Anda di halaman 1dari 46

BAB IV

GAMBARAN SUBYEK PENELITIAN DAN ANALISIS DATA

4.1 Gambaran Subyek Penelitian

Subyek penelitian ini menggunakan perusahaan manufaktur yang

terdaftar di Bursa Efek Indonesia (BEI) dengan periode pengamatan penelitian

tahun 2012-2014. Sampel penelitian adalah perusahaan manufaktur yang terdaftar

di Bursa Efek Indonesia selama periode 2012 sampai dengan 2014 yang

memenuhi kriteria pemilihan sampel yang telah ditentukan.

Adapun kriteria pemilihan sampel penelitian ini sebagai berikut :

1. Perusahaan manufaktur yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia (BEI) dan

mengeluarkan laporan keuangan lengkap periode 2012 – 2014

2. Perusahaan yang menggunakan mata uang rupiah dalam laporan keuangannya

3. Sampel yang digunakan harus mempunyai kepemilikan institutional

Tabel 4.1 merupakan hasil pemilihan sampel dalam penelitian ini :


Tabel 4.1
PEMILIHAN SAMPEL PENELITIAN

Kriteria Pemilihan Sampel Jumlah Perusahaan


Perusahaan Manufaktur yang terdaftar di Bursa Efek 143 Perusahaan
Indonesia periode 2012-2014
Laporan keuangan tidak lengkap (13) Perusahaan
Perusahaan yang tidak mempunyai akhir tahun buku per (2) Perusahaan
31 desember
Laporan keuangan dalam mata uang selain rupiah (29) Perusahaan
Perusahaan yang sahamnya tidak dimiliki oleh (2) Perusahaan
institutional investor
Perusahaan manufaktur yang dijadikan sampel 97 Perusahaan
Data penelitian 194 sampel

45
Data outlier (4) sampel
Data penelitian setelah outlier 190 sampel
Sumber : www.idx.co.id, diolah peneliti

46
46

Berdasarkan tabel diatas dapat diketahui bahwa total sampel

perusahaan manufaktur yang memenuhi kriteria pemilihan dalam penelitian ini

terdapat 97 perusahaan.

4.2 Analisis Data

Analisis data yang dilakukan dalam penelitian ini menggunakan

statistik deskriptif, uji asumsi klasik dan dalam pengujian model hipotesis

menggunakan uji regresi linier berganda.

4.2.1 Statistik Deskriptif

Statistik deskriptif menjelaskan keseluruhan dari variabel-variabel yang

diujikan. Variabel tersebut digambarkan dengan melihat nilai dari rata-rata

(mean), standar deviasi, nilai maksimum, dan nilai minimum selama periode

penelitian. Hasil analisis dapat dilihat pada Tabel 4.2 yang menyajikan secara

jelas variabel independen dari penelitian ini yaitu set peluang investasi,

pertumbuhan perusahaan, struktur aset, retained earning, kepemilikan

institutional dan variabel dependen yaitu kebijakan hutang. Tabel 4.2 diatas

adalah deskriptif variabel setelah dilakukan data outlier. Data observasi awal

sebanyak 194 berkurang sebanyak 4 data sehingga nilai N akhir menjadi 190.
47

Tabel 4.2
DESKRIPTIF VARIABEL PENELITIAN

N Range Minimum Maximum Mean Std. Deviation

HUTANG 190 1,374997 ,031922 1,406920 ,463824 ,249424


IOS 10,61889
190 87,881585 -5,960857 81,920727 12,925789
6
GROWTH 190 4,207844 -,427885 3,779959 ,220786 ,391589
STRUKTUR
190 ,926564 ,021485 ,948050 ,357243 ,206921
ASET
INSTITUTIONAL 190 ,988986 ,000596 ,989583 ,557782 ,260105
Valid N (listwise) 190
Sumber : data olahan SPSS

Variabel N Positif Negatif


Laba ditahan 190 157 33
82,63 % 17,37 %
Sumber : diolah peneliti

1. Kebijakan Hutang

Kebijakan hutang diukur dengan menggunakan debt ratio yaitu membagi

total hutang dengan total aset. Semakin besar rasio ini maka semakin besar

penggunaan dana melalui hutang yang digunakan untuk membiayai investasi aset

perusahaan. Tabel 4.2 diatas menunjukkan nilai mean untuk variabel kebijakan

hutang sebesar 0,463824 dengan standar deviasi sebesar 0,249424. Nilai mean

untuk variabel kebijakan hutang berada diatas nilai standar deviasi yang artinya

bahwa variasi data untuk variabel kebijakan hutang lebih homogen atau tidak

bervariasi. Dapat disimpulkan bahwa nilai rata-rata kebijakan hutang memiliki

tingkat penyimpangan yang rendah sehingga menyebabkan data menjadi akurat.


48

Tabel 4.3
RINGKASAN VARIABEL KEBIJAKAN HUTANG

Kebijakan Hutang
Tahun
Min Max Mean
2013 0.031922 1.395261 0.461884
2014 0.041337 1.40692 0.446225
Sumber : data diolah, Lampiran 2

Tabel 4.3 menunjukkan bahwa kebijakan hutang selama dua tahun periode

observasi yakni 2013-2014 dengan sampel sebanyak 190 (setelah outlier)

perusahaan manufaktur. Nilai kebijakan hutang tertinggi tahun 2013 dimiliki PT.

Sumalindo Lestari Jaya Tbk (SULI) sebesar 1,395261 sedangkan nilai kebijakan

hutang terendah tahun 2013 dimiliki PT. Jembo Cable Company Tbk (JECC)

sebesar 0,031922. PT. Sumalindo Lestari Jaya Tbk (SULI) juga menempati posisi

nilai tertinggi sebesar 1,40692 di tahun 2014 sedangkan di posisi terendah dimiliki

PT. Jaya Pari Steel Tbk (JPRS) sebesar 0,041337. Secara keseluruhan perusahaan

sampel (N) memiliki kebijakan hutang yang baik. Hal tersebut ditunjukkan

dengan melihat rata-rata kebijakan hutang dibawah 1, sehingga dapat disimpulkan

bahwa perusahaan dapat membayar hutang dengan aset perusahaan.

2. Set Peluang Investasi (IOS)

Variabel IOS (Investment Opportunity Set) atau set peluang investasi diukur

dengan menggunakan lima proksi tunggal dimana penelitian ini menggunakan

proksi berbasis harga dan proksi berbasis investasi yang terdiri dari rasio market

to book value of equity (MVEBVE), rasio market to book value of asets

(MVABVA), rasio firm value to book value of PPE (VPPE), Capital Addition to
49

asets book value ratio (CEBVA), dan Capital Addition to asets market value ratio

(CEMVA).

Cara menentukan nilai set peluang investasi atau IOS yaitu dengan

menggunakan analisis faktor. Tujuan utama dari analisis faktor adalah

menganalisis struktur yang saling berhubungan (korelasi) antar sejumlah variabel

dengan cara mendefinisikan satu set kesamaan variabel atau dimensi yang sering

disebut faktor. Jadi analisis faktor adalah meringkas (summarize) informasi yang

ada dalam variabel asli (awal) menjadi satu set dimensi yang baru atau variate

(factor). Hal ini dapat dilakukan dengan cara menentukan sturuktur lewat data

summarization atau lewat data reduction (pengurangan data). Berikut hasil dari

pengolahan data :

Tabel 4.4
ANALISIS FAKTOR

KMO and Bartlett's Test

Kaiser-Meyer-Olkin Measure of Sampling Adequacy. .604


Bartlett's Test of Sphericity Approx. Chi-Square 474.081

Df 10

Sig. .000
Sumber : data olahan SPSS

Hasil uji KMO (Kaiser-Meyer-Olkin) ternyata diatas 0,50, berarti data

dapat dilakukan analisis faktor karena sudah memenuhi syarat diatas 0,50. Nilai

Bartlett’s test of sphericity juga signifikan pada 0,05. Jadi dapat disimpulkan

bahwa analisis faktor dapat diteruskan.


50

Total Variance Explained

Extraction Sums of Squared Rotation Sums of Squared


Initial Eigenvalues Loadings Loadings

Compo % of Cumulative % of Cumulative % of Cumulative


nent Total Variance % Total Variance % Total Variance %

1 2,530 50,597 50,597 2,530 50,597 50,597 2,347 46,935 46,935


2 1,516 30,324 80,921 1,516 30,324 80,921 1,699 33,986 80,921
3 ,521 10,424 91,345
4 ,289 5,783 97,127
5 ,144 2,873 100,000

Extraction Method: Principal Component Analysis.


Sumber : data olahan SPSS

Dari kelima variabel yang dianalisis ternyata hasil ekstrasi komputer

menjadi dua faktor (nilai eigenvalue > 1 menjadi faktor). Faktor 1 mampu

menjelaskan 50,597% variasi sedangkan faktor 2 hanya mampu menjelaskan

30,324% atau kedua faktor keseluruhan mampu menjelaskan 80,921% variasi.

Component Matrixa

Component

1 2

MVEBVE ,830 ,324


MVABVA ,911 ,260
VPPE ,757 ,304
CEBVA -,432 ,814
CEMVA -,501 ,767

Extraction Method: Principal


Component Analysis.
a. 2 components extracted.
51

Rotated Component Matrixa

Component

1 2

MVEBVE ,889 -,059


MVABVA ,935 -,152
VPPE ,815 -,047
CEBVA -,045 ,920
CEMVA -,127 ,907

Extraction Method: Principal


Component Analysis.
Rotation Method: Varimax with
Kaiser Normalization.
a. Rotation converged in 3 iterations.
Sumber : data olahan SPSS

Dengan melihat component matrix dan varimax rotated component matrix

jelas bahwa yang mengelompok pada faktor 1 adalah MVEBVE, MVABVA, dan

VPPE dan faktor 2 adalah CEBVA, dan CEMVA. Pada rotated component matrix

dapat dilihat faktor 1 adalah MVEBVE sebesar 0,889, MVABVA sebesar 0,935

dan VPPE sebesar 0,815. Pada faktor 2 dapat dilihat bahwa CEBVA sebesar

0,920 dan CEMVA sebesar 0,907. Penentuan nilai proksi gabungan dari variabel

set peluang investasi didasarkan pada penjumlahan kedua faktor, yaitu faktor 1

(fact_1) dan faktor 2 (fact_2) menjadi fact_sum. Dengan perhitungan sebagai

berikut :

F1 = (0,889*MVEBVE) + (0,935*MVABVA) + (0,815*VPPE)

F2 = (0,920*CEBVA) + (0,907*CEMVA)

Yang mana nilai MVEBVE, MVABVA, VPPE, CEBVA dan CEMVA

diperoleh dari hasil perhitungan yang dapat dilihat pada Lampiran 3. Kemudian

F1 + F2 = fact_sum, yang mana diperoleh nilai variabel IOS.


52

Tabel 4.2 menunjukkan bahwa nilai rata-rata IOS sebesar 10,618896

dengan standar deviasi sebesar 12,925789. Variabel IOS menunjukkan nilai

tertinggi sebesar 81,920727 dan nilai terendah sebesar -5,960857. Nilai mean

untuk variabel IOS berada dibawah nilai standar deviasi yang artinya bahwa

variasi data untuk variabel IOS lebih heterogen atau lebih bervariasi. Dapat

disimpulkan bahwa nilai rata-rata IOS memiliki tingkat penyimpangan yang

tinggi sehingga data menjadi tidak akurat.

Tabel 4.5
RINGKASAN VARIABEL IOS

IOS (fact_sum)
Tahun
Min Max Mean
2012 -5,9608 81,9207 10,8907
2013 -1,0413 76,6141 10,3471
Sumber : data diolah, Lampiran 3

Tabel 4.5 menunjukkan variabel IOS yang menggunakan pendekatan

untuk pengukuran lima proksi tunggal menjadi satu proksi gabungan yaitu set

peluang investasi dengan menggunakan analisis faktor. Tabel tersebut menyajikan

rincian nilai maksimum dan minimum dari nilai keseluruhan atas komponen

MVEBVE, MVABVA, VPPE, CEBVA, dan CEMVA yang telah dilakukan

analisis faktor selama tahun 2012-2013.

Nilai set peluang investasi tertinggi tahun 2012 dimiliki PT. Hanjaya

Mandala Sampoerna Tbk (HMSP) sebesar 81,9207 sedangkan nilai set peluang

investasi terendah tahun 2012 dimiliki PT. Yana Prima Hasta Persada Tbk

(YPAS) sebesar -5,9608. PT. Hanjaya Mandala Sampoerna Tbk (HMSP) juga

menempati posisi nilai tertinggi sebesar 76,6141 di tahun 2013 sedangkan di

posisi terendah dimiliki PT. Apac Citra Centertex Tbk (MYTX) sebesar -1,0413.
53

Secara keseluruhan perusahaan sampel (N) memiliki nilai set peluang yang tinggi

dengan nilai mean yang tinggi diatas 1. Hal ini dapat disimpulkan bahwa

berdasarkan pendekatan harga dan pendekatan investasi maka perusahaan

memiliki tingkat investasi yang tinggi dimana banyaknya aset yang ditanamkan

perusahaan.

3. Pertumbuhan Perusahaan

Pertumbuhan perusahaan diukur dengan menggunakan rumus growth ratio

dimana membagi selisih antara total aset tahun ini dan tahun sebelumnya dibagi

dengan total aset tahun sebelumnya. Tabel 4.2 menunjukkan bahwa variabel

pertumbuhan perusahaan nilai tertinggi sebesar 3,779959 dan nilai terendah

sebesar -0,427885. Nilai mean untuk variabel pertumbuhan perusahaan sebesar

0,220786 dengan standar deviasi sebesar 0,391589. Nilai mean tersebut berada

dibawah nilai standar deviasi yang artinya bahwa variasi data untuk variabel

pertumbuhan perusahaan lebih heterogen atau lebih bervariasi. Dapat disimpulkan

bahwa nilai rata-rata pertumbuhan perusahaan memiliki tingkat penyimpangan

yang tinggi sehingga data menjadi tidak akurat.

Tabel 4.6
RINGKASAN VARIABEL PERTUMBUHAN PERUSAHAAN

GROWTH
Tahun
Min Max Mean
2012 -0,4278 0,6291 0,1601
2013 -0,3413 3,7799 0,2814
Sumber : data diolah, Lampiran 2

Tabel 4.6 menunjukkan bahwa nilai pertumbuhan perusahaan tertinggi

tahun 2012 dimiliki PT. Wismilak Inti Makmur Tbk (WIIM) sebesar 0,6291

sedangkan nilai pertumbuhan perusahaan terendah tahun 2012 dimiliki PT. Alaska
54

Industrindo Tbk (ALKA) sebesar -0,4278. PT. Hanson International Tbk (MYRX)

menempati posisi nilai tertinggi sebesar 3,7799 di tahun 2013 sedangkan di posisi

terendah dimiliki PT. Sumalindo Lestari Jaya Tbk (SULI) sebesar -0,3413. Hasil

ringkasan pertumbuhan perusahaan ditunjukkan dengan melihat rata-rata

pertumbuhan perusahaan bernilai positif, sehingga dapat disimpulkan bahwa

perusahaan memanfaatkan sumber daya yang dimiliki dan menghasilkan

pertumbuhan perusahaan yang baik.

4. Struktur Aset

Struktur aset diukur dengan menggunakan perbandingan total aset tetap

dengan total aset. Tabel 4.2 menunjukkan bahwa variabel struktur aset nilai

tertinggi sebesar 0,948050 dan nilai terendah sebesar 0,021485. Nilai mean untuk

variabel struktur aset sebesar 0,357243 dengan standar deviasi sebesar 0,206921.

Nilai mean tersebut berada diatas nilai standar deviasi yang artinya bahwa variasi

data untuk variabel struktur aset lebih homogen atau tidak bervariasi. Dapat

disimpulkan bahwa nilai rata-rata struktur aset memiliki tingkat penyimpangan

yang rendah sehingga menyebabkan data menjadi akurat.

Tabel 4.7
RINGKASAN VARIABEL STRUKTUR ASET

STRUKTUR ASET
Tahun
Min Max Mean
2012 0,0214 0,9480 0,3631
2013 0,0286 0,8962 0,3514
Sumber : data diolah, Lampiran 2

Tabel 4.7 menunjukkan ringkasan struktur aset selama tahun 2012-2013,

nilai tertinggi dimiliki oleh PT. Kertas Basuki Rachmat Indonesia Tbk. (KBRI)

pada tahun 2012 sebesar 0,9480 sedangkan nilai terendah sebesar 0,0214 pada
55

tahun 2012 yang dimiliki oleh PT. Alaska Industrindo Tbk. (ALKA). PT. Kertas

Basuki Rachmat Indonesia Tbk. (KBRI) juga menempati posisi nilai tertinggi

sebesar 0,8962 di tahun 2013 sedangkan di posisi terendah dimiliki PT. Multi

Prima Sejahtera Tbk. (LPIN) sebesar 0,0286. Secara keseluruhan perusahaan

sampel (N) memiliki struktur aset yang baik. Hal tersebut ditunjukkan dengan

melihat rata-rata struktur aset sebesar 0,35, sehingga dapat disimpulkan bahwa

perusahaan mempunyai struktur aset yang baik dengan nilai proporsi aset tetap

yang dimiliki perusahaan sebesar 35% dari total aset.

5. Retained Earning

Retained earning atau laba ditahan diukur menggunakan variabel dummy

dimana dikategorikan 1 jika mempunyai laba ditahan positif dan dikategorikan 0

jika mempunyai laba ditahan negatif atau defisit. Didalam tabel 4.2, variabel laba

ditahan menunjukkan bahwa terdapat 157 sampel yang mempunyai laba ditahan

positif atau sama dengan 82,63 persen dari keseluruhan sampel, sedangkan 33

sampel lainnya mempunyai laba ditahan negatif (defisit) atau sama dengan 17,37

persen dari keseluruhan sampel

Tabel 4.8
RINGKASAN VARIABEL RETAINED EARNING

RETAINED EARNING
Tahun
Kategori 1 Kategori 0
2012 77 81,05 % 18 18,95 %
2013 80 84,21 % 15 15,79 %
Sumber : data diolah, Lampiran 2

Tabel 4.8 menunjukkan ringkasan laba ditahan selama tahun 2012-2013,

terdapat 77 sampel perusahaan yang dikategorikan 1 atau mempunyai laba ditahan

positif pada tahun 2012 dengan 81,05 persen sedangkan yang dikategorikan 0 atau
56

mempunyai laba ditahan negatif pada tahun 2012 terdapat 18 sampel perusahaan

dengan 18,95 persen. Terdapat 80 sampel perusahaan yang dikategorikan 1 atau

mempunyai laba ditahan positif di tahun 2013 dengan 84,21 persen sedangkan

yang dikategorikan 0 atau mempunyai laba ditahan negatif pada tahun 2013

terdapat 15 sampel perusahaan dengan 15,79 persen.

6. Kepemilikan Institutional

Kepemilikan institutional diukur dengan menggunakan persentase saham

institusional yang ada dibagi dengan saham yang beredar. Tabel 4.2 menunjukkan

bahwa nilai tertingi variabel kepemilikan institutional sebesar 0,989583 dan nilai

terendah sebesar 0,000596. Nilai mean variabel kepemilikan institutional sebesar

0,557782 dengan standar deviasi sebesar 0,260105. Nilai mean tersebut berada

diatas nilai standar deviasi kepemilikan institutional yang artinya bahwa variasi

data untuk variabel kepemilikan institutional lebih homogen atau tidak bervariasi.

Dapat disimpulkan bahwa nilai rata-rata kepemilikan institutional memiliki

tingkat penyimpangan yang rendah sehingga menyebabkan data menjadi akurat.

Tabel 4.9
RINGKASAN VARIABEL KEPEMILIKAN INSTITUTIONAL

KEPEMILIKAN INSTITUTIONAL
Tahun
Min Max Mean
2012 0,0005 0,9895 0,5540
2013 0,0193 0,9895 0,5615
Sumber : data diolah, Lampiran 2

Tabel 4.9 menunjukkan bahwa ringkasan kepemilikan institutional selama

tahun 2012-2013, nilai tertinggi sebesar 0,9895 dimiliki oleh PT. Bentoel

International Investama Tbk. (RMBA) sedangkan nilai terendah sebesar 0,0005

pada tahun 2012 yang dimiliki oleh PT. Sepatu Bata Tbk. (BATA). PT. Bentoel
57

International Investama Tbk. (RMBA) juga menempati posisi nilai tertinggi

sebesar 0,9895 di tahun 2013 sedangkan di posisi terendah dimiliki PT. Keramika

Indonesia Assosiasi Tbk. (KIAS) sebesar 0,0193. Hasil ringkasan kepemilikan

institutional menunjukkan bahwa sebagian perusahaan yang memiliki kepemilikan

institutional sebesar lebih dari 50%. Dapat disimpulkan bahwa semakin tinggi

nilai kepemilikan institutional maka memiliki dampak penting dalam sistem

pengendalian manajemen perusahaan terutama dalam penggunaan dana

perusahaan.

4.2.2 Uji Asumsi Klasik

A. Uji Normalitas

Uji Normalitas bertujuan untuk menguji apakah model regresi antar

variabel terikat dan variabel bebas keduanya mempunyai distribusi normal atau

tidak. Jika terdapat normalitas data maka nilai residual akan dapat terdistribusi

normal. Ada dua cara untuk mendeteksi apakah nilai residual berdistribusi normal

atau tidak yaitu dengan menggunakan analisis statistik dan analisis grafik.

Penelitian ini menggunakan analisis statistik yaitu uji kolmogorov-smirnov. Hal

ini dilakukan untuk menghindari ketidakakuratan dalam mendeteksi suatu data

yang menyesatkan. Pengujian kolmogorov-smirnov memiliki nilai > 0,05 maka

dapat dikatakan unstadardized residual normal (Imam Ghozali, 2013:163).


58

Tabel 4.10
HASIL UJI NORMALITAS AWAL
SET PELUANG INVESTASI, PERTUMBUHAN PERUSAHAAN, STRUKTUR
ASET, LABA DITAHAN, KEPEMILIKAN INSTITUTIONAL TERHADAP
KEBIJAKAN HUTANG

One-Sample Kolmogorov-Smirnov Test

Unstandardized
Residual

N 194
a,b
Normal Parameters Mean ,0000000
Std. Deviation ,36255015
Most Extreme Differences Absolute ,143
Positive ,143
Negative -,101
Test Statistic ,143
Asymp. Sig. (2-tailed) ,000c

a. Test distribution is Normal.


b. Calculated from data.
c. Lilliefors Significance Correction.
Sumber : data olahan SPSS

Tabel 4.10 menunjukkan hasil output pada pengujian normalitas data pada

set peluang investasi, pertumbuhan perusahaan, struktur aset, laba ditahan, dan

kepemilikan institutional terhadap kebijakan hutang. Berdasarkan hasil tersebut

dapat dilihat bahwa jumlah data observasi selama tahun 2012-2014 sebanyak 194

memiliki nilai kolmogorov-smirnov Z sebesar 0,143 dan nilai Asymp. Sig. (2-

tailed) sebesar 0,000. Nilai tersebut berada < 0,05 yang menunjukkan bahwa data

belum terdistribusi secara normal. Sehingga peneliti menormalkan data dengan

cara mengkonversi nilai data dalam skor standardized atau biasa disebut dengan z-

score.
59

Kasus penelitian dengan sampel kecil (kurang dari 80) maka standar skor

dengan nilai ≥ 2,5 sedangkan sampel besar standar skor untuk data outlier dengan

nilai kisaran sebesar 3-4. Peneliti menggunakan standar skor sebesar 3.

Tabel 4.11
HASIL UJI OUTLIER RES 1

Casewise Diagnosticsa

Case Number Std. Residual HUTANG Predicted Value Residual

1 6,255 2,728438 ,430898 2,297540


38 4,642 2,554215 ,849207 1,705008
98 5,593 2,863555 ,808859 2,054696
135 4,156 2,377900 ,851218 1,526681

a. Dependent Variable: HUTANG


Sumber : data olahan SPSS

Tabel 4.11 menyajikan hasil uji outlier dengan sampel awal sebesar 194.

Peneliti melakukan penghapusan data sampel dengan membuang data dengan nilai

standar deviasi kisaran sebesar > 3. Data sampel yang terdeteksi oleh outlier

berjumlah empat data yakni data pada nomer urut 1, 38, 98, dan 135 dari 194

sampel. Data yang terhapus adalah data perusahaan PT. Primarindo Asia

Infrastructure Tbk. (BIMA) dan PT. Jakarta Kyoei Steel Work LTD Tbk.

(JKSW). Sehingga dapat diketahui bahwa total sampel setelah outlier pertama

dalam penelitian ini sejumlah 190 sampel.


60

Tabel 4.12
HASIL UJI NORMALITAS AKHIR
SET PELUANG INVESTASI, PERTUMBUHAN PERUSAHAAN, STRUKTUR
ASET, LABA DITAHAN, KEPEMLIKAN INSTITUTIONAL TERHADAP
KEBIJAKAN HUTANG

One-Sample Kolmogorov-Smirnov Test

Unstandardized
Residual

N 190
a,b
Normal Parameters Mean ,0000000
Std. Deviation ,21845551
Most Extreme Differences Absolute ,054
Positive ,054
Negative -,037
Test Statistic ,054
Asymp. Sig. (2-tailed) ,200c,d

a. Test distribution is Normal.


b. Calculated from data.
c. Lilliefors Significance Correction.
d. This is a lower bound of the true significance.
Sumber : data olahan SPSS

Tabel 4.12 merupakan hasil pengujian setelah melakukan outlier data

dengan menggunakan data sampel sejumlah 190. Berdasarkan hasil uji tersebut

dapat dilihat bahwa yang dilakukan dengan membuang data outlier menghasilkan

nilai Kolmogorov-smirnov Z sebesar 0,054 dan nilai Asymp. Sig. (2-tailed)

sebesar 0,200. Nilai Asymp. Sig. (2-tailed) tersebut berada > 0,05 yang

menunjukkan bahwa data telah terdistribusi normal.

B. Uji Multikolonieritas

Uji Multikolonieritas bertujuan untuk menguji apakah model regresi

ditemukan adanya korelasi antar variabel bebas (independen). Model regresi yang

baik seharusnya tidak terjadi korelasi diantara variabel independen. Jika variabel
61

independen saling berkorelasi, maka variabel-variabel ini tidak ortogonal.

Variabel ortogonal adalah variabel independen yang nilai korelasi antar variabel

independen sama dengan nol.

Tabel 4.13
HASIL UJI MULTIKOLONIERITAS

Coefficientsa

Unstandardized Standardized Collinearity


Coefficients Coefficients Statistics

Model B Std. Error Beta T Sig. Tolerance VIF

1 (Constant) ,511 ,069 7,403 ,000

IOS -,002 ,001 -,126 -1,805 ,073 ,861 1,161

GROWTH ,000 ,042 ,000 -,006 ,995 ,972 1,029

STRUKTUR ASET ,223 ,085 ,185 2,624 ,009 ,838 1,193

LABA DITAHAN -,214 ,044 -,327 -4,922 ,000 ,947 1,056

INSTITUTIONAL ,136 ,062 ,142 2,184 ,030 ,990 1,011

a. Dependent Variable: HUTANG


Sumber : data olahan SPSS

Tabel 4.13 menyajikan hasil uji multikolonieritas yakni melihat hasil

besaran korelasi antar variabel independen dimana hanya variabel IOS yang

mempunyai korelasi cukup tinggi dengan variabel struktur aset dengan tingkat

korelasi sebesar 0,353 atau sekitar 35,3%. Oleh karena korelasi ini masih dibawah

95%, maka dapat disimpulkan bahwa tidak terjadi multikolonieritas yang serius.

Hasil perhitungan nilai Tolerance juga menunjukkan tidak ada variabel

independen yang memiliki nilai Tolerance kurang dari 0,10 yang berarti tidak ada

korelasi antar variabel independen yang nilainya lebih dari 95%. Hasil

perhitungan nilai Variance Inflation Factor (VIF) juga menunjukkan hal yang

sama yakni tidak ada satu variabel independen yang memiliki nilai VIF lebih dari
62

10. Jadi dapat disimpulkan bahwa tidak ada multikolonieritas antar variabel

independen dalam model regresi.

C. Uji Autokorelasi

Uji Autokorelasi bertujuan untuk menguji apakah model regresi linier ada

korelasi antara kesalahan pengganggu pada periode t dengan kesalahan

pengganggu pada periode t-1 (sebelumnya). Jika terjadi korelasi, maka dinamakan

ada problem autokorelasi. Autokorelasi muncul karena observasi yang berurutan

sepanjang waktu berkaitan satu sama lainnya. Model regresi yang baik adalah

regresi yang bebas dari autokorelasi. Adapun cara yang digunakan untuk

mendeteksi ada atau tidaknya autokorelasi salah satunya dengan menggunakan uji

Durbin-Watson (DW Test).

Tabel 4.14
HASIL UJI AUTOKORELASI

Model Summaryb

Adjusted R Std. Error of the


Model R R Square Square Estimate Durbin-Watson

1 ,483a ,233 ,212 ,221403760299652 1,776

a. Predictors: (Constant), INSTITUTIONAL, GROWTH, STRUKTUR ASET, LABA DITAHAN,


IOS
b. Dependent Variable: HUTANG
Sumber : data olahan SPSS

Tabel 4.14 menyajikan hasil uji autokorelasi dengan uji durbin-watson.

Berdasarkan tabel diatas dapat diketahui bahwa nilai DW sebesar 1,776 yang akan

dibandingkan dengan nilai tabel dengan menggunakan nilai signifikansi 5%,

jumlah sampel data 190 (n) dan jumlah variabel independen 5 (k=5). Berikut

adalah nilai didalam tabel Durbin Watson sebagai berikut :


63

TABEL 4.15
TABEL DURBIN-WATSON TEST BOUND

k=5
n du
Dl
15 0,562 2,220
. . .
. . .
. . .
100 1,571 1,780
150 1,665 1,802
190 1,708 1,816
Sumber : (Imam Ghozali, 2013), Lampiran 5

Maka nilai DW 1,776 lebih kecil dari batas atas (du) 1,816 dan lebih besar

dari batas bawah (dl) 1,708. Jadi dapat disimpulkan bahwa tidak ada keputusan

untuk menolak H0 yang menyatakan bahwa tidak ada keputusan untuk menolak

autokorelasi positif atau dapat disimpulkan bahwa terdapat autokorelasi positif.

D. Uji Heteroskedastisitas

Uji heteroskedastisitas bertujuan untuk menguji apakah dalam model

regresi terjadi ketidaksamaan variance dari residual satu pengamatan ke

pengamatan lain. Jika variance dari residual satu pengamatan ke pengamatan lain

tetap, maka disebut homoskedastisitas dan jika berbeda disebut

heteroskedastisitas. Model regresi yang baik adalah yang homoskedastisitas atau

tidak terjadi heteroskedastisitas. Data crosssection mengandung situasi

heteroskedastisitas karena data ini menghimpun data yang mewakili berbagai

ukuran (kecil, sedang, besar).


64

Tabel 4.16
HASIL UJI HETEROSKEDASTISITAS

Coefficientsa

Standardized
Unstandardized Coefficients Coefficients

Model B Std. Error Beta t Sig.

1 (Constant) ,332 ,039 8,419 ,000

IOS -,002 ,001 -,160 -2,127 ,035

GROWTH -,006 ,024 -,017 -,238 ,812

STRUKTUR ASET -,089 ,049 -,140 -1,829 ,069

LABA DITAHAN -,093 ,025 -,269 -3,747 ,000

INSTITUTIONAL -,056 ,036 -,110 -1,568 ,119

a. Dependent Variable: Abs_Res


Sumber : data olahan SPSS

Jika variabel independen signifikan secara statistik mempengaruhi variabel

dependen, maka ada indikasi terjadi heteroskedastisitas. Hasil tampilan tabel 4.16

menunjukkan bahwa variabel independen IOS dan laba ditahan yang signifikan

secara statistik mempengaruhi variabel dependen nilai absolut Res (Abs_Res). Hal

ini terlihat dari probabilitas signifikansinya dibawah tingkat kepercayaan 5%. Jadi

dapat disimpulkan model regresi mengandung adanya heteroskedastisitas.

4.2.3 Analisis Regresi Linier Berganda

Analisis regresi dihasilkan dengan cara memasukkan input pada data

variabel kedalam fungsi regresi. Analisis regresi linier berganda digunakan untuk

mengetahui seberapa besar pengaruh variabel bebas terhadap variabel

tergantungnya. Analisis hasil uji regresi linier berganda akan diuraikan sebagai

berikut :
65

1. Uji statistik F (Uji model)

Uji statistik F menunjukkan model regresi set peluang investasi, pertumbuhan

perusahaan, struktur aset, laba ditahan, kepemilikan institutional terhadap

kebijakan hutang apakah fit dengan data penelitian sehingga data tersebut dapat

digunakan atau model regresi sudah tepat. Hasil analisis uji statistik F disajikan

pada tabel 4.14.

Tabel 4.17
HASIL ANALISIS UJI F

ANOVAa

Model Sum of Squares Df Mean Square F Sig.

1 Regression 2,739 5 ,548 11,173 ,000b

Residual 9,020 184 ,049

Total 11,758 189

a. Dependent Variable: HUTANG


b. Predictors: (Constant), INSTITUTIONAL, GROWTH, STRUKTUR ASET, LABA DITAHAN, IOS
Sumber : data olahan SPSS

Analisis tabel 4.17 hasil uji F atau Anova menunjukkan nilai F hitung 11,173

dengan tingkat signifikansi 0,000. Nilai signifikansi tersebut < 0,05 yang artinya

H0 ditolak. Hal ini berarti bahwa data tersebut dapat dikatakan memenuhi

penilaian data yang fit sehingga dapat digunakan untuk pengujian selanjutnya.

Jadi dapat disimpulkan hasil uji F menunjukkan model regresi baik (fit).

2. Uji Koefisien Determinasi (R2)

Uji Koefisien determinasi digunakan untuk mengukur seberapa jauh

kemampuan model dapat menjelaskan variasi dari variabel dependen. Nilai

koefisien determinasi adalah antara nol dan satu. Nilai (R 2) yang kecil berarti
66

kemampuan variabel-variabel independen dalam menjelaskan variabel independen

sangat terbatas. Nilai (R2) yang mendekati satu berarti variabel independen dapat

memberikan semua informasi yang dibutuhkan memprediksi variasi variabel

independen. Hasil analisis uji koefisien determinasi disajikan dalam tabel 4.15.

Tabel 4.18
HASIL UJI KOEFISIEN DETERMINASI (R2)

Model Summaryb

Adjusted R Std. Error of the


Model R R Square Square Estimate Durbin-Watson
a
1 ,483 ,233 ,212 ,221403760299 1,776

a. Predictors: (Constant), INSTITUTIONAL, GROWTH, STRUKTUR ASET, LABA


DITAHAN, IOS
b. Dependent Variable: HUTANG
Sumber : data olahan SPSS

Tabel 4.18 menunjukkan besarnya nilai Adjusted R Square sebesar 0,212 yang

artinya bahwa hanya 21,2% variasi kebijakan hutang dapat dijelaskan oleh variasi

set peluang investasi, pertumbuhan perusahaan, struktur aset, laba ditahan, dan

kepemilikan institutional. Sisanya sebesar 78,8% dijelaskan oleh variabel lain

diluar model. Nilai standard error of the estimate (SEE) sebesar 0,2214037. Nilai

SEE ini menunjukkan bahwa semakin kecil nilai SEE akan membuat model

regresi semakin tepat dalam memprediksi variabel dependen.

3. Uji Statistik t

Uji statistik t ini digunakan untuk mengetahui kebenaran pernyataan atau

dengan yang dihipotesiskan oleh peneliti. Uji ini juga digunakan untuk

menunjukkan seberapa jauh pengaruh satu variabel independen secara individual

dalam menerangkan variasi variabel dependen. Penentuan nilai signifikansi yaitu

sebesar 5% dapat dilakukan dengan berdasarkan nilai probabilitas. Jika nilai


67

probabilitas ≥ 0,05 maka H0 diterima sedangkan jika nilai probabilitas < 0,05

maka H0 ditolak.

Tabel 4.19
HASIL UJI T

Unstandardized Standardized
Coefficients Coefficients

Model B Std. Error Beta T Sig.

1 (Constant) ,511 ,069 7,403 ,000

IOS -,002 ,001 -,126 -1,805 ,073

GROWTH ,000 ,042 ,000 -,006 ,995

STRUKTUR ASET ,223 ,085 ,185 2,624 ,009

LABA DITAHAN -,214 ,044 -,327 -4,922 ,000

INSTITUTIONAL ,136 ,062 ,142 2,184 ,030


Sumber : data olahan SPSS

Tabel 4.19 menunjukkan bahwa terdapat dua variabel independen yang ada

pada model regresi yaitu set peluang investasi (IOS) dan pertumbuhan perusahaan

(GROWTH) yang tidak signifikan. Hal tersebut dapat dilihat dari nilai signifikansi

untuk set peluang investasi sebesar 0,073 dan pertumbuhan perusahaan sebesar

0,995. Hasil nilai signifikansi kedua variabel tersebut berada > 0,05. Dari hasil

tersebut dapat disimpulkan bahwa dalam model regresi pada penelitian kebijakan

hutang dipengaruhi oleh struktur aset, laba ditahan dan kepemilikan institutional

dengan persamaan sebagai berikut :

DEBT = 0,511 – 0,002 IOS + 0,000 GROWTH + 0,223 STRUKTUR

ASET – 0,214 LABA DITAHAN + 0,136 INSTITUTIONAL


68

Adapun interpretasi dari nilai koefisien persamaan regresi tersebut adalah :

1. Konstanta sebesar 0,511 yang artinya bahwa jika variabel independen (set

peluang investasi, pertumbuhan perusahaan, struktur asset, retained earning,

dan kepemilikan institutional) dianggap konstan, maka besarnya kebijakan

hutang sebesar 0,511.

2. Koefisien regresi struktur aset sebesar 0,223 yang menyatakan bahwa setiap

kenaikan variabel struktur aset sebesar 1 rupiah maka akan meningkatkan

variabel kebijakan hutang sebesar 0,223 rupiah.

3. Koefisien regresi laba ditahan sebesar – 0,214 yang menyatakan bahwa setiap

kenaikan variabel laba ditahan sebesar 1 rupiah maka akan menurunkan

variabel kebijakan hutang sebesar 0,214 rupiah.

4. Koefisien regresi kepemilikan institutional sebesar 0,136 yang menyatakan

bahwa setiap kenaikan variabel kepemilikan institutional sebesar 1 persen

maka akan meningkatkan variabel kebijakan hutang sebesar 0,136 persen.

Berdasarkan data dari tabel 4.19 dapat disimpulkan bahwa :

1. Variabel X1 (set peluang investasi) berdasarkan hasil perhitungan yang

diperoleh dengan tingkat signifikansi sebesar 0,073 lebih besar dari taraf

signifikansi 0,05. Nilai t hitung sebesar – 1,805 dan tidak bernilai positif maka

H0 diterima. Variabel set peluang investasi tidak berpengaruh positif terhadap

kebijakan hutang.

2. Variabel X2 (pertumbuhan perusahaan) berdasarkan hasil perhitungan yang

diperoleh dengan tingkat signifikansi sebesar 0,995 lebih besar dari taraf

signifikansi 0,05. Nilai t hitung sebesar – 0,006 dan bernilai negatif maka H0
69

diterima. Variabel pertumbuhan perusahaan tidak berpengaruh negatif

terhadap kebijakan hutang.

3. Variabel X3 (struktur aset) berdasarkan hasil perhitungan yang diperoleh

dengan tingkat signifikansi sebesar 0,009 lebih kecil dari taraf signifikansi

0,05. Nilai t hitung sebesar 2,624 dan bernilai positif maka H0 ditolak.

Variabel struktur aset berpengaruh positif terhadap kebijakan hutang.

4. Variabel X4 (laba ditahan) berdasarkan hasil perhitungan yang diperoleh

dengan tingkat signifikansi sebesar 0,000 lebih kecil dari taraf signifikansi

0,05. Nilai t hitung sebesar – 4,922 dan bernilai negatif maka H0 ditolak.

Variabel laba ditahan berpengaruh negatif terhadap kebijakan hutang.

5. Variabel X5 (kepemilikan institutional) berdasarkan hasil perhitungan yang

diperoleh dengan tingkat signifikansi sebesar 0,030 lebih kecil dari taraf

signifikansi 0,05. Nilai t hitung sebesar 2,814 dan bernilai positif maka H0

ditolak. Variabel kepemilikan institutional berpengaruh positif terhadap

kebijakan hutang.

4.3 Pembahasan

Penelitian ini bertujuan untuk menguji pengaruh set peluang investasi,

pertumbuhan perusahaan, struktur aset, laba ditahan, kepemilikan institutional

terhadap kebijakan hutang. Penelitian ini dilakukan pada perusahaan manufaktur

yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia selama tahun 2012-2014. Berikut ini hasil

dari variabel independen yang berpengaruh ataupun tidak berpengaruh signifikan

positif atau negatif terhadap kebijakan hutang (variabel dependen) :


70

Tabel 4.20
HASIL PENGUJIAN VARIABEL INDEPENDEN

No Variabel Independen t hitung Signifikansi Keterangan


Set peluang investasi
1 -1,805 0,073 Tidak signifikan
(IOS)
Pertumbuhan
2 -0,006 0,995 Tidak signifikan
perusahaan (GROWTH)
3 Struktur aset 2,624 0,009 Positif signifikan
Laba ditahan (retained
4 -4,922 0,000 Negatif signifikan
earning)
Kepemilikan
5 2,184 0,030 Positif signifikan
Institutional
Sumber : diolah peneliti

Penelitian ini terdiri dari lima hipotesis yang intinya untuk menguji

pengaruh set peluang investasi, pertumbuhan perusahaan, struktur aset, laba

ditahan, dan kepemilikan institutional terhadap kebijakan hutang. Berdasarkan

pengujian yang telah dilakukan sebelumnya maka hasilnya akan dibahas sesuai

dengan rumusan masalah serta hipotesis yang telah diajukan berdasarkan teori dan

hasil penelitian terdahulu. Lima hipotesis yang diuji, dapat disimpulkan bahwa

ada tiga hipotesis yang diterima. Hipotesis yang bisa dibuktikan oleh peneliti

adalah hipotesis yang menguji pengaruh struktur aset terhadap kebijakan hutang,

pengaruh laba ditahan terhadap kebijakan hutang, dan pengaruh kepemilikan

institutional terhadap kebijakan hutang.

a. Pengaruh set peluang investasi terhadap kebijakan hutang

Set peluang investasi adalah keputusan pendanaan perusahaan yang berbentuk

keputusan investasi dengan kombinasi aset yang dimiliki dan pilihan investasi

dimasa yang akan datang. Set peluang investasi tidak dapat diobservasi tetapi

harus diproksikan. Penelitian ini menggunakan proksi harga dan proksi investasi.
71

Set peluang investasi diukur dengan proksi harga berdasarkan MVABVA,

MVEBVE, VPPE dan proksi investasi berdasarkan CEMVA, dan CEBVA.

Perusahaan yang mempunyai peluang investasi yang tinggi akan membuat hutang

perusahaan menjadi tinggi, ini terjadi dikarenakan perusahaan tidak mempunyai

kecukupan dana dikarenakan dana banyak digunakan untuk berinvestasi.

Sebaliknya apabila perusahaan yang mempunyai peluang investasi rendah akan

membuat hutang perusahaan menjadi rendah.

Berdasarkan hasil uji yang dilakukan dengan menggunakan regresi linier

berganda menunjukkan bahwa nilai t hitung sebesar -1,805 dengan tingkat

signifikansi sebesar 0,073 lebih besar dari 0,05 atau 5%. Hal ini menunjukkan

bahwa hipotesis pertama tidak terpenuhi yaitu set peluang investasi tidak dapat

mempengaruhi positif terhadap kebijakan hutang. Artinya bahwa set peluang

investasi semakin rendah maka semakin tinggi kebijakan hutang. Berikut ini data

yang dapat mendukung hasil pada penelitian ini yaitu :

Tabel 4.21
RINGKASAN HASIL STATISTIK DESKRIPTIF SET PELUANG INVESTASI
DAN KEBIJAKAN HUTANG

No Kode Perusahaan Tahun IOS Tahun DEBT


1 JECC 2012 12,53213 2013 0,031922
2 JPRS 2013 13,50041 2014 0,041337
3 MYTX 2012 -5,27977 2013 1,04942
4 MLIA 2013 2,365253 2014 0,816834
Sumber : Lampiran 4, diolah peneliti

Berdasarkan tabel ringkasan hasil statistik deskriptif diatas menunjukkan

bahwa perusahaan yang memiliki nilai set peluang investasi yang tinggi yaitu

sebesar 12,53213 ditahun 2012 memiliki nilai kebijakan hutang yang rendah

sebesar 0,031922 ditahun 2013 adalah perusahaan Jembo Cable Company Tbk
72

dengan kode perusahaan JECC, dan ditahun 2013 set peluang investasi sebesar

13,50041 dan kebijakan hutang ditahun 2014 sebesar 0,041337 adalah perusahaan

Jaya Pari Steel Tbk dengan kode perusahaan JPRS. Sebaliknya, penelitian ini juga

menunjukkan bahwa nilai set peluang investasi yang rendah sebesar -5,27977

ditahun 2012 memiliki nilai kebijakan hutang yang tinggi sebesar 1,04942 ditahun

2013 adalah perusahaan Apac Citra Centertex Tbk dengan kode perusahaan

MYTX, dan ditahun 2013 set peluang investasi sebesar 2,365253 dan kebijakan

hutang ditahun 2014 sebesar 0,816834 adalah perusahaan Mulia Industrindo Tbk

dengan kode perusahaan MLIA.

Dapat disimpulkan bahwa apabila dalam perusahaan set peluang investasi

semakin tinggi tidak berarti bahwa perusahaan tersebut memiliki kebijakan hutang

yang tinggi hanya karena dianggap bahwa nilai set peluang investasi tinggi dan

nilai kebijakan hutang tinggi. Hal ini menunjukkan bahwa adanya fluktuasi yang

tidak konsisten dan tidak sesuai teori bahwa naik turunnya set peluang investasi

dan kebijakan hutang, maka set peluang investasi tidak berpengaruh positif

terhadap kebijakan hutang.

Berdasarkan teori pecking order bahwa set peluang investasi sangat

mempengaruhi struktur modal, kebijakan hutang dan kebijakan akuntansi

perusahaan. Set peluang investasi merupakan karakteristik yang digunakan

perusahaan dalam menentukan cara pandang manajer, pemilik, investor, maupun

kreditor terhadap keputusan pendanaan perusahaan. Teori Agency didalam Jensen

(1986) menyatakan bahwa kebijakan pendanaan sehubungan dengan peluang

investasi, pada umumnya merupakan hasil negosiasi terhadap problem


73

underinvestment. Perusahaan dengan peluang investasi yang tinggi biasanya

memiliki tingkat pertumbuhan yang tinggi. Hal ini dikarenakan perusahaan

tersebut melakukan investasi akan tetapi memiliki free cash flow dan aset in place

yang rendah sehingga berpotensi memiliki problem underinvestment. Munculnya

underinvestment mensyaratkan penggunaan utang dalam jumlah besar.

Berdasarkan teori bahwa set peluang investasi memiliki pengaruh signifikan dan

hubungan yang positif. Yang artinya semakin tinggi set peluang investasi maka

perusahaan akan menggunakan hutang pada tingkat yang tinggi.

Secara keseluruhan jika dilihat dari rata-rata set peluang investasi , maka nilai

rata-rata set peluang investasi untuk perusahaan manufaktur pada tahun 2012-

2013 sebesar 10,6188. Terdapat 31 perusahaan dengan 62 sampel atau 32,63

persen yang memiliki set peluang investasi diatas rata-rata, sedangkan yang

memiliki set peluang investasi dibawah rata-rata sebanyak 64 perusahaan dengan

128 sampel atau 67,37 persen. Jika dibandingkan dengan rata-rata kebijakan

hutang untuk perusahaan manufaktur pada tahun 2013-2014 sebesar 0,4638. Dari

190 sampel perusahaan manufaktur terdapat 48 perusahaan dengan 96 sampel atau

50,53 persen yang memiliki nilai diatas rata-rata, sedangkan yang memiliki nilai

dibawah rata-rata sebanyak 49,47 persen. Sehingga dari penjelasan ini

disimpulkan bahwa tinggi rendahnya nilai set peluang investasi tidak dapat

menentukan apakah kebijakan hutang perusahaan akan tinggi atau rendah.

Hasil penelitian ini tidak sejalan dengan penelitian Fury (2011) dan Yulius

(2011) yang menyebutkan bahwa set peluang investasi berpengaruh signifikan

terhadap kebijakan hutang. Namun hasil penelitian hubungan set peluang investasi
74

terhadap kebijakan hutang sejalan dengan penelitian Fury (2011) yang

menyatakan bahwa set peluang investasi berhubungan negatif dengan hutang.

Temuan ini menunjukkan bahwa perusahaan dengan peluang investasi yang tinggi

maka dapat mengelola keuangan dengan efisien sehingga tidak memerlukan

penggunaan hutang berlebihan yang akan beresiko. Perusahaan dengan set

peluang investasi yang tinggi akan mempunyai debt rasio yang lebih rendah dan

sebaliknya perusahaan dengan set peluang investasi yang rendah akan mempunyai

debt rasio yang tinggi.

b. Pengaruh pertumbuhan perusahaan terhadap kebijakan hutang

Pertumbuhan perusahaan merupakan gambaran bagaimana perkembangan

usaha yang dilakukan periode sekarang dibandingkan dengan periode sebelumnya.

Perusahaan yang mempunyai pertumbuhan yang tinggi menunjukkan bahwa

dengan sumber daya yang dimiliki bisa menghasilkan kinerja yang baik.

Pertumbuhan perusahaan diukur dengan menggunakan selisih total asset tahun ini

dengan tahun sebelumnya dibagi dengan total asset tahun sebelumnya. Perusahaan

dengan pertumbuhan yang tinggi akan membuat hutang perusahaan menjadi

rendah, ini terjadi dikarenakan perusahaan mempunyai kecukupan dana dan

cenderung menghindari resiko untuk hutang. Sebaliknya apabila perusahaan

mempunyai pertumbuhan yang rendah maka akan membuat hutang perusahaan

bertambah, ini terjadi dikarenakan perusahaan membutuhkan dana karena kinerja

yang buruk dan membutuhkan penggunaan hutang.

Berdasarkan hasil uji yang dilakukan dengan menggunakan regresi linier

berganda menunjukkan bahwa nilai t hitung sebesar -0,006 dengan tingkat


75

signifikansi sebesar 0,995 lebih besar dari 0,05 atau 5%. Hal ini menunjukkan

bahwa hipotesis kedua tidak terpenuhi yaitu pertumbuhan perusahaan tidak dapat

mempengaruhi negatif terhadap kebijakan hutang. Artinya bahwa pertumbuhan

perusahaan semakin tinggi maka semakin tinggi kebijakan hutang. Berikut ini

data yang dapat mendukung hasil pada penelitian ini yaitu :

Tabel 4.22
RINGKASAN HASIL STATISTIK DESKRIPTIF PERTUMBUHAN
PERUSAHAAN DAN KEBIJAKAN HUTANG

No Kode Perusahaan Tahun GROWTH Tahun DEBT


1 APLI 2012 -0,0025 2013 0,282849
2 JPRS 2013 -0,05536 2014 0,041337
3 YPAS 2012 0,563416 2013 0,721751
4 AKKU 2013 3,271854 2014 0,957376
Sumber : Lampiran 4, diolah peneliti

Berdasarkan tabel ringkasan hasil statistik deskriptif diatas menunjukkan

bahwa perusahaan yang memiliki nilai pertumbuhan perusahaan yang rendah

yaitu sebesar -0,0025 ditahun 2012 memiliki nilai kebijakan hutang yang rendah

sebesar 0,282849 ditahun 2013 adalah perusahaan Asiaplast Industries Tbk

dengan kode perusahaan APLI, dan ditahun 2013 pertumbuhan perusahaan

sebesar -0,5536 dan kebijakan hutang ditahun 2014 sebesar 0,041337 adalah

perusahaan Jaya Pari Steel Tbk dengan kode perusahaan JPRS. Sebaliknya,

penelitian ini juga menunjukkan bahwa nilai pertumbuhan perusahaan yang tinggi

sebesar 0,563416 ditahun 2012 memiliki nilai kebijakan hutang yang tinggi

sebesar 0,721751 ditahun 2013 adalah perusahaan Yana Prima Hasta Persada Tbk

dengan kode perusahaan YPAS, dan ditahun 2013 pertumbuhan perusahaan

sebesar 3,271854 dan kebijakan hutang ditahun 2014 sebesar 0,957376 adalah

perusahaan Alam Karya Unggul Tbk dengan kode perusahaan AKKU.


76

Dapat disimpulkan bahwa apabila perusahaan dengan pertumbuhan yang

tinggi tidak berarti perusahaan tersebut memiliki kebijakan hutang yang rendah

hanya karena dianggap bahwa nilai pertumbuhan yang tinggi menunjukkan

kinerja yang baik sehingga tidak perlu membutuhkan dana pihak ketiga. Hal ini

menunjukkan bahwa adanya fluktuasi tidak konsisten dan tidak sesuai teori bahwa

naik turunnya pertumbuhan perusahaan dan kebijakan hutang, maka pertumbuhan

perusahaan tidak berpengaruh negatif terhadap kebijakan hutang.

Berdasarkan teori pecking order bahwa perusahaan yang mempunyai

pertumbuhan yang baik akan mempunyai kinerja yang baik. Hal ini berarti

perusahaan menggunakan sumber dana internalnya terlebih dahulu yang dapat

mencukupi membiayai kegiatan operasionalnya. Didalam teori agensi, pemilik

melakukan kontrol pengawasan yang efektif terhadap perilaku yang dilakukan

oleh manajemen dalam hal penggunaan dana yang tidak sesuai dengan tujuan

pemilik. Manajemen tidak semena-mena dalam menggunakan dana untuk

kegiatan operasional yang tidak sesuai tujuan. Hal ini berarti bahwa penggunaan

hutang yang dilakukan oleh manajemen juga akan diperketat kontrol

pengawasannya. Penggunaan dana perusahaan tersebut diharapkan dapat

menghasilkan kinerja yang baik yang berdampak pada pertumbuhan yang tinggi.

Berdasarkan teori bahwa pertumbuhan perusahaan memiliki pengaruh signifikan

dan hubungan yang negatif. Yang artinya semakin tinggi pertumbuhan perusahaan

maka semakin rendah penggunaan hutang untuk kegiatan operasionalnya.

Secara keseluruhan jika dilihat dari rata-rata pertumbuhan perusahaan , maka

nilai rata-rata pertumbuhan perusahaan untuk perusahaan manufaktur pada tahun


77

2012-2013 sebesar 0,2207. Terdapat 32 perusahaan dengan 64 sampel atau 33,68

persen yang memiliki pertumbuhan perusahaan diatas rata-rata, sedangkan yang

memiliki pertumbuhan perusahaan dibawah rata-rata sebanyak 63 perusahaan

dengan 126 sampel atau 66,32 persen. Jika dibandingkan dengan rata-rata

kebijakan hutang untuk perusahaan manufaktur pada tahun 2013-2014 sebesar

0,4638. Dari 190 sampel perusahaan manufaktur terdapat 48 perusahaan dengan

96 sampel atau 50,53 persen yang memiliki nilai diatas rata-rata, sedangkan yang

memiliki nilai dibawah rata-rata sebanyak 49,47 persen. Sehingga dari penjelasan

ini disimpulkan bahwa tinggi rendahnya nilai pertumbuhan perusahaan tidak

dapat menentukan apakah kebijakan hutang perusahaan akan tinggi atau rendah.

Hasil penelitian ini tidak sejalan dengan penelitian Pancawati (2012) yang

menyebutkan bahwa pertumbuhan perusahaan berpengaruh signifikan terhadap

kebijakan hutang. Namun, hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian Yulius

(2011) yang menyebutkan bahwa pertumbuhan perusahaan tidak berpengaruh

signifikan terhadap kebijakan hutang. Temuan ini menunjukkan bahwa tingkat

pertumbuhan yang rendah cenderung tidak menggunakan hutang untuk memenuhi

kebutuhan dana. Pertumbuhan perusahaan tidak semuanya berasal dari hutang,

karena perusahaan lebih cenderung untuk menghindari resiko apabila tidak

mampu melunasinya. Perusahaan dengan pertumbuhan perusahaan yang tinggi

akan mempunyai debt rasio yang tinggi dan sebaliknya perusahaan dengan

pertumbuhan yang rendah akan mempunyai debt rasio yang rendah.


78

c. Pengaruh struktur aset terhadap kebijakan hutang

Struktur aset menggambarkan sebagian aset yang digunakan sebagai jaminan

untuk memperoleh hutang. Struktur aset yang dijaminkan adalah aset tetap. Aset

tetap perusahaan dijadikan sebagai jaminan bagi kreditur sehingga struktur aset

mempengaruhi fleksibilitas perusahaan dalam penggunaan hutang. Struktur asset

diukur dengan menggunakan proporsi nilai asset tetap dari total asset suatu

perusahaan. Perusahaan yang mempunyai nilai aset tetap yang tinggi akan

membuat hutang perusahaan menjadi tinggi, ini terjadi dikarenakan perusahaan

mempunyai jaminan kepada kreditur sehingga kreditur tidak ragu dalam

mengeluarkan dana pinjaman. Sebaliknya apabila perusahaan mempunyai nilai

struktur asset yang rendah maka akan membuat hutang perusahaan berkurang, ini

terjadi dikarenakan perusahaan tidak mempunyai jaminan kepada kreditur

sehingga kreditur cenderung sulit untuk meminjamkan dana.

Berdasarkan hasil uji yang dilakukan dengan menggunakan regresi linier

berganda menunjukkan bahwa nilai t hitung sebesar 2,624 dengan tingkat

signifikansi sebesar 0,009 lebih kecil dari 0,05 atau 5%. Hal ini menunjukkan

bahwa hipotesis ketiga terpenuhi yaitu struktur asset dapat mempengaruhi positif

terhadap kebijakan hutang. Artinya bahwa struktur aset rendah maka semakin

rendah kebijakan hutang. Berikut ini data yang dapat mendukung hasil pada

penelitian ini yaitu :


79

Tabel 4.23
RINGKASAN HASIL STATISTIK DESKRIPTIF STRUKTUR ASET DAN
KEBIJAKAN HUTANG

No Kode Perusahaan Tahun ASTP Tahun DEBT


1 MYTX 2012 0,709988 2013 1,044942
2 MLIA 2013 0,772784 2014 0,816834
3 JECC 2012 0,101789 2013 0,031922
4 KICI 2013 0,088683 2014 0,186733
Sumber : Lampiran 4, diolah peneliti

Berdasarkan tabel ringkasan hasil statistik deskriptif diatas menunjukkan

bahwa perusahaan yang memiliki nilai struktur asset yang tinggi yaitu sebesar

0,709988 ditahun 2012 memiliki nilai kebijakan hutang yang tinggi sebesar

1,044942 ditahun 2013 adalah perusahaan Apac Citra Centertex Tbk dengan kode

perusahaan MYTX, dan ditahun 2013 struktur asset sebesar 0,772784 dan

kebijakan hutang ditahun 2014sebesar 0,816834 adalah perusahaan Mulia

Industriando Tbk dengan kode MLIA. Sebaliknya penelitian ini juga

menunjukkan bahwa nilai struktur asset yang rendah sebesar 0,101789 ditahun

2012 memiliki nilai kebijakan hutang yang rendah sebesar 0,031922 ditahun 2013

adalah perusahaan Jembo Cable Company Tbk dengan kode perusahaan JECC,

dan ditahun 2013 struktur asset sebesar 0,088683 dan kebijakan hutang ditahun

2014 sebesar 0,186733 adalah perusahaan Kedaung Indag Can Tbk dengan kode

perusahaan KICI.

Dapat disimpulkan bahwa apabila dalam perusahaan yang mempunyai

proporsi asset tetap yang tinggi berarti bahwa perusahaan tersebut memiliki

kebijakan hutang yang tinggi karena asset tetap digunakan perusahaan sebagai

jaminan untuk kreditur. Hal ini menunjukkan bahwa adanya fluktuasi yang
80

konsisten dan sesuai teori bahwa naik turunnya struktur asset dan kebijakan

hutang, maka struktur asset berpengaruh positif terhadap kebijakan hutang.

Berdasarkan teori pecking order bahwa perusahaan yang mempunyai struktur

aset yang tinggi akan mempunyai peluang untuk jaminan penggunaan hutang

dalam hal membutuhkan dana. Hal ini berarti perusahaan menggunakan hutang

untuk sumber dananya sebelum mengambil keputusan menerbitkan ekuitas.

Didalam teori keagenan, dijelaskan bahwa perusahaan menggunakan hutang

dengan melakukan jaminan pinjaman kepada pihak lain untuk melakukan

pengawasan terhadap manajemen. Semakin tinggi struktur asset tetap di

perusahaan maka semakin tinggi tingkat penggunaan utang yang dilakukan

sebagai pengawasan terhadap manajemen.

Secara keseluruhan jika dilihat dari rata-rata struktur aset, maka nilai rata-rata

struktur aset untuk perusahaan manufaktur pada tahun 2012-2013 sebesar 0,3572.

Terdapat 40 perusahaan dengan 80 sampel atau 42,10 persen yang memiliki

struktur aset diatas rata-rata, sedangkan yang memiliki struktur aset dibawah rata-

rata sebanyak 55 perusahaan dengan 110 sampel atau 57,90 persen. Jika

dibandingkan dengan rata-rata kebijakan hutang untuk perusahaan manufaktur

pada tahun 2013-2014 sebesar 0,4638. Dari 190 sampel perusahaan manufaktur

terdapat 48 perusahaan dengan 96 sampel atau 50,53 persen yang memiliki nilai

diatas rata-rata, sedangkan yang memiliki nilai dibawah rata-rata sebanyak 49,47

persen. Sehingga dari penjelasan ini disimpulkan bahwa tinggi rendahnya nilai

struktur aset akan menentukan apakah kebijakan hutang perusahaan akan tinggi

atau rendah.
81

Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian Yulius (2011) dan Yeniatie

(2010) yang menyebutkan bahwa struktur aset berpengaruh signifikan terhadap

kebijakan hutang. Nilai struktur aset yang tinggi akan lebih mudah mendapatkan

pinjaman dengan jaminan berupa aset tetap. Kepemilikan aset tetap yang besar

dan adanya penawaran pemberian kemudahan pinjaman serta adanya kesempatan

berinvestasi akan menjadi pertimbangan bagi perusahaan dalam memutuskan

penggunaan hutang. Hasil penelitian ini tidak sejalan dengan penelitian Ahadiyah

(2013) yang menyebutkan bahwa struktur aset tidak berpengaruh signifikan

terhadap kebijakan hutang. Namun hasil penelitian hubungan struktur aset

terhadap kebijakan hutang sejalan dengan teori pecking order yang menyatakan

bahwa struktur aset berhubungan positif dengan hutang. Temuan ini menunjukkan

bahwa perusahaan menggunakan penggunaan hutang sebelum memutuskan untuk

menerbitkan ekuitas. Penggunaan hutang harus disertai dengan struktur aset yang

tinggi berupa aset tetap yang digunakan sebagai syarat jaminan bagi kreditur.

Perusahaan dengan struktur aset yang tinggi maka akan semakin tinggi

penggunaan hutangnya.

d. Pengaruh retained earning terhadap kebijakan hutang

Retained earning merupakan salah satu sumber dana yang paling penting

dimana dana tersebut milik perusahaan sendiri, sehingga biaya modalnya lebih

rendah daripada menggunakan dana pihak lain. Laba ditahan merupakan

akumulasi laba yang merupakan hak para pemegang saham, sehingga semakin

banyak dana yang dialokasikan ke retained earning, maka laba yang dibayarkan

ke dividen semakin berkurang. Perusahaan yang mempunyai laba ditahan yang


82

tinggi akan membuat penggunaan hutang rendah, ini terjadi dikarenakan

perusahaan mempunyai dana internal yang cukup sehingga tidak memerlukan

dana pihak ketiga. Sebaliknya apabila perusahaan yang mempunyai struktur asset

rendah akan membuat hutang perusahaan menjadi tinggi.

Berdasarkan hasil uji yang dilakukan dengan menggunakan regresi linier

berganda menunjukkan bahwa nilai t hitung sebesar -4,922 dengan tingkat

signifikansi sebesar 0,000 lebih kecil dari 0,05 atau 5%. Hal ini menunjukkan

bahwa hipotesis keempat terpenuhi yaitu retained earning dapat mempengaruhi

negatif terhadap kebijakan hutang. Artinya bahwa retained earning semakin

rendah maka semakin rendah kebijakan hutang. Berikut ini data yang dapat

mendukung hasil pada penelitan ini yaitu :

Tabel 4.24
RINGKASAN HASIL STATISTIK DESKRIPTIF RETAINED EARNING DAN
KEBIJAKAN HUTANG

No Kode Perusahaan Tahun LABA Tahun DEBT


1 KBLI 2012 1 2013 0,06788
2 SIAP 2013 1 2014 0,044505
3 MYTX 2012 0 2013 1,04942
4 SULI 2013 0 2014 1,40692
Sumber : Lampiran 4, diolah peneliti

Berdasarkan tabel ringkasan hasil statistik deskriptif diatas menunjukkan

bahwa perusahaan yang memiliki nilai laba ditahan positif ditahun 2012 memiliki

nilai kebijakan yang tinggi sebesar 0,06788 ditahun 2013 adalah perusahaan KMI

Wire and Cable Tbk dengan kode perusahaan KBLI, dan ditahun 2013 laba

ditahan positif dan kebijakan hutang ditahun 2014 sebesar 0,044505 adalah

perusahaan Sekawan Intipratama Tbk dengan kode SIAP. Sebaliknya, penelitian

ini juga menunjukkan bahwa nilai laba ditahan negatif ditahun 2012 memiliki
83

nilai kebijakan hutang yang tinggi sebesar 1,04942 ditahun 2013 adalah

perusahaan Apac Citra Centertex Tbk dengan kode perusahaan MYTX, dan

ditahun 2013 laba ditahan negatif dan kebijakan hutang ditahun 2014 sebesar

1,40692 adalah perusahaan Sumalindo Lestari Jaya Tbk dengan kode perusahaan

SULI.

Dapat disimpulkan bahwa apabila dalam perusahaan laba ditahan semakin

tinggi berarti bahwa perusahaan tersebut memiliki kebijakan hutang yang rendah

karena dianggap bahwa nilai laba ditahan tinggi dan nilai kebijakan hutang

rendah. Hal ini menunjukkan bahwa adanya fluktuasi yang konsisten dan sesuai

dengan teori bahwa naik turunnya laba ditahan dan kebijakan hutang, maka

retained earning berpengaruh negatif terhadap kebijakan hutang.

Berdasarkan teori pecking order bahwa perusahaan lebih memilih internal

equity untuk membayar dividen dan mengimplementasikannya sebagai peluang

pertumbuhan. Semakin besar laba yang tidak dibayarkan sebagai dividen maka

semakin banyak sumber dana internal untuk melakukan pendanaan dan tidak

banyak menggunakan utang dalam pembelanjaan perusahaan. Didalam teori

agensi, penggunaan dana perusahaan diharapkan dapat menghasilkan kinerja yang

baik yang berdampak pada pencapaian laba yang tinggi. Hal ini berarti bahwa

pencapaian laba yang tinggi akan meningkatkan dividen yang dibayarkan. Akan

tetapi, perusahaan menginginkan adanya laba ditahan yang tidak dibayarkan

sebagai dividen untuk digunakan sebagai pendanaan di masa yang akan datang.

Sumber dana intenal yang ada dapat mengurangi penggunaan hutang dalam hal
84

sumber penggunaan dana. Yang artinya semakin tinggi laba ditahan maka

semakin rendah penggunaan hutang untuk kegiatan operasionalnya.

Berdasarkan hasil penelitian, peneliti menemukan bahwa laba ditahan

memiliki pengaruh negatif signifikan terhadap kebijakan hutang. Akan tetapi hal

ini bertentangan dengan data mengenai laba ditahan. Data pada lampiran 3

menunjukkan bahwa data yang dikategorikan 1 untuk variabel laba ditahan lebih

banyak dibandingkan dengan yang dikategorikan 0. Hal ini menunjukkan bahwa

variasi data untuk variabel laba ditahan menjadi lebih heterogen atau lebih

bervariasi. Variasi data yang lebih bervariasi menimbulkan tingkat penyimpangan

yang tinggi dan menyebabkan data menjadi tidak akurat. Hasil ini sesuai dengan

teori.

Secara keseluruhan variabel laba ditahan terlihat bahwa hutang perusahaan

yang mempunyai laba ditahan positif 0,214 lebih rendah daripada hutang

perusahaan yang mempunyai laba ditahan negatif atau defisit. Jadi dengan kata

lain hutang perusahaan yang mempunyai laba ditahan positif 21,4 persen lebih

rendah dibandingkan dengan hutang perusahaan yang mempunyai laba ditahan

negatif atau defisit. Terdapat 79 perusahaan dengan 157 sampel atau 82,63 persen

yang mempunyai laba ditahan positif, sedangkan yang memiliki laba ditahan

negatif sebanyak 22 perusahaan dengan 33 sampel atau 17,37 persen. Jika

dibandingkan dengan rata-rata kebijakan hutang untuk perusahaan manufaktur

pada tahun 2013-2014 sebesar 0,4638. Dari 190 sampel perusahaan manufaktur

terdapat 48 perusahaan dengan 96 sampel atau 50,53 persen yang memiliki nilai

diatas rata-rata, sedangkan yang memiliki nilai dibawah rata-rata sebanyak 49,47
85

persen. Sehingga dari penjelasan ini disimpulkan bahwa positif atau negatif nilai

laba ditahan perusahaan akan menentukan apakah kebijakan hutang perusahaan

akan tinggi atau rendah.

Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian Pancawati (2012) yang

menyebutkan bahwa laba ditahan berpengaruh signifikan terhadap kebijakan

hutang. Perusahaan menunda pembagian dividen kepada pemegang saham untuk

digunakan sebagai investasi dan sumber dana internal. Sumber dana internal yang

besar dapat digunakan sebagai reinvestasi dan tidak banyak menggunakan hutang.

Kepemilikan aset tetap yang besar dan adanya penawaran pemberian kemudahan

pinjaman serta adanya kesempatan berinvestasi akan menjadi pertimbangan bagi

perusahaan dalam memutuskan penggunaan hutang. Hasil penelitian hubungan

laba ditahan terhadap kebijakan hutang sejalan dengan teori pecking order yang

menyatakan bahwa laba ditahan berhubungan negatif dengan hutang. Temuan ini

menunjukkan bahwa hierarki dalam pencairan dana perusahaan dimana lebih

memilih internal equity yakni laba ditahan dan depresiasi untuk membiayai

kegiatan operasionalnya. Penggunaan hutang perusahaan akan dipilih jika sumber

dana internal belum mencukupi dan mempunyai risiko yang besar. Perusahaan

dengan laba ditahan yang tinggi maka akan semakin berkurang penggunaan

hutangnya.

e. Pengaruh kepemilikan institutional terhadap kebijakan hutang

Kepemilikan Institutional adalah proporsi kepemilikan saham perusahaan oleh

institusi lain. Kepemilikan Institutional merupakan pemegang saham dari pihak

eksternal yang melakukan pengawasan terhadap kinerja manajemen sehingga


86

manajer tidak melakukan perilaku oppotunistik dalam menjalankan perusahaan.

Perusahaan yang mempunyai kepemilikan institutional yang tinggi akan membuat

hutang perusahaan menjadi tinggi, ini terjadi dikarenakan perusahaan

menggunakan penggunaan hutang sebelum menerbitkan ekuitas. Sebaliknya

apabila perusahaan yang mempunyai kepemilikan institutional rendah akan

membuat hutang perusahaan menjadi rendah.

Berdasarkan hasil uji yang dilakukan dengan menggunakan regresi linier

berganda menunjukkan bahwa nilai t hitung sebesar 2,184 dengan tingkat

signifikansi sebesar 0,030 lebih kecil dari 0,05 atau 5%. Hal ini menunjukkan

bahwa hipotesis kelima terpenuhi yaitu kepemilikan institutional dapat

mempengaruhi positif terhadap kebijakan hutang. Artinya bahwa kepemilikan

institutional semakin rendah maka semakin rendah kebijakan hutang. Berikut ini

data yang dapat mendukung hasil pada penelitian ini yaitu :

Tabel 4.25
RINGKASAN HASIL STATISTIK DESKRIPTIF KEPEMILIKAN
INSTITUTIONAL DAN KEBIJAKAN HUTANG

No Kode Perusahaan Tahun INS Tahun DEBT


1 AKKU 2012 0,864249 2013 0,945808
2 RMBA 2013 0,989583 2014 1,136271
3 KBLI 2012 0,086914 2013 0,06788
4 KIAS 2013 0,019301 2014 0,100209
Sumber : Lampiran 4, diolah peneliti

Berdasarkan tabel ringkasan hasil statistik deskriptif diatas menunjukkan

bahwa perusahaan yang memiliki nilai kepemilikan institutional yang tinggi yaitu

sebesar 0,864249 ditahun 2012 memiliki nilai kebijakan hutang yang tinggi

sebesar 0,945808 ditahun 2013 adalah perusahaan Alam Karya Unggul Tbk

dengan kode perusahaan AKKU, dan ditahun 2013 kepemilikan institutional


87

sebesar 0,989583 dan kebijakan hutang ditahun 2014 sebesar 1,136271 adalah

perusahaan Bentoel International Investama Tbk dengan kode perusahaan RMBA.

Sebaliknya, penelitian ini juga menunjukkan bahwa nilai kepemilikan institutional

yang rendah sebesar 0,086914 ditahun 2012 memiliki nilai kebijakan hutang yang

rendah sebesar 0,06788 ditahun 2013 adalah perusahaan KMI Wire and Cable

Tbk dengan kode perusahaan KBLI, dan ditahun 2013 kepemilikan institutional

sebesar 0,019301 dan kebijakan hutang ditahun 2014 sebesar 0,100209 adalah

perusahaan Keramika Indonesia Asosiasi Tbk dengan kode perusahaan KIAS.

Dapat disimpulkan bahwa apabila dalam perusahaan kepemilikan institutional

semakin tinggi berarti bahwa perusahaan tersebut memiliki kebijakan hutang yang

tinggi karena dianggap nilai kepemilikan institutional tinggi dan nilai kebijakan

hutang tinggi. Hal ini menunjukkan bahwa adanya fluktuasi yang konsisten dan

sesuai dengan teori bahwa naik turunnya kepemilikan institutional dan kebijakan

hutang, maka kepemilikan institutional berpengaruh positif terhadap kebijakan

hutang.

Berdasarkan teori pecking order bahwa perusahaan dengan kepemilikan

institutional yang tinggi cenderung menggunakan hutang. Hal ini dikarenakan

pemegang saham tidak menginginkan deviden yang dibagikan berkurang

dikarenakan adanya penerbitan saham baru yang dikeluarkan perusahaan

sebaliknya pemegang saham menginginkan hutang untuk mencukupi kebutuhan

dana perusahaan. Berdasarkan teori bahwa kepemilikan institutional memiliki

pengaruh signifikan dan hubungan yang positif. Yang artinya semakin tinggi
88

kepemilikan institutional maka perusahaan akan menggunakan hutang pada

tingkat yang tinggi.

Secara keseluruhan jika dilihat dari rata-rata kepemilikan institutional, maka

nilai rata-rata kepemilikan institutional untuk perusahaan manufaktur pada tahun

2012-2013 sebesar 0,5577. Terdapat 53 perusahaan dengan 106 sampel atau 55,79

persen yang memiliki kepemilikan institutional diatas rata-rata, sedangkan yang

memiliki kepemilikan institutional dibawah rata-rata sebanyak 42 perusahaan

dengan 84 sampel atau 44,21 persen. Jika dibandingkan dengan rata-rata

kebijakan hutang untuk perusahaan manufaktur pada tahun 2013-2014 sebesar

0,4638. Dari 190 sampel perusahaan manufaktur terdapat 48 perusahaan dengan

96 sampel atau 50,53 persen yang memiliki nilai diatas rata-rata, sedangkan yang

memiliki nilai dibawah rata-rata sebanyak 49,47 persen. Sehingga dari penjelasan

ini disimpulkan bahwa tinggi rendahnya nilai kepemilikan institutional akan

menentukan apakah kebijakan hutang perusahaan akan tinggi atau rendah.

Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian Eva Larasati (2011) yang

menyebutkan bahwa kepemilikan institutional berpengaruh signifikan terhadap

kebijakan hutang. Besarnya presentase saham yang dimiliki institutional investor

menyebabkan pengawasan lebih efektif. Penggunaan dana eksternal merupakan

kabar buruk bagi investor karena penerbitan saham baru akan menambah jumlah

lembar saham sehingga laba per saham akan menurun. Investor lebih menyukai

penggunaan hutang untuk pencairan dana perusahaan. Hal ini dikarenakan dengan

penggunaan hutang maka hak mereka terhadap perusahaan tidak akan berkurang.

Hasil penelitian ini tidak sejalan dengan penelitian Yulius (2011) yang
89

menyebutkan bahwa kepemilikan institutional tidak berpengaruh signifikan

terhadap kebijakan hutang. Hal ini dikarenakan sebagian investor tidak terlalu

perduli dengan penggunaan hutang sebagai dana perusahaan. Investor lebih

memperhatikan hasil akhir yaitu perusahaan dengan kinerja yang bagus yang

dilihat dari laba, dan kemampuan membayar hutang. Hasil penelitian hubungan

kepemilikan institutional terhadap kebijakan hutang sejalan dengan teori pecking

order yang menyatakan bahwa kepemilikan institutional berhubungan positif

dengan hutang. Temuan ini menunjukkan bahwa perusahaan menggunakan

penggunaan hutang sebelum memutuskan untuk menerbitkan ekuitas. Perusahaan

dengan kepemilikan institutional yang tinggi maka akan semakin tinggi

penggunaan hutangnya.

Anda mungkin juga menyukai