Anda di halaman 1dari 3

KASUS PIDANA ADAT DI BALI

Dalam kehidupan sehari – hari, pada masyarakat adat tercermin sifat religious, social,
kekeluargaan, dan hubungan yang harmonis sesama warga masyarakat. Dalam kehidupan
bermasyarakat, kerukunan menjadi dasar ikatan. Setiap warga masyarakat ,merasa bangga
ketika dapat mengabdi untuk kepentingan masyarakatnya.
Dalam dinamika masyarakat yang ditandai dengan pesatnya ilmu pengetahuan dan
teknologi, maka pada masyarakat adat timbul kesadaran untuk meningkatkan diri, untuk
mengikuti perkembangan kehidupan masyarakat yang semakin maju. Hal ini menyebabkan
terjadinya perubahan social, yang berpengaruh pada pergeseran nilai budaya masyarakat.
Nilai – nilai yang telah mapan dalam kehidupan masyarakat mengalami perubahan, antara
lain terjadinya pergeseran nilai sacral berubah menjadi profane, dan nilai agama bergeser
menjadi nilai ekonomi. Dengan terjadinya perubahan nilai dalam masyarakat, maka timbulah
kepentingan pribadi yang dapat berbenturan dengan kepentingan masyarakat, sehingga
melahirkan konflik adat.
Dalam sistem adat Bali, tapal batas desa merupakan sebuah konsep tata kelola untuk
pemanfaatan dalam merumuskan, menterjemahkan hak dan kewajiban masyarakat
selaku krama yang berkaitan dengan kahyangan tiga. Tapal batas desa  terdapat pada konsep
palemahan yang dipertegas dengan awig-awig dan pararem. Artinya setiap desa pekraman
meski mempunyai batas desa yang jelas. Terhadap kepemilikan tapal batas desa, bisa saja
satu tapal batas desa dimiliki satu desa pekraman, dan satu tapal batas desa dipergunakan
bersama oleh dua desa pekraman berbeda. Tergantung perjalanan sejarah dan kesepakatan
dari para tetua mereka. Namun, perkembangan jaman disertai dengan terjadinya degradasi
budaya dan mental, masalah adu gengsi, harga diri, serta pola argumentasi, konsensus yang
sebelumnya dibuat oleh para pendahulu mereka kini diabaikan begitu saja. Sehingga muncul
pertikaian berujung pada konflik rebutan atau pengklaiman tapal batas desa. Konflik yang
menjadikan tapal batas desa sebagai objek sengketa memunculkan opini bahwa masyarakat
Bali untuk tapal batas desa saja susah. Karena lahan tapal batas desa dengan adanya konflik
harus dilewati dengan persoalan yang cukup berat. Berikut beberapa hal yang akan diuraikan
dari kasus diatas:

a. Faktor Penyebab Konflik Adat:


Konflik adat terjadi antara warga desa dengan sesamanya, antara warga desa dengan
atau kelompok dengan desa. Hal yang berpotensi sebagai faktor penyebab munculnya konflik
di desa pakraman adalah: Pertama, warga desa belum memiliki persepsi yang sama mengenai
tujuan desa pakraman. Akibatnya, upacara agama yang dilaksanakan sering melampaui
kemampuan desa pakraman penyelenggara, terutama dalam hubungan dengan dana dan
tenaga yang diperlukan. Kedua, sebagian besar institusi di luar desa pakraman, belum
sepenuhnya memahami tugas pokok dan fungsi desa pakraman. Sebagai organisasi sosial
religius, desa pakraman dibangun untuk menciptakan kedamaian desa. Maka dari itu, segala
program kerja yang disusun oleh perangkat pimpinan desa, awig-awig dan sanksi adat yang
dibuat, dan upacara agama yang dilaksanakan di Pura Kayangan Tiga atau Kayangan Desa,
sepatutnya diformat sedemikian rupa, sehingga dapat menciptakan kedamaian desa. Kalau
ada program kerja, awig-awig, dan upacara agama yang melampaui kondisi ekonomi,
sehingga menimbulkan permasalahan bagi warga desa pakraman, patut ditinjau dan
disesuaikan dengan tujuan yang ingin dicapai  yaitu kedamaian desa. Apabila tidak demikian
adanya, lama kelamaan warga desa dapat berubah bentuk menjadi “katak” dan desa
pakraman akan menjadi “tempurungnya”. Disisi lain, sebagian besar institusi di luar desa
pakraman, belum sepenuhnya memahami tugas pokok dan fungsi desa pakraman. Akibatnya,
mereka cendrung menganggap desa pakraman penghambat kemajuan. Atas nama kemajuan,
lalu mereka datang ke desa. Maksud hati menjadi motivator atau investor, yang muncul justru
provokator.
b. Mencegah Konflik di Desa Pekraman:
Untuk mencegah munculnya konflik di desa pakraman, ada beberapa hal yang perlu
diperhatikan, sebagai berikut. Pertama, sanksi adat yang telah terbukti menjadi sorotan
berbagai pihak karena dianggap tidak sesuai dengan perkembangan zaman dan hak asasi
manusia (HAM) seperti  sanksi adat kasepekang, sebaiknya ditinggalkan dan diganti dengan
jenis sanksi lainnya yang lebih menjamin tercapainya tujuan pengenaan sanksi adat, yaitu
asas mengembalikan keseimbangan dalam masyarakat dan Asas
menciptakan kasukertan sekala niskala (kedamaian lahir batin). Kedua, prajuru desa perlu
mengadakan perubahan orientasi dalam menegakkan hukum adat (awig-awig desa).
Penegakan awig-awig tidak lagi harus bersikukuh pada interpretasi teks, melainkan lebih
berorientasi pada konteks ruang dan waktu serta Asas manfaat yang didapat. Dalam
hubungan dengan usaha menciptakan kasukertan (kedamaian) desa,  hal ini mengandung arti
bahwa dalam mengambil keputusan, perangkat pimpinan desa pakraman tidak semata-mata
harus berpegang pada suara terbanyak, melainkan patut meperhatikan Asas kepatutan yang
berlaku umum. 
c. Menyelesaikan Konflik
            Desa Pakraman merupakan kesatuan masyarakat hukum Adat yang mempunyai satu
kesatuan tradisi dan tata krama pergaulan hidup masyarakat umat Hindu secara turun
temurun, dalam ikatan Khayangan tiga, atau Khayangan Desa, yang mempunyai wilayah dan
harta kekayaan sendiri serta berhak mengurus rumah tangganya sendiri. Karakteristik
masyarakat adat bersifat social religious yang ditandai oleh adanya unsure tradisi dan agama
Hindu yang dimanifestasikan dalan suatu aturan yang disebut awig – awig. Oleh karena itu,
awig – awig menjadi landasan bagi desa pekraman dalam penyelenggaraan pemerintahan,
guna mewujudkan ketertiban dan ketentraman masyarakat.
Hukum adat memberi peluang untuk menempuh beberapa jalan dalam menyelesaikan
konflik yang melibatkan desa pakraman. Pertama, diselesaikan sendiri oleh desa
pakraman. Kedua, dimintakan bantuan pihak ketiga sebagai penengah. Ketiga,  diserahkan
kepada pihak yang berwenang.                
            
Pendapat saya :
Hambatan yang biasanya dihadapi dalam menyelesaikan konflik yang melibatkan
desa pakraman antara lain, Pada umumnya pihak yang terlibat konflik tidak memiliki sikap
yang tegas, mengenai cara mana yang akan dipilih dalam menyelesaikan konflik yang
dihadapi. Apakah mereka akan menyelesaikan sendiri, menggunakan pihak ketiga sebagai
penengah atau menyerahkan kepada pihak yang berwenang. Selain itu, mereka juga tidak siap
menerima konsekuensi yang menyertai masing-masing cara penyelesaian konflik tersebut.
Dengan kata lain, sikap mereka sebenarnya ingin menang sendiri. Inilah yang menyebabkan
konflik yang melibatkan desa pakraman menjadi tidak murah dan tidak mudah diselesaikan,
institusi manapun yang diminta untuk menyelesaikannya. Oleh karena itu disarankan agar
sikap ingin menang sendiri dalam menyelesaikan konflik, segera diubah menjadi sikap ingin
menang bersama. Dengan demikian diharapkan, Bali yang dulu pernah dijuluki “The Last
Paradise”, tidak berubah menjadi “The Lost Paradise”. 
Berkembangnya dan pesatnya ilmu dan teknologi yang mempengaruhi umat manusia
tidak terkecuali masyarakat Hukum Adat menjadikan persoalan batas desa yang perlu
pengaturannya secarta jelas dan tepat dengan memanfaatkan teknologi topografi dan
pemetaan batas desa yang akurat diharapkan mampu mengurangi permasalahan yang timbul
dikemudian hari. 

Anda mungkin juga menyukai