Anda di halaman 1dari 21

A.

DEFINISI

Diabetes melitus merupakan penyakit kronis yang dapat disebabkan oleh genetik
atau terjadi defisiensi produksi insulin oleh sel-sel beta langerhans kelenjar pankreas,
atau disebabkan oleh kurangnya respon sel-sel tubuh terhadap insulin. Hal ini ditandai
dengan peningkatan kadar glukosa darah yang nantinya akan merusak sistem tubuh
khususnya pembuluh darah dan saraf. Diabetes Melitus diklasifikasikan menjadi dua
tipe, yaitu “Insulin Dependent Diabetes Melitus” (IDDM) disebut juga Diabetes Melitus
tipe 1, dan “Non-Insulin-Dependent Diabetes Melitus” (NIDDM) yang disebut juga
Diabetes Melitus tipe 2. DM tipe 2 merupakan DM yang lebih umum diderita. Penderita
DM tipe 2 mencapai 90-95% dari keseluruhan populasi penderita diabetes, umumnya
berusia diatas 45 tahun dan tidak jarang ditemukan di kalangan remaja dan anak-anak
(Direktorat Bina Farmasi Komunitas dan Klinik, 2005).

(Direktorat Bina Farmasi Komunitas dan Klinik, 2005).

A. ETIOLOGI DAN PATOFISIOLOGI


Etiologi DM tipe 2 merupakan multifaktor. Faktor genetik dan pengaruh
lingkungan merupakan faktor yang sering menyebabkan terjadinya DM tipe 2, antara lain
obesitas, diet tinggi lemak dan rendah serat, serta kurangnya aktifitas fisik. Berbeda
dengan DM tipe 1, pada penderita DM tipe 2 terutama pada tahap awal, umumnya kadar
insulin di dalam darahnya cukup, disamping kadar gula darah yang juga tinggi. Awal
patofisiologi DM tipe 2 bukan disebabkan karena kurangnya sekresi insulin, tetapi
karena sel-sel sasaran insulin gagal untuk merespon insulin secara normal. Disamping
resistensi insulin, penderita DM tipe 2 juga mengalami gangguan sekresi insulin dan
produksi glukosa hepatik yang berlebihan. (Direktorat Bina Farmasi Komunitas dan
Klinik, 2005).

Insulin
Insulin merupakan hormon yang disekresikan oleh sel B pankreas yang memiliki fungsi
mengatur kadar glukosa darah. Insulin bekerja melalui mengaktifasi uptake glukosa
seluler dan meregulasi metabolisme dari karbohidrat, lemak dan protein.

Signaling Insulin

Gambar 1. Signalling insulin

Insulin sebelum memperantarai dalam pengaturan glukosa darah, insulin harus


berikatan terlebih dahulu dengan reseptornya. Reseptor insulin terdiri dari subunit 2 α dan 2
β, yang dihubungkan dengan ikatan disulfida dan berlokasi di membran sel. Insulin akan
berikatan pada sisi sub unit α di membran sel dan membentuk ikatan ATP. Ikatan ATP akan
memfosforilasi IRS melalui enzim tyrosin kinase. IRS yang terfosforilasi akan mengikat
enzim penting seperti phosphatidylinositol-3-kinase (PI 3-kinase). PI 3-kinase inilah yang
akan memediasi uptake glukosa darah, sintesis glikogen, dll. (Wilcox, 2005).
Kerja insulin didalam Tubuh dipengaruhi oleh hormon lain seperti GH (Growth
Hormon) dan IGF-1 membantu proses metabolisme pada saat makan. Hormon
kontraregulator insulin seperti glukagon, glukokortikoid dan katekolamin yang membantu
proses metabolisme saat puasa. Glukagon berfungsi untuk glikogenolisis, glukoneogenesis
dan ketogenesis. Glukokortikoid menyebabkan katabolisme otot, glukoneogenesis, dan
lipolisis.
Patogenesis Diabetes Melitus Tipe 2 disebabkan oleh dua hal yaitu resistensi insulin
dan disfungsi sel β.

Gambar 2. Patogenesis diabetes mellitus tipe 2

a. Resistensi Insulin
Sekresi dari hormon-hormon kontrainsulin dapat menyebabkan resisten pada
insulin. Mekanisme yang mungkin sebagai penyebab resistensi insulin antara lain
mekanisme down-regulasi, defisiensi atau polimorfisme genetic dari fosforilasi
tyrosine reseptor insulin, protein IRS atau PIP-3 kinase, atau abnormalitas fungsi
GLUT 4 yang disebabkan berbagai hal (Wilcox, 2005).
Gambar 3. Resistensi insulin
Gambar atas :
Resistensi Insulin juga dapat disebabkan karena adanya peningkatan konsentrasi Asam
lemak. Konsentrasi asam lemak yang tinggi akan meningkatkan pembentukan dari Acetyl
CoA. Pada jalur yang lain Acetyl CoA dibentuk dari Pyruvate yang berasal dari Glukosa.
Karena sudah tersedia Acetyl CoA dari asam lemak maka glukosa tidak di metabolisme
menjadi piruvat hasilnya glukosa intrasel akan meningkat dan uptake glukosa di otot akan
berkurang (Shulman,2000).

Gambar bawah
Peningkatan asam lemak akan meningkatkan metabolitnya seperti diacylglycerol, fatty acyl
CoA, and ceramides. Metabolit ini mengaktifkan serine/threonin kinase yang memacu
fosforilasi sisi serine/threonin di IRS sehingga akan menurunkan aktifasi dari PI 3 Kinase
(karena tidak melewati tirosin kinase) akibatnya uptake glukosa akan menurun dan seluruh
insulin signaling akan terganggu (Shulman,2000).
b. Disfungsi Sel β
Disfungsi sel β pada diabetes tipe 2 menyebabkan ketidakmampuan sel-sel
ini beradaptasi terhadap kebutuhan jangka panjang resistensi insulin perifer dan
peningkatan sekresi insulin. Pada keadaan resistensi insulin, sekresi insulin mula-
mula meningkat karena adanya peningkatan kadar glukosa. Namun karena insulin
yang disekresikan berlebih (hiperinsulinemia), sel β merespons untuk mengurangi
produksi insulin. Respon pengurangan produksi insulin yang terjadi dalam jangka
waktu yang panjang menyebabkan terjadinya penurunan fungsi sel β (Robbins &
Cotran, 2008)

B. GEJALA KLINIS

Tabel 1. Perbedaan diabetes mellitus tipe 1 dan tipe 2

Baik DM 1 maupun DM 2 memiliki gejla yang mirip, tetapi gejala DM 1 lebih terlihat
jelas, artinya gejala DM 1 terdiagnosis lebih cepat daripada DM 2. Gejala DM tipe 2
terbilang ringan dan pada beberapa orang tidak terdapat gejala (asimtomatis). Beberapa
contoh gejalanya adalah
 Polifagi  Rasa terbakar pada kaki dan tangan
 Polidipsi  Gemuk
 Poliuria  Perubahan mood
 Kelelahan  Sakit kepala
 Penglihatan kabur  Disfungsi ereksi
 Infeksi pada kulit seperti jamur  Gemetar
Gambar 4. Gejala diabetes mellitus

C. KOMPLIKASI
Komplikasi diabetes mellitus tipe 2 dibedakan menjadi 2, yaitu:
1. Komplikasi Akuthipoglikemia, diabetic ketoasidosis
2. Komplikasi kronis
a) Makrovaskuler  komplikasi yang mengenai pembuluh darah arteri yang
lebih besar, sehingga menyebabkan atherosklerosis
b) Mikrovaskulerkomplikasi pada pembuluh darah kecil

Komplikasi akut:
- Hipoglikemiakeadaan kadar glukosa yang rendah
- Diabetic ketoasidosispeningkatan kadar keton dan asam dalam darah yang terjadi
ketika gula darah tidak terkontrol

Kompikasi kronik:
- Komplikasi makrovaskuler meliputi:
a) Otak  TIA = penyempitan pembuluh darah sesaat
CVA = stroke
Demantia = lupa ingatan/pikun
b) Jantung  ACS = acute coronary syndrom
CHF = cronic heart failure
c) PVD  peripheral vascular disease
- Komplikasi mikrovaskuler meliputi:
a) MataDiabetic retinopathy = kerusakan mata seperti katarak dan glukoma
atau meningkatnya tekanan pada bola mata
b) Renal Diabetic nephropathy = Gangguanpadaginjal
c) Diabetic neuropathyGangguan pada system syaraf

Gambar 5. Komplikasi diabetes melitus

D. PENATALAKSANAAN
1. Tujuan Terapi
a. Menjaga kadar glukosa dalam kadar normal
b. Mengurangi resiko komplikasi mikrovaskular (retinopati, nefropati, neuropati)
dan makrovaskular.
c. Meminimalisir faktor resiko kardiovaskular (obesitas, hipertensi, rokok,
hiperlipidemia).
d. Meningkatkan kualitas dan kuantitas hidup. Serta memberi edukasi intensif
untuk meningkatkan pemahaman pasien tentang penyakit diabetes mellitus.
Pengetahuan dan pemahaman yang baik dapat mempengaruhi outcome
therapy.

Tabel 2.Tujuan terapi untuk Dewasa dengan Diabetes mellitus menurut


American Diabetes Mellitus

Target Glikemik
A1C <7.0% (Normal 4-6%)
Preprandial plasma glucose 90-130 mg/dL (5.0-7.2 mmol/L)
(blood glucose equivalent) 80-120 mg/dL (4.2-6.7 mmol/L)
Postprandial plasma glucose <180 mg/dL (<10.0 mmol/L)
(blood glucose equivalent) <160 mg/dL (<8.9 mmol/L)
Tekanan Darah <130/80 mmHg
Lipid
LDL <100 mg/dL (<2.6 mol/L)
Trigliseride <150 mg/dL (<1.7 mmol/L)
HDL
- Men >40 mg/dL
- Women >50 mg/dL
(Kimble, 2005)

2. TERAPI NON FARMAKOLOGI


a. Diet
Diet yang disarankan untuk pasien diabetes adalah makanan rendah
lemak, tinggi serat, rendah kalori dan mencapai keseimbangan dari berbagai
komponen dan nutrisi yang dibutuhkan. Pada DM tipe 2 fokus utama adalah
pengurangan kalori untuk mencapai penurunan berat badan. ADA tidak
merekomendasikan diet rendah karbohidrat pada pasien diabetes. Meskipun
karbohidrat adalah kontributor utama sesudah makan, kadar glukosa juga
penting untuk sumber energi, vitamin larut air, mineral, dan serat. Jadi, ADA
merekomendasikan asupan karbohidrat yang terdiri dari 45% hingga 65% dari
total kalori. Lemak total harus dikurangi menjadi 30% sampai 35% dari asupan
energi total; lemak binatang harus diganti dengan lemak tak jenuh tunggal atau
tak jenuh ganda, protein harus dikurangi menjadi 10% dari asupan kalori total,
asupan kolesterol dibatasi hanya 300 mg/hari, dan mengkonsumsi alkohol harus
dibatasi sampai setara dengan 4 ons anggur per hari.
b. Olahraga
Olahraga secara teratur dilakukan untuk meningkatkan kontrol glukosa
darah dan mengurang faktor risiko kardiovaskular, seperti hipertensi dan
peningkatan level serum lipid. Olahraga juga merupakan perawatan jangka
panjang penurunan berat badan dan mengendalikan berat badan secara
keseluruhan. Olah raga akan memperbanyak jumlah dan meningkatkan aktivitas
reseptor insulin dalam tubuh dan juga meningkatkan penggunaan glukosa.
Sebelum memulai program aktivitas fisik, beberapa pertimbangan harus dibuat,
pasien harus menjalani detail pemeriksaan fisik., termasuk skrining untuk
komplikasi mikrovascular atau makrovascular yang mungkin diperparah oleh
kegiatan tertentu. Kegiatan fisik pada seseorang individu dengan riwayat
penyakit diabetes harus dimulai dengan gaya hidup yang sehat, sedikit
peningkatan aktivitas, seperti berjalan, berenang, dan bersepeda.
c. Menjaga berat badan
Penderita diabetes mellitus perlu untuk mengetahui indeks masa tubuh
(BMI) dengan cara menhitungnya (Berat badan (Kg)/ Tinggi badan (m) x tinggi
badan (m)) sehingga dapat memberikan gambaran apakah pasien tersebut
tergolong obesitas atau tidak. BMI normal adalah 18,5-22,9. Jika pasien
tergolong obesitas maka dapat dihentikan dengan cara melakukan diet makanan
dan aktif berolahraga (GroupHealth, 2013).
d. Melakukan perawatan kaki
Pasien diabetes melitus pada umumnya beresiko tinggi mengalami
ulkus pada kaki yang dapat berujung pada amputasi, oleh sebab itu penderita
DM disarankan untuk menjaga kebersihan kaki dan melakukan perawatan kaki
rutin (GroupHealth, 2013).
e. Sick-day management
Pasien penderita DM harus selalu mengecek gula darah untuk
memantau gula darah agar selalu dibatas normal (GroupHealth, 2013).

3. TERAPI FARMAKOLOGI
Apabila penatalaksanaan terapi tanpa obat (pengaturan diet dan olah raga)
belum berhasil mengendalikan kadar glukosa darah penderita, maka perlu dilakukan
langkah berikutnya berupa penatalaksanaan terapi obat, baik dalam bentuk terapi
obat hipoglikemik oral, terapi insulin, atau kombinasi keduanya.
3.1. Obat Hipoglikemik Oral
Obat-obat hipoglikemik oral terutama ditujukan untuk membantu
penanganan pasien DM Tipe II. Pemilihan obat hipoglikemik oral yang tepat sangat
menentukan keberhasilan terapi diabetes. Bergantung pada tingkat keparahan
penyakit dan kondisi pasien, farmakoterapi hipoglikemik oral dapat dilakukan
dengan menggunakan satu jenis obat atau kombinasi dari dua jenis obat. Pemilihan
dan penentuan rejimen hipoglikemik yang digunakan harus mempertimbangkan
tingkat keparahan diabetes (tingkat glikemia) serta kondisi kesehatan pasien secara
umum termasuk penyakit-penyakit lain dan komplikasi yang ada.

Gambar 6. Mekanisme peningkatan gula darah dan tempat aksi OHO

1. Obat-obat yang meningkatkan sekresi insulin, meliputi obat hipoglikemik oral golongan
sulfonilurea dan glinida (meglitinida dan turunan fenilalanin).
a. Golongan Sulfonilurea
Sulfonilurea merupakan obat hipoglikemik oral yang paling dahulu ditemukan.
Sampai beberapa tahun yang lalu, dapat dikatakan hampir semua obat hipoglikemik
oral merupakan golongan sulfonilurea. Obat hipoglikemik oral golongan sulfonilurea
merupakan obat pilihan (drug of choice) untuk penderita diabetes dewasa baru dengan
berat badan normal dan kurang serta tidak pernah mengalami ketoasidosis sebelumnya.
Senyawa-senyawa sulfonilurea sebaiknya tidak diberikan pada penderita gangguan hati,
ginjal dan tiroid.
Obat-obat kelompok ini bekerja merangsang sekresi insulin di kelenjar pankreas,
oleh sebab itu hanya efektif apabila sel-sel β Langerhans pankreas masih dapat
berproduksi. Penurunan kadar glukosa darah yang terjadi setelah pemberian senyawa-
senyawa sulfonilurea disebabkan oleh perangsangan sekresi insulin oleh kelenjar
pankreas. Sifat perangsangan ini berbeda dengan perangsangan oleh glukosa, karena
ternyata pada saat glukosa (atau kondisi hiperglikemia) gagal merangsang sekresi
insulin, senyawa-senyawa obat ini masih mampu meningkatkan sekresi insulin. Oleh
sebab itu, obat-obat golongan sulfonilurea sangat bermanfaat untuk penderita diabetes
yang kelenjar pankreasnya masih mampu memproduksi insulin, tetapi karena sesuatu
hal terhambat sekresinya. Pada penderita dengan kerusakan sel-sel β Langerhans
kelenjar pankreas, pemberian obat-obat hipoglikemik oral golongan sulfonilurea tidak
bermanfaat. Pada dosis tinggi, sulfonilurea menghambat degradasi insulin oleh hati.
Obat hipoglikemik oral golongan sulfonilurea yang saat ini beredar antara lain
gliburida (glibenklamida), glipizida, glikazida, glimepirida, dan glikuidon.
Tabel 3. Golongan Sulfonilurea
b. Golongan Meglitinidaq dan Turunan Fenilalanin
Obat-obat hipoglikemik oral golongan glinida ini merupakan obat
hipoglikemik generasi baru yang cara kerjanya mirip dengan golongan sulfonylurea.
Kedua golongan senyawa hipoglikemik oral ini bekerja meningkatkan sintesis dan
sekresi insulin oleh kelenjar pankreas. Umumnya senyawa obat hipoglikemik
golongan meglitinida dan turunan fenilalanin ini dipakai dalam bentuk kombinasi
dengan obat-obat antidiabetik oral lainnya. Obat golongan ini kurang poten jika
dibandingkan sulfoniluera, namun aksinya lebih cepat.

Tabel 4. Golongan Meglitinida


2. Sensitiser insulin (obat-obat yang dapat meningkatkan sensitifitas sel terhadap insulin),
meliputi obat-obat hipoglikemik golongan biguanida dan tiazolidindion, yang dapat
membantu tubuh untuk memanfaatkan insulin secara lebih efektif.

a. Golongan Biguanides
Obat ini mempunyai efek penurunan kadar glukosa darah melalui:
- Penurunan glukoneogenesis di hati dan ginjal
- Perlambatan absorpsi glukosa dari saluran cerna dengan peningkatan konversi
glukosa menjadi laktat oleh enterosit.
- Stimulasi langsung glikolisis di jaringan dengan peningkatan bersihan glukosa
dari darah.
- Penurunan kadar glukagon plasma. (Katzung, 2008).
Senyawa-senyawa golongan biguanida tidak merangsang sekresi insulin, dan hampir
tidak pernah menyebabkan hipoglikemia.
Satu-satunya senyawa biguanida yang masih dipakai sebagai obat hipoglikemik oral
saat ini adalah metformin. Metformin masih banyak dipakai di beberapa negara
termasuk Indonesia, karena frekuensi terjadinya asidosis laktat cukup sedikit asal
dosis tidak melebihi 1700 mg/hari dan tidak ada gangguan fungsi ginjal dan hati.
Bekerja menurunkan kadar glukosa darah dengan memperbaiki transport glukosa ke
dalam sel-sel otot. Obat ini dapat memperbaiki uptake glukosa sampai sebesar 10-
40%. Menurunkan produksi glukosa hati dengan jalan mengurangi glikogenolisis dan
glukoneogenesis.

Tabel 5. Golongan Biguanida

b. Golongan Tiazolidindion
Senyawa golongan tiazolidindion bekerja meningkatkan kepekaan tubuh terhadap
insulin dengan jalan berikatan dengan PPARγ (peroxisome proliferator activated
receptor-gamma), suatu faktor transkripsinuklear yang penting pada diferensiasi sel
lemak dan metabolisme asam lemak. Agonis PPARγ mengurangi resistensi insulin
pada perifer (membuat otot dan lemak sensitive terhadap insulin) dan kemungkinan di
liver. Insulin harus ada dalam jumlah yang signifikan sehingga aksi ini bisa terjadi.
Agen-agen ini umumnya menurunkan trigliserida dan meningkatkan HDL-C dan
LDL-C juga meningkat. Senyawa-senyawa TZD juga menurunkan kecepatan
glukoneogenesis.
Tabel 6. Golongan Thiazolidindion

c. Inhibitor α-glukosidase
Inhibitor katabolisme karbohidrat yang bekerja menghambat absorpsi glukosa dan
umum digunakan untuk mengendalikan hiperglikemia post-prandial (post-meal
hyperglycemia), disebut juga “starch-blocker”.
Senyawa-senyawa inhibitor α-glukosidase bekerja menghambat enzim alfa
glukosidase yang terdapat pada dinding usus halus. Enzim-enzim α-glukosidase
(maltase, isomaltase, glukomaltase dan sukrase) berfungsi untuk menghidrolisis
oligosakarida, pada dinding usus halus. Inhibisi kerja enzim ini secara efektif dapat
mengurangi pencernaan karbohidrat kompleks dan absorbsinya, sehingga dapat
mengurangi peningkatan kadar glukosa post prandial pada penderita diabetes.
Senyawa inhibitor α-glukosidase juga menghambat enzim α-amilase pankreas yang
bekerja menghidrolisis polisakarida di dalam lumen usus halus. Obat ini efektif bagi
penderita dengan diet tinggi karbohidrat dan kadar glukosa plasma puasa kurang dari
180 mg/dl.
Obat ini hanya mempengaruhi kadar glukosa darah pada waktu makan dan tidak
mempengaruhi kadar glukosa darah setelah itu.
Tabel 7. Golongan α-glukosidase inhibitor

Tabel 8. Jenis OHO Inhibitor α-glukosidase


Obat Hipoglikemik Oral Keterangan
Acarbose Acarbose dapat diberikan dalam terapi kombinasi
dengan sulfonilurea, metformin, atau insulin.
Miglitol Miglitol biasanya diberikan dalam terapi kombinasi
dengan obat-obat antidiabetik oral golongan
sulfonilurea

d. Dipeptidyl peptidase-4 inhibitor


Kelas terapi terbaru oral untuk DM adalah dipeptidyl peptidase-4 inhibitor (DPP-IV).
Sitagliptin adalah yang pertama dan salah satunya agen di kelas ini yang sudah
disetujui FDA, ada juga vildagliptin dan saxagliptin saat ini dalam uji klinis dan akan
segera bergabung sebagai pilihan terapi. Sitagliptin diindikasikan untuk pasien DM
tipe-2 sebagai monoterapi atau terapi kombinasi dengan metformin atau
thiazolidinedione. DPP-IV inhibitor memperlambat inaktivasi hormon incretin dalam
usus. Hormon incretin dilepaskan sepanjang hari oleh usus dan peningkatan yang
terjadi sebagai respons terhadap makanan. Hormon incretin yang normal atau
meningkat, termasuk glukagon peptida-1 (GLP-1) dan glukosa yang tergantung
insulinotropic polipeptida (GIP) meningkatkan produksi insulin dan pelepasan oleh
sel-sel β pankreas. Selain itu, GLP-1 telah terbukti untuk penurunan sekresi glukagon
dari sel α pankreas yang mengarah ke penurunan produksi glukosa hepatik. Sejak
DPP-IV inhibitor meningkatkan dan memperpanjang hormon incretin, tingkat hasil
pelepasan insulin dan glucagon meningkat. Terapi menggunakan dosis yang
dianjurkan 100 mg sitagliptin diminum setiap hari dengan atau tanpa makanan.

Tabel 9. Golongan DPP-IV inhibitor


3.2. Terapi Kombinasi Antidiabetik Oral & Obat Suntik
Pengobatan diabetes mellitus tipe 2 sering menggunakan terapi kombinasi.
Tujuan dari terapi kombinasi tersebut adalah untuk mencapai target glikemik yang
diinginkan. Selain itu, berpotensi sebagai kardioprotektif dan untuk memelihara sel
β pulau langgerhans pankreas. Metformin dan insulin secretagogue sering
dijadikan terapi lini pertama dan kedua hal ini dikarena harganya yang terjangkau
dan efek glikemiknya yang baik. Namun, terapi awal dengan kombinasi
antidiabetik oral pada pasien dengan HbA1c > 9%-10% harus memperhatikan
beberapa kombinasi yang memungkinkan. Contoh: Metformin dan sulfonilurea
lebih efektif bila digunakan pada pasien dengan HbA1c yang tinggi (Dipiro, 2008).
Apabila pemberian dua terapi (dual therapy) tidak mampu untuk
menurunkan kadar HbA1C, maka dapat diberi tiga obat (triple therapy). Misalnya
dengan menambahkan antidiabetik golongan Thiazolidindion. Tetapi
pemberiannya harus sangat hati-hati, karena pada beberapa pasien justru tidak
mampu memperbaiki kadar glikemik atau efek samping yang ditimbulkan sangat
signifikan. Sebagai alternatif dapat diberikan exenatide, DPP-IV inhibitor, atau
basal insulin. Jika HbA1C > 8.5%-9%, terapi insulin dapat dijadikan pilihan utama.
Pada pasien obesitas dengan HbA1C ≤ 8.5 % dianjurkan untuk menambahkan
exanatide, atau DPP-4 inhibitor. Exanatide dan DPP-IV inhbitor dapat menurunkan
kadar glukosa darah. Exanatide memiliki keuntungan, yaitu: dapat menurunkan
berat badan. Efek sampingnya adalah pada gastrointestinal, misalnya: mual dan
muntah. Sedangkan DPP-IV inhibitor adalah aktif secara oral, dan tidak
menyebabkan penurunan berat badan. Kedua obat ini untuk menurunkan kadar
glukosa postprandial dan sedikit berefek pada FPG. Metformin, sulfonilurea, dan
basal insulin efektif untuk menurunkan FPG. Terapi kombinasi ini harus
memperhatikan kondisi HbA1C, FPG (Fasting Plasma Glucose), manfaat tambahan
(seperti: kehilangan berat badan), menghindari kontraindikasi dan efek samping
(Dipiro, 2008).
Tabel 10. Terapi Kombinasi
Gambar 7. Bagan Terapi DM 2
(ADA/EASD, 2012)
Terapi DM 2 diawali dengan pengaturan pola hidup meliputi pengaturan makan,
penurunan berat badan, dan peningkatan aktivitas fisik. Apabila dengan pengaturan pola
hidup belum dapat menurunkan nilai HbA1C, maka dilakukan terapi farmakologi. Terapi
farmakologi inisiasi yang diberikan berupa obat hiperglikemik oral (OHO). Terapi inisiasi
tunggal ini diberikan segera setelah atau saat pasien terdiagnosis. Umumnya metformin
digunakan sebagai first line therapy pada DM 2. Jika metformin tidak dapat digunakan
karena kontraindikasi atau keadaan lain yang tidak memungkinkan pasien menggunakan
metformin, dapat digunakan sulfonilurea atau DPP-4 inhibitor. Bila saat terdiagnosis nilai
HbA1C pasien tinggi (≥ 9,0% atau ≥ 75 mmol/mol), maka langsung berikan pasien
kombinasi 2 obat. Apabila pasien sudah hiperglikemia parah atau nilai HbA1C saat
terdiagnosis sudah sangat tinggi (≥ 10-12% atau ≥ 86-108 mmol/mol), maka terapi insulin
sangat dibutuhkan.
Terapi inisiasi tunggal (monoterapi) dilakukan selama 3 bulan. Apabila belum
mencapai nilai target HbA1C (umumnya < 7,0%) yang diharapkan setelah terapi selama 3
bulan, maka perlu dipertimbangkan adanya penambahan terapi. Terapi dengan kombinasi 2
obat yang dimaksud adalah penambahan terapi sebelumnya (monoterapi) dengan OHO
golongan lain ataupun insulin (basal). Terapi kombinasi 2 obat ini biasanya diberikan jik nilai
HbA1C pasien tinggi (≥ 9% atau ≥ 75 mmol/mol). Terapi ini pun dipantau 3 bulan
kemudian, apabila belum mampu mencapai nilai HbA1C yang diharapkan maka terapi
dilanjutkan dengan kombinasi 3 obat. Injeksi insulin tambahan berupa short atau rapid-
acting insulin yang diberikan sebelum makan untuk mengurangi gula darah postprandial. Jika
injeksi insulin dimulai, maka pemberian insulin secretagogues (sulfonilurea atau glinide)
harus dihentikan karena kombinasi keduanya tidak sinergistik.

Apabila pasien membutuhkan terapi injeksi insulin, maka edukasi dan pemberian
motivasi pada pasien sangat dibutuhkan karena kebanyakan pasien merasa takut bila
memperoleh terapi injeksi insulin. Pemberian terapi dengan insulin dilakukan dengan titrasi
dosis sesuai dengan kadar gula darah atau nilai HbA1C pasien. Pemeriksaan harian gula
darah pasien juga sangat diperlukan pada tahapan ini sehingga dapat diketahui dosis yang
sesuai. Apabila dosis telah stabil maka perlu dilakukan peninjauan ulang terhadap dosis yang
digunakan.
Terapi kombinasi 3 obat dilakukan dengan penambahan terapi kombinasi 2 obat
dengan OHO golongan lain atau insulin (basal). Adapun pemilihan kombinasi obat dalam
manajemen terapi ini disesuaikan dengan kerja obat dan diharapkan kombinasi obat dapat
bersifat komplementer sehingga dapat mencapai target terapi. Selain itu perlu diperhatikan
juga asas manfaat resiko dari pemilihan kombinasi tersebut.
Terapi kombinasi 3 obat ini pun dipantau selama 3-6 bulan. Jika setelah masa itu
belum mampu mencapai nilai HbA1C sesuai target yang diharapkan, maka pertimbangkan
pemberian terapi insulin multiple daily doses (terapi “basal-bolus”) untuk memperoleh hasil
terapi yang efektif.

TERAPI KOMPLIKASI DIABETES


Komplikasi mikrovaskuler
 Pencegahan diabetik nefropati  kombinasi ACEi ARB
 Nyeri pada diabetik neuropati  Amitriptyline, imiprimine, paroxetine, citalopram,
gabapentin, pregablin, carbamazepine, topiramate, duloxetine, tramadol, and
oxycodone
 Nyeri pada diabetik neuropati perifer  berikan duloxetine dan pregablin
 Pencegahan proliferasi diabetik retinopati  lakukan laser photocoagulation
Komplikasi makrovaskuler
 Diabetes + hipertensi  berikan ACEi atau ARB
 Diabetes + dislipid  statin + fibrat/niacin
 Diabetes usia > 40 tahun, untuk pencegahan CVD  berikan terapi aspirin 75-162
mg/hari
DAFTAR PUSTAKA
ADA/EASD, 2012, Management of hyperglycaemia in type 2 diabetes: a patient-centered
approach, Position statement of the American Diabetes Association (ADA) and the
European Association for the Study of Diabetes (EASD), DOI 10.1007/s00125-012-
2534-0.
American Diabetes Association, 2014, Standard of Medical Care in Diabetes-2014, Diabetes
Care 37:Supp 1.
Brashers, V.L., 2008, Aplikasi Klinis Patofisiologi, EGC, Jakarta, pp. 159-160.
Dipiro, J.T., Talbert, R.L.,et al, 2008, Pharmacotherapy A Pathophysiologic Approach,
Seventh Edition, Mc Graw Hill Medical, USA, pp. 1220-1221.
Direktorat Bina Farmasi Komunitas dan Klinik, 2005, Pharmaceutical Care Untuk Penyakit
Diabetes Mellitus, Direktorat Jenderal Depkes RI, pp. 40-52.
Fowler M.J., 2008, Microvascular and Macrovascular Complications of Diabetes, Clinical
Diabetes, 26:2, http://clinical.diabetesjournals.org
GroupHealth, 2013, Type 2 Diabetes: Screening and Treatment Guidelines,
http://www.ghc.org/all-sites/guidelines/diabetes2.pdf, diakses tanggal 5 September
2014.
Katzung, B.G.,2007, Farmakologi Dasar & Klinik, Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta,
pp. 704-724.
Kimble, M.A.K.,Young, L.Y.,Kradjan, W.A.,dkk, 2005, Applied Therapeutics : The Clinical
Use of Drug, Eight Edition, Lippincot Williams & Wilkins, USA, pp. 50-11
Mudaliar, S., and Edelman, S.V., 2001, Insulin therapy in type 2 diabetes, Endocrinology ad
Metabolism Clinics, 30:4, USA.
Robbins & Cotran, 2008, Dasar Patologis Penyakit, Edisi 7, Penerbit Buku Kedokteran
EGC, Jakarta, p.1220.

Anda mungkin juga menyukai