Disusun oleh:
Fakultas Hukum
Bandar Lampung
2019
BAB I
PENDAHULUAN
B. Rumusan Masalah
1
BAB II
PEMBAHASAN MASALAH
Satu teori yang telah memperoleh pengakuan luas adalah bahwa "hukum
internasional bukan hukum dalam arti yang sebenarnya, melainkan suatu
himpunan Kaidah-kaidah perilaku yang hanya mempunyai kekuatan moral
semata.” Pendukung utama teori ini adalah John Austin (1790-1859) seorang
penulis yurisprudensi berkebangsaan Inggris. Penulis lainnya yang juga
mempertanyakan karakter sebenarnya dari hukum internasional adalah Thomas
Hobbes, Puffendorf, dan Jeremy Bentham.
2
internasional bukan hukum dalam arti yang sebenarnya, melainkan hanya
"moralitas internasional positive" (positive international
2
morality), yang dapat disamakan dengan kaidah-kaidah yang mengikat suatu kelompok
atau masyarakat.
3
Di samping itu dalam praktik, negara-negara tertentu secara tegas
memberlakukan hukum internasional sebagai kaidah yang memiliki kekuatan
mengikat yang sama dengan hukum nasional yang mengikat warga-warga negara
3
mereka. Contohnya Konstitusi Amerika Serikat Pasal VI ayat (2) menentukan,
bahwa "perjanjian-perjanjian adalah hukum tertingi" (the supreme law of the land).
Pada masa sekarang ini kekuatan mengikat secara hukum dari hukum
internasional ditegaskan oleh bangsa-bangsa di dunia dalam suatu konferensi
internasional, antara lain:
Apabila sudah tidak ada lagi keraguan mengenai hukum internasional, maka
timbul permasalahan berikutnya yaitu mengapa hukum intern negara, apa yang
menjadi landasan berlakunya sehingga ia mengikat negara-negara ? Guna menjawab
permasalahan tersebut, maka kita menjawabnya berdasarkan aliran/paham mengenai
daya mengikat hukum internasional.
4
a. Aliran/paham hukum alam.
Teori hukum alam (natural law) merupakan teori tertua. Ajaran ini
memiliki pengaruh yang sangat besar atas hukum internasional sejak
pertumbuhannya. Ajaran ini semula memiliki ciri keagamaan (semi teologis)
yang kuat yang kemudian disekulerisasi hubungannya dengan keagamaan itu
oleh sarjana berkebangsaan Belanda Hugo Grotius.
Pada bentuknya yang telah disekulerisasi, hukum alam diartikan sebagai
"hukum ideal yang didasarkan atas sifat hakikat manusia sebagai makhluk yang
berfikir, yaitu sebagai serangkaian kaidah yang diturunkan oleh alam kepada
akal budi manusia".
Menurut para penganut ajaran hukum alam, hukum internasional itu
mengikat karena:
(a) hukum internasional itu tidak lain daripada "hukum alam yang diterapkan
pada kehidupan bangsa-bangsa; atau dengan perkataan lain,
(b) negara itu terikat atau tunduk pada hukum internasional dalam hubungan
antara mereka satu sama lain, karena hukum internasional itu merupakan bagian
dari hukum yang tertinggi yaitu hukum alam.
Pada perkembangan selanjutnya konsep hukum alam ini pada abad ke
XVIII disempurnakan lagi antara lain oleh Emmerich Vattel (1714-1767)
seorang ahli hukum dan diplomat berkebangsaan Swiss yang menulis buku
dengan judul Droit des Gens, yang substansinya antara lain menqusulkan
pemakaian istilah "hukum bangsa-bangsa” yang mana hukum tersebut berasal
dari penerapan hukum alam terhadap bangsa- bangsa.
Terhadap teori hukum alam mengenai daya mengikat hukum
internasional in dapat diajukan keberatan-keberatan, yaitu karena masing-masing
teoritikus mempergunakan suatu konsepsi yang konkrit sebagai suatu kiasan,
seperti nalar, keadilan, kemanfaatan, kepentingan masyarakat internasional,
kebutuhan atau perintah-perintah agama. Hal ini banyak menimbulkan
penafsiran hukum alam sangat berlainan dan sangat tergantung pada pendapat
subyektif dari para teoritisi yang bersangkutan.
Teori hukum alam yang dominant pada abad ke 17 dan 18, mengalami
kejenuhan pada abad ke 19. Namun pada abad ke 20 teori hukum alam ini
5
bangkit kembali sebagai latar depan filasafat sosial dan hukum. Deklarasi Hak-
hak Asasi Manusia yang dihasilkan sidang Majelis Umum PBB pada ahun 1948;
Draft Declaration on the Rights and Duties of States tahun 1949 yang
dipersiapkan oleh Komisi Hukumi Internasional PBB; Covenant on Economic,
Social and Cultural Rights; dan Covenant on Civil and Political Rights yang
dihasilkan oleh sidang MU PBB tanggal 16 Desember 1966 (mulai berlaku
tahun 1976), pembentukannya dilandasi oleh filsafat hukum alam Hukum alam
juga dikemukakan untuk membenarkan penghukuman pelaku-pelaku tindak
pidana/kejahatan perang selama perang Dunia II yang dlakukan oleh tentara
Jepang dan Jerman.
b. Aliran/paham positivisme.
Aliran ini mendasarkan kekuatan mengikat hukum internasional atas
kehendak negara itu sendiri untuk tunduk pada hukum internasional. Menurut
penganut positivis, “pada dasarnya negaralah yang merupakan sumber segala
hukum, dan hukum internasional itu mengikat karena negara itu atas kemauan
sendiri mau tunduk pada hukum internasional". Pengertian kehendak negara
(state will) ini berasal dari ahli filsafat Jerman yang terkenal yaitu Hegel.
Adapun pemuka-pemuka aliran kehendak negara ini adalah:
(a) George Jellineck yang terkenal dengan "selbst-limitation theorie"
(pembatasan secara sukarela);
(b) Zorn, berpendapat bahwa hukum internasional tidak lain adalah "hukum tata
negara yang mengatur hubungan luar suatu negara (auszeres staatrecht)".
Menurutnya hukum internasional bukan sesuatu yang lebih tinggi yang
mempunyai kekuatan mengikat di luar kemauan negara Mochtar
Kusumaatmadja.
Teori kehendak negara ini juga memiliki kelemahan-kelemahan, yaitu:
a. Mereka tidak dapat menerangkan dengan memuaskan bagaimana caranya
hukum internasional yang tergantung dari kehendak negara itu dapat
mengikat negara.
b. Bagaimana apabila suatu negara secara sepihak membatalkan niatnya untuk
mau terikat pada hukum tersebut ?
6
c. Teori ini tidak dapat menjawab pertanyaan, mengapa suatu negara yang baru
merdeka dan berdiri di tengalh-tengah masyarakat internasional sudah terikat
oleh hukum internasional, terlepas dari mau atau tidaknya tunduk pada
hukum oat tersebut ?
d. Teori ini juga tidak dapat menerangkan adanya hukum kebiasaan yang
mengikat negara-negara.
Kelemahan dan keberatan terhadap ajaran di atas dicoba untuk diatasi oleh
Triepel dalam bukunya "Volkerrecht und Landesrecht" (1899), yang
menyandarkan kekuatan mengikatnya hukum internasional pada kemauan
bersama negara-negara. Menurut Triepel, hukum internasional mengikat bagi
negara-negara, bukan karena kehendak mereka satu per satu untuk terikat,
melainkan karena adanya suatu kehendak bersama yang kedudukannya lebih
tinggi dari kehendak masing-masing negara. Kehendak bersama negara ini
dinamakannya "vereinbarung"; yang berlainan dengan Vereinbarungstheorie
mencoba menerangkan sifat mengikat hukum kebiasaan (customary law) dengan
mengatakan, bahwa dalam hal demikian kehendak untuk terikat diberikannya
secara diam-diam.
7
Menurut aliran obyektivitas, persetujuan negara untuk tunduk pada
hukum internasional menghendaki adanya suatu hukum atau norma hukum
sebagai sesuatu yang telah ada terlebih dahulu, dan berlakunya terlepas dari
kehendak negara. Salah satu aliran yang masuk dalam aliran obyektif adalah
mazhab Vienna (Wina) penganutnya adalah Hans Kelsen.
8
c. Aliran/paham kenyataan sosial (feit social)
Paham lain yang berusaha menerangkan kekuatan mengikatnya hukum
internasional tidak HI dan yang dengan teori yang spekulatif dan abstrak,
melainkan menghubungkannya dengan "kenyataan hidup manusia". Paham ini
disebut sebagai mazhab Perancis. Pemuka mashab ini antara lain Fauchile,
Scelle, dan Duguit yang mendasarkan kekuatan mengikat hukum internasional
(juga hukum pada umumnya) pada "factor biologis, sosial, dan sejarah
kehidupan manusia" yang mereka namakan fakta kemasyarakatan (fait social)
Fakta inilah yang menjadi dasar kekuatan mengikatnya segala hukum, termasuk
hukum internasional.
Menurut penganut mashab ini persoalannya dapat dikembalikan kepada
sifat alami manusia sebagai makhluk sosial, hasratnya untuk bergabung dengan
manusia lain dan kebutuhan akan solidaritas. Kebutuhan dan naluri sosial
manusia sebagai orang-perorangan, menurut mereka juga dimiliki oleh bangsa-
bangsa. Dengan demikian dasar kekuatan mengikat hukum (internasional)
terdapat dalam kenyataan sosial, bahwa mengikatnya hukum itu mutlak perlu
untuk dapat terpenuhinya kebutuhan manusia (bangsa) untuk hidup
bermasyarakat.
9
BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
Menurut para penganut ajaran hukum alam, hukum internasional itu mengikat
karena:
(a) hukum internasional itu tidak lain daripada "hukum alam yang diterapkan
pada kehidupan bangsa-bangsa; atau dengan perkataan lain,
(b) negara itu terikat atau tunduk pada hukum internasional dalam hubungan
antara mereka satu sama lain, karena hukum internasional itu merupakan bagian
dari hukum yang tertinggi yaitu hukum alam.
10
DAFTAR PUSTAKA