Anda di halaman 1dari 27

DEFISIENSI KALSIUM

MAKALAH
Untuk memenuhi tugas mata kuliah Patologi Penyakit Tidak Menular
yang dibina oleh Ibu Dr. Ir. Endang Sutjiati, M.Kes

Disusun Oleh
Kelompok 7 / D IV GIZI 2B
Sabrina Julietta Arisanty P17111182049
Deva Agustina P17111182052
Amalia Resa Puspa Damayanti P17111183062
Galuh Damayanti P17111183082
Lailatul Fadilah P17111183084

POLITEKNIK KESEHATAN KEMENKES MALANG


JURUSAN GIZI
PRODI D4 GIZI
Februari 2020
DAFTAR ISI

i
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Tuhan yang Maha Esa atas segala berkat, rahmat,
dan karunia-Nya, makalah dengan judul “Defisiensi Kalsium” ini dapat selesai
tepat pada waktunya.
Kami berharap makalah ini dapat memberikan wawasan dan manfaat bagi
banyak pihak mengenai defisiensi kalsium pada matakuliah patologi penyakit
tidak menular.
Kami selaku penyusun makalah ini tidak memungkiri masih banyaknya
kesalahan dan kekurangan dalam makalah yang kami susun. Oleh karena itu kami
membutuhkan kritik serta saran dari pembaca untuk menjadikan makalah ini lebih
baik kedepannya.

Malang, 8 Februari 2020

Penulis

ii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Kalsium merupakan mineral makro yang berperan penting bagi tubuh


antara lain sebagai metabolism tubuh, pertumbuhan, mengurangi keluhan
saat haid dan menopause, dan penghubung antar saraf. Komposisi kalsium
dalam tubuh sebanyak 1,5-2% dari berat badan orang dewasa dan
sebanyak 99% berada di dalam jaringan tulang dan gigi.
Defisiensi kalsium dapat menyebabkan terganggunya pertumbuhan,
melunaknya tulang (osteoporosis), serta mudah terserangnya saraf dan otot
dengan akibat serangan kejang (tetani) (Winarno, 2004).
Osteoporosis merupakan penyakit tulang yang ditandai dengan
menurunnya massa tulang (kepadatan tulang) secara keseluruhan akibat
ketidakmampuan tubuh dalam mengatur kandungan mineral dalam tulang
dan disertai dengan rusaknya arsitekur tulang yang akan mengakibatkan
penurunan kekuatan tulang yang dalam hal ini adalah pengoroposan
tulang. Osteoporosis dapat ditemukan di seluruh dunia hingga saat ini
masih menjadi masalah kesehatan masyarakat terutama di negara
berkembang. Di Indonesia, prevalensi osteoporosis pada perempuan
meningkat seiring bertambahnya usia. Sedangkan prevalensi osteoporosis
pada laki-laki meningkat seiring bertambahnya usia, tetapi tidak sebesar
pada perempuan.

1.2 Rumusan Masalah

1. Apa definisi defisiensi kalsium?


2. Bagaimana etiologi defisiensi kalsium?
3. Bagaimana tanda dan gejala defisiensi kalsium?
4. Bagaimana patogenesis defisiensi kalsium?
5. Bagaimana diagnosis medis dan diagnosis gizi defisiensi kalsium?
6. Bagaimana penatalaksanaan medis dan non medis defisiensi
kalsium?

1
1.3 Tujuan

1. Mengetahui definisi defisiensi kalsium


2. Mengetahui etiologi defisiensi kalsium
3. Mengetahui tanda dan gejala defisiensi kalsium
4. Mengetahui patogenesis defisiensi kalsium
5. Mengetahui diagnosis medis dan diagnosis gizi defisiensi kalsium
6. Mengetahui penatalaksanaan medis dan non medis defisiensi
kalsium

2
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Definisi

2.1.1 Kalsium

Kalsium merupakan zat gizi mikro yang dibutuhkan oleh


tubuh dan mineral yang paling banyak terdapat dalam tubuh. yaitu
1,5 – 2% dari berat badan orang dewasa atau kurang lebih sebanyak
1 kg (Almatsier, 2001). Kurniawan (2015) menambahkan bahwa
99% total kalsium dalam tubuh ditemukan dalam jaringan keras
yaitu tulang dan gigi terutama dalam bentuk hidroksiapatit, hanya
sebagian kecil dalam plasma dan cairan ekstravaskular.

2.1.2 Defisiensi Kalsium Secara Umum

Osteoporosis yang lebih dikenal dengan keropos tulang


menurut WHO adalah penyakit skeletal sistemik dengan
karakteristik massa tulang yang rendah dan perubahan
mikroarsitektur dari jaringan tulang dengan akibat meningkatnya
fragilitas tulang dan meningkkatnya kerentanan terhadap patah
tulang (Lukman dan Nurna, 2012).
Osteoporosis adalah suatu keadaan penyakit yang ditandai
dengan rendahnya massa tuang dan mmeburuknya mikrostruktural
jaringan tulang, menyebabkan kerapuhan sehingga meningkatan
risiko terjadinya fraktur, tidak terjadi keluhan klinis kecuali telah
terjadi fraktur. Pada osteoporosis terjadi penurunan kualitas tulang
dan kuantitas kepadatan tulang, padahal keduanya dangat
menentukan kekuatan tulang sehingga penderita osteoporosis
mudah mengalami patah tulang (fraktur) (Helmi, 2012).

2.1.3 Defisiensi Kalsium dari Sudut Pandang Gizi

3
Osteoporosis merupakan penurunan jumlah dan kekurangan
jaringan tulang yang disebabkan oleh demineralisasi, yaitu tubuh
yang kekurangan kalsium akan mengambil simpanan kalsium yang
ada pada tulang dan gigi. Pada masa pertumbuhan, kekurangan
kalsium menyebabkan pengurangan pasa massa dan kekerasan
tulang yang sedang dibentuk (Mulyani, 2009).
Kowalak (2011) menjelaskan hal serupa bahwa osteoporosis
merupakan gangguan metabolic tulang dengan meningkatnya
kecepatan resopsi tulang tetapi kecepatan pembentukannya berjalan
lambat sehingga terjadi kehilangan massa tulang. Tulang dengan
gangguan ini akan kehilangan garam-garam kalsium serta fosat dan
menjadi porous, rapuh secara abnormal rentan terhadap fraktur.

2.2 Etiologi Defisiensi Kalsium

Berdasarkan sebabnya, osteoporosis dibedakan menjadi beberapa


jenis, antara lain :
a. Osteoporosis postmenopause terjadii karena kekurangan estrogen,
yang membantu mengatur pengangkutan kalsium ke dalam tulang
pada wanita. Gejala timbul pada wanita yang berusia diantara usia 53
– 73 tahun, tetapi bias muncul lebih cepat ataupun lebih lambat.
Tidak semua wanita memiliki resiko yang sama untuk menderita
osteoporosis postmenopause, pada wanita kulit putih dan daerah
timur lebih mudah menderita penyakit ini daripada kulit hitam.
b. Osteoporosis senilis terjadi karena kekurangan kalsium yang
berhubungan dengan usia dan ketidakseimbangan di antara
kecepatan hancurnya tulang dan pembentukan tulang yang baru.
Senilis yaitu keadaan penurunan massa tulang yang hanya terjadi
pada usia lanjut (>70 tahun) dan dua kali lebih sering menyerang
wanita.
c. Osteopororsis sekunder, disebabkan oleh keadaan medis lainnya atau
oleh obat-obatan, misal gagal ginjal kronik dan kelainan hormonal
(tiroid, paratiroid, dan adrenal), sert penggunaan obat-obatan seperti
kortikosteroid, barbiturate, antikejang, dll.

4
d. Osteoporosis juvenile idiopatik merupakan jenis osteoporosis yang
tidak diketahui penyebabnya. Hal ini terjadi pada anak-anak dan
dewasa muda yang memiliki kaddar, hormone yang normal, kadar
vitamin yang normal dan tidak memilki penyebab yang jelas dari
rapuhnya tulang (Lukman da Nurna, 2012).

Dari uraian tersebut dapat diketahui bahwa faktor resiko dari


osteoporosis secara umum yaitu :
a. Jenis kelamin
Osteoporosis lebih banyak terjadi pada wanita. Hal ini disebabkan
pengaruh hormone estrogen yang mulai menurun kadarnya dalam
tubuhsejak usia 35 tahun. Selain itu, wanita pun mengalami
menopause yang dapat terjadi pada usia 45 tahun.
b. Usia
Seiring dengan pertambahan usia, fungsi organ tubuh justru
menurun. Pada usia 75 – 85 tahun, wanita memiliki risiko 2 kali lipat
dibandidngka pria dalam mengalami kehilangan tulang trabecular
karena proses penuaan, penyerapan kallsium menurun dan fungsi
hormone paratiroid meningkat.
c. Ras/Suku
Ras juga membuat perbedaan dimana ras kulit putih atau keturunan
asia memiliki resiko terbesar. Hal ini disebabkan secara umum
konsumsi kalsium wanita asia rendah. Salah satu alasannya adalah
sekita 90% intoleransi laktosa dan menghindari produk dari hewan.
Pria dan anita kulit hitam dan hisanik memiliki resiko yang
signifikan meskipun rendah.
d. Genetik
Osteoporosis menyerang penderita dengan karakteristik tulang
tertentu, seperti kesamaan perawakan dan bentuk tulang tubub. Itu
artinya dalam garis keluarga pasti punya struktur genetik tulang yang
sama.
e. Gaya Hidup

5
i. Kebiasaan konsumsi minuman bersoda yang mana minuman
tersebut mengandung fosfor yang merangsang pembentukan
hormon parathyroid yaitu penyebab pelepasan kalsium dari
dalam darah.
ii. Minuman berkafein dan beralkohol dapat menimbulkan
tulang keropos, rapuh, dan rusak. Hal ini dipertegas oleh Dr.
Robert dan Dr. Karen dari creighton University Osteoporosis
Research Centre yang menemukan hubungan antara
minuman berkafein dengan keroposnya tulang. Hasilnya
adalah air seni peminum kafein lebih banyak mengandung
kalsium, dan kalsium itu berasal dari proses embentukan
tulang. Selain itu, kafein dan alcohol bersifat toksin yang
menghambat proses pembentukan massa tulang (osteoblas).
iii. Malas olahraga. Mereka yang malas bergerak atau olahraga
akan terhambat proses osteoblasnya. Selain itu, kepadatan
massa tulang akan berkurang. Semakin banyak gerak dan
olahraga maka otot akan memacu tulang untuk membentuk
massa.
iv. Merokok. Perokok sangat rentan terkena osteoporosis, karena
zat niotin di dalamnya mempercepat penyerapan tulang.
selain penyerapan tulang, nikotin juga mmebuat kadar dan
aktivitas hormone estrogen dalam tubuh berkurang sehingga
susunan-susunan sel tulang tidak kuat dalam menghadapi
proses pelapukan. Di samping itu, rokok juga mmebuat
penghisapnya bisa mengalami hipertensi, penyakit jantunng,
dan tersumbanya aliran darah ke seluruh tubuh. Jika darah
udah ttersumbat, maka proses pembentukan tulan sulit
terjadi. Jadi, nikotin jelas menyebabkan osteoporosis baik
langsung ataupun tidak langsung.
v. Kurang kalsium. Jika kalsium tubuh kurang maka tubuh akan
mengeluarkan hormone yang akan mengambil kalsium dari
bagian tubuh lain, termasuk yang ada di tulang.

6
f. Mengkonsumsi obat
Obat kortikosteroid yang sering digunakan sebagai anti peradangan
pada penyakit asma dan alergi ternyata menyebabkan resiko
penyakit osteoporosis, karena jika dikonsumsi dalam jumlah tinggi
akan mengurangi massa tulang. sebab, kortiosteroid menghambat
proses osteoblast. Selain itu, obat heparin dan anti kejang juga
menyebabkan penyakit osteoporosis.

2.3 Tanda dan Gejala Defisiensi Kalsium

2.3.1 Fisik Klinis


Osteoporosis merupakan penyakit tersembunyi, maksudnya
penyakit ini muncul terkadang tanpa gejala dan terdeteksi. Penyakit
ini seringkali baru diketahui ketika timbul gejala nyeri karena patah
tulang anggota gerak hanya karena penyebab yang sepele, seperti
jatuh. Biasanya, bagian yang sering patah adalah tulang pangkal

7
paha, tulang belakang, dan pergelangan tangan. Sebenarnya, ada
tanda-tanda yang perlu dicurigai bahwa hal itu merupakan ganguan
karena osteoporosis, yaitu pegal, linu, dan nyeri tulang, khususnya
didaerah tulang pangkal paha, tulang belakang dan pergelangan
tangan, dan tumit. Osteoporosis juga menyebabkan tubuh
cenderung bungkuk. (Kasdu, 2002).
2.3.2 Antropometri
Tidak ada sumber yang menjelaskan dengan pasti bagaimana
tanda dan gejala antropometri pada penderita osteoporosis, namun
Adlina, dkk (2015) pada penelitiannya membuktikkan bahwa
sebagian besar responden yang menderita osteoporosis memiliki
IMT < 18,5 (62,22%). Namun pada responden yang tidak
menderita osteoporosis sebagian besar memiliki IMT ≥ 18,5
(64,44%). Sehingga dapat disimpulkan bahwa wanita yang
memiliki IMT < 18,5 berisiko terkena osteoporosis 2,99 kali lebih
besar dibandingkan dengan wanita yang memiliki IMT ≥ 18,5.

8
BAB III
PATOGENESIS

Keseimbangan Kalsium (konsentrasi kalsium serum) dijaga pada kadar


normal oleh suatu sistem terintegrasi dengan melibatkan Ca++ sensing receptor
(CaSR), hormone paratiroid (PTH), vitamin D, dan kalsitonin. CaSR merupakan
protein membrane yang mengikat Ca++ dan menentukan pengaturan sekresi PTH.
PTH adalah hormon polipeptida dengan 84 asam amino yang meningkatkan kadar
kalsium dengan merangsang reabsorbsi kalsium di ginjal, meningkatkan
kecepatan resorpsi kalsium di tulang, dan meningkatkan absorbsi kalsium di usus
dengan meningkatkan pembentukan 1,25 dihidroksi vitamin D (1,25-diOH-D).
Vitamin D3 (kolekalsiferol) disintesis di kulit dari 7- dehidrokolesterol dengan
bantuan pajanan sinar UV. Selanjutnya Vitamin D3 dihidroksilasi di hati menjadi
25-OH-D (kalsidiol), yang kemudian dihidroksilasi lagi di ginjal menjadi 1,25-
2128 diOH-D (kalsitriol). Fungsi utama vitamin D adalah menjaga keseimbangan

kadar normal kalsium dan fosfat (Fi) serum melalui kerja bentuk aktifnya pada

9
organ target, yaitu usus, tulang, ginjal, dan kelenjar paratiroid. Kalsitonin adalah
peptida dengan 32 asam amino yang disekresi oleh sel parafollikular kelenjar
tiroid. Hormon ini disekresi bila terjadi peningkatan kadar kalsium serum. Efek
biologis utamanya adalah menurunkan resorpsi tulang dengan menghambat
aktivitas osteoklas.

Sel-sel kelenjar paratiroid memiliki reseptor membran plasma untuk


kalsium. Ketika kalsium tidak mengikat reseptor-reseptor ini, sel-sel melepaskan
PTH, yang merangsang proliferasi dan reasorpsi osteoklas tulang oleh osteoklas.
Proses demineralisasi ini melepaskan kalsium ke dalam darah. PTH
mempromosikan reabsorpsi kalsium dari urin oleh ginjal, sehingga kalsium
kembali ke darah. Akhirnya, PTH merangsang sintesis vitamin D, yang pada
gilirannya, merangsang penyerapan kalsium dari makanan apa pun yang dicerna
di usus kecil. Ketika semua proses ini mengembalikan kadar kalsium darah ke
normal, ada cukup kalsium untuk berikatan dengan reseptor pada permukaan sel
kelenjar paratiroid, dan siklus peristiwa ini dimatikan (Gambar 1).
Gambar 3.1 Homeostasis Kalsium

Ketika kadar kalsium darah terlalu tinggi, kelenjar tiroid dirangsang untuk
melepaskan kalsitonin (Gambar 1), yang menghambat aktivitas osteoklas dan
merangsang penyerapan kalsium oleh tulang, tetapi juga mengurangi reabsorpsi
kalsium oleh ginjal. Semua tindakan ini menurunkan kadar kalsium dalam darah.
Ketika kadar kalsium darah kembali normal, kelenjar tiroid berhenti mensekresi
kalsitonin.

10
Hasil dari kekurangan kalsium ringan dalam jangka panjang menjadi
faktor dalam osteoporosis, penyakit yang ditandai dengan penipisan tulang.

Patogenesis Osteoporosis dapat disebabkan oleh 2 faktor, yaitu : faktor


primer dan faktor sekunder. Dalam faktor primer osteoporosis dapat terjadi karena
faktor usia ( > 30 th ) dan masa menopause pada wanita. Pada usia diatas 30
tahun massa tulang mengalami puncaknya akibat adanya degenerasi terkait usia,
saat itu tulang mengalami penurunan terhadap respon stress, peningkatan ROS,
dan meningkatnya kematian osteosit (sel pembentuk tulang). Pada wanita
menopause osteoporosis disebabkan oleh penurunan hormon estrogen, hal
tersebut menyebabkan penurunan resorpsi tulang pada osteoklas. Dalam faktor
sekunder, patogenesis osteoporosis dapat disebabkan oleh keganasan tulang,
penyakit dalam saluran cerna, penyakit hati kronis dan penyakit ginjal, pola hidup
yang tidak sehat, konsumsi obat yang mengandung hormon steroid, dan sebagian
kecil disebabkan oleh kelainan
Gambarpada sistem endokrin
3.2 Patogenesis (Gambar 2).
Osteoporosis

Patogenesis Osteoporosis karena Faktor Primer

a. Patogenesis Osteoporosis Tipe 1 (Menopause)

11
Setelah menopause resorpsi tulang akan meningkat, terutama pada dekade
awal setelah menopause sehingga insiden fraktur terutama fraktur vertebra dan
radius distal meningkat. Penurunan densitas tulang terutama pada tulang
trabecular, karena memiliki permukaan yang luas dan hal ini dapat dicegah
dengan terapi sulih estrogen. Petanda resorpsi tulang dan formasi tulang,
keduanya meningkat menunjukkan adanya peningkatan bone turnover.
Estrogen juga berperan menurunkan produksi berbagai sitokin oleh bone
marrow stromal cells dan sel-sel mononuclear, seperti IL-1, IL-6, dan TNF-α yang
berperan meningkatkan produksi berbagai sitokin tersebut, sehingga aktivitas
osteoklas meningkat.
Selain peningkatan aktivitas osteoklas, menopause juga menurunkan
absorpsi kalsium di usus dan meningkatkan ekskresi kalsium di ginjal. Menopause
juga menurunkan sintesis berbagai protein yang membawa 1,25(OH)2D, sehingga
pemberian estrogen akan meningkatkan 1,25(OH)2D di dalam plasma. Tetapi
pemberian estrogen transdermal tidak akan meningkatkan sintesis protein tersebut,
karena estrogen transdermal tidak diangkut melewati hati. Walaupun demikian,
estrogen transdermal tetap dapat meningkatkan absorbsi kalsium di usus secara
langsung tanpa dipengaruhi vitamin D. Untuk mengatasi keseimbangan negatif
kalsium akibat menopause, maka kadar PTH akan meningkat pada wanita
menopause, sehingga osteoporosis akan semakin berat.

b. Patogenesis Osteoporosis Tipe 2 (Usia Lanjut)

12
Penyebab penurunan fungsi osteoblast pada orang tua, diduga karena
penurunan kadar estrogen dan IGF-1. Defisiensi kalsium dan vitamin D juga
sering didapatkan pada orang tua karena asupan kalsium dan vitamin D yang
kurang, anoreksia, malabsorbsi dan paparan sinar matahari yang rendah. Akibat
defisiensi kalsium, akan timbul hiperparatiroidisme sekunder yang persisten
sehingga akan semakin meningkatkan resorpsi tulang dan kehilangan massa
tulang, terutama pada orang-orang yang tinggal di daerah 4 musim.

Defisiensi estrogen, ternyata juga merupakan masalah yang penting


sebagai salah satu penyebab osteoporosis pada orang tua, baik pada laki-laki
maupun perempuan. Demikian juga kadar testosterone pada laki-laki. Defisiensi
estrogen pada laki-laki juga berperan pada kehilangan massa tulang. Estrogen
pada laki-laki berfungsi mengatur resorpsi tulang, sedangkan estrogen dan
progesterone mengatur formasi tulang. Kehilangan massa tulang trabecular pada
laki-laki berlangsung linier, sehingga terjadi penipisan trabekula, tanpa disertai
putusnya trabekula seperti pada wanita. Penipisan trabekula pada laki-laki terjadi

karena penurunan formasi tulang, sedangkan putusnya trabekula pada wanita

13
disebabkan karena peningkatan resorpsi yang berlebihan akibat penurunan kadar
estrogen yang drastis pada waktu menopause.

Dengan bertambahnya usia, kadar testosterone pada laki-laki akan


menurun sedangkan kadar sex hormone binding globulin (SHBG) akan
meningkat. Peningkatan SHBG akan meningkatkan pengikatan estrogen dan
testosterone membentuk kompleks yang inaktif. Penurunan hormone pertumbuhan
(GH) dan IGF-1, juga berperan terhadap peningkan resorpsi tulang. Tetapi
penurunan kadar androgen adrenal (DHEA dan DHEA-S) ternyata menunjukkan
hasil yang kontroversial terhadap penurunan massa tulang pada orang tua.

BAB IV
DIAGNOSIS MEDIS DAN DIAGNOSIS GIZI

4.1 Diagnosis Medis

Hubungi dokter jika memiliki gejala penyakit kekurangan kalsium.


Mereka akan meninjau riwayat medis dan bertanya tentang riwayat
keluarga kekurangan kalsium dan osteoporosis.
Jika dokter mencurigai kekurangan kalsium, mereka akan
mengambil sampel darah untuk memeriksa kadar kalsium darah. Dokter
akan mengukur kadar kalsium total, tingkat albumin, dan tingkat kalsium
terionisasi atau "bebas" Anda. Albumin adalah protein yang mengikat
kalsium dan mengangkutnya melalui darah. Kadar kalsium rendah yang
berkelanjutan dalam darah dapat mengkonfirmasi diagnosis penyakit
defisiensi kalsium.
Kadar kalsium normal untuk orang dewasa dapat berkisar dari 8,8
hingga 10,4 miligram per desiliter (mg / dL), menurut Manual Merck.
Anda mungkin berisiko terkena penyakit defisiensi kalsium jika kadar

14
kalsium Anda di bawah 8,8 mg / dL. Anak-anak dan remaja biasanya
memiliki kadar kalsium darah yang lebih tinggi daripada orang dewasa.
Penilaian massa tulang yang ada, menentukan risiko patah tulang
berdasarkan penilaian klinis ini, dan membuat keputusan tentang terapi
yang tepat. Intervensi adalah tujuan akhir ketika mengevaluasi penderita
osteoporosis. WHO menetapkan kriteria diagnostik untuk osteoporosis
berdasarkan skor-T BMD.15 Skor-T menggambarkan BMD pasien dalam
hal jumlah SD yang berbeda dari nilai puncak rata-rata di remaja, orang
sehat dari jenis kelamin yang sama. WHO menggunakan ambang 2,5 SD
di bawah rata-rata anak muda wanita dewasa sebagai kriteria untuk
diagnosis osteoporosis. Kriteria untuk diagnosis osteopenia (massa tulang
rendah) lebih dari 1,0 SD tetapi kurang dari 2,5 SD di bawah rujukan rata-
rata.15 Namun, skor-T adalah dikembangkan untuk estimasi prevalensi
osteoporosis pada populasi bukan untuk penilaian osteoporosis pada
pasien-pasien tertentu.52 Selain itu, walaupun Skor-T awalnya didasarkan
pada BMD pinggul diukur dengan dual-energy x-ray absorptiometry
(DXA), skor sekarang diterapkan ke BMD di kerangka lainnya dan diukur
dengan metode yang berbeda. Saat ini, National Osteoporosis Foundation
dan International Society for Clinical Densitometry menganggap penting
DXA pinggul dan / atau tulang belakang sebagai pengukuran yang lebih
disukai untuk diagnosis osteoporosis.

4.2 Diagnosis Gizi

Inadekuat calcium intake berkaitan dengan pantangan makan hewani


dan tidak konsumsi susu jangka panjang yang ditandai dengan asupan
kalsium <AKG, dan kadar kalsium rendah. Data asesmennya recall
makanan dan hasil pemeriksaan laboratorium darah dengan intervensi gizi
pemberian diet tinggi kalsium. Monitoring dan evaluasi dengan
pemeriksaan lab dan asupan makanan.

15
BAB V
PENATALAKSANAAN

Penatalaksanaan osteoporosis dilakukan dengan tujuan untuk


meningkatkan kualitas hidup, mencegah terjadinya komplikasi, dan menurunkan
angka kesakitan dan angka kematian yang diakibatkan oleh penyakit osteoporosis.

Pencegahan osteoporosis dibagi menjadi beberapa kategori (Ramadani,


2010), seperti pencegahan primer yaitu pencegahan yang paling mudah dan
memerlukan biaya yang sedikit, dimana seseorang sudah kehilangan massa tulang
tetapi tidak ditetapkan menderita penyakit osteoporosis. Pencegahan sekunder
adalah pencegahan lanjutan dari pencegahan primer dimana seseorang sudah
menderita osteoporosis. Pencegahan tersier merupakan pencegahan yang
dilakukan setelah seseorang sudah mengalami fraktur osteoporosis.

16
Penatalaksanaan osteoporosis dilakukan di bidang medis dan non medis (Mukti,
2011).

5.1 Penatalaksanaan Medis

Osteoporosis dapat diobati dengan cara menghambat kerja


osteoklas dan atau meningkatkan kerja osteoblast. Akan tetapi, obat-obat
yang beredar pada umumnya bersifat anti resorpsi. Sihombing, dkk. (2012)
menyatakan bahwa anti resorpsi tulang merupakan tidak terjadinya atau
menghambat transfer kalsium ke darah yang berasal dari pemecahan
jaringan dalam tulang oleh osteoklas dan melepaskan mineral. Esterogen,
kalsitonin, bisfosfonat merupakan contoh obat anti resorpsi. Sedangkan
kalsium dan vitamin D tidak mempunyai efek anti resorpsi, tetapi
diperlukan untuk optimalisasi mineralisasi osteoid setelah proses
pembentukan tulang oleh sel osteoblast.

5.1.1 Esterogen

Pemberian terapi esterogen dalam penatalaksanaan


osteoporosis dikenal sebagai Terapi Sulih Hormon (TSH).
Esterogen dengan mudah diabsorbsi melalui kulit, mukosa
vagina, dan saluran cerna. Pada Terapi Sulih Hormon (TSH) bisa
menimbulkan efek samping, meliputi nyeri payudara (mastalgia),
pada pemakian jangka panjang dapat meningkatkan resiko kanker
payudara, retensi cairan, peningkatan berat badan, dan
tromboemboli yaitu thrombus dalam pembuluh darah yang lepas
dan dibawa oleh aliran darah sehingga menimbulkan
penyumbatan pada pembuluh darah lain (Niniarty, dkk. 2003).
Di beberapa Negara, Terapi Sulih Hormon (TSH) hanya
direkomendasikan untuk gejala klimakterium atau masa peralihan

17
dari fase reproduksi ke fase tua sekitar usia 35 – 65 tahun dengan
dosis sekecilnya dan waktu yang singkat.

5.1.2 Kalsitonin

Kalsitonin merupakan obat yang telah direkomendasikan oleh


FDA untuk pengobatan penyakit-penyakit yang bisa
meningkatkan resorpsi tulang. Efek samping kalsitonin berupa
kemerahan dan nyeri pada tempat injeksi serta rhinorrhea.

5.1.3 Bifosfonat

Bisfosfonat merupakan obat untuk pengobatan osteoporosis.


Bisfosfonat adalah analog pirofosfat yang terdiri dari 2 asam
fosfonat yang diikat satu sama lain oleh atom karbon. Bisfosfonat
dapat mengurangi resorpsi tulang dengan cara berikatan dengan
permukaan tulang dan menghambat kerja osteoklas dengan
mengurangi produksi proton dan enzim lisosomal di bawah
osteoklas.

Jenis bisfosfosnat yang dapat digunakan untuk terapi


osteoporosis:
a. Risedronat
Risedronat merupakan aminobisfosfonat generasi ketiga
yang digunakan untuk mengatasi penyakit osteoporosis dan
diperlukan dosis 35 mg/minggu atau 5 mg/hari secara
kontinyu atau 75 mg 2 hari berturut-turut sebulan sekali
atau 150 mg sebulan sekali. Kontra indikasi pemberian
risedronat adalah hipokalsemia, ibu hamil, menyusui dan
gangguan ginjal.
b. Alendronat
Alendronat merupakan aminobisfosfonat yang digunakan
untuk terapi osteoporosis. Dapat diberikan dosis 10 mg/hari
setiap hari secara kontinyu, karena tidak mengganggu

18
mineralisasi tulang. Alendronat tidak direkomendasikan
pada penderita gangguan ginjal.
c. Ibandronat
Pemberian peroral untuk terapi osteoporosis dapat diberikan
2,5 mg/hari atau 150 mg sebulan sekali. Ibandronat juga
dapat diberikan intravena dengan dosis 3 mg, 3 bulan sekali.
Kontra indikasi pemberian ibandronat adalah hipokalsemia.
d. Zoledronat
Bisfosfonat terkuat pada saat ini. Sediaan yang ada adalah
sediaan intravena yang harus diberikan per drip selama 15
menit untuk dosis 5 mg. Untuk pengobatan osteoporosis
cukup diberikan 5 mg setahun sekali, Kontra indikasi
pemberian zoledronat adalah hipokalsemia, ibu hamil dan
menyusui.

5.1.4 Kalsium

Kalsium yang berperan sebagai mono terapi tidak cukup


untuk mencegah fraktur penderita osteoporosis. Preparat kalsium
terbaik adalah kalsium karbonat, karena mengandung kalsium
elemental 400 mg/gram, disusul kalsium fosfat yang mengandung
kalsium elemental 230 mg/gram, kalsium sitrat yang mengandung
kalsium elemental 211 mg/gram, kalsium laktat yang
mengandung kalsium elemental 130 mg/gram dan kalsium
glukonat yang mengandung kalsium elemental 90 mg/gram.
Pemberian kalsium yang berlebihan dapat meningkatkan risiko
hiperkalsiuria dan batu ginjal.

5.1.5 Vitamin D

19
Vitamin D berperan untuk meningkatkan absorpsi kalsium di
usus. Lebih dari 90% vitamin D disintesis dalam tubuh,
prekursornya ada di bawah kulit oleh paparan sinar ultraviolet.
Vitamin D dapat digunakan untuk pengobatan osteoporosis. Pada
pemberian vitamin D dosis tinggi dapat berkembang menjadi
hiperkalsiuria dan hiperkalsemia.

5.2 Penatalaksanaan Non Medis

5.2.1 Edukasi dan Pencegahan

Pasien osteoporosis dengan pola hidup yang tidak benar


harus konseling tentang semua kegiatan mereka dalam kehidupan
sehari-hari agar memungkinkan untuk memperlambat
perkembangan keropos tulang. Pasien dengan patah tulang
belakang sangat membutuhkan petunjuk khusus mengenai
perubahan dalam aktivitas hidup sehari-hari, seperti belajar
membungkuk, mengangkat dan sebagainya sehingga tidak
menambah stres dan ketegangan pada tulang belakang.

Hal-hal yang harus diperhatikan dalam edukasi dan


pencegahan, sebagai berikut:
a. Dianjurkan untuk melakukan aktifitas fisik yang teratur untuk
memelihara kekuatan, kelenturan, keseimbangan sistem
neuromuscular, dan kebugaran sehingga dapat mencegah
risiko terjatuh. Berbagai latihan yang dapat dilakukan
meliputi berjalan 30-60 menit per hari, bersepeda maupun
berenang.
b. Menjaga asupan kalsium 1000-1500 mg/hari, baik melalui
makanan sehari-hari maupun suplementasi.
c. Menghindari merokok dan minum alkohol.

20
d. Melakukan diagnosis dini dan terapi yang tepat terhadap
defisiensi testesteron pada laki-laki dan menopause awal pada
perempuan.
e. Mengenali berbagai penyakit dan obat-obatan yang dapat
menimbulkan osteoporosis.
f. Menghindari mengangkat barang yang berat pada penderita
yang sudah pasti osteoporosis.
g. Menghindari berbagai hal yang dapat membuat penderita
terjatuh, seperti lantai licin, obat-obat sedatif atau obat anti
hipertensi yang dapat menimbulkan hipotensi orthostatic.
h. Menghindari defisiensi vitamin D, terutama pada orang yang
kurang terpajan sinar matahari atau penderita dengan
fotosensitifitas, misalnya SLE (Systemic Lupus
Erythematosus).
i. Menghindari peningkatan ekskresi kalsium lewat ginjal
dengan membatasi asupan natrium sampai 3 gram/hari untuk
meningkatkan resorpsi kalsium di tubulus ginjal.
j. Mengusahakan pemberian glokokortikoid pada penderita
yang memerlukan glukokortikoid dosis tinggi dan jangka
panjang, dengan dosis serendah mungkin dan sesingkat
mungkin.

5.2.2 Latihan Fisik

Latihan (olahraga) merupakan bagian yang sangat penting


pada pencegahan maupun pengobatan osteoporosis. Program
olahraga bagi penderita osteoporosis sangat berbeda dengan
olahraga untuk pencegahan osteoporosis.
Latihan fisik bagi penderita osteoporosis bersifat spesifik dan
individual. Perlu diperhatikan berat ringannya osteoporosis yang
terjadi karena hal ini berhubungan dengan dosis dan cara gerakan
yang bersifat spesifik. Latihan tidak dapat dilakukan secara masal

21
karena perlu mendapat supervisi dari tenaga medis/paramedis
terlatih individu per individu (Ramadani, 2010). Sedangkan Pada
penderita yang belum mengalami osteoporosis, maka sifat latihan
adalah pembebanan terhadap tulang.

BAB VI
PENUTUP

22
DAFTAR RUJUKAN

Ahmad, A., Bartel, L. 2018. Pathogenesis and Factor Risk of Osteoporosis.


(https://calgaryguide.ucalgary.ca/osteoporosis-pathogenesis-and-risk-
factors/).
Lane, Nancy E. 2005. Epidemiology, Etiology, and Diagnosis of Osteoporosis.
American Journal of Obstetrics and Gynecology (2006) 194, S3-11.
Mukti, M. 2011. Patogenesis, Diagnosis, dan Penatalaksanaan Osteoporosis.
Universitas Sriwijaya.
Niniarty, Z. D., Gunawan, H. A., dkk. 2003. Pengaruh Terapi Sulih Hormon
Estrogen, Preparat Kalsium dan Kombinasinya pada Tulang Mandibula.
Jurnal Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 10: 321 – 328.

23
Ramadani, M. 2010. Faktor-Faktor Resiko Osteoporosis dan Upaya
Pencegahannya. Jurnal Kesehatan Masyarakat, 4 (2): 111 – 115.
Sihombing, I., Wangko, S., & Kalangi, S. J. R. 2012. Peran Estrogen pada
Remodeling Tulang. Jurnal Biomedik, 4(3): 18 – 28.
Winarno, F.G. 2004. Kimia Pangan dan Gizi. Jakarta. PT Gramedia Pustaka
Utama.

24

Anda mungkin juga menyukai