Anda di halaman 1dari 11

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Tanah merupakan tempat kita berpijak dan menggantungkan kehidupan selama kita
bernafas hingga akhir hidup kita. Tanah juga merupakan tempat bagi manusia untuk mencari
makan dengan menanam tanaman yang dapat diolah sedemikian rupa guna kelangsungan
hidup umat manusia. Selain itu tanah juga merupakan tempat kita untuk mendirikan rumah,
bangunan, toko, perkantoran, jalan raya serta banyak hal lainnya. Oleh karena itu fungsi
tanah bagi manusia sangatlah penting dan tidak dapat dianggap sebelah mata.
Tanah berfungsi sebagai faktor produksi yang sangat penting, sering disebut sebagai
faktor produksi asal atau asli (original factor of production). Tanah merupakan asal muasal
dari segala kegiatan produksi.
Tanah juga merupakan faktor produksi unik, sebab ia tidak diciptakan oleh manusia
melainkan manusia tinggal memanfaatkannya. Keunikan tanah yang lain karena
ketersediaannya yang sangat terbatas, dalam arti ia telah tersedia dalam jumlah yang tetap
dan tidak diciptakan lagi.
Dalam pandangan Islam, tanah merupakan anugerah Allah yang harus dimanfaatkan
secara optimal bagi pencapaian kesejahteraan manusia. Tanah tidak boleh ditelantarkan
sebagaimana pula tidak boleh dieksploitasi secara berlebihan sehingga merusaknya.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana Penciptaan Adam dari Tanah ?
2. Apa Keunikan Tanah Dalam Islam ?
3. Apakah Tanah Sebagai Faktor Produksi ?
4. Beberapa Pandangan Fungsi Tanah Sebagai Faktor Produksi ?
5. Bagaimana Filosofi Kepemilikan Tanah ?
6. Apa Larangan Menyewakan Lahan Pertanian ?

1
7. Bagaimana Negara Berhak Menetapkan Hima ?
C. Tujuan
1. Mengetahui Bagaimana Penciptaan Adam dari Tanah
2. Mengetahui Keunikan Tanah Dalam Islam
3. Mengetahui Apakah Tanah Sebagai Faktor Produksi
4. Mengetahui Pandangan Fungsi Tanah Sebagai Faktor Produksi
5. Mengetahui Filosofi Kepemilikan Tanah
6. Mengetahui Apa Saja Larangan Menyewakan Lahan Pertanian
7. Mengetahui Apakah Negara Berhak Menetapkan Hima

2
BAB II
PEMBAHASAN

A. Penciptaan Adam dari Tanah


Allah telah memerintahkan Malaikat Jibril turun ke bumi untuk mengambil sebahagian
tanah sebagai bahan untuk menjadikan Adam. Walau bagaimanapun, bumi enggan
membenarkan tanahnya diambil malah bersumpah dengan nama Allah bahwa dia tidak rela
untuk menyerahkannya kerana kebimbangannya seperti yang dibimbangkan oleh para
malaikat.
Jibril kembali setelah mendengar sumpah tersebut lalu Allah mengutuskan pula
Malaikat Mikail dan kemudiannya Malaikat Israfil tetapi kedua-duanya juga tidak berdaya
hendak berbuat apa-apa akibat sumpah yang dibuat oleh bumi. Maka, Allah memerintahkan
Malaikat Izrail untuk melakukan tugas tersebut dan mendesak bumi agar tidak menolak
walaupun bumi bersumpah karena tugas tersebut dijalankan atas perintah dan nama Tuhan.
Maka, Izrail turun ke bumi dan mengatakan yang kedatangannya adalah atas perintah
Allah dan memberi amanat kepada bumi untuk tidak membantah yang memungkinkan bumi
mendurhakai Allah. Menurut Ibnu Abbas, tanah bumi dan surga digunakan untuk dijadikan
bahan menciptaan Adam. Tanah tersebut adalah:
 Tanah Baitulmuqaddis (Palestin) - kepala sebagai tempat kemuliaan untuk diletakkan
otak dan akal.
 Tanah Bukit Tursina (Mesir) - telinga sebagai tempat mendengar dan menerima nasihat.
 Tanah Iraq - dahi sebagai tempat sujud kepada Allah.
 Tanah Aden (Yaman) - muka sebagai tempat berhias dan kecantikan.
 Tanah telaga Al-Kautsar - mata sebagai tempat menarik perhatian.
 Tanah Al-Kautsar - gigi sebagai tempat memanis-manis.
 Tanah Kaabah (Makkah) - tangan kanan sebagai tempat mencari nafkah dan
bekerjasama.

3
 Tanah Paris (Perancis) - tangan kiri sebagai anggota untuk melakukan istinjak.
 Tanah Khurasan (Iran) - perut sebagai tempat berlapar.
 Tanah Babilon (Iraq) - kelamin sebagai organ seks dan tempat bernafsu serta godaan
syaitan.
 Tanah Tursina (Mesir) - tulang sebagai peneguh manusia.
 Tanah India - kaki sebagai anggota berdiri dan berjalan.Tanah Firdaus (Surga) - hati
sebagai tempat keyakinan, keimanan, dan kemahuan.
 Tanah Taif (Arab Saudi) - lidah sebagai tempat untuk mengucapkan syahadah, syukur
dan do'a.

B. Keunikan Tanah Dalam Islam


Tanah dan alam merupakan salah satu faktor produksi yang sangat penting. Oleh
karena itu, sangat tepat kalau Islam memberikan perhatian yang besar terhadapnya. Dan
tidak mengherankan kalau ada orang barat yang mengatakan bahwa “tanah adalah ibu dari
produksi, sementara ayahnya adalah tenaga kerja”.
Keunikan dari faktor produksi tanah dibanding yang lainnya adalah sebagai berikut:
1. Tanah adalah pemberian langsung dari Allah SWT dalam artian kita hanya tinggal
menerima dan memanfaatkan saja. Berbeda dengan tenaga kerja dan kapital yang itu
diperoleh dari kerja keras atau usaha dari manusia. Oleh karena tanah diberikan oleh
Allah SWT secara langsung maka penggunaannya tidak boleh sembarangan, yaitu harus
sesuai dengan ketentuan yang Allah berikan kepada kita.

َ ‫إِنَّ اأْل َ ْر‬


‫ض هللِ يُ ْو ِرثُ َها َمنْ يَّشَا ُء ِمنْ ِعبَا ِد ِه َوا ْل َعاقِبَةُ لِ ْل ُمتَّقِ ْي َن‬
Artinya: “sesungguhnya bumi (ini) kepunyaan Allah; dipusakakan-Nya kepada siapa
yang dikehendaki-Nya dari hamba-hamba-Nya. Dan kesudahan yang baik adalah bagi
orang-orang yang bertakwa.” ( Al A’rof 128)
2. Eksistensi dari tanah adalah sesuatu yang sangat kompleks. Kalau kita lihat sumber daya
yang diberikan oleh tanah adalah yang ada didalam dan permukaan tanah itu sendiri.
Dari bawah tanah maka tanah memberikan bahan-bahan mineral dan tambang yang

4
bermanfaat bagi manusia, sedang dari permukaan tanah juga memberikan manfaat yang
luar biasa pada kita semua.
3. Penyediaan atau penawaran tanah relatif terbatas, dalam artian bahwa tanah telah
memiliki jumlah keseluruhan yang tertentu, tidak dapat ditambah maupun dikurangi.

C. Tanah Sebagai Faktor Produksi


Kedudukan tanah sebagai faktor produksi sesungguhnya mengandung dua pengertian, yaitu:
 Dari sisi lahan, yaitu zat atau fisik tanah itu sendiri, di mana secara keseluruhan
mencakup juga apa yang ada di atasnya, di permukaannya, dan di bawahnya.
 Dari sisi kegunaan, tanah dapat dimanfaatkan untuk berbagai kegiatan produksi,
misalnya pertanian, perkebunan, permukiman, perdagangan, dan industri.

D. Beberapa Pandangan Fungsi Tanah Sebagai Faktor Produksi


Fungsi tanah sebagai faktor produksi mencakup 2 hal mendasar, yaitu:
1. Hak Kepemilikan Tanah
Dalam pandangan Islam, prinsip dasar kepemilikan tanah adalah karena
pemanfaatan tanah itu sendiri. Status kepemilikan tanah dapat berubah karena
ketidakmauan atau ketidakmampuan dalam pemanfaatan. Sebaliknya karena kemampuan
memanfaatkan tanah maka dapat menciptakan kepemilikan.
Dalam pandangan Islam, cara-cara yang sah untuk memiliki tanah adalah melalui
tiga jalur berikut:
 Pewarisan
 Akad pemindahan hak milik yang sah
 Kerja
Pewarisan tanah, yaitu pemberian hak milik tanah dari orang tua yang telah
meninggal kepada ahli warisnya. Tanah warisan adalah hak milik yang sah, di mana
seseorang boleh memanfaatkannya, menjualnya, dan mewariskannya kembali kepada
ahli waris berikutnya.

5
Tanah juga dapat dimiliki melalui akad-akad pemindahan hak milik yang sah,
misalnya melalui jual beli, wasiat dan pemberian (hibah), termasuk pemberian
seseorang kepada orang lain atau pemberian negara kepada rakyatnya secara cuma-
cuma. Jenis hibah yang terakhir ini sering disebut iqtha’.
Hasil kerja seseorang dalam memproduktifkan suatu tanah, misalnya
menghidupkan tanah mati (ihya’u al mawat) dan memagari tanah (tahjiir), juga dapat
menjadi sebab kepemilikan. Tanah yang mati adalah tanah yang tidak kelihatan bahwa
tanah itu pernah dimiliki seseorang, tidak tampak adanya bekas sesuatu seperti pagar
(batas-batas wilayah kepemilikan), tanaman atau budidaya tanah lainnya, bangunan, dan
lain-lain. Jika seseorang memanfaatkan tanah mati ini menjadi produktif kembali, maka
ia berhak memiliki tanah mati tersebut. Sementara memagari tanah sebenarnya juga
mengandung implikasi menghidupkan tanah mati pula, sebab dengan membuat batas-
batas wilayah ini maka seseorang telah bertekad untuk memanfaatkan tanah mati
sehingga produktif.
Sedangkan dalam pandangan sosialisme, semua tanah adalah milik negara
sehingga tidak seorang individupun dapat memilikinya. Sistem kepemilikan seperti ini
jelas mengabaikan fitrah manusia atas keinginan memiliki, memelihara kepemilikan,
dan menggunakannya untuk berbagai kepentingannya. Di samping itu, dalam
prakteknya kepemilikan mutlak atas tanah dan sumber daya ekonomi lainnya oleh
negara cenderung rawan terhadap penyalahgunaan wewenang oleh para pejabat negara
demi kepentingan penguasa ataupun kepentingan kelompoknya.
Dalam pandangan kapitalisme (liberalisme), penghargaan atas kepemilikan
individu benar-benar berlebihan sehingga seringkali tidak memperhatikan harmoni
berbagai tingkatan pendapatan dan kekayaan dalam masyarakat. Kelompok kaya dapat
menguasai tanah seluas mungkin dan bebas untuk memanfaatkannya atau tidak,
sementara kelompok miskin terpaksa menjadi buruh dengan pendapatan yang rendah.
Seringkali terjadi keadaan di mana sejumlah besar tanah milik masyarakat kaya
dibiarkan menganggur (karena pemiliknya tidak sempat, tidak mampu, atau tidak mau
mengolahnya), sementara banyak orang miskin yang tidak memiliki tanah sejengkalpun.
Di sinilah feodalisme dapat tumbuh dengan subur.

6
2. Kewajiban Memanfaatkan Tanah
Seseorang yang memiliki hak milik atas tanah maka ia berkewajiban untuk
memanfaatkan tanah tersebut sebaik mungkin. Hubungan antara kepemilikan dengan
pemanfaatan adalah hubungan antara hak dan kewajiban. Artinya, hak kepemilikan
terhadap tanah menimbulkan konsekuensi kewajiban pemanfaatannya dan sebaliknya
aktivitas pemanfaatan dapat menimbulkan konsekuensi hak pemilikan.
Apabila seseorang tidak mampu memanfaatkan tanah tersebut maka sebaiknya
tanah tersebut diserahkan kepada yang lebih mampu. Demikian pula apabila ia
menganggurkannya atau menelantarkannya maka pihak lain dapat mengambilnya untuk
kemudian memanfaatkannya. Lama waktu pengangguran tanah ini adalah 3 tahun. Hal
ini berdasarkan hadits Rasulullah saw yang berbunyi “Barangsiapa mempunyai tanah
(pertanian), hendaklah ia mengolahnya, atau memberikan kepada saudaranya.” (HR
Bukhari).
Intinya hadist tersebut menyatakan bahwa suatu hak milik tanah dapat hilang
karena ia menelantarkan hak miliknya tersebut, selama kurun waktu lebih dari 3 tahun,
sebagaimana telah diterangkan sebelumnya.
Dalam konteks perekonomian modern, proses pemindahan hak milik tanah
sebaiknya dilakukan oleh negara, sebab jika setiap individu diperkenankan bertindak
sendiri-sendiri maka hal ini dapat menimbulkan kekacauan. Pada prinsipnya negara
harus melakukan berbagai upaya yang diperkenankan oleh syariat Islam agar tanah tidak
terbengkalai dan dimanfaatkan secara optimal. Untuk menjamin kepastian hukum maka
kebijakan ini sebaiknya diatur dalam undang-undang yang memuat ketentuan tentang
kriteria tanah yang terlantar, mekanisme pengambilalihan, kriteria pihak lain yang
berhak memanfaatkan, dan hal lain yang menjamin kebijakan ini dapat terlaksana
dengan baik. Proses pemindahan hak milik karena adanya penelantaran dan pemanfaatan
tanah ini akan lebih menjamin adanya optimalisasi pemanfaatan tanah sebagai sumber
daya ekonomi.

E. Filosofi Kepemilikan Tanah

7
Dalam pandangan Islam, segala sesuatu yang ada di langit dan bumi termasuk tanah
hakikatnya adalah milik Allah SWT semata. Firman Allah SWT :
Artinya : “Dan kepunyaan Allah-lah kerajaan langit dan bumi dan kepada Allah-lah
kembali (semua makhluk).” (QS An-Nuur : 42).
Allah SWT juga berfirman: Artinya: “Kepunyaan-Nyalah kerajaan langit dan bumi,
Dia menghidupkan dan mematikan, dan Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu.” (QS Al-
Hadid : 2).
Kemudian, Allah SWT sebagai pemilik hakiki, memberikan kuasa (istikhlaf) kepada
manusia untuk mengelola milik Allah ini sesuai dengan hukum-hukum-Nya. Firman Allah
SWT:
Artinya: “Dan nafkahkanlah sebagian dari hartamu yang Allah telah menjadikan
kamu menguasainya.” (QS Al-Hadid: 7).
Menafsirkan ayat ini, Imam Al-Qurthubi berkata, “Ayat ini adalah dalil bahwa asal
usul kepemilikan (ashlul milki) adalah milik Allah SWT, dan bahwa manusia tak
mempunyai hak kecuali memanfaatkan (tasharruf) dengan cara yang diridhai oleh Allah
SWT.” (Tafsir Al-Qurthubi, Juz I hal. 130).
Maka dari itu, filosofi ini mengandung implikasi bahwa tidak ada satu hukum pun
yang boleh digunakan untuk mengatur persoalan tanah, kecuali hukum-hukum Allah saja.
Mengatur pertanahan dengan hukum selain hukum Allah telah diharamkan oleh Allah
sebagai pemiliknya yang hakiki. Firman Allah SWT:
Artinya: “Dan Dia tidak mengambil seorangpun menjadi sekutu-Nya dalam
menetapkan hukum.” (QS Al-Kahfi : 26).

F. Larangan Menyewakan Lahan Pertanian


Lahan pertanian tidak boleh disewakan, baik sewa itu dibayar dalam bentuk hasil
pertaniannya maupun dalam bentuk lainnya (misalnya uang). (Al-Nabhani, ibid. hal. 141).
Rasulullah SAW bersabda, “Barangsiapa mempunyai tanah (pertanian), hendaklah ia
mengolahnya, atau memberikan kepada saudaranya, jika ia enggan memberikan maka
tahanlah tanahnya itu.” (HR Bukhari). Dalam hadis sahih riwayat Muslim, Rasulullah SAW

8
telah melarang mengambil upah sewa (ajrun) atau bagi hasil (hazhun) dari tanah. Hadis-hadis
ini dengan jelas melarang penyewaan lahan pertanian (ijaratul ardh).
Sebagian ulama membolehkan penyewaan lahan pertanian dengan sistem bagi hasil,
yang disebut muzara'ah. Dengan dalil bahwa Rasulullah SAW telah bermuamalah dengan
penduduk Khaibar dengan sistem bagi hasil, yakni setengah hasilnya untuk Rasulullah SAW
dan setengah hasilnya untuk penduduk Khaibar.
Dalil ini kurang kuat, karena tanah Khaibar bukanlah tanah pertanian yang kosong,
melainkan tanah berpohon. Jadi muamalah yang dilakukan Nabi SAW adalah bagi hasil
merawat pohon yang sudah ada, yang disebut musaqat, bukan bagi hasil dari tanah kosong
yang kemudian baru ditanami (muzara'ah). Tanah Khaibar sebagian besar adalah tanah
berpohon (kurma), hanya sebagian kecil saja yang kosong yang dapat ditanami. (Al-Nabhani,
ibid., hal. 142).
Larangan ini khusus untuk menyewakan lahan pertanian untuk ditanami. Adapun
menyewakan tanah bukan untuk ditanami, misal untuk dibuat kandang peternakan, kolam
ikan, tempat penyimpanan (gudang), untuk menjemur padi, dan sebagainya, hukumnya boleh-
boleh saja sebab tidak ada larangan Syariah dalam masalah ini.

G. Tanah Yang Memiliki Tambang


Tanah yang di dalamnya ada tambang, misalkan minyak, emas, perak, tembaga, dan
sebagainya, ada 2 (dua) kemungkinan :
1. Tanah itu tetap menjadi milik pribadi/negara jika hasil tambangnya sedikit.
2. Tanah itu menjadi milik umum jika hasil tambangnya banyak.
Nabi SAW pernah memberikan tanah bergunung dan bertambang kepada Bilal bin Al-
Harits Al-Muzni (HR Abu Dawud). Ini menunjukkan tanah yang bertambang boleh dimiliki
individu jika tambangnya mempunyai kapasitas produksinya sedikit.
Nabi SAW suatu saat pernah memberikan tanah bertambang garam kepada Abyadh
bin Hammal. Setelah diberitahu para sahabat bahwa hasil tambang itu sangat banyak, maka
Nabi SAW menarik kembali tanah itu dari Abyadh bin Hammal. (HR Tirmidzi). Ini
menunjukkan tanah dengan tambang yang besar kapasitas produksinya, menjadi milik umum

9
yang dikelola negara, tidak boleh dimiliki dan dikelola oleh individu (swasta). (Al-Nabhani,
ibid. hal. 220).

H. Negara Berhak Menetapkan Hima


Hima adalah tanah atau wilayah yang ditetapkan secara khusus oleh negara untuk
kepentingan tertentu, tidak boleh dimanfaatkan oleh individu. Misalnya menetapkan hima
pada suatu tambang tertentu, katakanlah tambang emas dan perak di Papua, khusus untuk
keperluan membeli alutsista (alat utama sistem persenjataan).
Rasulullah SAW dan para khalifah sesudahnya pernah menetapkan hima pada tempat-
tempat tertentu. Rasulullah SAW pernah menetapkan Naqi` (nama padang rumput di kota
Madinah) khusus untuk menggembalakan kuda-kuda milik kaum muslimin, tidak untuk
lainnya. Abu Bakar pernah menetapkan Rabdzah (nama padang rumput juga) khusus untuk
menggembalakan unta-unta zakat, bukan untuk keperluan lainnya. (Zallum, ibid., hal. 85).

BAB III PENUTUP

A. Kesimpulan
Tanah bumi dan surga digunakan untuk dijadikan bahan menciptaan Adam. Tanah
merupakan faktor produksi yang relatif unik, sebab tidak diciptakan oleh manusia melainkan
manusia tinggal memanfaatkannya. Keunikan tanah yang lain karena ketersediaannya yang
relatif sangat terbatas. Keunikan ini membawa kerumitan dalam penentuan harga dari tanah
sebagai faktor produksi di mana nilai dan metode dalam penentuan nilainya tidak bisa
disamakan dengan faktor produksi lain, seperti tenaga kerja dan modal.
Secara umum, dalam pandangan kepemilikan terhadap tanah menimbulkan
konsekuensi pemanfaatannya dan sebaliknya aktivitas pemanfaatan dapat menimbulkan
konsekuensi pemilikan. Cara-cara yang sah untuk memiliki tanah adalah melalui pewarisan,
akad pemindahan hak milik yang sah, dan kerja.
Dalam pandangan Islam, segala sesuatu yang ada di langit dan bumi termasuk tanah
hakikatnya adalah milik Allah SWT semata.Filosofi kepemilikan tanah dalam Islam. Intinya
ada 2 (dua) poin, yaitu : Pertama, pemilik hakiki dari tanah adalah Allah SWT. Kedua, Allah

10
SWT sebagai pemilik hakiki telah memberikan kuasa kepada manusia untuk mengelola
tanah menurut hukum-hukum Allah.
Lahan pertanian tidak boleh disewakan, baik sewa itu dibayar dalam bentuk hasil
pertaniannya maupun dalam bentuk lainnya (misalnya uang).Tanah yang hasil tambangnya
sedikit tetap menjadi milik pribadi/negara, sedangkan apabila hasil tambangnya banyak,
maka tanah tersebut menjadi milik umumSuatu negara berhak menetapkan hima, hima
adalah tanah atau wilayah yang ditetapkan secara khusus oleh negara untuk kepentingan
tertentu, tidak boleh dimanfaatkan oleh individu.

B. Saran
Allah telah menciptakan tanah untuk hidup dan kehidupan manusia dan mahluk hidup
lainnya, manfaatkanlah tanah untuk keperluan hidup dengan bijak. :D

DAFTAR PUSTAKA

http://khilafah1924.org/index.php?option=com_content&task=view&id=669&Itemid=1
http://id.wikipedia.org/wiki/Penciptaan_Adam_menurut_Islam
http://safirasafitriaulia.blogspot.com/
http://fosei-unsoed.blogspot.com/2011/06/keunikan-tanah-dalam-islam.html
http://makalahjurusansyariah.blogspot.com/2012/04/pengelolaan-tanah-dalam-islam.html
http://santosa.wordpress.com/

11

Anda mungkin juga menyukai