
tugas untuk pilihan dimana para responden harus menentukan stimuli mana yang dihadirkan,
ditemukan adanya perbedaan lintas budaya, seperti di Afrika Selatan. Semakin kompleks
stimuli yang dihadirkan, semakin besar perbedaannya. Demikian pula waktu untuk
merespons pun sama. Makin banyak jumlah stimuli, waktu untuk respons juga makin lama
karena bekerjanya fungsi logaritmik pada sejumlah stimuli, atau dikenal dengan Hukum Hick
(Hick’s Law).
Kalau ada latihan untuk suatu tugas, maka waktu untuk merespons berkurang. Waktu
reaksi untuk tugas-tugas sederhana tidak berkorelasi dengan skor IQ, meskipun korelasinya
tidak tinggi. Kalau tugas makin kompleks, korelasinya bertambah. Ini menunjukkan bahwa
kecepatan merupakan komponen inteligensi, selain faktor pengalaman. Pengenalan
(familiarity) tidak saja penting untuk material stimulus, tapi juga untuk prosedur respons.
Dalam risetnya, Daregowski dan Serpell (1971) meminta anak-anak sekolah dari Skotlandia
dan Zambia untuk memilih model-model, foto-foto berwarna, atau foto-foto hitam putih
mobil dan hewan. Dalam memilih model, tidak ditemukan perbedaan pada kedua kelompok
itu, tapi anak-anak Zambia sedikit lebih lambat dalam memilih gambar.
Dalam penelitian terhadap responden-responden asal Iran dan Belanda, Sonke et al.
memberikan tiga tugas visual selama tiga hari berturut-turut, yang terdiri dari gambar-
gambar geometris sederhana yang kompleksitas kognitifnya berbeda-beda. Para peneliti ingin
mengetahui pengaruh pengalaman terhadap kognisi, dengan dua cara, yaitu dengan
mengerjakan salah satu tugas, dan dengan tugas isomorfis dengan huruf Arab yang mudah
dibaca sebagai stimulus, yang tentu saja lebih dikenal oleh responden-responden Iran.
Hasilnya, tugas dan lamanya (hari) ternyata sama untuk kedua kelompok, hanya saja
responden Belanda menjawab sedikit lebih cepat untuk ketiga tugas yang diberikan dengan
stimuli geometris. Sebaliknya untuk huruf Arab, responden-responden asal Iran menjawab
lebih cepat. Studi ini dengan jelas menunjukkan bahwa ada kesamaan pemrosesan kognitif,
paling kurang pada tugas-tugas sederhana. Temuan ini juga menunjukkan betapa sulitnya
membuat perbandingan lintas budaya dengan menggunakan tingkat skor karena walaupun
tugas-tugas memiliki tingkat kompleksitas stimulus yang rendah, performans lintas budaya
dapat disebabkan oleh perbedaan pengalaman dengan stimulus.
e. Faktor-faktor kultural dalam memori
Wagner (1993), dalam risetnya tentang memori lintas budaya, membedakan dua aspek
utama dari memori, yaitu aspek struktural dan proses kontrol. Aspek struktural terdiri dari
tempat penyimpanan (memory store) jangka pendek dan jangka panjang. Tempat penyimpan
ingatan jangka pendek memiliki kapasitas terbatas untuk informasi, sedangkan penyimpan
jangka panjang memiliki kapasitas tak terbatas. Lupa adalah karakteristik struktural dari
memori,meskipun jumlah kelupaan lebih tinggi pada ingatan jangka pendek dibanding
ingatan jangka panjang.
Proses kontrol merupakan strategi yang digunakan dalam memperoleh informasi dan
mencari keterangan. Pada studi-studi di Barat biasanya ditemukan bahwa stimuli-stimuli
diingat dalam kluster. Ditemukan juga bahwa stimuli di awal rangkaian diingat lebih baik
sebab subyek menghafal selama munculnya stimulus. Selain itu, daya ingat nampaknya lebih
baik untuk stimuli terakhir dalam rangkaian (recency effect). Nampaknya bentuk struktural
memori sudah tidak berubah di awal kehidupan. Meningkatnya performans untuk tugas
mengingat dan mengenal ditemukan antara usia 4-14 tahun, dan disebabkan oleh
perkembangan strategi kontrol yang lebih baik.
Menurut Wagner, bentuk struktural memori tidak terlalu dipengaruhi oleh faktor
budaya. Kemampuan menyimpan jangka pendek memang ada batasnya pada semua
kebudayaan, sedangkan tingkat kelupaan juga relatif bervariasi. Sebaliknya proses-proses
kontrol lebih dipengaruhi oleh budaya.
Riset tentang ini dilakukan misalnya oleh Cole et al. (1974) terhadap subyek dari
Kpelle dan AS dalam hal ingatan dengan serangkaian kata yang diberikan sebanyak lima kali.
Ternyata subyek-subyek asal Kpelle lebih lamban dibanding subyek-subyek dari AS. Orang
Kpelle nampaknya tidak terbiasa menghafal (rote learning). Dalam eksperimen lebih lanjut
ditemukan bahwa sekolah beberapa tahun tidak berdampak besar terhadap ingatan, tapi
sekolah lebih lama meningkatkan performans ingatan. Bagi mereka yang tidak sekolah,
tingkat ingatan akan lebih kuat kalau mereka dapat menerapkan kluster untuk tugas. Ini
terjadi secara spontan bila tugas untuk mengingat terdapat dalam cerita.
Wagner kemudian melakukan dua eksperimen dengan berbagai kelompok di Maroko
dengan memperluas hasil riset tentang orang Kpelle. Dia menemukan bahwa sekolah dan
urbanisasi membuat skor ingatan makin tinggi. Dalam riset lain yang dilakukan Jahoda
(1981) di Ghana juga ditemukan dampak sekolah terhadap ingatan. Dia menemukan bahwa
subyek-subyek yang ikut sekolah mendapat skor ingatan yang lebih tinggi.
Rogogg dan Waddell (1982) menegaskan bahwa jenis tugas itu penting. Menurut
mereka, subyek2 Barat (orang Eropa) yang bersekolah berpenampilan lebih baik pada stimuli
terpisah yang tidak terorganisir dalam konteks yang bermakna. Dalam sebuah riset kecil
dimana anak-anak Maya dari Guatemala harus menempatkan benda-benda di tempat yang
sama, mereka ternyata tidak mendapat skor rendah dibanding anak-anak AS.
Memori juga berimplikasi untuk menjelaskan perbedaan besar pada skill matematika
antara, di satu pihak anak-anak Cina dan Jepang, dan di pihak lain anak-anak AS, dalam riset
yang dilakukan oleh Stevenson et al. Faktor paling penting yang membedakan skill
matematika adalah lamanya waktu yang dipakai untuk mengerjakan tugas matematika. Miller
dan Stigler (1987) berpendapat bahwa struktur kata-kata bilangan di kebanyakan bahasa di
Asia, seperti ten one dan bukannya eleven, membuat orang lebih mudah menghitung. Stigler,
Lee, dan Stevenson (1986) menemukan bahwa anak-anak kecil Cina dapat menghafal angka
sampai banyak digit. Mengapa? Karena ada perbedaan waktu yang dibutuhkan untuk
mengucapkan kata-kata bilangan pada suatu bahasa.
Hoosain dan Salili (1988) melaporkan adanya tingkat artikulasi lebih cepat untuk digit
dalam bahasa Cina (bukan dalam bahasa Inggris), dan lebih rendah pada orang Welsh.
Perbedaan itu disebabkan oleh panjang pendeknya kata dari kata bilangan. Hubungan yang
jelas antara jumlah rata-rata suku kata setiap bilangan di satu pihak, dan kecepatan membaca
angka digit, serta angka digit yang dapat diingat (digit span) di pihak lain, telah ditemukan
oleh Naveh-Benjamin dan Ayres (1986) dalam sebuah studi komparatif dengan sampel-
sampel yang berbahasa Inggris, Spanyol, Ibrani, dan Arab.
Temuan-temuan ini dapat dijelaskan dengan teori Baddeley (1986) yang mengatakan
bahwa kemampuan menyimpan dari memori (memory-storage) jangka pendek berdurasi
paling lama dua detik, dan sesudah itu jejak memori harus diperbarui lagi. Jangka waktu
ingatan (memory span) ternyata lebih lama untuk kata-kata singkat, sedangkan jangka waktu
ingatan untuk kata-kata yang panjang lebih pendek. Tapi para pembaca cepat (fast readers)
yang dapat mengulangi lebih banyak kata pada waktu tertentu, juga memiliki memory span
yang lebih tinggi. Jadi, menurut teori Baddeley, bilangan-bilangan singkat, seperti dalam
aksara Cina, memberikan keuntungan mnemonic (membantu ingatan agar tidak cepat lupa).

Anda mungkin juga menyukai