Anda di halaman 1dari 19

TUGAS INDIVIDU

HIV

OLEH:
NAILA NADHIROTUR ROSYIDAH

NIM:
P17220173019

POLITEKNIK KESEHATAN KEMENKES MALANG


JURUSAN KEPERAWATAN
PRODI DIII KEPERAWATAN LAWANG
KONSEP DASAR TEORI

1. Definisi
AIDS berasal dari kata acquired yang artinya didapat atau bukan penyakit
keturunan, immune berarti sistem kekebalan tubuh, deficiency atau kekurangan dan
syndrome yang berarti kumpulan gejala-gejala penyakit. Jadi, dari kata-kata
tersebut dapat diartikan bahwa AIDS adalah kumpulan gejala penyakit akibat
menurunnya sistem kekebalan tubuh oleh virus yang disebut Human
Immunodeficiency Virus (HIV). (Dinah Gould, 2003)
Toksoplasmosis adalah penyakit infeksi pada manusia dan hewan yang
disebabkan oleh Toxoplasma gondii. Toxsoplasma adalah parasit protozoa dengan
sifat alami dengan perjalanannya dapat akut atau menahun, juga dapat
menimbulkan gejala simtomatik maupun asimtomatik. (Dinah Gould, 2003)
Toxoplasmosis merupakan infeksi serius pada orang dengan gangguan
kekebalan terutama pengidap virus HIV, terjadi reaktivasi infeksi laten yang
menimbulkan toksoplasmosis diseminata atau ensefalitis. (Dinah Gould, 2003)
Ensefalitis toksoplasma merupakan penyebab tersering lesi otak fokal
infeksi oportunistik yang paling banyak terjadi pada pasien AIDS. Ensefalitis
toksoplasma muncul pada kurang lebih 10% pasien AIDS yang tidak diobati. Hal
ini disebabkan oleh parasit Toxoplasma gondii yang dibawa oleh kucing, burung
dan hewan lain yang dapat ditemukan pada tanah yang tercemar oleh tinja kucing
dan kadang pada daging mentah atau kurang matang. (Dinah Gould, 2003)

2. Etiologi
Ensefalitis toksoplasma disebabkan oleh parasit Toxoplasma gondii, yang
dibawa oleh kucing, burung dan hewan lain yang dapat ditemukan pada tanah yang
tercemar oleh tinja kucing dan kadang pada daging mentah atau kurang matang.
Begitu parasit masuk ke dalam sistem kekebalan, parasit tersebut menetap di sana,
sistem kekebalan pada orang yang sehat dapat melawan parasit tersebut hingga
tuntas, dan dapat mencegah terjadinya suatu penyakit. Namun, pada orang pasien
HIV/AIDS mengalami penurunan kekebalan tubuh sehingga tidak mampu
melawan parasit tersebut. Sehingga pasien mudah terinfeksi oleh parasit tersebut.
(Richard, 1997)
Transmisi pada manusia terutama terjadi bila memakan daging babi atau
domba yang mentah dan mengandung oocyst (bentuk infektif dari Toxoplasma
gondii). Bisa juga dari sayur yang terkontaminasi atau kontak langsung dengan
feses kucing. Selain itu dapat terjadi transmisi lewat transplasental, transfusi darah,
dan transplantasi organ. Infeksi akut pada individu yang immunokompeten
biasanya asimptomatik. Pada manusia dengan imunitas tubuh yang rendah dapat
terjadi reaktivasi dari infeksi laten. Yang akan mengakibatkan timbulnya infeksi
opportunistik dengan predileksi di otak.

3. Daur Hidup Toxoplasma gondii


Toxoplasma gondii hidup dalam 3 bentuk yaitu thachyzoite, tissue cyst
(yang mengandung bradyzoites) dan oocyst (yang mengandung sporozoites).
Bentuk akhir dari parasit diproduksi selama siklus seksual pada usus halus dari
kucing. Kucing merupakan pejamu definitif dari Toxoplasma gondii. Siklus hidup
aseksual terjadi pada pejamu perantara (termasuk manusia) Dimulai dengan
tertelannya tissue cyst atau oocyst diikuti oleh terinfeksinya sel epitel usus halus
oleh bradyzoites atau sporozoites secara berturut-turut. Setelah bertransformasi
menjadi tachyzoite, organisme ini menyebar ke seluruh tubuh lewat peredaran
darah atau limfatik. (Indan Entjang, 2003)
Parasit ini berubah bentuk menjadi tissue cysts begitu mencapai jaringan
perifer. Bentuk ini dapat bertahan sepanjang hidup pejamu, dan berpredileksi
untuk menetap pada otak, myocardium, paru, otot skeletal dan retina. (Richard,
1997)
Tissue cyst ada dalam daging, tapi dapat dirusak dengan pemanasan sampai
67oC, didinginkan sampai -20oC atau oleh iradiasi gamma. Siklus seksual entero-
epithelial dengan bentuk oocyst hidup pada kucing yang akan menjadi infeksius
setelah tertelan daging yang mengandung tissue cyst. Ekskresi oocysts berakhir
selama 7-20 hari dan jarang berulang. Oocyst menjadi infeksius setelah
diekskresikan dan terjadi sporulasi (pembentukan spora). Lamanya proses ini
tergantung dari kondisi lingkungan, tapi biasanya 2-3 hari setelah diekskresi.
Oocysts menjadi infeksius di lingkungan selama lebih dari 1 tahun. (Indan Entjang,
2003)
Transmisi pada manusia terutama terjadi bila makan daging babi atau
domba yang mentah yang mengandung oocyst. Bisa juga dari sayur yang
terkontaminasi atau kontak langsung dengan feces kucing. Selain itu dapat terjadi
transmisi lewat transplasental,transfusi darah, dan transplantasi organ. Infeksi akut
pada individu yang imunokompeten biasanya asimptomatik. Pada manusia dengan
imunitas tubuh yang rendah dapat terjadi reaktivasi dari infeksi laten. yang akan
mengakibatkan timbulnya infeksi oportunistik dengan predileksi di otak. Tissue
cyst menjadi ruptur dan melepaskan invasive tropozoit (tachyzoite). Tachyzoite ini
akan menghancurkan sel dan menyebabkan focus nekrosis. (Indan Entjang, 2003)
Pada pasien yang terinfeksi HIV, jumlah CD4 limfosit T dapat menjadi
prediktor kemungkinanan adanya infeksi oportunistik. Pada pasien dengan CD4 <
200 sel/mL kemungkinan untuk terjadi infeksi oportunistik sangat tinggi.
Oportunistik infeksi yangmungkin terjadi pada penderita dengan CD4 < 200
sel/mL adalah pneumocystis carinii, CD4 < 100 sel/mL adalah toxoplasma gondii ,
dan CD4 < 50 adalah M. Avium Complex, sehingga diindikasikan untuk pemberian
profilaksis primer. M. tuberculosis dan candida species dapat menyebabkan infeksi
oportunistik pada CD4 > 200 sel/mL. (Dinah Gould, 2003)

4. Patofisiologi
a. Patofisiologi HIV/AIDS
HIV secara signifikan berdampak pada kapasitas fungsional dan kualitas
kekebalan tubuh. HIV mempunyai target sel utama yaitu sel limfosit T4, yang
mempunyai reseptor CD4. Beberapa sel lain yang juga mempunyai reseptor CD4
adalah sel monosit, sel makrofag, sel folikular dendritik, sel retina, sel leher
rahim, dan sel langerhans. Infeksi limfosit CD4 oleh HIV dimediasi oleh
perlekatan virus kepermukaan sel reseptor CD4, yang menyebabkan kematian sel
dengan meningkatkan tingkat apoptosis pada sel yang terinfeksi. Selain
menyerang sistem kekebalan tubuh, infeksi HIV juga berdampak pada sistem
saraf dan dapat mengakibatkan kelainan pada saraf.
Human Immunodeficiency Virus (HIV) masuk ke dalam tubuh seseorang
dalam keadaan bebas atau berada di dalam sel limfosit. Virus ini memasuki tubuh
dan terutama menginfeksi sel yang mempunyai molekul CD4. Sel-sel CD4-positif
(CD4+) mencakup monosit, makrofag dan limfosit T4 helper. Saat virus
memasuki tubuh, benda asing ini segera dikenal oleh sel T helper (T4), tetapi
begitu sel T helper menempel pada benda asing tersebut, reseptor sel T helper
tidak berdaya; bahkan HIV bisa pindah dari sel induk ke dalam sel T helper
tersebut.
Jadi, sebelum sel T helper dapat mengenal benda asing HIV, ia lebih
dahulu sudah dilumpuhkan. HIV kemudian mengubah fungsi reseptor di
permukaan sel T helper sehingga reseptor ini dapat menempel dan melebur ke
sembarang sel lainnya sekaligus memindahkan HIV. Sesudah terikat dengan
membran sel T4 helper, HIV akan menginjeksikan dua utas benang RNA yang
identik ke dalam sel T4 helper.
Dengan menggunakan enzim yang dikenal sebagai reverse transcriptase,
HIV akan melakukan pemrograman ulang materi genetik dari sel T4 yang
terinfeksi untuk membuat double-stranded DNA (DNA utas-ganda). DNA ini
akan disatukan ke dalam nukleus sel T4 sebagai sebuah provirus dan kemudian
terjadi infeksi yang permanen.
Fungsi T helper dalam mekanisme pertahanan tubuh sudah dilumpuhkan,
genom dari HIV dan proviral DNA kemudian dibentuk dan diintegrasikan pada
DNA sel T helper sehingga menumpang ikut berkembang biak sesuai dengan
perkembangan biakan sel T helper. Sampai suatu saat ada mekanisme pencetus
(mungkin karena infeksi virus lain) maka HIV akan aktif membentuk RNA, ke
luar dari T helper dan menyerang sel lainnya untuk menimbulkan penyakit AIDS.
Karena sel T helper sudah lumpuh maka tidak ada mekanisme pembentukan sel T
killer, sel B dan sel fagosit lainnya. Kelumpuhan mekanisme kekebalan inilah
yang disebut AIDS (Acquired Immunodeficiency Syndrome) atau sindroma
kegagalan kekebalan. (Sylvia A Price, 1995)

b. Patofisiologi Toxoplasmosis sebagai komplikasi HIV/AIDS


Infeksi oportunistik dapat terjadi akibat penurunan kekebalan tubuh pada
penderita HIV/AIDS. Infeksi tersebut dapat menyerang sistem saraf yang
membahayakan fungsi dan kesehatan sel saraf.
Setelah infeksi oral, bentuk tachyzoite atau invasif parasit dari
Toxoplasma gonii menyebar ke seluruh tubuh. Takizoit menginfeksi setiap sel
berinti, di mana mereka berkembang biak dan menyebabkan kerusakan.
Permulaan diperantarai sel kekebalan terhadap T gondii disertai dengan
transformasi parasit ke dalam jaringan kista yang menyebabkan infeksi kronis
seumur hidup.
Mekanisme bagaimana HIV menginduksi infeksi oportunistik seperti
toxoplasmosis sangat kompleks. Ini meliputi deplesi dari sel T CD4, kegagalan
produksi IL-2, IL-12, dan IFN-gamma, kegagalan aktivitas Limfosit T sitokin.
Sel-sel dari pasien yang terinfeksi HIVmenunjukkan penurunan produksi IL-12
dan IFN-gamma secara in vitro dan penurunan ekspresi dari CD 154 sebagai
respon terhadap Toxoplasma gondii. Hal ini memainkan peranan yang penting
dari perkembangan toxoplasmosis dihubungkan dengan infeksi HIV.
Ensefalitis toksoplasma biasanya terjadi pada penderita yang terinfeksi
virus HIV dengan CD4 T sel <100/mL. Ensefalitis toxoplasma ditandai dengan
onset yang subakut. Manifestasi klinis yangtimbul dapat berupa defisit neurologis
fokal (69%), nyeri kepala (55%), bingung atau kacau(52%), dan kejang (29%).
Pada suatu studi didapatkan adanya tanda ensefalitis global dengan perubahan
status mental pada 75% kasus, adanya defisit neurologis pada 70% kasus, nyeri
kepala pada 50 % kasus, demam pada 45 % kasus dan kejang pada 30 % kasus.
Defisit neurologis yang biasanya terjadi adalah kelemahan motorik dan
gangguan bicara. Bisa juga terdapat abnormalitas saraf otak, gangguan
penglihatan, gangguan sensorik, disfungsi serebelum, meningismus, movement
disorders dan menifestasi neuropsikiatri.
Pada pasien yang terinfeksi HIV, jumlah CD4 limfosit T dapat menjadi
prediktor untuk validasi ke mungkinanan adanya infeksi oportunistik. Pada pasien
dengan CD4< 200sel/mL kemungkinan untuk terjadi infeksi oportunistik sangat
tinggi. (Sylvia A Price, 1995)

5. Manifestasi Klinis
Gejala termasuk ensefalitis, demam, sakit kepala berat yang tidak respon
terhadap pengobatan, lemah pada satu sisi tubuh, kejang, kelesuan, kebingungan
yang meningkat, masalah penglihatan, pusing, masalah berbicara dan berjalan,
muntah dan perubahan kepribadian. Tidak semua pasien menunjukkan tanda
infeksi.
Nyeri kepala dan rasa bingung dapat menunjukkan adanya perkembangan
ensefalitis fokal dan terbentuknya abses sebagai akibat dari terjadinya infeksi
toksoplasma. Keadaan ini hampir selalu merupakan suatu kekambuhan akibat
hilangnya kekebalan pada penderita-penderita yang semasa mudanya telah
berhubungan dengan parasit ini. Gejala-gejala fokalnya cepat sekali berkembang
dan penderita mungkin akan mengalami kejang dan penurunan kesadaran.
(Richard, 1997)

6. Pemeriksaan Penunjang (Brunner, 2002)


a. Pemeriksaan Serologi
Didapatkan seropositif dari anti-Toxoplasma gondii IgG dan IgM. Deteksi juga
dapat dilakukan dengan indirect fluorescent antibody (IFA), aglutinasi, atau
enzyme linked immunosorbent assay (ELISA). Titer IgG mencapai puncak
dalam 1-2 bulan setelah terinfeksi kemudian bertahan seumur hidup.
b. Pemeriksaan cairan serebrospinal
Menunjukkan adanya pleositosis ringan dari mononuklear predominan dan
elevasi protein.
c. Pemeriksaan Polymerase Chain Reaction (PCR)
Digunakan untuk mendeteksi DNA Toxoplasmosis gondii. Polymerase Chain
Reaction (PCR) untuk Toxoplasmosis gondii dapat juga positif pada cairan
bronkoalveolar dan cairan vitreus atau aquos humor dari penderita
toksoplasmosis yang terinfeksi HIV. Adanya PCR yang positif pada jaringan
otak tidak  berarti terdapat infeksi aktif karena tissue cyst dapat bertahan lama
berada di otak setelah infeksi akut.
d. CT scan
Menunjukkan fokal edema dengan bercak-bercak hiperdens multiple
dan biasanya ditemukan lesi berbentuk cincin atau penyengatan homogen dan
disertai edema vasogenik pada jaringan sekitarnya. Ensefalitis toksoplasma
jarang muncul dengan lesi tunggal atau tanpa lesi.
e. Biopsi otak 
Untuk diagnosis pasti ditegakkan melalui biopsi otak 

7. Penatalaksanaan (Richard, 1997)


a. Toksoplasmosis otak diobati dengan kombinasi pirimetamin dan sulfadiazin.
Kedua obat ini dapat melalui sawar-darah otak. 
b. Toxoplasma gondii, membutuhkan vitamin B untuk hidup. Pirimetamin
menghambat pemerolehan vitamin B oleh tokso. Toxoplasma gondii.
Sulfadiazin menghambat penggunaannya.
c. Kombinasi pirimetamin 50-100mg perhari yang dikombinasikan dengan
sulfadiazin1-2 g tiap 6 jam.
d. Pasien yang alergi terhadap sulfa dapat diberikan kombinasi pirimetamin 50-
100 mg perhari dengan clindamicin 450-600 mg tiap 6 jam.
e. Pemberian asam folinic 5-10 mg perhari untuk mencegah depresi sumsum
tulang.
f. Pasien alergi terhadap sulfa dan clindamicin, dapat diganti dengan
Azitromycin 1200mg/hr, atau claritromicin 1 gram tiap 12 jam, atau
atovaquone 750 mg tiap 6 jam. Terapi ini diberikan selam 4-6 minggu atau 3
minggu setelah perbaikan gejala klinis.
g. Terapi anti retro viral (ARV) diindikasikan pada penderita yang terinfeksi
HIVdengan CD4 kurang dari 200 sel/mL, dengan gejala (AIDS) atau limfosit
totalkurang dari 1200. Pada pasien ini, CD4 42, sehingga diberikan ARV.
8. WOC
Kontak seksual pemajanan pada darah terkontaminasi wanita hamil

HIV masuk

Menyerang T limfosit

Individu lemah melawan penyakit konsumsi daging tercemar/kontak hewan peliharaan

Penyakit oportunistik menyerang (Toxoplasmosis)

AIDS dengan Toxoplasmosis

Reaktivasi infeksi laten

Toxoplasmosis diseminata/ensefalitis

Demam sakit kepala berat kejang kelesuan kebingungan yang meningkat perubahan kepribadian

Rest perubahan resti Kurang Resti koping


i nutrisi kerusakan pengetahu tidak efektif
infe kurang dari penatalaksana an
an
KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN

1. Pengkajian
1. Aktivitas/istirahat
a. Gejala : mudah lelah, berkurangnya toleransi terhadap aktifitas,
kelelahan.
b. Tanda : kelemahan otot, nyeri otot, menurunnya massa otot,
respon fisiologi terhadap aktifitas.
2. Sirkulasi
a. Gejala : demam, proses penyembuhan luka yang lambat,
perdarahan lama bila cedera
b. Tanda : suhu tubuh meningkat, berkeringat, takikardia, mata
cekung, anemis, perubahan tekanan darah postural, volume nadi perifer
menurun, pengisian kapiler memanjang.
3. Integritas ego
a. Gejala : merasa tidak berdaya, putus asa, rasa bersalah, kehilangan
kontrol diri, dan depresi.
b. Tanda : mengingkari, cemas, depresi, takut, menarik diri, marah,
menangis, kontak mata kurang.
4. Eliminasi
a. Gejala : diare, nyeri pinggul, rasa terbakar saat berkemih.
b. Tanda : feces encer disertai mucus atau darah, nyeri tekan
abdominal, lesi pada rectal, ikterus, perubahan dalam jumlah warna
urin.
5. Makanan/cairan
a. Gejala : tidak ada nafsu makan, mual, muntah, sakit tenggorokan.
b. Tanda : penurunan BB yang cepat, bising usus yang hiperaktif,
turgor kulit jelek, lesi pada rongga mulut, adanya selaput
putih/perubahan warna mukosa mulut
6. Hygiene
a. Tanda : tidak dapat menyelesaikan ADL, mempeliahtkan
penampilan yang tidak rapi.
7. Neurosensorik
a. Gejala : pusing, sakit kepala, photofobia.
b. Tanda : perubahan status mental, kerusakan mental, kerusakan
sensasi, kelemahan  otot, tremor, penurunan visus, bebal, kesemutan
pada ekstrimitas.
8. Nyeri/kenyamanan
a. Gejala : nyeri umum atau lokal, sakit, nyeri otot, sakit
tenggorokan, sakit kepala, nyeri dada pleuritis, nyeri abdomen.
b. Tanda : pembengkakan pada sendi, hepatomegali, nyeri tekan,
penurunan ROM, pincang.
9. Pernapasan
a. Tanda : terjadi ISPA, napas pendek yang progresif, batuk
produktif/non, sesak pada dada, takipneu, bunyi napas tambahan,
sputum kuning.
10. Keamanan
a. Gejala : riwayat jatuh, terbakar, pingsan, luka lambat proses
penyembuhan.
b. Tanda : demam berulang
11. Seksualitas
a. Tanda : riwayat perilaku seksual resiko tinggi, penurunan libido,
penggunaan kondom yang tdk konsisten, lesi pada genitalia, keputihan.
12. Interaksi social
a. Tanda : isolasi, kesepian, perubahan interaksi keluarga, aktifitas
yang tidak terorganisir

2. Pemeriksaan Diagnostik
a. Pemeriksaan yang dilakukan adalah pemeriksaan antibodi spesifik
toksoplasma, yaitu IgG, IgM dan IgG affinity.
 IgM adalah antibodi yang pertama kali meningkat di darah bila
terjadi infeksi toksoplasma.
 IgG adalah antibodi yang muncul setelah IgM dan biasanya akan
menetap seumur hidup pada orang yang terinfeksi atau pernah
terinfeksi.
 IgG affinity adalah kekuatan ikatan antara antibodi IgG dengan
organisme penyebab infeksi. Manfaat IgG affinity yang dilakukan
pada wanita yang hamil atau akan hamil karena pada keadaan IgG
dan IgM positif diperlukan pemeriksaan IgG affinity untuk
memperkirakan kapan infeksi terjadi, apakah sebelum atau pada
saat hamil. Infeksi yang terjadi sebelum kehamilan tidak perlu
dirisaukan, hanya infeksi primer yang terjadi pada saat ibu hamil
yang berbahaya, khususnya pada trimester I.
 Bila IgG (-) dan IgM (+). Kasus ini jarang terjadi, kemungkinan
merupakan awal infeksi. Harus diperiksa kembali 3 minggu
kemudian dilihat apakah IgG berubah jadi (+). Bila tidak berubah,
maka IgM tidak spesifik, yang bersangkutan tidak terinfeksi
toksoplasma.
 Bila IgG (-) dan IgM (-). Belum pernah terinfeksi dan beresiko
untuk terinfeksi. Bila sedang hamil, perlu dipantau setiap 3 bulan
pada sisa kehamilan (dokter mengetahui kondisi dan kebutuhan
pemeriksaan anda). Lakukan tindakan pencegahan agar tidak
terjadi infeksi.
 Bila IgG (+) dan IgM (+). Kemungkinan mengalami infeksi primer
baru atau mungkin juga infeksi lampau tapi IgM nya masih
terdeteksi. Oleh sebab itu perlu dilakukan tes IgG affinity langsung
pada serum yang sama untuk memperkirakan kapan infeksinya
terjadi, apakah sebelum atau sesudah hamil.
 Bila IgG (+) dan IgM (-). Pernah terinfeksi sebelumnya. Bila
pemeriksaan dilakukan pada awal kehamilan, berarti infeksinya
terjadi sudah lama (sebelum hamil) dan sekarang telah memiliki
kekebalan, untuk selanjutnya tidak perlu diperiksa lagi.
b. Infeksi HIV diperkuat oleh tes serologi positif:
 Tes ELISA (Enzim linked immunosorbent assay)
 Western blot dianggap tes yang lebih spesifik untuk infeksi HIV,
dilakukan sama pada spesimen darah jika tes ELISA positif (2kali)

3. Diagnosa Keperawatan dan Rencana Keperawatan


a. Resiko tinggi terhadap infeksi
Berhubungan dengan faktor : penurunan respon imun, kerusakan kulit
Batasan karakteristik : western blot positif, terlihat gejala-gejala ARC atau
AIDS, ada riwayat dirawat untuk pengobatan infeksi, pernah
menerima obat-obat untuk pengobatan infeksi HIV
Hasil pasien (kolaboratif) : mendemostrasikan resolusi pada infeksi saat ini
(sekarang)
Kriteria evaluasi : temperatur dan SDP kembali ke batas normal, keringat
malam berkurang, tidak ada batuk, meningkatnya masukan makanan,
tercapai penyembuhan luka atau lesi pada waktunya
intervensi Rasional
1. Pantau: Data objektif adalah
 Hasil JDL dan CD4 perlu untuk
 Temperatur setiap 4 jam mengevaluasi

 Status umum (apendiks F) setiap keefektifan terapi

delapan jam
2. Kolaborasi pemberian antibiotik dan Antibiotik yang spesifik
evaluasi keefektifannya.. jamin untuk kuman patogen
pemasukan cairan paling sedikit 2-3 liter diperlukan untuk
sehari menangani terjadinya
suatu infeksi. Cairan
membantu distribusi
obat di seluruh tubuh.
3. Ikuti prinsip-prinsip kewaspadaan umum Untuk menurunkan
terhadap darah dan cairan tubuh. Ginakan resiko infeksi
pencegahan dasar yang sesuai untuk nosokomial dan untuk
mencegah kontaminasi terhadap kulit dan mencegah pasien dari
mukosa membran, bila kontak dengan infeksi baru
darah atau cairan tubuh:
 Pakai sarung tangan bila akan
kontak dengan cairan atau darah
 Cuci tangan sebelum dan sesudah
kontak dengan pasien, termasuk
sebelum dan sesudah memakai
sarung tangan
 Pasang label katagori spesifik
isolasi pada pintu kamar pasien.
Jika ada TB paru, pakai masker
dan nasehatkan semua anggota
keluarga pasien untuk skrining
TB, jelaskan bahwa TB menular.
Masker tidak diperlukan untuk PCP
sebab kemungkinan infeksi
disebabkan oleh jamur yang ada pada
tubuhnya sendiri.
 Pakai skort dan kacamata untuk
menghindarkan bila ada percikan
cairan tubuh yang mungkin
terjadi.
 Hindarkan penggunaan jarum
yang telah dipakai. Tempatkan
semua benda tajam ke dalam
kontainer pembuangan
 Bersihkan tumpahan darah dengan
1:10 cairan pemutih (natrium
hipoklorida)
 Tidak dianjurkan untuk
sembarang orang memberikan
perawatan pada pasien yang
mempunyai luka atau lesi
bereksudat dan dermatitis yang
luas sampai luka atau lesi sembuh.
4. Pelihara kenyamanan suhu kamar. Jaga Keringat malam
kebersihan dan keringnya kulit mungkin sumbernya
tidak nyaman, terutama
bila tidur dengan
pakaian basah dan
dingin karena keringat

b. Perubahan nutrisi: kurang dari kebutuhan


Berhubungan dengan faktor: tidak adekuatnya pemasukan nutrisi sebgai
faktor sekunder AIDS pada sistem gastrointestinal, nyeri lesi di mulut
Batasan karakteristik: manifestasi AIDS sindrom, kehilangan berat badan
lebih dari 10%nyang disebabkan mual, muntal, lemah dan letih yang
berlebihan, diare kronis, albumin serum dibawah normal,
keseimbangan nitrogen negatif, terdapat kesulitan mengunyah dan
menelan, terdapat plak-plak putih di mulut
Hasil pasien (kolaboratif): mendemonstrasikan status nutrisi yang adekuat
Kriteria evaluasi: tidak ada penurunan berat badan yang lebih lanjut, hasil
labolatorium keseimbangan nitrogen positif dan albumin serum
sampai ke batas normal, lemah dan letih berkurang, secara verbal
dinyatakan sehat

Intervensi Rasional
1. Pantau: Untuk mengenal indikasi-
 Berat badan setiap hari indikasi kemajuan atau
 Masukan dan keluaran penyimpangan dari hasil yang
setiap 8 jam diharapkan
 Albumin serum dan
BUN
 Pesentase makanan
yang dimakan setiap
makan
2. Jika cairan diare berlebihan: Diare sering disebabkan oleh
 Pertahankan puasa dan protozoa (Cryptospiridium)
pengobata, terutama yang menyerang lapisan
infus NPT epitel, menyebabkan
 Berikan obat-obat anti meningkatnya produksi gas
diare dan evaluasi dan banyak cairan masuk ke
keefektifannya dalam usus. Pasien bisa
Berangsur-angsur mulai lagi kehilangan cairan 10 liter
pemberian makan per oral bila perhari karena diare.
diare terkontro. Anjurkan untuk Berhentinya defekasi hanya
menggunakan bebas laktose, karena pengobatan yang
rendah lemak, tinggi serat, ini efektif.
akan menurunkan volume diare.
Konsul ke dokter jika diare tetap
berlangsung atau tambah
memburuk
3. Rujuk ke ahli gizi Ahli gizi adalah spesialis
untuk membantu nutrisi yang dapat membantu
memilih dan pasien dalam merencanakan
merencanakan menu dan kebutuhan nutisi
makanan untuk untuk kondisi sekarang
kebutuhan nutrisi
DAFTAR PUSTAKA

Doenges Marilynn E, Rencana Asuhan Keperawatan (Pedoman Untuk


Perencanaan dan Pendokumentasian Perawatan Pasien), Edisi 3,
Penerbit Buku Kedokteran EGC, Tahun 2002, Hal ; 52 – 64 & 240 – 249.
Price, Sylvia A dan Lorraine M Wilson. (1995). Patofisiologi Konsep Kllinis
Proses-proses Penyakit. Edisi 4. Jakarta : EGC
Sjamsuhidajat. 2011. Buku Ajar Ilmu Bedah. Jakarta: EGC

Anda mungkin juga menyukai