MAKALAH
Untuk memenuhi tugas mata kuliah Patologi Penyakit Tidak Menular
yang dibina oleh Ibu Dr. Ir. Endang Sutjiati, M.Kes
Disusun Oleh
Kelompok 7 / D IV GIZI 2B
Sabrina Julietta Arisanty P17111182049
Deva Agustina P17111182052
Amalia Resa Puspa Damayanti P17111183062
Galuh Damayanti P17111183082
Lailatul Fadilah P17111183084
i
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Tuhan yang Maha Esa atas segala berkat, rahmat,
dan karunia-Nya, makalah dengan judul “Defisiensi Kalsium” ini dapat selesai
tepat pada waktunya.
Kami berharap makalah ini dapat memberikan wawasan dan manfaat bagi
banyak pihak mengenai defisiensi kalsium pada matakuliah patologi penyakit
tidak menular.
Kami selaku penyusun makalah ini tidak memungkiri masih banyaknya
kesalahan dan kekurangan dalam makalah yang kami susun. Oleh karena itu kami
membutuhkan kritik serta saran dari pembaca untuk menjadikan makalah ini lebih
baik kedepannya.
Penulis
ii
BAB I
PENDAHULUAN
1
1.3 Tujuan
2
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Definisi
2.1.1 Kalsium
3
Osteoporosis merupakan penurunan jumlah dan kekurangan
jaringan tulang yang disebabkan oleh demineralisasi, yaitu tubuh
yang kekurangan kalsium akan mengambil simpanan kalsium yang
ada pada tulang dan gigi. Pada masa pertumbuhan, kekurangan
kalsium menyebabkan pengurangan pasa massa dan kekerasan
tulang yang sedang dibentuk (Mulyani, 2009).
Kowalak (2011) menjelaskan hal serupa bahwa osteoporosis
merupakan gangguan metabolic tulang dengan meningkatnya
kecepatan resopsi tulang tetapi kecepatan pembentukannya berjalan
lambat sehingga terjadi kehilangan massa tulang. Tulang dengan
gangguan ini akan kehilangan garam-garam kalsium serta fosat dan
menjadi porous, rapuh secara abnormal rentan terhadap fraktur.
4
d. Osteoporosis juvenile idiopatik merupakan jenis osteoporosis yang
tidak diketahui penyebabnya. Hal ini terjadi pada anak-anak dan
dewasa muda yang memiliki kaddar, hormone yang normal, kadar
vitamin yang normal dan tidak memilki penyebab yang jelas dari
rapuhnya tulang (Lukman da Nurna, 2012).
5
i. Kebiasaan konsumsi minuman bersoda yang mana minuman
tersebut mengandung fosfor yang merangsang pembentukan
hormon parathyroid yaitu penyebab pelepasan kalsium dari
dalam darah.
ii. Minuman berkafein dan beralkohol dapat menimbulkan
tulang keropos, rapuh, dan rusak. Hal ini dipertegas oleh Dr.
Robert dan Dr. Karen dari creighton University Osteoporosis
Research Centre yang menemukan hubungan antara
minuman berkafein dengan keroposnya tulang. Hasilnya
adalah air seni peminum kafein lebih banyak mengandung
kalsium, dan kalsium itu berasal dari proses embentukan
tulang. Selain itu, kafein dan alcohol bersifat toksin yang
menghambat proses pembentukan massa tulang (osteoblas).
iii. Malas olahraga. Mereka yang malas bergerak atau olahraga
akan terhambat proses osteoblasnya. Selain itu, kepadatan
massa tulang akan berkurang. Semakin banyak gerak dan
olahraga maka otot akan memacu tulang untuk membentuk
massa.
iv. Merokok. Perokok sangat rentan terkena osteoporosis, karena
zat niotin di dalamnya mempercepat penyerapan tulang.
selain penyerapan tulang, nikotin juga mmebuat kadar dan
aktivitas hormone estrogen dalam tubuh berkurang sehingga
susunan-susunan sel tulang tidak kuat dalam menghadapi
proses pelapukan. Di samping itu, rokok juga mmebuat
penghisapnya bisa mengalami hipertensi, penyakit jantunng,
dan tersumbanya aliran darah ke seluruh tubuh. Jika darah
udah ttersumbat, maka proses pembentukan tulan sulit
terjadi. Jadi, nikotin jelas menyebabkan osteoporosis baik
langsung ataupun tidak langsung.
v. Kurang kalsium. Jika kalsium tubuh kurang maka tubuh akan
mengeluarkan hormone yang akan mengambil kalsium dari
bagian tubuh lain, termasuk yang ada di tulang.
6
f. Mengkonsumsi obat
Obat kortikosteroid yang sering digunakan sebagai anti peradangan
pada penyakit asma dan alergi ternyata menyebabkan resiko
penyakit osteoporosis, karena jika dikonsumsi dalam jumlah tinggi
akan mengurangi massa tulang. sebab, kortiosteroid menghambat
proses osteoblast. Selain itu, obat heparin dan anti kejang juga
menyebabkan penyakit osteoporosis.
7
paha, tulang belakang, dan pergelangan tangan. Sebenarnya, ada
tanda-tanda yang perlu dicurigai bahwa hal itu merupakan ganguan
karena osteoporosis, yaitu pegal, linu, dan nyeri tulang, khususnya
didaerah tulang pangkal paha, tulang belakang dan pergelangan
tangan, dan tumit. Osteoporosis juga menyebabkan tubuh
cenderung bungkuk. (Kasdu, 2002).
2.3.2 Antropometri
Tidak ada sumber yang menjelaskan dengan pasti bagaimana
tanda dan gejala antropometri pada penderita osteoporosis, namun
Adlina, dkk (2015) pada penelitiannya membuktikkan bahwa
sebagian besar responden yang menderita osteoporosis memiliki
IMT < 18,5 (62,22%). Namun pada responden yang tidak
menderita osteoporosis sebagian besar memiliki IMT ≥ 18,5
(64,44%). Sehingga dapat disimpulkan bahwa wanita yang
memiliki IMT < 18,5 berisiko terkena osteoporosis 2,99 kali lebih
besar dibandingkan dengan wanita yang memiliki IMT ≥ 18,5.
8
BAB III
PATOGENESIS
kadar normal kalsium dan fosfat (Fi) serum melalui kerja bentuk aktifnya pada
9
organ target, yaitu usus, tulang, ginjal, dan kelenjar paratiroid. Kalsitonin adalah
peptida dengan 32 asam amino yang disekresi oleh sel parafollikular kelenjar
tiroid. Hormon ini disekresi bila terjadi peningkatan kadar kalsium serum. Efek
biologis utamanya adalah menurunkan resorpsi tulang dengan menghambat
aktivitas osteoklas.
Ketika kadar kalsium darah terlalu tinggi, kelenjar tiroid dirangsang untuk
melepaskan kalsitonin (Gambar 1), yang menghambat aktivitas osteoklas dan
merangsang penyerapan kalsium oleh tulang, tetapi juga mengurangi reabsorpsi
kalsium oleh ginjal. Semua tindakan ini menurunkan kadar kalsium dalam darah.
Ketika kadar kalsium darah kembali normal, kelenjar tiroid berhenti mensekresi
kalsitonin.
10
Hasil dari kekurangan kalsium ringan dalam jangka panjang menjadi
faktor dalam osteoporosis, penyakit yang ditandai dengan penipisan tulang.
11
Setelah menopause resorpsi tulang akan meningkat, terutama pada dekade
awal setelah menopause sehingga insiden fraktur terutama fraktur vertebra dan
radius distal meningkat. Penurunan densitas tulang terutama pada tulang
trabecular, karena memiliki permukaan yang luas dan hal ini dapat dicegah
dengan terapi sulih estrogen. Petanda resorpsi tulang dan formasi tulang,
keduanya meningkat menunjukkan adanya peningkatan bone turnover.
Estrogen juga berperan menurunkan produksi berbagai sitokin oleh bone
marrow stromal cells dan sel-sel mononuclear, seperti IL-1, IL-6, dan TNF-α yang
berperan meningkatkan produksi berbagai sitokin tersebut, sehingga aktivitas
osteoklas meningkat.
Selain peningkatan aktivitas osteoklas, menopause juga menurunkan
absorpsi kalsium di usus dan meningkatkan ekskresi kalsium di ginjal. Menopause
juga menurunkan sintesis berbagai protein yang membawa 1,25(OH)2D, sehingga
pemberian estrogen akan meningkatkan 1,25(OH)2D di dalam plasma. Tetapi
pemberian estrogen transdermal tidak akan meningkatkan sintesis protein tersebut,
karena estrogen transdermal tidak diangkut melewati hati. Walaupun demikian,
estrogen transdermal tetap dapat meningkatkan absorbsi kalsium di usus secara
langsung tanpa dipengaruhi vitamin D. Untuk mengatasi keseimbangan negatif
kalsium akibat menopause, maka kadar PTH akan meningkat pada wanita
menopause, sehingga osteoporosis akan semakin berat.
12
Penyebab penurunan fungsi osteoblast pada orang tua, diduga karena
penurunan kadar estrogen dan IGF-1. Defisiensi kalsium dan vitamin D juga
sering didapatkan pada orang tua karena asupan kalsium dan vitamin D yang
kurang, anoreksia, malabsorbsi dan paparan sinar matahari yang rendah. Akibat
defisiensi kalsium, akan timbul hiperparatiroidisme sekunder yang persisten
sehingga akan semakin meningkatkan resorpsi tulang dan kehilangan massa
tulang, terutama pada orang-orang yang tinggal di daerah 4 musim.
13
disebabkan karena peningkatan resorpsi yang berlebihan akibat penurunan kadar
estrogen yang drastis pada waktu menopause.
BAB IV
DIAGNOSIS MEDIS DAN DIAGNOSIS GIZI
14
kalsium Anda di bawah 8,8 mg / dL. Anak-anak dan remaja biasanya
memiliki kadar kalsium darah yang lebih tinggi daripada orang dewasa.
Penilaian massa tulang yang ada, menentukan risiko patah tulang
berdasarkan penilaian klinis ini, dan membuat keputusan tentang terapi
yang tepat. Intervensi adalah tujuan akhir ketika mengevaluasi penderita
osteoporosis. WHO menetapkan kriteria diagnostik untuk osteoporosis
berdasarkan skor-T BMD.15 Skor-T menggambarkan BMD pasien dalam
hal jumlah SD yang berbeda dari nilai puncak rata-rata di remaja, orang
sehat dari jenis kelamin yang sama. WHO menggunakan ambang 2,5 SD
di bawah rata-rata anak muda wanita dewasa sebagai kriteria untuk
diagnosis osteoporosis. Kriteria untuk diagnosis osteopenia (massa tulang
rendah) lebih dari 1,0 SD tetapi kurang dari 2,5 SD di bawah rujukan rata-
rata.15 Namun, skor-T adalah dikembangkan untuk estimasi prevalensi
osteoporosis pada populasi bukan untuk penilaian osteoporosis pada
pasien-pasien tertentu.52 Selain itu, walaupun Skor-T awalnya didasarkan
pada BMD pinggul diukur dengan dual-energy x-ray absorptiometry
(DXA), skor sekarang diterapkan ke BMD di kerangka lainnya dan diukur
dengan metode yang berbeda. Saat ini, National Osteoporosis Foundation
dan International Society for Clinical Densitometry menganggap penting
DXA pinggul dan / atau tulang belakang sebagai pengukuran yang lebih
disukai untuk diagnosis osteoporosis.
15
BAB V
PENATALAKSANAAN
16
Penatalaksanaan osteoporosis dilakukan di bidang medis dan non medis (Mukti,
2011).
5.1.1 Esterogen
17
dari fase reproduksi ke fase tua sekitar usia 35 – 65 tahun dengan
dosis sekecilnya dan waktu yang singkat.
5.1.2 Kalsitonin
5.1.3 Bifosfonat
18
mineralisasi tulang. Alendronat tidak direkomendasikan
pada penderita gangguan ginjal.
c. Ibandronat
Pemberian peroral untuk terapi osteoporosis dapat diberikan
2,5 mg/hari atau 150 mg sebulan sekali. Ibandronat juga
dapat diberikan intravena dengan dosis 3 mg, 3 bulan sekali.
Kontra indikasi pemberian ibandronat adalah hipokalsemia.
d. Zoledronat
Bisfosfonat terkuat pada saat ini. Sediaan yang ada adalah
sediaan intravena yang harus diberikan per drip selama 15
menit untuk dosis 5 mg. Untuk pengobatan osteoporosis
cukup diberikan 5 mg setahun sekali, Kontra indikasi
pemberian zoledronat adalah hipokalsemia, ibu hamil dan
menyusui.
5.1.4 Kalsium
5.1.5 Vitamin D
19
Vitamin D berperan untuk meningkatkan absorpsi kalsium di
usus. Lebih dari 90% vitamin D disintesis dalam tubuh,
prekursornya ada di bawah kulit oleh paparan sinar ultraviolet.
Vitamin D dapat digunakan untuk pengobatan osteoporosis. Pada
pemberian vitamin D dosis tinggi dapat berkembang menjadi
hiperkalsiuria dan hiperkalsemia.
20
d. Melakukan diagnosis dini dan terapi yang tepat terhadap
defisiensi testesteron pada laki-laki dan menopause awal pada
perempuan.
e. Mengenali berbagai penyakit dan obat-obatan yang dapat
menimbulkan osteoporosis.
f. Menghindari mengangkat barang yang berat pada penderita
yang sudah pasti osteoporosis.
g. Menghindari berbagai hal yang dapat membuat penderita
terjatuh, seperti lantai licin, obat-obat sedatif atau obat anti
hipertensi yang dapat menimbulkan hipotensi orthostatic.
h. Menghindari defisiensi vitamin D, terutama pada orang yang
kurang terpajan sinar matahari atau penderita dengan
fotosensitifitas, misalnya SLE (Systemic Lupus
Erythematosus).
i. Menghindari peningkatan ekskresi kalsium lewat ginjal
dengan membatasi asupan natrium sampai 3 gram/hari untuk
meningkatkan resorpsi kalsium di tubulus ginjal.
j. Mengusahakan pemberian glokokortikoid pada penderita
yang memerlukan glukokortikoid dosis tinggi dan jangka
panjang, dengan dosis serendah mungkin dan sesingkat
mungkin.
21
karena perlu mendapat supervisi dari tenaga medis/paramedis
terlatih individu per individu (Ramadani, 2010). Sedangkan Pada
penderita yang belum mengalami osteoporosis, maka sifat latihan
adalah pembebanan terhadap tulang.
BAB VI
PENUTUP
22
DAFTAR RUJUKAN
23
Ramadani, M. 2010. Faktor-Faktor Resiko Osteoporosis dan Upaya
Pencegahannya. Jurnal Kesehatan Masyarakat, 4 (2): 111 – 115.
Sihombing, I., Wangko, S., & Kalangi, S. J. R. 2012. Peran Estrogen pada
Remodeling Tulang. Jurnal Biomedik, 4(3): 18 – 28.
Winarno, F.G. 2004. Kimia Pangan dan Gizi. Jakarta. PT Gramedia Pustaka
Utama.
24