Anda di halaman 1dari 14

HAKEKAT DAN DASAR BERLAKUNYA HUKUM INTERNASIONAL

Disusun oleh:

Retno Wulansari (18211112)

Gilang Adivia Ramadan (18211040)

Ahmad Zainalabidin Syahri Nurdin (18211055)

Ferdi Irawan (18211083)

Ahmad Abdul Aziz (18211085)

Yulianda Atmar (18211090)

Galang Fadillah Rahmawan (18211101)

Da’i Robi Raharjo (18211118)

Fakultas Hukum

Universitas Bandar Lampung

Bandar Lampung

2019
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Hakekat dan dasar berlakunya hukum internasional adalah sebuah asas
yang menjadi pedoman sampai dimana zona berlakunya hukum internasional ini
dapat di implementasikan, serta menjadi dasar mengikatnya hukum internasional
bagi masyarakat internasional dan masyarakat nasional.
Dalam kenyataan hidup sehari-hari negara dan subyek hukum
internasional dapat di katakan menuruti kaedah hukum internasional, yang
berlaku bagi subjeknya yang mempunyai fungsi kordinatif dan dapat
menghubungkan hubungan bilateral antar negara sehingga dapat terciptanya
kedamaian antara masyarakat nasional dan internasional.
Sebagai kaidah yang yang kongkrit dan diakui oleh semua negara,
hukum internasional mempunyai beberapa hakikat dan dasar berlakunya hukum
internasional sebagai landasan hukum yang mengikat melewati batas negara.
Ada beberapa aliran dan teori yang mempengaruhi berlakunya hukum
internasional yaitu aliran/paham hukum alam, aliran/paham positivisme,
aliran/paham kenyataan sosial. Teori inilah yang sangat berpengaruh terhadap
hakikat dan dasar berlakunya hukum internasional.

B. Rumusan Masalah

1. Apakah Hukum Internasional benar-benar Hukum?


2. Mengapa Hukum Internasional mengikat negara-negara?
3. Apa yang menjadi landasan berlakunya sehingga ia mengikat negara-negara?

1
BAB II

PEMBAHASAN MASALAH

A. Hakikat Hukum Internasional

Mengenai hakikat dan dasar berlakunya hukum internasional secara teoritis


banyak menimbulkan kontroversi. Pembahasan tentang teori-teori berlakunya
hukum internasional mungkin akan membantu menjelaskan sebagian besar
aspek penting dari nokok permasalahan tersebut. Pertanyaan pertama yang
muncul adalah apakah hukum internasional ini benar-benar hukum ?

Satu teori yang telah memperoleh pengakuan luas adalah bahwa "hukum
internasional bukan hukum dalam arti yang sebenarnya, melainkan suatu
himpunan Kaidah-kaidah perilaku yang hanya mempunyai kekuatan moral
semata.” Pendukung utama teori ini adalah John Austin (1790-1859) seorang
penulis yurisprudensi berkebangsaan Inggris. Penulis lainnya yang juga
mempertanyakan karakter sebenarnya dari hukum internasional adalah Thomas
Hobbes, Puffendorf, dan Jeremy Bentham.

Pandangan Austin terhadap hukum internasional diwarnai oleh teorinya


tentang hukum pada umumnya. Menurut teori Austin, hukum stricto sensu
dihasilkan dari keputusan-keputusan formal yang berasal dari badan legislative
yang benar-benar berdaulat. Secara logis apabila kaidah-kaidah tersebut bukan
berasal dari suatu otoritas yang berdaulat, yang secara politis berkedudukan
paling tinggi, atau apabila tidak terdapat otoritas yang berdaulat demikian, maka
kaidah-kaidah tersebut tidak dapat digolongkan dalam kaidah-kaidah hukum,
melainkan hanya kaidah-kaidah dengan validitas moral atau etika semata-mata.

Teori umum demikian apabila diterapkan pada hukum internasional yang


"tidak dihasilkan oleh suatu badan otoritas yang memiliki kekuasaan legislative
atau otoritas yang secara tegas berkuasa atas masyarakat negara-negara"; di
samping itu hingga saat ini kaidah-kaidah hukum internasional hamper secara
eksklusif bersifat kebiasaan maka Austin menyimpulkan bahwa hukum

2
internasional bukan hukum dalam arti yang sebenarnya, melainkan hanya
"moralitas internasional positive" (positive international

2
morality), yang dapat disamakan dengan kaidah-kaidah yang mengikat suatu kelompok
atau masyarakat.

Bahkan Austin menggambarkan hukum internasional sebagai terdiri atas


"opini- opini atau sentiment-sentimen yang berlangsung di antara bangsa-bangsa
pada umumnya". Pandangan Austin ini sebenarnya sesual dengan pandangan
tentang klasifikasinya mengenai tiga kategori hukum, yaitu hukum Tuhan
(divine law), hukum positive (positive law), dan moralitas positive (positive
morality)

Argumentasi Austin dapat dibantah dengan jawaban sebagai berikut:

a. Yurisprudensi zaman moderen tidak memperhitungkan kekuatan teori umum


tentang hukum dari Austin, telah dibuktikan bahwa pada beberapa kelompok
masyarakat walaupun tidak memiliki otoritas legislative formal, suat system
hukum telah berjalan dan ditaati. Hukum tersebut tidak berbeda dalam hal
kekuatan mengikatnya dari suatu negara yang benar-benar mempunyai otoritas
legislative.
b. Pendapat Austin tersebut meskipun benar pada zamannya, tetapi tidak tepat bagi
hukum internasional sekarang ini. internasional sebagai sumber hukum
internasional sudah makin berkurang, digantikan dengan perjanjian-perjanjian
multilateral (konvensi) yang prosedur pembentukannya melalui konferensi
internasional, walaupun proses tersebut tidak sama dengan proses pembuatan
undang-undang dalam suatu badan legislative di dalam suatu negara.
c. Persoalan-persoalan hukum internasional senantiasa diperlakukan sebagai
persoalan-persoalan hukum oleh pejabat-pejabat berwenang yang menangani
urusan internasional dalam berbagai kementerian luar negeri, atau melalui
berbagai badan administrasi internasional. Atau dengan kata lain badan-badan
otoritas yang bertangung jawab untuk memelihara hubungan-hubungan
internasional tidak menganggap hukum internasional hanya sebagai himpunan
peraturan moral semata-mata.

3
Di samping itu dalam praktik, negara-negara tertentu secara tegas
memberlakukan hukum internasional sebagai kaidah yang memiliki kekuatan
mengikat yang sama dengan hukum nasional yang mengikat warga-warga negara

3
mereka. Contohnya Konstitusi Amerika Serikat Pasal VI ayat (2) menentukan,
bahwa "perjanjian-perjanjian adalah hukum tertingi" (the supreme law of the land).

Pada masa sekarang ini kekuatan mengikat secara hukum dari hukum
internasional ditegaskan oleh bangsa-bangsa di dunia dalam suatu konferensi
internasional, antara lain:

a. Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa yang dirumuskan dalam Konferensi di San


Fransisco pada tahun 1945, di mana pembentukannya secara tegas maupun
implicit didasarkan atas legalitas sebenarnya dari hukum internasional;
b. Di dalam Statuta Mahkamah Pengadilan Internasional, dinyatakan untuk
memutuskan perkara-perkara demikian sesuai dengan hukum internasional yang
diajukan kepadanya (lihat pasal 38).
c. Deklarasi Helsinki tanggal 1 Agustus 1975, di mana lebih dari 30 negara Eropa,
Tahta Suci (Vatikan), USA, dan Kanada telah menyatakan pengikatan diri
kepada ikrar berikut:

"negara-negara peserta dengan itikad baik akan memenuhi kewajiban-


kewajiban mereka menurut hukum internasional (termasuk) kewajiban-kewajiban
demikian yang timbul dari prinsip-prinsip dan kaidah-kaidah hukum internasional
yang diakui umum... dalam melaksanakan hak berdaulat mereka, termasuk hak
mereka akan menyesuaikan kewajiban-kewajiban hukumnya menurut hukum
internasional".

B. Beberapa Aliran Mengenal Daya Berlakunya Hukum Internasional

Apabila sudah tidak ada lagi keraguan mengenai hukum internasional, maka
timbul permasalahan berikutnya yaitu mengapa hukum intern negara, apa yang
menjadi landasan berlakunya sehingga ia mengikat negara-negara ? Guna menjawab
permasalahan tersebut, maka kita menjawabnya berdasarkan aliran/paham mengenai
daya mengikat hukum internasional.

4
a. Aliran/paham hukum alam.
Teori hukum alam (natural law) merupakan teori tertua. Ajaran ini
memiliki pengaruh yang sangat besar atas hukum internasional sejak
pertumbuhannya. Ajaran ini semula memiliki ciri keagamaan (semi teologis)
yang kuat yang kemudian disekulerisasi hubungannya dengan keagamaan itu
oleh sarjana berkebangsaan Belanda Hugo Grotius.
Pada bentuknya yang telah disekulerisasi, hukum alam diartikan sebagai
"hukum ideal yang didasarkan atas sifat hakikat manusia sebagai makhluk yang
berfikir, yaitu sebagai serangkaian kaidah yang diturunkan oleh alam kepada
akal budi manusia".
Menurut para penganut ajaran hukum alam, hukum internasional itu
mengikat karena:
(a) hukum internasional itu tidak lain daripada "hukum alam yang diterapkan
pada kehidupan bangsa-bangsa; atau dengan perkataan lain,
(b) negara itu terikat atau tunduk pada hukum internasional dalam hubungan
antara mereka satu sama lain, karena hukum internasional itu merupakan bagian
dari hukum yang tertinggi yaitu hukum alam.
Pada perkembangan selanjutnya konsep hukum alam ini pada abad ke
XVIII disempurnakan lagi antara lain oleh Emmerich Vattel (1714-1767)
seorang ahli hukum dan diplomat berkebangsaan Swiss yang menulis buku
dengan judul Droit des Gens, yang substansinya antara lain menqusulkan
pemakaian istilah "hukum bangsa-bangsa” yang mana hukum tersebut berasal
dari penerapan hukum alam terhadap bangsa- bangsa.
Terhadap teori hukum alam mengenai daya mengikat hukum
internasional in dapat diajukan keberatan-keberatan, yaitu karena masing-masing
teoritikus mempergunakan suatu konsepsi yang konkrit sebagai suatu kiasan,
seperti nalar, keadilan, kemanfaatan, kepentingan masyarakat internasional,
kebutuhan atau perintah-perintah agama. Hal ini banyak menimbulkan
penafsiran hukum alam sangat berlainan dan sangat tergantung pada pendapat
subyektif dari para teoritisi yang bersangkutan.
Teori hukum alam yang dominant pada abad ke 17 dan 18, mengalami
kejenuhan pada abad ke 19. Namun pada abad ke 20 teori hukum alam ini

5
bangkit kembali sebagai latar depan filasafat sosial dan hukum. Deklarasi Hak-
hak Asasi Manusia yang dihasilkan sidang Majelis Umum PBB pada ahun 1948;
Draft Declaration on the Rights and Duties of States tahun 1949 yang
dipersiapkan oleh Komisi Hukumi Internasional PBB; Covenant on Economic,
Social and Cultural Rights; dan Covenant on Civil and Political Rights yang
dihasilkan oleh sidang MU PBB tanggal 16 Desember 1966 (mulai berlaku
tahun 1976), pembentukannya dilandasi oleh filsafat hukum alam Hukum alam
juga dikemukakan untuk membenarkan penghukuman pelaku-pelaku tindak
pidana/kejahatan perang selama perang Dunia II yang dlakukan oleh tentara
Jepang dan Jerman.

b. Aliran/paham positivisme.
Aliran ini mendasarkan kekuatan mengikat hukum internasional atas
kehendak negara itu sendiri untuk tunduk pada hukum internasional. Menurut
penganut positivis, “pada dasarnya negaralah yang merupakan sumber segala
hukum, dan hukum internasional itu mengikat karena negara itu atas kemauan
sendiri mau tunduk pada hukum internasional". Pengertian kehendak negara
(state will) ini berasal dari ahli filsafat Jerman yang terkenal yaitu Hegel.
Adapun pemuka-pemuka aliran kehendak negara ini adalah:
(a) George Jellineck yang terkenal dengan "selbst-limitation theorie"
(pembatasan secara sukarela);
(b) Zorn, berpendapat bahwa hukum internasional tidak lain adalah "hukum tata
negara yang mengatur hubungan luar suatu negara (auszeres staatrecht)".
Menurutnya hukum internasional bukan sesuatu yang lebih tinggi yang
mempunyai kekuatan mengikat di luar kemauan negara Mochtar
Kusumaatmadja.
Teori kehendak negara ini juga memiliki kelemahan-kelemahan, yaitu:
a. Mereka tidak dapat menerangkan dengan memuaskan bagaimana caranya
hukum internasional yang tergantung dari kehendak negara itu dapat
mengikat negara.
b. Bagaimana apabila suatu negara secara sepihak membatalkan niatnya untuk
mau terikat pada hukum tersebut ?

6
c. Teori ini tidak dapat menjawab pertanyaan, mengapa suatu negara yang baru
merdeka dan berdiri di tengalh-tengah masyarakat internasional sudah terikat
oleh hukum internasional, terlepas dari mau atau tidaknya tunduk pada
hukum oat tersebut ?
d. Teori ini juga tidak dapat menerangkan adanya hukum kebiasaan yang
mengikat negara-negara.

Kelemahan dan keberatan terhadap ajaran di atas dicoba untuk diatasi oleh
Triepel dalam bukunya "Volkerrecht und Landesrecht" (1899), yang
menyandarkan kekuatan mengikatnya hukum internasional pada kemauan
bersama negara-negara. Menurut Triepel, hukum internasional mengikat bagi
negara-negara, bukan karena kehendak mereka satu per satu untuk terikat,
melainkan karena adanya suatu kehendak bersama yang kedudukannya lebih
tinggi dari kehendak masing-masing negara. Kehendak bersama negara ini
dinamakannya "vereinbarung"; yang berlainan dengan Vereinbarungstheorie
mencoba menerangkan sifat mengikat hukum kebiasaan (customary law) dengan
mengatakan, bahwa dalam hal demikian kehendak untuk terikat diberikannya
secara diam-diam.

Aliran yang mendasarkan berlakunya hukum internasional pada kehendak


negara (disebut juga paham voluntaris) ini merupakan pencerminan dari teori
kedaulatan dan aliran positivisme yang menguasai alam fikiran dunia ilmu
pengetahuan di benua Eropa, terutama Jerman pada bagian kedua abad ke 19.
Aliran ini pada dasarnya memandang hukum internasional itu sebagai hukum
perjanjian antar kehendak negara yang spesifik dan tidak perlu dinyatakan.
negara-negara.

Aliran positif lain yang mengupas daya mengikat hukum internasional


adalah aliran obyektivitas. Menurut aliran ini paham yang menerangkan hakikat
hukurn (kekuatan dasar mengikatnya hukum) berdasarkan kehendak negara,
tidak dapat diterima. Sebab dapat saja subyek hukum (negara) itu melepaskan
dirinya dari kekuatan mengikatnya hukum dengan cara menarik kembali
persetujuannya untuk tunduk pada hukum tersebut.

7
Menurut aliran obyektivitas, persetujuan negara untuk tunduk pada
hukum internasional menghendaki adanya suatu hukum atau norma hukum
sebagai sesuatu yang telah ada terlebih dahulu, dan berlakunya terlepas dari
kehendak negara. Salah satu aliran yang masuk dalam aliran obyektif adalah
mazhab Vienna (Wina) penganutnya adalah Hans Kelsen.

Menurut mashab ini "bukan kehendak negara, melainkan suatu norma


hukumlah yang merupakan dasar terakhir kekuatan mengikat hukum
internasionatt. Dikatakan bahwa "kekuatan mengikat suatu kaidah hukum
internasional didasarkan pada suatu kaidah yang lebih tinggi, yang pada
gilirannya didasarkan pula pada kaidah yang lebih tinggi lagi dan seterushya,
hingn sampailah pada puncak piramida kaidah hukum di mana terdapat kaidah
dasar (grund norm) yang tidak dapat lagi dikembalikan pada suatu kaidah yang
lebih tingni. melainkan harus diterima adanya sebagai suatu hipotesa asal
(ursprungshypothese) yang tak dapat diterangkan secara hukum". Adapun yang
dianggap sebagai kaidah dasar adalah asas "pacta sunt servanda sebagai kaidah
dasar hukum internasional khususnya hukum perjanjian internasional.

Apabila dicermati, mashab Wina ini memang dapat menerangkan


mengikatnva hukum internasional terhadap negara-negara secara logis, akan
tetapi aliran ini tidak dapat menerangkan dengan memuaskan mengapa kaidah
dasar ini mengikat. Apabila kekuatan mengikat kaidah dasar ini berdasarkan
suatu hipotesa ini sama halnva mengartikan kekuatan mengikatnya kaidah dasar
hukum internasional ini sebagai suatu persoalan di luar hukum (meta yuridis).
Dengan demikian persoalan mengapa hukum internasional itu mengikat
dikembalikan kepada nilai-nilai kehidupan manusia di luar hukum yakni rasa
keadilan dan moral. Pada akhirnya teori mengenai dasar berlakunya atau
kekuatan mengikatnya hukum internasional kembali kepada teori hukum alam.

8
c. Aliran/paham kenyataan sosial (feit social)
Paham lain yang berusaha menerangkan kekuatan mengikatnya hukum
internasional tidak HI dan yang dengan teori yang spekulatif dan abstrak,
melainkan menghubungkannya dengan "kenyataan hidup manusia". Paham ini
disebut sebagai mazhab Perancis. Pemuka mashab ini antara lain Fauchile,
Scelle, dan Duguit yang mendasarkan kekuatan mengikat hukum internasional
(juga hukum pada umumnya) pada "factor biologis, sosial, dan sejarah
kehidupan manusia" yang mereka namakan fakta kemasyarakatan (fait social)
Fakta inilah yang menjadi dasar kekuatan mengikatnya segala hukum, termasuk
hukum internasional.
Menurut penganut mashab ini persoalannya dapat dikembalikan kepada
sifat alami manusia sebagai makhluk sosial, hasratnya untuk bergabung dengan
manusia lain dan kebutuhan akan solidaritas. Kebutuhan dan naluri sosial
manusia sebagai orang-perorangan, menurut mereka juga dimiliki oleh bangsa-
bangsa. Dengan demikian dasar kekuatan mengikat hukum (internasional)
terdapat dalam kenyataan sosial, bahwa mengikatnya hukum itu mutlak perlu
untuk dapat terpenuhinya kebutuhan manusia (bangsa) untuk hidup
bermasyarakat.

9
BAB III

PENUTUP

KESIMPULAN

Berdasarkan uraian di atas, maka tidak diragukan lagi bahwa hukum


internasional pada hakikatnya adalah hukum dalam arti yang sebenarnya, sama
seperti halnya hukum (positif) lainnya yang berlaku dalam suatu Negara, seperti
hukum pidana, hukum perdata, dan hukum tata negara.

Menurut para penganut ajaran hukum alam, hukum internasional itu mengikat
karena:

(a) hukum internasional itu tidak lain daripada "hukum alam yang diterapkan
pada kehidupan bangsa-bangsa; atau dengan perkataan lain,
(b) negara itu terikat atau tunduk pada hukum internasional dalam hubungan
antara mereka satu sama lain, karena hukum internasional itu merupakan bagian
dari hukum yang tertinggi yaitu hukum alam.

Aliran/Paham Positivisme mendasarkan kekuatan mengikat hukum


internasional atas kehendak negara itu sendiri untuk tunduk pada hukum
internasional.

Menurut penganut mashab kenyataan sosial kekuatan mengikat hukum


internasional dikembalikan kepada sifat alami manusia sebagai makhluk sosial,
hasratnya untuk bergabung dengan manusia lain dan kebutuhan akan solidaritas.
Kebutuhan dan naluri sosial manusia sebagai orang-perorangan, menurut mereka
juga dimiliki oleh bangsa-bangsa. Dengan demikian dasar kekuatan mengikat
hukum (internasional) terdapat dalam kenyataan sosial, bahwa mengikatnya
hukum itu mutlak perlu untuk dapat terpenuhinya kebutuhan manusia (bangsa)
untuk hidup bermasyarakat.

10
DAFTAR PUSTAKA

1. Kusumaatmadja, Mochtar. 2010. Pengantar Hukum Internasional, Jakarta: Bina


Cipta
2. Sefriani. 2014. Hukum Internasional Suatu Pengantar, Depok: Rajawali Press
3. Tahar, Abdul Mutahir. 2017. Hukum Internasional dan Perkembangannya,
Bandar Lampung: Fakultas Hukum Universitas Lampung
4. Kusumaatmaja, Mochtar, dan Etty R. Agoes. 2003. Pengantar Hukum
Internasional, Bandung: Alumni

Anda mungkin juga menyukai