Anda di halaman 1dari 5

ran Arsitektur terhadap Penduduk, Masyarakat dan Kebudayaan

Arsitektur hadir sebagai hasil persepsi masyarakat yang memiliki berbagai


kebutuhan. Untuk itu, arsitektur adalah wujud kebudayaan yang berlaku di
masyarakatnya, sehingga perkembangan arsitektur tidak dapat dipisahkan dari
perkembangan kebudayaan masyarakat itu sendiri. Pada saat ini, ketika
perkembangan budaya dan peradaban sudah sedemikian maju, maka perkembangan
arsitektur – terutama di Indonesia – nampak berjalan mulus tanpa ada saringan yang
cenderung menghilangkan jatidiri.
Arsitek sebagai salah satu penentu arah perkembangan arsitektur di Indonesia
dituntut untuk lebih aktif berperan dalam menentukan arah dengan pemahaman
terhadap nilai dan norma yang hidup di masyarakat sebagai tolok ukurnya. Selain itu,
diperlukan pula kreativitas untuk menjabarkan rambu-rambu tradisional – sebagai
suatu konsep yang telah lama dimiliki masyarakat – ke dalam bentuk-bentuk yang
akrab dengan lingkungan dan mudah dicerna apa makna serta pesan yang akan
disampaikan.
Pada saat ini terasa sulit membedakan mana karya yang baik dan cocok untuk
Indonesia, karena perkembangan arsitektur cenderung mengarah pada gaya
‘internasional’ yang tidak mempunyai ‘jati diri indonesiawi’-nya.
Interaksi antara Pemilik Bangunan, Peraturan Daerah dan Arsitek perlu memiliki
kesamaan pandang – kendati pada kenyataannya terdapat banyak perbedaaan yang
tidak terlalu jauh – sehingga karya-karya arsitektur tersebut tidak sekedar emosi dari
Arsiteknya. Peran Arsitek adalah menciptakan suatu wadah atau ruang sebagai
kelangsungan hidup manusia yang memungkinkan tercapainya kondisi optimal bagi
pengembangan masyarakat sebagai pemakai dan terpeliharanya fungsi-fungsi alam
dalam kesinambungan yang dinamis.
Bilamana Arsitek yang bersangkutan tidak berhasil memenuhi persyaratan di
atas, maka lambat atau cepat lingkungan buatan berikut segala isinya akan
berantakan, sebab sikap Arsitek berbeda dengan pemakai maupun pengamat karya
arsitektur dalam memandang dan memikirkan tata lingkungan buatan sebagaimana
dilakukan sebagian orang. Dengan hadirnya arsitektur, masyarakat mempunyai
persepsi dan kebutuhan yang berbeda karena dipengaruhi berbagai cara oleh sifat
lingkungan sebagai akibat dari perilaku Arsitek dalam melakukan rancangannya.
Karena arsitektur bertujuan untuk masyarakat, maka hasil karya arsitektur
seringkali dinilai kurang kompromi dengan lingkungannya. Terciptanya karya
arsitektur yang cocok dan sesuai dengan lingkungan-nya tentu bukan monopoli dari si
Arsiteknya saja. Penjabaran dan perwujudan akan tata nilai ekonomis karya arsitektur
akan melibatkan semua pihak. Hal tersebut terjadi karena masyarakat sudah memiliki
preferensi dalam kognisinya tentang bentuk-bentuk yang ditampilkan sebagai bentuk-
bentuk yang secara historis pernah menjadi miliknya. Dari Pemberi Tugas (bouwheer)
tentu sangat diharapkan bisa menahan emosi kehendaknya, sehingga Arsitek dapat
merealisir gagasan bouwheer dengan baik dan optimal.
PERKEMBANGAN ARSITEKTUR INDONESIA
Wujud arsitektur bukan merupakan hasil ‘seni yang bebas’ kehendaknya dan
melukis untuk dirinya sendiri. Akan tetapi, seni arsitektur merupakan ‘seni yang
terikat’ oleh kaidah-kaidah tertentu sebagai seni terapan yang mampu dinikmati
semua pihak, menjadi milik masyarakat, bangsa dan para pengamat yang berhak
menikmati karya arsitektur setempat (bukan impor dari luar). Arsitektur mencoba
berusaha untuk berada di tengah masyarakatnya, para pemakai dan pemerhati.
Banyak bangunan yang sebetul-nya gagal secara fungsional atau tidak sesuai
dengan perilaku pemakai, namun tetap diciptakan dengan ‘keterpaksaan’ karena
faktor-faktor lain yang sama sekali melupakan ‘jati diri’-nya. Latar belakang dalam
melakukan aktifitas sosial budaya, dalam masyarakat tradisional Jawa misalnya,
banyak belajar menyesuaikan diri dengan alam lingkungannya. Mereka memilih untuk
berusaha hidup ‘selaras’ dengan alam, walaupun tidak merasa bahwa dirinya takluk
kepada alam.
Bentukan arsitekturnya merupakan karya yang secara arif memanfaatkan potensi dan
sumberdaya setempat serta menciptakan keselarasan yang harmonis antara ‘jagad
cilik’ (mikro kosmos) dengan ‘jagad gede’ (makro kosmos).
Menurut Koentjaraningrat (1983) masyarakat Jawa merasa berkewajiban untuk
‘memayu-ayuning bawana’ yaitu pandangan hidup untuk selalu berupaya
memperindah lingkungannnya, baik fisik maupun spiritual; menyangkut adat, tata
cara, cita-cita ataupun nilai-nilai budaya lainnya. Dalam kaitannya dengan arsitektur,
konsep ini mendasari pola keselarasan antara bangunan dengan lingkungannya
termasuk juga dalam sistem ekologinya.
Ditilik dari kacamata arsitektur, Budiharjo (1997) menilai bahwa hal yang
paling merisaukan dalam perancangan bangunan tinggi adalah penampilannya yang
nyaris steril, serba polos, tunggal rupa serta tak menyisakan peluang bagi penghuni,
pemilik maupun pengamatnya untuk berimajinasi. Tak heran jika pencakar langit
seperti itu acap diejek sebagai salah satu bentuk pornografi arsitektural, tak
menyimpan misteri, kurang menyentuh rasa, tak memperkaya jiwa dan vulgar. Bentuk
bangunan dan kota yang cocok, tentunya muncul dan tumbuh dari dalam, dibuat
untuk menanggapi keinginan, tuntutan dan dambaan manusia yang hidup dan bekerja
di sana.
Pembahasan tentang perkembangan arsitektur tidak bisa dipisahkan dengan
perkembangan kebudayaan. Pembahasan perkembangan arsitektur modern, juga tidak
dapat dilepas dari perkembangan teknologi serta perkembangan sosial ekonomi
masyarakat penduduknya. Kebudayaan adalah sesuatu yang dinamis, selalu berubah
dari waktu ke waktu.
Arsitektur sebagai bagian dari kebudayaan juga senantiasa memperbaharui diri
sesuai dengan perkembangan jaman. Perkembangan arsitektur dari waktu ke waktu
merupakan cerminan dari budaya masyarakat dimana karya arsitektur tersebut
berada. Menurut Atmadi (1997) perkembangan arsitektur di Indonesia sesudah
kemerdekaan menunjukkan corak perkembangan tersendiri. Ungkapan arsitekturnya
disesuaikan dengan tantangan, pengaruh perkembangan teknologi dan bahan
bangunan yang ada.
Perkembangan tersebut tidak hanya dipengaruhi oleh perkembangan tata ruang
atau tata masa massa bangunan saja, tetapi juga terpengaruh oleh nilai sosial dan
budaya serta ekosistem yang berubah cepat. Namun, pada umumnya para Arsitek
kurang memperhatikan pengembangan konsep perancangan dalam menyelesaikan
suatu rancangan.
Pembaharuan konsep perancangan tidak berarti pembaharuan komponen
bangunan yang ditunjukkan dengan mengambil komponen dari berbagai macam
lapangan bangunan lain. Hal ini menjurus pada ungkapan ‘arsitektur eklektis’.
Penggunaan tiang Yunani dan jendela Spanyol yang banyak bermunculan dan bertahan
akhir-akhir ini merupakan petunjuk adanya perkembangan yang demikian itu. Keadaan
semacam itu tentunya kurang menguntungkan bagi usaha mencari arsitektur
berkepribadiaan Indonesia. Sebuah teguran dari Van Romond (1950) dalam pidato
Ronald, mengatakan bahwa:
Para arsitek Indonesia hendaknya berani memutuskan diri untuk bertindak
mundur sejenak, hingga menemukan suatu perwujudan dalam bentuk yang paling
sederhana dari bentuk bangunan di masa lampau. Sebab dengan melakukan tindakan
ini berarti akan memperoleh kesempatan untuk memperbaharui gagasan-gagasan dan
kemudian akan dapat menemukan kembali bentuk yang jauh lebih baik dan lebih
khas.
Dengan perkataan lain, kalau ingin maju dengan pesat, hendaknya mau mundur
barang selangkah sebagai awalan melakukan loncatan yang lebih jauh. Cepatnya
pertumbuhan penduduk, kecepatan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi
serta terbatasnya sumber daya alam mengharuskan para Perencana dan arsitek untuk
segera menjawab tantangan tadi.
Perkembangan keanekaragaman kebutuhan fasilitas, masih adanya masalah
kemiskinan serta distribusi yang belum sesuai, merupakan beberapa tantangan utama
yang perlu diperhtikan para Arsitek Indonesia. Usaha perbaikan fasilitas umum dan
permukiman pada dasarnya merupakan kegiatan yang strategis dalam pembangunan.
Untuk itu, seyogyanya konsep perancangan bangunan serta perencanaan lingkungan
dan wilayah mendapat perhatian khusus, agar pembangunan dapat mendukung
pembinaan budaya dan peradaban bangsa.
Perkembangan arsitektur nampak berjalan begitu mulus tanpa ada penyaring
sebagai akibat apa yang terjadi untuk sementara ‘dipersilakan masuk’, sehingga bisa
dikatakan ada perubahan nilai untuk menghilangkan ‘jatidiri’-nya. Hal ini sebagai
akibat proses modernisasi, yang bilamana tidak dikendalikan dengan baik, dapat
menimbulkan ‘krisis identitas’. Krisis ini terjadi karena terganggunya keakraban
manusia dengan ruang. Dengan demikian, walau ruang tidak mengalami perubahan,
namun digunakan dengan fungsi yang sangat berbeda. Untuk itu, tata nilai yang
berlaku akan mengalami perubahan dan menjadi sumber konflik antara yang lama
dengan yang baru.
Timbul keprihatinan dalam diri beberapa pihak yang mempertanyakan apakah
arsitektur seperti itu akan menjadi arah perkembangan arsitektur Indonesia.
Prijotomo dalam bukunya Pasang Surut Arsitektur di Indonesia mempertanyakan:
“Tahukah Anda bahwa kesemuanya itu telah dimiliki sejak 1970-an? Tapi kenapa
perjalanan meng-Indonesia-kan arsitektur masih pusing tujuh keliling?”
Beberapa kemungkinan ini adalah jawaban dari pertanyaan tadi, yaitu:
Pertama, konon dikatakan oleh Arsitek bahwa pasaran arsitektur masih
menggemari yang ‘barat’ ketimbang yang tradisional.
Kedua, lembaga pendidikan arsitektur belum melakukan penafsiran, karena
belum mampu bicara soal ruang dan rupa arsitektur tradisional Indonesia. Arsitektur
ini masih diletakkan dalam kerangka antropologis dan kebudayaan, belum diletakkan
dalam kerangka arsitektur itu sendiri.
Ketiga, kurangnya gairah Arsitek profesional dan Pendidik untuk meletakkan
arsitektur tradisional itu sebagai sumber praktek dan sumber pengajaran.
Keempat, ada pihak-pihak yang sengaja menyembunyikan pengetahuan dan
kemampuannya dalam hal arsitektur tadi. Penggunaan apa yang dimilikinya oleh pihak
lain demi pengembangan arsitektur tadi dicurigainya sebagai pengambil-alihan
pengetahuan dan kemampuan.
Kelima, belum tumbuhnya sikap Arsitek Indonesia dalam melihat arsitektur modern
itu sendiri. Tafsiran, alih ragam, modifikasi ataupun penyederhanaan haruslah
menjadi bagian yang tak terpisah dari sebutan tradisional pada arsitektur daerah kita.

G.    Solusi Permasalahan
Sikap Arsitek harus berubah, karena seorang Arsitek bukan hanya menuangkan
sebuah misi ke dalam perencanaan saja, namun harus memahami reaksi manusia yag
terlibat guna dicarikan pemecahannya bila akan timbul konflik. Sebenarnya, tugas
Arsitek belum berakhir sampai dengan rencana ‘blueprint’ saja. Walau proyek telah
selesai dibangun, bahkan telah diresmikan, Arsitek masih berkewajiban paling tidak
secara etis sampai dengan obyek tersebut benar-benar berfungsi.  Dalam hal ini si
Arsitek berfungsi sebagai moderator untuk duduk dalam satu meja demi
terselenggaranya peran masing-masing disiplin ilmu dengan baik. Dengan demikian,
dibutuhkan arsitek-arsitek yang komunikatif dan peka terhadap masalah-masalah
kultural, kuat dalam penelitian lapangan serta berani melepaskan konsep-konsep
ruang yang standar dan berani mengusulkan sesuatu yang orisinil. 
Pemahaman terhadap nilai-nilai dan norma-norma yang terdapat di lingkungan masyarakat
merupakan hal yang perlu dilakukan oleh Arsitek sebagai dasar pijak dalam menciptakan karya
arsitekturalnya. Dengan demikian, hasil yang diwujudkan akan merupakan arsitektur yang akrab
dengan lingkungannya serta mudah dicerna apa makna dan pesan yang disampaikannya.
Warisan arsitektur tradisional akan sangat bermanfaat sebagai sumber untuk memperoleh
inspirasi dan inovasi dalam mendorong imajinasi para arsitek. Dalam hal ini diperlukan
kemampuan kreativitas untuk menjabarkan rambu-rambu tradisional, agar karya yang
dihasilkan tidak terjebak pada bentuk-bentuk yang monoton, tetapi justru perlu memberikan
peluang pada unsur-unsur kontradiksi dan konflik yang harus diwadahi dalam bentukan-
bentukan yang unik.

Refrensi: 
1.      Atmadi, Parmono., Bismo Sutedjo, Eko Budihardjo, Sidharta. 1997. Per-kembangan
Arsitektur dan Pendidikan Arsitek di Indonesia. Yogyakarta: Gadjah Mada University
Press.
2.      Goot Fied, H and Jenings, Jac. 1985. American Vernacular Design 1870-1940. Von
Nostrad Reinhold Company.
3.      Koentjaraningrat. 1984. Kebudayaan Jawa. Jakarta: Balai Pustaka.
4.      Koentjaraningrat. 1993. Kebudayaan Mentalitas dan Pembangunan. Jakarta: PT.
Gramedia Pustaka Utama.
5.      Kuntowijoyo, 1987. Budaya Masyarakat. Yogyakarta: PT. Tiara Wacana.
6.      Moore, Gary T. 1984/1979. Pengkajian Lingkungan Perilaku. dalam Snyder. Pengantar
Arsitektur. Jakarta: PT. Gramedia.
7.      Prijotomo, Josef. 1995. Pasang Surut Arsitektur di Indonesia. Yogyakarta: Gadjah
Mada University Press.
8.      Rapoport, Amos. 1969. House Form and Culture. New Jersey: Precentice Hall, Inc.
Englewood Cliffs.
9.      _____________. 1979. Development, Culture Change and Supportive Design.
Milwauke: University of Wisconsin.
10.  https://www.academia.edu/7766706/Arsitektur_Lingkungan
11.  https://id.wikipedia.org/wiki/Arsitektur
12.  https://id.wikipedia.org/wiki/Penduduk
13.  https://id.wikipedia.org/wiki/Masyarakat

14.  https://id.wikipedia.org/wiki/Budaya

Anda mungkin juga menyukai