Anda di halaman 1dari 20

KONSEP MASYARAKAT MAJEMUK DAN MASYARAKAT

MULTIKULTURAL

Dosen Pengampu : Rohani, S.Pd., M.Si.

DISUSUN OLEH :

Nama : Kesita Saragih


Nim : 3183131037
Kelas : C-2018

Mata Kuliah : Studi Masyarakat Indonesia

JURUSAN PENDIDIKAN GEOGRAFI


FAKULTAS ILMU SOSIAL
UNIVERSITAS NEGERI MEDAN
2019
KATA PENGANTAR
Puji syukur saya panjatkan kehadirat Tuhan yang Maha Esa, sehingga saya telah
menyelesaikan tugas makalah mengenai Konsep Masyarakat Majemuk dan Masyarakat
Multikultural. Dalam penyusunan makalah ini, tidak sedikit hambatan yang saya hadapi,
namun saya menyadari bahwa kelancaran dalam penyusunan makalah ini tidak lain berkat
bantuan dari berbagai pihak sehingga hambatan yang saya hadapi dapat teratasi.

Oleh karena itu saya mengucapkan terimakasih kepada ibu dosen pengampu Studi
Masyarakat indonesia yang telah memberikan tugas dan petunjuk kepada saya, sehingga saya
dapat menyelesaikan tugas ini. Semoga makalah ini dapat bermanfaat khususnya bagi penulis
dan umumnya bagi pembaca, sehingga tujuan yang diharapkan dapat tercapai.

Medan, Oktober 2019

Kesita Saragih

3183131037
BAB I
PEMBAHASAN

1.1. Masyarakat Majemuk Indonesia

John Sydenham Furnivall termasuk orang yang pertama kali menyebut Indonesia masuk ke
dalam kategori masyarakat majemuk (plural society). Masyarakat majemuk adalah suatu
masyarakat di mana sistem nilai yang dianut berbagai kesatuan sosial yang menjadi bagian-
bagiannya membuat mereka kurang memiliki loyalitas terhadap masyarakat sebagai
keseluruhan, kurang memiliki homogenitas kebudayaan atau bahkan kurang memiliki dasar-
dasar untuk saling memahami satu sama lain.[1]

Studi Furnivall saat itu dikhususkan pada masyarakat yang mengalami tindak kolonial barat
seperti Burma, India, ataupun Indonesia. Mengenai fakta plural society ini, Furnivall menulis
dalam salah satu studinya mengenai Burma:

In Burma, as in Java, probably the first thing that strikes the visitor is the medley of peoples
---European, Chinese, Indian, and native. It is in the strictest sense a medley, for they mix but
do not combine. Each group holds by its own religion, its own culture and language, its own
ideas and ways. As individuals they meet, but only in the market-place, in buying and selling.
There is a plural society, with different sections of the community living side by side but
separately, within the same political unit. Even in the economic sphere there is a division of
labour along racial lines.[2]

Masyarakat majemuk adalah masyarakat yang terdiri atas kelompok-kelompok, yang tinggal
bersama dalam suatu wilayah, tetapi terpisah menurut garis budaya masing-masing.
Kemajemukan suatu masyarakat patut dilihat dari dua variabel yaitu kemajemukan budaya
dan kemajemukan sosial. Kemajemukan budaya ditentukan oleh indikator-indikator genetik-
sosial (ras, etnis, suku), budaya (kultur, nilai, kebiasaan), bahasa, agama, kasta, ataupun
wilayah. Kemajemukan sosial ditentukan indikator-indikator seperti kelas, status, lembaga,
ataupun power. Skema dalam Gambar 12 dapat digunakan untuk mempermudah peta
pembicaraan masyarakat majemuk.[3]
Di dalam kenyataan, kedua variabel kerap berhimpitan sehingga menambah kompleksitas
masalah. Dalam masyarakat India misalnya, kemajemukan budaya terbentuk dari anutan
penduduk atas sejumlah agama besar yaitu Hindu, Islam, Kristen, dan Sikh. Kendati kini
mulai memudar, dalam masyarakat Hindu, berlaku kasta dan ini merupakan konsekuensi
logis dari ajaran agama. Di dalam masyarakat yang menganut agama Islam, kasta tidak
berlaku dan situasi masyarakat lebih egaliter. Kemajemukan budaya tersebut merambah pada
kemajemukan sosial. Kasta di dalam masyarakat Hindu menciptakan kelas-kelas dan status-
status sosial, sementara pelapisan kelas dan status tersebut berjalan secara berbeda di dalam
masyarakat India yang Islam. Terjadi perbedaan penafsiran tajam antara kedua elemen
masyarakat India tersebut. Masing-masing masyarakat memerlukan space atau wilayah untuk
mengimplementasikan keyakinan budaya dan sosial yang berbeda. Friksi tajam ini
berkulminasi dalam pemisahanan India (Hindu), Pakistan (Islam, di barat India), dan
Bangladesh (Islam, di timur India) sejak 1948 lewat fasilitasi Inggris.

Pengamatannya atas Burma yang ia samakan dengan Jawa, Furnivall menyatakan masyarakat
majemuk terpisah menurut garis budaya yang spesifik, di mana kelompok-kelompok di dalam
unit politik menganut budaya yang berbeda. Kelompok yang satu berbaur dengan kelompok
lainnya tetapi masing-masing tidak saling mengkombinasikan budayanya. Kelompok-
kelompok masyarakat berbeda tersebut saling bertemu dalam kegiatan sehari-hari (semisal di
pasar), tetapi masing-masing mempraktekkan budayanya masing-masing. Di pasar-pasar
tradisional, para pedagang berasal dari etnis berbeda, sehingga kerap memperdengarkan
percakapan dalam aneka bahasa: Jawa, Batak, Padang, Madura, Sunda, dan lain-lain.
Pedagang pun terkotak berdasarkan komoditas yang didagangkan misalnya pedagang Minang
di bagian pakaian, pedagang Batak di kelontong/grosir, pedagang Jawa di sayur-mayur dan
bahan mentah, pedagang Madura di lapak ikan, pedagang Banten di los daging, dan
seterusnya.

Parsudi Suparlan memberi catatan tentang masyarakat majemuk ini. Dalam tulisannya
Kesetaraan Warga dan Hak Budaya Komuniti dalam Masyarakat Majemuk Indonesia,
Suparlan menulis:

Indonesia adalah sebuah masyarakat majemuk. Yang mencolok dari ciri kemajemukan
masyarakat Indonesia adalah penekanan pada pentingnya kesukubangsaan yang terwujud
dalam bentuk komuniti-komuniti sukubangsa, dan digunakannya kesukubangsaan sebagai
acuan utama bagi jatidiri.

Berdasarkan ciri-ciri fisik atau tubuh yang dipunyai oleh seseorang, gerakan-gerakan tubuh
yang dibarengi dengan bahasa yang digunakan dan logat yang diucapkan, dan berbagai
simbol-simbol yang digunakan [...] dia akan diidentifikasi sebagai tergolong dalam sesuatu
sukubangsa dari sesuatu daerah tertentu oleh seseorang lainnya. Bila ciri-ciri tersebut tidak
dapat dipergunakan [...] maka seseorang tersebut akan menanyakan dari mana asalnya [...][4]

---------------> gambar peta masyarakat majemuk <-------------------------

Lebih lanjut Suparlan menyatakan:

Masyarakat majemuk atau plural society adalah sebuah masyarakat yang terwujud karena
komuniti-komuniti sukubangsa yang ada telah secara langsung atau tidak langsung dipaksa
untuk bersatu di bawah kekuasaan sebuah sistem nasional [...]

Dalam masyarakat majemuk Hindia Belanda, tidak ada tatanan demokrasi. Dalam tatanan itu,
dengan jelas dibedakan antara tuan yang penguasa dan hamba yang pribumi. Pembedaan
antara tuan dan hamba dilakukan berdasarkan atas ciri-ciri fisik atau rasial, kesukubangsaan,
keyakinan keagamaan, dan jenjang sosial menurut patokan feodalisme yang secara tradisional
berlaku.[5]

Faktor suku (juga agama) menjadi perhatian serius bagi negara yang terbangun lewat gejala
masyarakat majemuk. Faktor etnis dan agama menjadi persoalan sensitif yang mampu
memicu kekerasan dan konflik, seperti kerap terjadi di Indonesia. Ini akibat proses integrasi
nasional yang belum selesai. Integrasi semu sempat terjadi di Indonesia selama Orde Baru, di
mana Soeharto berupaya mensubordinasi tiap-tiap budaya etnis ke bawah jargon budaya
nasional. Ia mengembangkan tabu SARA (Suku, Agama, Ras, dan Antargolongan) sebagai
terlarang untuk dipertentangkan di muka publik. Kemayaan ini tampak jelas setelah Soeharto
turun dari kekuasaan, konflik-konflik berlatar belakang suku, agama, ras, dan antargolongan
jadi meruyak.
Memang selama pemerintahan Soeharto kondisi terkesan harmonis meskipun sekadar berupa
api dalam sekam. Kondisi harmonis karena negara sangat strong dengan alat pengaman
negara (militer, intelijen) yang padu. Terbukti, saat politik kekuasaan Soeharto melemah,
banyak konflik yang dilatari etnis, agama, ras, dan antargolongan justru terjadi dengan
mudahnya, bahkan berlarut-larut. Malah setelah terpojok Soeharto justru menggunakan tabu
SARA-nya sendiri untuk membangun kuda-kuda politik barunya di era 1990-an: Merangkul
kalangan Islam modernis dan merenggangkan jarak dengan kelompok nasionalis dan non
Muslim yang selama ini menjadi sekutu dekatnya.

Mengenai hubungan antarkelompok dalam masyarakat majemuk, Leo Kuper memberi catatan
berikut: [6]

Societies composed of status groups or estates that are phenotypically distinguished, have
different positions in the economic order and are differentially incorporated into the political
structure, are to be called plural societies and distinguished from class societies. In plural
societies political relations influence relations to the means of production more than any
influence int the reverse direction.
When conflicts develop in plural societyes ther follow the lines of racial cleavage more
closely tahan those of class.
Racial categories in plural societies are historically conditioned; they are shaped by inter-
group competition and conflict.

Bagi seorang ahli Indonesia lain, Clifford Geertz, masyarakat majemuk adalah masyarakat
yang terbagi-bagi ke dalam sub-sub sistem yang kurang lebih berdiri sendiri-sendiri, dalam
mana masing-masing subsistem terikat ke dalam ikatan-ikatan yang bersifat primordial.[7]
Hal yang menarik kemudian dinyatakan Pierre L. van den Berghe seputar ciri dasar dari
masyarakat majemuk ini, yaitu: [8]

Terjadinya segmentasi ke dalam bentuk kelompok-kelompok yang seringkali memiliki


subkebudayaan yang berbeda-beda satu sama lain;
Memiliki struktur sosial yang terbagi-bagi ke dalam lembaga-lembaga yang bersifat
nonkomplementer;
Kurang mengembangkan konsensus di antara para anggotanya terhadap nilai-nilai yang
bersifat dasar;
Secara relatif seringkali mengalami konflik-konflik di antara kelompok yang satu dengan
kelompok yang lain;
Secara relatif integrasi sosial tumbuh di atas paksaan (coercion) dan saling ketergantungan di
dalam bidang ekonomi; serta
Adanya dominasi politik oleh suatu kelompok atas kelompok-kelompok yang lain.

Melalui paparan di atas, diketahui bahwa teori masyarakat majemuk (plural society) awalnya
lahir dari pengamatan J.S. Furnivall atas negara-negara kolonial dan postcolonial. Di negara-
negara tersebut, masyarakat terkotak ke dalam sekat-sekat asal usul (suku, ras, agama,
golongan) di mana satu suku atau agama mendominasi lainnya. Masyarakat tersebut dipaksa
untuk bersatu oleh sebuah kuasa kolonial. Namun, kendati disatukan mereka dipecah di
dalamnya agar tidak bersatu. Mereka disatukan hanya agar mudah dieksploitasi. Masyarakat
majemuk mudah terbelah akibat tiadanya common will (kehendak bersama). Akibatnya,
individu dalam masyarakat hanya loyal kepada kelompok basis primordial mereka. Common
will yang bersifat nasional kendatipun ada hanyalah sebatas jargon. Ini merupakan hasil
sukses politik Divide et Impera kaum kolonial. Kondisi masyarakat majemuk, bagi Sammy
Shooha, [...] created by Western imperialism, and maintained through political coercion for
economic exploitation of nonwhite populations. They consist of a medley of peoples who
share little more than the imposed economy and policy.[9]

Konflik-konflik akibat struktur masyarakat majemuk juga terjadi antara masyarakat eks
penjajahan bangsa-bangsa barat yang secara tajam dipisahkan kemajemukan seperti Hindu
dan Muslim di India (diikuti pemisahan Pakistan), Burma (etnis Karen), Aljazair (masalah
agama, bahasa Berber, Arab, Perancis), Zanzibar (etnis Watumbatu, Wahadimu, dan
Wapemba), Rwanda (Hutu dan Tutsi), Burundi (Hutu dan Tutsi), Kongo (Hutu dan Tutsi),
Angola (Ambundu, Bakongo, dan Ovimbundu), Mozambik (Frelimo, Renamo), Afrika
Selatan (warisan Aparteid), Nigeria (suku Ibo versus Hausa versus Yoruba), Uganda (Acholi
dan Baganda), Sudan (Arab dan nonarab), Ethiopia (Ethiopia dan Eritrea), Siprus (Yunani
dan Turki), Irlandia Utara (Protestan dan Katolik), Israel (Palestina-Yahudi, Yahudi Relijius-
Yahudi Sekuler, Yahudi Oriental-Yahudi Ashkenazi), Vietnam, Bangladesh, Lebanon
(Kristen Maronit versus Kristen Druze versus Islam Sunni versus Islam Syiah), Malaysia
(India versus Cina versus Melayu), Srilangka (etnis Sinhala versus Tamil), dan Indonesia
(lewat serangkaian kerusuhan bermuatan etnis dan agama di Sampit, Poso, dan Ambon).
Sebagai negara yang pernah mengalami kolonialisasi Belanda, Indonesia menderita ekses
negatif masyarakat majemuk. Selama penjajahan, masyarakat dibelah berdasarkan unsur
primordial suku, agama, ras dan golongan. Pembelahan dilakukan secara sistematis,
terstruktur, menggunakan agen-agen khusus Belanda seperti Hendrikus Colijn. Pembelahan
terus bertahan bahkan hingga pasca Indonesia merdeka. Isu-isu Islam versus Non Islam, Jawa
versus Luar Jawa, Luar versus Pribumi, masih laku sebagai komoditas politik maupun
amunisi pemicu konflik kekerasan. Terlebih, Pancasila sebagai konsensus nasional mulai
dianggap sepi masing-masing komunitas politik dan budaya Indonesia. Ruang kosong
ideologi semakin memperlemah kohesi masyarakat multikultur Indonesia.

Simbol, bahasa, nilai, dan norma nasional kendati ada – penggunaan bahasa Indonesia,
simbol negara seperti bendera dan lagu kebangsaan, nilai seperti Pancasila, dan norma seperti
aturan hukum dan perundang-undangan – belum sepenuhnya mampu memadamkan kekuatan
politik etnis dan sektarian. Pertikaian sepanjang garis etnis, agama, dan golongan mewarnai
peta kehidupan bermasyarakat dan bernegara Indonesia.

Sulit diprediksi apakah Indonesia masih relevan untuk disebut masyarakat majemuk atau
tidak, tetapi fakta menunjukkan jawabannya adalah ya. Namun, jika pertanyaan susulan
diajukan adalah apakah paham kemajemukan dapat disaingi maka jawabannya adalah ya.
Persoalan mendesak adalah bagaimana membelokkan dominasi paradigma masyarakat
majemuk menjadi paradigma lain yang lebih toleran dan mungkin menciptakan integrasi
nasional yang lebih baik bagi Indonesia. Seperti Indonesia yang awalnya sebuah gagasan,
masyarakat multikultural juga sebuah gagasan, layaknya masyarakat majemuk. Sebagai
gagasan, paradigma multikultural sesungguhnya dapat diupayakan di Indonesia.

1.4. Masyarakat Multikultural Indonesia

Tidak dipungkiri, Indonesia negara dengan kultur beraneka ragam. Bahkan, Indonesia – oleh
Parsudi Suparlan – tegas dimasukkan ke dalam kategori plural society atau masyarakat
majemuk dengan sejumlah dimensi negatifnya. Kultur yang beraneka ragam (multikultur)
oleh kolonial Belanda direkayasa sedemikian rupa (ironisnya dilanjutkan oleh elit-elit politik
lokal dan nasional) guna menjamin posisi kekuasaan. Masyarakat dibelah menurut kategori
suku, agama, ras, dan golongan: Jadilah masyarakat majemuk. Pembelahan dilakukan dengan
cara melakukan permanensi atas perbedaan lalu membenturkan satu sama lain. Hingga kini,
efek pembelahan masih terasa bahkan banyak meledak dalam rentetan panjang konflik
horisontal di Indonesia.

Sejumlah ilmuwan sosial menawarkan gagasan lebih bijaksana dalam mengatasi perbedaan
tajam antar komunitas dalam masyarakat. Gagasan baru tersebut guna menggantikan gagasan
usang masyarakat majemuk yaitu multiculturalism. Multikulturalisme dapat disebut
paradigma sebab merupakan cara berpikir tandingan dalam metode hubungan antarsuku,
agama, ras, dan antargolongan dalam sebuah kesatuan politik. Multikulturalisme adalah
gagasan politik yang hendak mengubah gagasan masyarakat majemuk yang konfliktual ke
arah gagasan masyarakat multikultural yang konsensual.

Untuk menyamakan sudut pandang, baiklah kami sertakan terlebih dahulu dua definisi
multikulturalisme. Definisi pertama kami ambil dari Tariq Modood sementara yang kedua
dari Steven Bochner. Tariq Modood mendefinisikan multikulturalisme sebagai gagasan
politik, yaitu:

[...] the recognition of group difference within the public sphere of laws, policies, democratic
discourses and the terms of a shared citizenship and national identity --- while sharing
something in common with the political movements [...][10]

Modood berpendapat keragaman primordial harus tetap diakui eksistensinya. Namun,


perbedaan tersebut hendaklah jangan diterjemahkan ke dalam bentuk dominasi satu terhadap
lain juga bukan dalam bentuk separatisme politik. Keragaman – lewat prosedur politik –
diakui dalam kehidupan publik. Ia terjelma dalam struktur hukum, kebijakan, dan wacana
politik. Titik tekan yang mempertemukan semua keragaman adalah kewarganegaraan dan
identitas nasional suatu negara. Indonesia memiliki Pancasila sebagai konsensus tatacara
hubungan antar komunitas budaya dalam bingkai komunitas politik Indonesia.

Selain dari Modood, definisi multikulturalisme lainnya diajukan Steven Bochner yang
menekankan keunikan hubungan dalam sebuah masyarakat multikultural:

[...] refers to social arrangement characterized by cultural diversity. In practice, this mean
non-trivial interpersonal contact between individuals and groups who differ in their ethnicity.
In multicultural societies, such contact occurs within a climate of tolerance and mutual
respect. A distinction is drawn between the process of multicultural contact, which include
the behaviors, attitudes, perceptions and feelings of the participants; and the institutional
structures which characterize and either support of hinder benign intercultural contact, which
included legislation, government policy, and employment practices.[11]

Bochner lebih menekankan pendekatan interaksi-simbolik dalam lingkup sosial psikologis


tinimbang politik. Baginya, multikulturalisme merupakan kesepakatan sosial yang
dikarakteristikkan keragaman kultural. Masing-masing entitas yang berbeda dimensi
kulturalnya melakukan kontak satu sama lain berdasarkan sikap toleransi dan saling hormat-
menghormati. Dasar aturan setiap kontak dijamin dalam undang-undang, kebijakan
pemerintah, bahkan di dalam praktek keseharian dunia pekerjaan (peraturan-peraturan
organisasi).

Konsep masyarakat majemuk, seiring perkembangan demokratisasi pada konteks global,


semakin kehilangan signifikansinya karena efek dominasi mayoritas atas minoritas atau etnis
dominan atas kurang dominan di dalam konsep usang tersebut. Konsep warisan kolonial ini
perlu didekonstruksi untuk kemudian digantikan konsep multikulturalisme. Mengenai
multikulturalisme, Baogang He and Will Kymlicka memberi catatan bahwa aneka bangsa dan
negara di dunia kini harus menyadari bahwa keragaman adalah realitas yang tidak bisa
ditolak. Keragaman elemen yang membentuk masyarakat politik (negara) tidak bisa
dihomogenisasi, apalagi jika dilakukan lewat metode pemaksaan (koersif). Baogang He dan
Will Kymlicka lalu melancarkan pernyataan seputar perlunya cara pandang baru dalam
mengatasi masalah perpecahan masyarakat karena garis etnis dan agama sebagai berikut:

In the first few decades following decolonization, talk of multiculturalism and pluralism was
often discouraged, as states attempted to consolidate themselves as unitary and homogenizing
nation-states. Today, however, it is widely recognized that states in the region must come to
terms with the enduring reality of ethnic and religious cleavages, and find new ways of
accommodating and respecting diversity.[12]

Bagi He and Kymlicka, upaya homogenisasi budaya di suatu negara sudah kehilangan
justifikasinya. Ini akibat adanya kenyataan bahwa dalam homogenisasi budaya di negara
berkategori plural society (masyarakat majemuk) yang justru terjadi adalah dominasi budaya
satu atas budaya lain. He and Kymlicka memandang perbedaan adalah kodrat dan patutnya
diterima saja. Hal penting yang perlu dicari solusinya bagaimana jalinan hubungan antar
komunitas berbeda dapat berjalan secara harmonis.

He and Kymlicka melanjutkan, upaya homogenisasi nasional selama ini kerap memancing
perlawanan kaum minoritas etnis (juga agama) yang termanifestasi lewat keputusan
pemisahan diri, kekerasan, bahkan perang sipil seperti yang terjadi di Filipina, Papua New
Guinea, Cina, Burma, Indonesia, Srilanka, India, ataupun Pakistan. Konflik kekerasan
merupakan salah satu ekses negatif dari pembelahan masyarakat yang berlangsung selama
periode kolonial masing-masing negara. Aneka konflik tersebut memanfaatkan
kemultikulturalan masyarakat jajahan. Selama periode kolonial, penjajah bekerja sama
dengan satu etnis dalam masyarakat untuk menindas etnis lain. Ketika penjajah hengkang,
yang tersisa hanyalah amunisi melimpah untuk perang saudara.

Kata multikulturalisme pertama kali digunakan di Kanada tahun 1960-an. Perdana Menteri
Kanada, Pierre Trudeau, menggunakannya untuk melawan konsep biculturalism.[13] Di masa
sebelumnya, Kanada dikenal hanya terdiri atas dua etnis yang saling bersaing: Inggris dan
Perancis. Semenjak Trudeau, dinyatakan bahwa Kanada multikultural, karena terdiri atas
etnis dan ras berbeda seperti Inggris, Perancis, Indian, Inuit, serta kaum imigran dari
mancanegara seperti Cina, India, Jerman, Arab, dan sebagainya.

Studi multikulturalisme kemudian disistematisasi serta dipopulerkan Will Kymlicka lewat


dua karyanya Liberalism, Community and Culture yang terbit tahun 1989 serta Multicultural
Citizenship yang terbit tahun 1995. Bagi Kymlicka, pemberian ruang bagi kalangan minoritas
suatu negara tidak bisa dicapai hanya lewat jaminan hak-hak individual dalam undang-
undang. Minoritas yang dimaksud Kymlicka adalah minoritas budaya, yang secara praktek
sosial sehari-hari harus diperhatikan keunikan identitasnya.[14] Kymlicka bicara dalam
konteks multikultural dalam satu komunitas politik (negara), yang mungkin saja terdiri atas
komunitas-komunitas budaya yang berbeda.

Studi multikulturalisme condong pada studi kewarganegaran, karena khusus mengulas


sejumlah perbedaan budaya di tengah komunitas politik (negara). Kymlicka menentang
pendapat individu yang hidup dalam komunitas politik otomatis merupakan bagian komunitas
budaya yang sama. Secara politik, individu adalah bagian dari satu komunitas politik, tetapi
dalam hal budaya, ia merupakan komunitas budaya spesifik. Dalam masalah
multikulturalisme ini, Kymlicka membedakan komunitas politik dengan komunitas budaya
sebagai:

On the one hand, there is the political community, within which individuals exercise the right
and responsibilities entailed by the framework of liberal justice. People who reside within the
same political community are fellow citizens. On the other hand, there is the cultureal
community, within which individuals form and revise their aims and ambitions. People
within the same cultural community share a culture, a language and history which defines
their cultural membership.[15]

Komunitas politik – biasa disebut negara – merupakan tempat setiap anggota masyarakat
secara legal menjadi warganegara. Hak serta kewajiban mereka sama, tanpa memandang
budaya, suku, agama, ras, dan golongan. Komunitas budaya adalah individu mempraktekkan
keunikan budaya masing-masing. Mereka menciptakan komunitas-komunitas kebudayaan,
tempat dimana mereka menemukan individualitasnya.

Selama ini hubungan antara komunitas politik dengan komunitas budaya tidak selalu
harmonis. Komunitas politik kerap memaksakan sebuah komunitas budaya nasional atas
aneka komunitas budaya spesifik yang ada di wilayah yuridiksi suatu negara. Dapat diingat
kewajiban asimilasi nama Indonesia atas etnis Cina di masa Orde Baru atau pelarangan
demonstrasi kebudayaan Cina secara publik? Pemerintah Indonesia atas nama komunitas
politik menekan komunitas budaya Cina dalam meng-exercise kebudayaannya. Kasus serupa
terjadi di Amerika Serikat, sebagai komunitas politik yang tidak memberikan hak pilih dan
hak sosial setara kepada komunitas budaya Afro-American sekurangnya hingga tahun 1964.
Agar analisis mengenai multikulturalisme mendapat porsi yang tepat, Kymlicka
mengingatkan bahwa pola hubungan minoritas-mayoritas di suatu negara tidak dilepaskan
dari sejarah terbentuknya sebuah masyarakat:

Modern societies are increasingly confronted with minority groups demanding recognition of
their identity, and accommodation of their cultural difference. This is often phrased as the
challenge of ‘multiculturalism’ [...] There are a variety of ways in which minorities
incorporated into political communities, from the conquest and colonization of previously
self-governing societies to the voluntary immigration of individuals and families. These
differences in the mode of incorporation affect the nature of minority groups, and the sort of
relationship they desire with larger society.[16]

Menurut Kymlicka, masyarakat modern kini banyak menghadapi tuntutan dari kalangan
minoritas atas keunikan budaya mereka. Dalam menyikapi tuntutan ini, komunitas politik
(negara) hendaknya tidak melupakan sejarah masuknya aneka kelompok minoritas budaya ke
dalam komunitas politik. Secara sejarah ada di antara mereka yang masuk karena penaklukan
ataupun kolonialisasi atas wilayah yang dahulunya otonom maupun migrasi (perpindahan)
sukarela suatu kelompok budaya ke dalam wilayah-wilayah yang masuk yuridiksi sebuah
negara moderen. Asal-usul elemen yang mengikatkan diri di dalam sebuah komunitas politik
moderen (negara) menandai kerumitas pola hubungan yang ada sekaligus mampu memberi
jalan keluar bagi terciptanya hubungan antar komunitas budaya yang lebih manusiawi dan
harmonis.

Guna melihat jenis multikultur di suatu komunitas politik, Kymlicka menganalisisnya lewat
pola masuknya suatu komunitas budaya ke dalam komunitas politik. Variabel penentunya
adalah genealogi proses suatu komunitas budaya menjadi anggota komunitas politik.
Genealogi ini dibagi ke dalam dua pola, yang menurut Kymlicka (dikutip agak panjang saja):

In the first case, cultural diversity arises from the incorporation of previously self-governing,
territorially concentrated cultures into a larger state. The incorporated cultures, which I call
‘national-minorities’, typically wish to maintain themselves as distict society alongside the
majority culture, and demand various forms of autonomy of self-government to ensure their
survival as distinct societies.

In the second case, cultural diversity arises from individual and familial immigration. Such
immigrants often coalesce into loose associations which I call ‘ethnic groups’. They typically
wish to integrate into larger society, and to be accepted as full member of it. While they often
seek greater recognition of their etnic identity, their aim is not to become a separate and self-
governing nation alongside the larger society, but to modify the institutions and laws of the
mainstream society to make the more accomodating of cultural differences.[17]

Kymlicka menyebut pola pertama sebagai pola minoritas nasional dan yang kedua sebagai
pola kelompok etnis. Dalam pola pertama, sebuah negara terbentuk dari budaya-budaya yang
awalnya mandiri secara politik, bahkan dapat dikategorikan sebagai unit politik atau negara
sendiri. Masyarakat-masyarakat politik dan budaya mandiri tersebut lalu sepakat membentuk
sebuah negara yang lebih besar. Namun, kendati sudah masuk ke dalam negara yang lebih
besar, mereka tetap menuntut privilese untuk mengatur diri sendiri sejauh tetap berada dalam
kesepakatan politik dengan komunitas politik (negara) yang lebih besar tadi. Negara yang
terbentuk lewat pola minoritas nasional disebut Kymlicka sebagai memiliki dimensi
multinasional.

Dalam pola kedua, keragaman budaya muncul dari arus migrasi atau perpindahan penduduk,
baik yang sifatnya sukarela maupun termobilisasi. Pendatang yang baru masuk memiliki
budaya berbeda dengan budaya penduduk lokal tempat lokasi tujuan pindah. Berbeda dengan
pola pertama, dalam pola kedua ini komunitas budaya beragam, ada yang berasal dari
wilayah yang dahulunya merupakan komunitas politik politik otonom sebelum bergabung ke
dalam negara maupun berasal dari luar wilayah yuridiksi negara yang bersangkutan. Konsep
awam dalam menyebut mereka ini adalah keturuan dan pendatang. Mereka disebut keturunan
jika berasal dari luar negara misalnya orang Arab, Cina, dan India. Masalah utama yang
menghadapi mereka adalah kewarganegaraan dan identitas, yaitu antara loyal kepada
pemerintah di mana kini mereka tinggal ataukan kepada masyarakat dan negara asal atau
leluhur mereka.

Mereka disebut pendatang jika berasal dari dalam wilayah yuridiksi. Masalah
kewarganegaraan dan identitas seperti dialami jenis pertama mungkin tidak dialami. Masalah
utama bagi mereka justru bagaimana melakukan integrasi ke dalam masyarakat di mana
budaya lokal yang mainstream bukanlah budaya mereka. Dengan kata lain, masalah pokok
bagi mereka adalah bagaimana melakukan perimbangan antara melestarikan budaya mereka
sendiri dengan tetap menghargai budaya dan pandangan masyarakat asli. Jumlah para
pendatang ini bervariasi. Ada pendatang yang jumlahnya sedikit di suatu wilayah, tetapi ada
pula yang bahkan merupakan mayoritas di wilayah tinggal non daerah basis mereka. Dalam
pergaulan antar komunitas budaya mereka melakukan sejumlah asimilasi (bahasa, tatakrama).
Namun, keunikan budaya mereka pun tetap ada dan berhak untuk eksis, bukan dengan tujuan
separatisme politik melainkan agar karakteristik budaya mereka diakui baik oleh komunitas
politik maupun komunitas budaya lain tempatnya tinggal. Negara yang terbentuk lewat pola
kedua ini dinamakan Kymlicka sebagai polietnis.
Kedua pola pembentukan bangsa versi Kymlicaka hadir sekaligus di Indonesia. Untuk
kategori multinasional, sebelum kolonialisme Belanda dan terbentuknya Indonesia, hampir
setiap daerah dahulunya merupakan komunitas politik sekaligus komunitas budaya mandiri.
Misalnya, Maluku Utara (kerajaan Ternate, Tidore, Bacan, Jailolo), Aceh (Samudera Pasai),
Kalimantan (kerajaan Banjar), Sulawesi Selatan (kerajaan Bone, Wajo, Luwuk), Yogyakarta
(Surakarta dan Yogyakarta), Banten (kesultanan Banten), Cirebon (kesultanan Cirebon),
Sumatera bagian Timur (Deli, Palembang), dan banyak lagi di bagian-bagian lain. Raja, ratu,
atau para sultan di masing-masing komunitas sebelum periode kolonial relatif mandiri secara
politik. Mereka memiliki bahasa, adat, keyakinan, simbol, dan norma sendiri-sendiri yang
berbeda satu sama lain. Dan, hingga kini pun eksistensi politik mereka relatif masih diakui di
wilayah tertentu Indonesia, yang misalnya terjelma dalam konsep daerah istimewa. Dalam
konteks multinasional ini, kecenderungan revivalisme nativistik sifatnya laten.

Untuk kategori polietnis Indonesia dibentuk oleh dua pola migrasi yaitu migrasi luar dan
migrasi dalam. Migrasi luar terjadi tatkala etnis Arab, India, dan Cina datang dan diam di
Indonesia. Kebanyakan migrasi ini sifatnya sukarela. Kendati kecil secara kuantitas,
pengaruh mereka di bidang-bidang tertentu kehidupan publik Indonesia cukup besar. Imigran
Arab memiliki pengaruh di bidang agama (Islam) yang ditunjukkan dengan aneka majlis
ta’lim yang dipimpin seorang imigran Arab (Hadramaut) ataupun keturunannya. Imigran
Cina dan India memiliki aneka perusahaan besar yang beroperasi dan menggunakan tenaga
kerja masyarakat Indonesia. Untuk itu diperlukan regulasi serius pemerintah pusat seputar
kebebasan para imigran mempraktekkan budayanya.

Migrasi dalam mengemuka dalam hubungan antaretnis dari dalam Indonesia. Seperti telah
disebut, konsep awam untuk melukiskan mereka adalah pendatang. Satu atau beberapa etnis
melakukan transmigrasi ke wilayah etnis lain. Misalnya etnis Jawa ke pulau-pulau luar Jawa,
etnis Bugis dan Buton bermigrasi ke Halmahera, etnis Betawi bermigrasi ke Sorong, atau
etnis Madura bermigrasi ke Sampit. Motivasi mereka pindah juga bervariasi, ada yang secara
sukarela dan ada pula yang secara mobilisasi. Akibat migrasi, kerap terjadi social tension
yang berkulminasi pada rentetan konflik (kerusuhan) etnis di Jakarta, Bandung, Solo,
Kalimantan, Poso, Ambon, dan wilayah Maluku Utara. Sebab itu, dampak-dampak yang
mungkin muncul akibat pola migrasi dalam dalam masyarakat Indonesia ini pun perlu
diakomodasi baik oleh komunitas politik (pemerintah daerah lewat perda) maupun komunitas
budaya (tokoh-tokoh adat masyarakat setempat).

Kompleksitas sistem sosial dan budaya Indonesia serta upaya kohesinya – seiring kenyataan
multinasional dan polietnis – masih belum selesai pembentukannya. Problem inti yang selalu
muncul berkisar pada bagaimana mencapai konsensus nasional sebagai basis perekat
antarkelompok. Pancasila sebagai basis ideologi multikulturalisme Indonesia, termasuk
slogan Bhinneka Tunggal Ika, belumlah cukup tanpa pemahaman dan exercise yang lebih
komprehensif dari seluruh anggota komunitas politik dan komunitas budaya yang ada.
Pemerintah tidak dapat melulu menggunakan tindakan bercorak coercion guna menimbulkan
pemahaman dan menjamin kohesi. Perlu upaya kreatif dari pemerintah sebagai wakil
komunitas politik dan masyarakat sipil yang mewakili komunitas-komunitas budaya untuk
lebih memahami posisi Pancasila di dalam konteks kebangsaan Indonesia.

Pasca transisi politik 1998, Indonesia semakin mengarah pada sensitivitas positif akan
dimensi multinasional dan polietnis masyarakatnya. Dalam konteks polietnis kalangan
imigran misalnya, di bawah administrasi Gus Dur, etnis Tionghoa memperoleh pengakuan
atas sekurangnya dua komponen budayanya yaitu Hari Raya Imlek dan agama Kong Hu Cu
(Konfusianisme). Etnis Arab, biasanya terlembaga ke dalam majlis-majlis ta’lim yang di
masa administrasi Suharto telah beroleh pengakuan. Etnis India juga diberi hak sama dengan
mendirikan gurudwara-gurudwara. Masalah lain yang belum tersentuh adalah pola hubungan
polietnis yang diakibatkan faktor migrasi dalam. Bagaimana multikultural dapat berkembang
harmonis antara etnis-etnis intra Indonesia.

Dalam konteks multinasional, Undang-undang Otonomi Daerah memberi keleluasaan setiap


daerah untuk melakukan self-governing. Pemilihan kepala daerah langsung menjamin adanya
ruang lebih besar bagi tokoh-tokoh masyarakat dan politik lokal guna menentukan bagaimana
seharusnya masyarakat mereka kelola. Seperti Kymlicka nyatakan sebelumnya, genealogi
fitur multinasional biasanya mengharapkan kemandirian politik relatif vis a vis pemerintah
pusat. Untuk itu, Aceh diperkenankan menggunakan Qanun dan berganti nama menjadi
Nanggroe Aceh Darussalam, Yogyakarta terus menikmati status sebagai daerah istimewa,
dan wilayah-wilayah lain diperkenankan melembagakan pengajaran bahasa daerah dalam
kurikulum pendidikannya. Atas dasar fakta-fakta ini, dapat dikatakan bahwa Indonesia tengah
mengarah (atau diarahkan) kepada masyarakat multikultur.
Patologi yang biasa muncul dalam masyarakat multinasional dan polietnis adalah etnophobia
atau kecurigaan yang berlebihan terhadap suatu etnis. Misalnya saja di Indonesia berkembang
etnophobia atas etnis Jawa yang mengendap pada suku-suku luar pulau Jawa. Ini merupakan
peninggalan merusak dari konsep masyarakat majemuk zaman kolonial di mana suatu etnis
disokong oleh penjajah Belanda guna mendominasi etnis lain. Pemerintah kolonial pun selalu
menggunakan Jawa sebagai model pemerintahan bagi daerah luar Jawa yang mereka kuasai.
Memang, secara kuantitas, Jawa merupakan etnis yang terbesar Indonesia. Namun, dominasi
kuantitatifnya hanya di DKI Jakarta, Jawa Tengah, Yogyakarta, Jawa Timur, dan beberapa
provinsi Sumatera. Selain itu, bahasa persatuan (bahasa Indonesia) bukanlah bahasa Jawa
melainkan Melayu yang telah menyerap unsur-unsur Sanskerta, Arab, dan sejumlah bahasa
asing lainnya (Inggris, Belanda, Portugis, atau Cina).

Masalah yang juga biasa melatarbelakangi konflik etnis dan sektarian Indonesia adalah
ekonomi.[18] Konflik Poso jika hanya dianalisis secara dangkal adalah kisah perang agama.
Padahal, pada esensinya bukan konflik agama melainkan konflik ketimpangan struktural-
ekonomi antara masyarakat asli yang mayoritas Kristen dengan kaum pendatang yang
mayoritas Islam. Kejadian serupa juga terjadi di Ambon, yang lebih diakibatkan kegamangan
posisi status quo elit dan masyarakat Ambon Kristen atas peralihan politik nasional di level
pusat, berupa peralihan kuda-kuda kekuasaan Soeharto dari ABRI menuju Islam modernis.

Sebagai ideologi, multikulturalisme tidaklah asing dan masih memiliki optimismenya di


Indonesia. Ini mengandaikan pemerintah pusat lebih cerdas dalam memetakan karakteristik
suku bangsa yang bergabung dengan Indonesia serta political will untuk melakukan budaya
dialog antarbudaya serta serius melakukan pemerataan pembangunan ekonomi, yang lebih
mengakomodasi komposit polietnis yang kepentingannya saling berbeda dan kadang saling
bersaing. Di sinilah sesungguhnya peran vital pemerintah pusat selaku regulator politik dan
penetrator ayat-ayat konstitusi ke setiap sub-sub nasional negara. Pembangunan ekonomi
Indonesia tidak bisa diserahkan kepada free fight capitalism. Peran pemerintah harus
mengenyahkan tata politik kolonial yang sekadar juragan tanpa kehendak baik
memperhatikan karakteristik budaya dan masyarakat daerah layaknya pemerintahan kolonial
menyukai konsep masyarakat majemuk.
BAB II

PENUTUP

3.1. Kesimpulan
Sebagai ideologi, multikulturalisme tidaklah asing dan masih memiliki optimismenya
di Indonesia. Ini mengandaikan pemerintah pusat lebih cerdas dalam memetakan karakteristik
suku bangsa yang bergabung dengan Indonesia serta political will untuk melakukan budaya
dialog antarbudaya serta serius melakukan pemerataan pembangunan ekonomi, yang lebih
mengakomodasi komposit polietnis yang kepentingannya saling berbeda dan kadang saling
bersaing. Di sinilah sesungguhnya peran vital pemerintah pusat selaku regulator politik dan
penetrator ayat-ayat konstitusi ke setiap sub-sub nasional negara. Pembangunan ekonomi
Indonesia tidak bisa diserahkan kepada free fight capitalism. Peran pemerintah harus
mengenyahkan tata politik kolonial yang sekadar juragan tanpa kehendak baik
memperhatikan karakteristik budaya dan masyarakat daerah layaknya pemerintahan kolonial
menyukai konsep masyarakat majemuk.

3.2. Saran
Setelah membaca makalah ini, diharapkan psara pembaca dapat memahami dan
mengerti akan isi dan maksud dari judul tersebut diatas. Para pembaca bisa mendapatkkan
pelajaran serta dapat menambah wawasan mengenai “Konsep Masyarakat Majemuk dan
Masyarakat Multikultural”.
DAFTAR PUSTAKA

[1] Tafsiran Furnivall oleh Nasikun dalam Nasikun, Sistem Sosial Indonesia (Jakarta:
Rajawali Press, 2006) h.39-40.
[2] J.S. Furnivall, Colonial Policy and Practice (London: Cambridge University Press, 1948)
pp.303-12.
[3] Ibrahim Saad, Competing Identities in a Plural Society (Singapore: Institute of Southeast
Asian Studies, 1981) p. 8.
[4] Parsudi Suparlan, Kesetaraan Warga dan Hak Budaya Komuniti dalam Masyarakat
Majemuk Indonesia, (Antropologi Indonesia, 66, 2001) h.2
[5] Ibid., h.5.
[6] Leo Kuper dikutip oleh Michael Banton, Racial and Ethnic Competition (New York:
Cambridge University Press, 1983) p.95.
[7] Clifford Geertz seperti termuat dalam Nasikun, Sistem ..., op.cit., h.40.
[8] Pierre L. van der Berghe seperti dikutip dalam Ibid, h.40-1.
[9] Sammy Smooha, Israel, Pluralism, and Conflict (London: Routledge & Kegan Paul Ltd,
1978) p.7.
[10] Tariq Modood, Multiculturalism: A Civic Idea (Cambridge: Polity Press, 2007) p.2
[11] Steven Bochner, Cultural Diversity Within and Between Societies: Implications for
Multicultural Social Systems dalam Paul Pedersen, ed., Multiculturalism as a Fourth Force
(New York: Taylor & Francis, 1999) p.19
[12] Baogang He and Will Kymlicka, eds., Multiculturalism in Asia (New York: Oxford
University Press, 2005) p.2.
[13] Adam Jamrozik, The Chains of Colonial Inheritance: Searching for Identity in a
Subservient Nation, (Sydney: University of New South Wales Press Ltd., 2004) p.84-5.
Biculturalism Kanada karena Inggris dan Perancis adalah dua bangsa yang merupakan
mayoritas di Kanada. Namun, selain kedua bangsa tersebut pun terdapat bangsa-bangsa lain
layaknya di Amerika Serikat.
[14] Chandran Kukanthas, Nationalism and Multiculturalism dalam Gerald F. Gaus and
Chandran Kukanthas, Handbook of Political Theory (London: SAGE Publications Ltd, 2004)
pp.251-2.
[15] Will Kymlicka seperti dikutip dalam Colin Farrelly, ed., Contemporary Political Theory:
A Reader (London: SAGE Publications Ltd, 2004) p.263
[16] Will Kymlicka, Multicultural Citizenship: A Liberal Theory of Minority Rights (New
York: Oxford University Press, 1995) p.10.
[17] Will Kymlicka, Multicultural ..., op.cit., pp.10-1.
[18] John R. Bowen, Normative Pluralism in Indonesia: Regions, Religions, and Ethnicities
dalam Baogang He and Will Kymlicka, Multiculturalism in ..., op.cit., p.158.

Anda mungkin juga menyukai