DEFINISI
Diabetes melitus merupakan penyakit kronis yang dapat disebabkan oleh genetik
atau terjadi defisiensi produksi insulin oleh sel-sel beta langerhans kelenjar pankreas,
atau disebabkan oleh kurangnya respon sel-sel tubuh terhadap insulin. Hal ini ditandai
dengan peningkatan kadar glukosa darah yang nantinya akan merusak sistem tubuh
khususnya pembuluh darah dan saraf. Diabetes Melitus diklasifikasikan menjadi dua
tipe, yaitu “Insulin Dependent Diabetes Melitus” (IDDM) disebut juga Diabetes Melitus
tipe 1, dan “Non-Insulin-Dependent Diabetes Melitus” (NIDDM) yang disebut juga
Diabetes Melitus tipe 2. DM tipe 2 merupakan DM yang lebih umum diderita. Penderita
DM tipe 2 mencapai 90-95% dari keseluruhan populasi penderita diabetes, umumnya
berusia diatas 45 tahun dan tidak jarang ditemukan di kalangan remaja dan anak-anak
(Direktorat Bina Farmasi Komunitas dan Klinik, 2005).
Insulin
Insulin merupakan hormon yang disekresikan oleh sel B pankreas yang memiliki fungsi
mengatur kadar glukosa darah. Insulin bekerja melalui mengaktifasi uptake glukosa
seluler dan meregulasi metabolisme dari karbohidrat, lemak dan protein.
Signaling Insulin
a. Resistensi Insulin
Sekresi dari hormon-hormon kontrainsulin dapat menyebabkan resisten pada
insulin. Mekanisme yang mungkin sebagai penyebab resistensi insulin antara lain
mekanisme down-regulasi, defisiensi atau polimorfisme genetic dari fosforilasi
tyrosine reseptor insulin, protein IRS atau PIP-3 kinase, atau abnormalitas fungsi
GLUT 4 yang disebabkan berbagai hal (Wilcox, 2005).
Gambar 3. Resistensi insulin
Gambar atas :
Resistensi Insulin juga dapat disebabkan karena adanya peningkatan konsentrasi Asam
lemak. Konsentrasi asam lemak yang tinggi akan meningkatkan pembentukan dari Acetyl
CoA. Pada jalur yang lain Acetyl CoA dibentuk dari Pyruvate yang berasal dari Glukosa.
Karena sudah tersedia Acetyl CoA dari asam lemak maka glukosa tidak di metabolisme
menjadi piruvat hasilnya glukosa intrasel akan meningkat dan uptake glukosa di otot akan
berkurang (Shulman,2000).
Gambar bawah
Peningkatan asam lemak akan meningkatkan metabolitnya seperti diacylglycerol, fatty acyl
CoA, and ceramides. Metabolit ini mengaktifkan serine/threonin kinase yang memacu
fosforilasi sisi serine/threonin di IRS sehingga akan menurunkan aktifasi dari PI 3 Kinase
(karena tidak melewati tirosin kinase) akibatnya uptake glukosa akan menurun dan seluruh
insulin signaling akan terganggu (Shulman,2000).
b. Disfungsi Sel β
Disfungsi sel β pada diabetes tipe 2 menyebabkan ketidakmampuan sel-sel
ini beradaptasi terhadap kebutuhan jangka panjang resistensi insulin perifer dan
peningkatan sekresi insulin. Pada keadaan resistensi insulin, sekresi insulin mula-
mula meningkat karena adanya peningkatan kadar glukosa. Namun karena insulin
yang disekresikan berlebih (hiperinsulinemia), sel β merespons untuk mengurangi
produksi insulin. Respon pengurangan produksi insulin yang terjadi dalam jangka
waktu yang panjang menyebabkan terjadinya penurunan fungsi sel β (Robbins &
Cotran, 2008)
B. GEJALA KLINIS
Baik DM 1 maupun DM 2 memiliki gejla yang mirip, tetapi gejala DM 1 lebih terlihat
jelas, artinya gejala DM 1 terdiagnosis lebih cepat daripada DM 2. Gejala DM tipe 2
terbilang ringan dan pada beberapa orang tidak terdapat gejala (asimtomatis). Beberapa
contoh gejalanya adalah
Polifagi Rasa terbakar pada kaki dan tangan
Polidipsi Gemuk
Poliuria Perubahan mood
Kelelahan Sakit kepala
Penglihatan kabur Disfungsi ereksi
Infeksi pada kulit seperti jamur Gemetar
Gambar 4. Gejala diabetes mellitus
C. KOMPLIKASI
Komplikasi diabetes mellitus tipe 2 dibedakan menjadi 2, yaitu:
1. Komplikasi Akuthipoglikemia, diabetic ketoasidosis
2. Komplikasi kronis
a) Makrovaskuler komplikasi yang mengenai pembuluh darah arteri yang
lebih besar, sehingga menyebabkan atherosklerosis
b) Mikrovaskulerkomplikasi pada pembuluh darah kecil
Komplikasi akut:
- Hipoglikemiakeadaan kadar glukosa yang rendah
- Diabetic ketoasidosispeningkatan kadar keton dan asam dalam darah yang terjadi
ketika gula darah tidak terkontrol
Kompikasi kronik:
- Komplikasi makrovaskuler meliputi:
a) Otak TIA = penyempitan pembuluh darah sesaat
CVA = stroke
Demantia = lupa ingatan/pikun
b) Jantung ACS = acute coronary syndrom
CHF = cronic heart failure
c) PVD peripheral vascular disease
- Komplikasi mikrovaskuler meliputi:
a) MataDiabetic retinopathy = kerusakan mata seperti katarak dan glukoma
atau meningkatnya tekanan pada bola mata
b) Renal Diabetic nephropathy = Gangguanpadaginjal
c) Diabetic neuropathyGangguan pada system syaraf
D. PENATALAKSANAAN
1. Tujuan Terapi
a. Menjaga kadar glukosa dalam kadar normal
b. Mengurangi resiko komplikasi mikrovaskular (retinopati, nefropati, neuropati)
dan makrovaskular.
c. Meminimalisir faktor resiko kardiovaskular (obesitas, hipertensi, rokok,
hiperlipidemia).
d. Meningkatkan kualitas dan kuantitas hidup. Serta memberi edukasi intensif
untuk meningkatkan pemahaman pasien tentang penyakit diabetes mellitus.
Pengetahuan dan pemahaman yang baik dapat mempengaruhi outcome
therapy.
Target Glikemik
A1C <7.0% (Normal 4-6%)
Preprandial plasma glucose 90-130 mg/dL (5.0-7.2 mmol/L)
(blood glucose equivalent) 80-120 mg/dL (4.2-6.7 mmol/L)
Postprandial plasma glucose <180 mg/dL (<10.0 mmol/L)
(blood glucose equivalent) <160 mg/dL (<8.9 mmol/L)
Tekanan Darah <130/80 mmHg
Lipid
LDL <100 mg/dL (<2.6 mol/L)
Trigliseride <150 mg/dL (<1.7 mmol/L)
HDL
- Men >40 mg/dL
- Women >50 mg/dL
(Kimble, 2005)
3. TERAPI FARMAKOLOGI
Apabila penatalaksanaan terapi tanpa obat (pengaturan diet dan olah raga)
belum berhasil mengendalikan kadar glukosa darah penderita, maka perlu dilakukan
langkah berikutnya berupa penatalaksanaan terapi obat, baik dalam bentuk terapi
obat hipoglikemik oral, terapi insulin, atau kombinasi keduanya.
3.1. Obat Hipoglikemik Oral
Obat-obat hipoglikemik oral terutama ditujukan untuk membantu
penanganan pasien DM Tipe II. Pemilihan obat hipoglikemik oral yang tepat sangat
menentukan keberhasilan terapi diabetes. Bergantung pada tingkat keparahan
penyakit dan kondisi pasien, farmakoterapi hipoglikemik oral dapat dilakukan
dengan menggunakan satu jenis obat atau kombinasi dari dua jenis obat. Pemilihan
dan penentuan rejimen hipoglikemik yang digunakan harus mempertimbangkan
tingkat keparahan diabetes (tingkat glikemia) serta kondisi kesehatan pasien secara
umum termasuk penyakit-penyakit lain dan komplikasi yang ada.
1. Obat-obat yang meningkatkan sekresi insulin, meliputi obat hipoglikemik oral golongan
sulfonilurea dan glinida (meglitinida dan turunan fenilalanin).
a. Golongan Sulfonilurea
Sulfonilurea merupakan obat hipoglikemik oral yang paling dahulu ditemukan.
Sampai beberapa tahun yang lalu, dapat dikatakan hampir semua obat hipoglikemik
oral merupakan golongan sulfonilurea. Obat hipoglikemik oral golongan sulfonilurea
merupakan obat pilihan (drug of choice) untuk penderita diabetes dewasa baru dengan
berat badan normal dan kurang serta tidak pernah mengalami ketoasidosis sebelumnya.
Senyawa-senyawa sulfonilurea sebaiknya tidak diberikan pada penderita gangguan hati,
ginjal dan tiroid.
Obat-obat kelompok ini bekerja merangsang sekresi insulin di kelenjar pankreas,
oleh sebab itu hanya efektif apabila sel-sel β Langerhans pankreas masih dapat
berproduksi. Penurunan kadar glukosa darah yang terjadi setelah pemberian senyawa-
senyawa sulfonilurea disebabkan oleh perangsangan sekresi insulin oleh kelenjar
pankreas. Sifat perangsangan ini berbeda dengan perangsangan oleh glukosa, karena
ternyata pada saat glukosa (atau kondisi hiperglikemia) gagal merangsang sekresi
insulin, senyawa-senyawa obat ini masih mampu meningkatkan sekresi insulin. Oleh
sebab itu, obat-obat golongan sulfonilurea sangat bermanfaat untuk penderita diabetes
yang kelenjar pankreasnya masih mampu memproduksi insulin, tetapi karena sesuatu
hal terhambat sekresinya. Pada penderita dengan kerusakan sel-sel β Langerhans
kelenjar pankreas, pemberian obat-obat hipoglikemik oral golongan sulfonilurea tidak
bermanfaat. Pada dosis tinggi, sulfonilurea menghambat degradasi insulin oleh hati.
Obat hipoglikemik oral golongan sulfonilurea yang saat ini beredar antara lain
gliburida (glibenklamida), glipizida, glikazida, glimepirida, dan glikuidon.
Tabel 3. Golongan Sulfonilurea
b. Golongan Meglitinidaq dan Turunan Fenilalanin
Obat-obat hipoglikemik oral golongan glinida ini merupakan obat
hipoglikemik generasi baru yang cara kerjanya mirip dengan golongan sulfonylurea.
Kedua golongan senyawa hipoglikemik oral ini bekerja meningkatkan sintesis dan
sekresi insulin oleh kelenjar pankreas. Umumnya senyawa obat hipoglikemik
golongan meglitinida dan turunan fenilalanin ini dipakai dalam bentuk kombinasi
dengan obat-obat antidiabetik oral lainnya. Obat golongan ini kurang poten jika
dibandingkan sulfoniluera, namun aksinya lebih cepat.
a. Golongan Biguanides
Obat ini mempunyai efek penurunan kadar glukosa darah melalui:
- Penurunan glukoneogenesis di hati dan ginjal
- Perlambatan absorpsi glukosa dari saluran cerna dengan peningkatan konversi
glukosa menjadi laktat oleh enterosit.
- Stimulasi langsung glikolisis di jaringan dengan peningkatan bersihan glukosa
dari darah.
- Penurunan kadar glukagon plasma. (Katzung, 2008).
Senyawa-senyawa golongan biguanida tidak merangsang sekresi insulin, dan hampir
tidak pernah menyebabkan hipoglikemia.
Satu-satunya senyawa biguanida yang masih dipakai sebagai obat hipoglikemik oral
saat ini adalah metformin. Metformin masih banyak dipakai di beberapa negara
termasuk Indonesia, karena frekuensi terjadinya asidosis laktat cukup sedikit asal
dosis tidak melebihi 1700 mg/hari dan tidak ada gangguan fungsi ginjal dan hati.
Bekerja menurunkan kadar glukosa darah dengan memperbaiki transport glukosa ke
dalam sel-sel otot. Obat ini dapat memperbaiki uptake glukosa sampai sebesar 10-
40%. Menurunkan produksi glukosa hati dengan jalan mengurangi glikogenolisis dan
glukoneogenesis.
b. Golongan Tiazolidindion
Senyawa golongan tiazolidindion bekerja meningkatkan kepekaan tubuh terhadap
insulin dengan jalan berikatan dengan PPARγ (peroxisome proliferator activated
receptor-gamma), suatu faktor transkripsinuklear yang penting pada diferensiasi sel
lemak dan metabolisme asam lemak. Agonis PPARγ mengurangi resistensi insulin
pada perifer (membuat otot dan lemak sensitive terhadap insulin) dan kemungkinan di
liver. Insulin harus ada dalam jumlah yang signifikan sehingga aksi ini bisa terjadi.
Agen-agen ini umumnya menurunkan trigliserida dan meningkatkan HDL-C dan
LDL-C juga meningkat. Senyawa-senyawa TZD juga menurunkan kecepatan
glukoneogenesis.
Tabel 6. Golongan Thiazolidindion
c. Inhibitor α-glukosidase
Inhibitor katabolisme karbohidrat yang bekerja menghambat absorpsi glukosa dan
umum digunakan untuk mengendalikan hiperglikemia post-prandial (post-meal
hyperglycemia), disebut juga “starch-blocker”.
Senyawa-senyawa inhibitor α-glukosidase bekerja menghambat enzim alfa
glukosidase yang terdapat pada dinding usus halus. Enzim-enzim α-glukosidase
(maltase, isomaltase, glukomaltase dan sukrase) berfungsi untuk menghidrolisis
oligosakarida, pada dinding usus halus. Inhibisi kerja enzim ini secara efektif dapat
mengurangi pencernaan karbohidrat kompleks dan absorbsinya, sehingga dapat
mengurangi peningkatan kadar glukosa post prandial pada penderita diabetes.
Senyawa inhibitor α-glukosidase juga menghambat enzim α-amilase pankreas yang
bekerja menghidrolisis polisakarida di dalam lumen usus halus. Obat ini efektif bagi
penderita dengan diet tinggi karbohidrat dan kadar glukosa plasma puasa kurang dari
180 mg/dl.
Obat ini hanya mempengaruhi kadar glukosa darah pada waktu makan dan tidak
mempengaruhi kadar glukosa darah setelah itu.
Tabel 7. Golongan α-glukosidase inhibitor
Apabila pasien membutuhkan terapi injeksi insulin, maka edukasi dan pemberian
motivasi pada pasien sangat dibutuhkan karena kebanyakan pasien merasa takut bila
memperoleh terapi injeksi insulin. Pemberian terapi dengan insulin dilakukan dengan titrasi
dosis sesuai dengan kadar gula darah atau nilai HbA1C pasien. Pemeriksaan harian gula
darah pasien juga sangat diperlukan pada tahapan ini sehingga dapat diketahui dosis yang
sesuai. Apabila dosis telah stabil maka perlu dilakukan peninjauan ulang terhadap dosis yang
digunakan.
Terapi kombinasi 3 obat dilakukan dengan penambahan terapi kombinasi 2 obat
dengan OHO golongan lain atau insulin (basal). Adapun pemilihan kombinasi obat dalam
manajemen terapi ini disesuaikan dengan kerja obat dan diharapkan kombinasi obat dapat
bersifat komplementer sehingga dapat mencapai target terapi. Selain itu perlu diperhatikan
juga asas manfaat resiko dari pemilihan kombinasi tersebut.
Terapi kombinasi 3 obat ini pun dipantau selama 3-6 bulan. Jika setelah masa itu
belum mampu mencapai nilai HbA1C sesuai target yang diharapkan, maka pertimbangkan
pemberian terapi insulin multiple daily doses (terapi “basal-bolus”) untuk memperoleh hasil
terapi yang efektif.