Anda di halaman 1dari 25

HUKUM PERIKATAN

PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN MENGENAI


PEMBAYARAN TANPA HUTANG,WAKIL TANPA KUASA,
DAN PERBUATAN MELAWAN HUKUM

NAMA KELOMPOK 2 :
1. DENI ABDILLAH (017.3.0012)
2. PT MAWARNI EKA CASMITHA (017.3.0016)
3. KM JHONY BAGUS SANJAYA (017.3.0033)
4. GEDE ONGKI DARMAWAN (015.3.0013)

HUKUM
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS PANJI SAKTI
TAHUN AJARAN 2019
KATA PENGANTAR

Puji syukur pemakalah panjatkan kehadirat TuhanYang Maha Esa, karena

atas rahmat, petunjuk, dan karuniaNya pemakalah dapat menyelesaikan makalah

ini. Adapun dalam makalah ini pemakalah mencoba memberikan penjelasan

mengenai perikatan yang lahir dari undang-undang yang pemakalah kumpulkan

dari berbagai sumber. Makalah ini dibuat dalam rangka menyelesaikan tugas

mata kuliah Hukum Perikatan yang diberikan kepada pemakalah dengan judul

“Peraturan Perundang-Undangan Mengenai Pembayaran Tanpa Hutang, Wakil

Tanpa Kuasa dan Perbuatan Melawan Hukum”.

Tidak dapat dipungkiri bahwa dalam penyusunan makalah ini, pemakalah

mendapat bantuan dari berbagai pihak. Maka dari itu pemakalah mengucapkan

terima kasih atas segala bantuan yang telah diberikan. Berikut beberapa pihak

yang membantu pemakalah, yaitu :

1. Bapak I Gede Arya Wira Sena, S.H., M. Kn., selaku dosen mata kuliah

Hukum Perikatan yang memberikan saran dan judul dalam penyusunan

makalah ini.

2. Semua pihak yang membantu secara langsung maupun tidak langsung baik

berupa material maupun non material demi terselesaikannya makalah ini.

Pemakalah menyadari sepenuhnya bahwa makalah ini masih jauh dari

sempurna, untuk itu pemakalah harapkan kepada pembaca untuk memberikan

masukan, saran dan kritik yang membangun sehingga makalah ini menjadi lebih

baik. Akhir kata pemakalah ucapkan terima kasih.

Singaraja, 15 Nopember 2019

Pemakalah

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.........................................................................................i

DAFTAR ISI........................................................................................................ii

BAB I PENDAHULUAN....................................................................................1

1.1 Latar Belakang.........................................................................................1

1.2 Rumusan Masalah....................................................................................2

1.3 Tujuan .....................................................................................................2

BAB II KAJIAN PUSTAKA...............................................................................3

2.1 Hukum Perikatan.....................................................................................3

BAB III PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN MENGENAI

PEMBAYARAN TANPA HUTANG, WAKIL TANPA

KUASA, DAN PERBUATAN MELAWAN HUKUM.......................8

3.1 Pembayaran Tanpa Hutang (overschuldigde betaling)........................... 8

3.2 Wakil Tanpa Kuasa (zaakwaarneming)..................................................11

3.3 Perbuatan Melawan Hukum (onrechtmatige daad)................................16

BAB IV PENUTUP.............................................................................................21

4.1 Kesimpulan..............................................................................................21

4.2 Saran........................................................................................................21

DAFTAR PUSTAKA

ii
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Bangsa Indonesia masih memiliki sejumlah peraturan yang berasal dari

peninggalan pemerintahan kolonial Belanda, salah satunya adalah hukum perdata

yang saat ini masih berlaku berdasarkan “aturan peralihan” Pasal II UUD 1945.

Menurut Djoko Imbawani Atmaja, hukum perdata adalah lapangan hukum yang

substansinya mengatur hubungan hukum antarorang atau antarperson, persoalan-

persoalan yang diatur dalam hukum perdata adalah tentang person yang meliputi

masalah status yaitu tentang kewenangan dan kecakapan bertindak, tentang status

dalam hubungan keluarga, tentang hubungannya dengan benda sebagai obyek

kepentingan dari person, dan perikatan-perikatan yang bisa dilakukan dalam

rangka memenuhi kepentingan ekonominya1.

Hukum Perikatan merupakan salah satu hal yang sangat penting dalam hukum

perdata, dan sangat dibutuhkan dalam hubungan-hubungan hukum di bidang harta

kekayaan yang dilakukan sehari-hari. Hukum Perikatan diatur dalam Buku III BW

(Buku III KUH Perdata) yang secara garis besar dibagi atas dua bagian, yaitu

pertama, perikatan pada umumnya, baik yang lahir dari perjanjian maupun yang

lahir dari undang-undang dan yang kedua, adalah perikatan yang lahir dari

perjanjian-perjanjian tertentu2.

Dalam perikatan yang lahir dari undang-undang dikenal adanya pembayaran

tanpa hutang (Onverschuldigde Betaling), untuk dapat lebih memahami mengenai

hal tersebut, maka pemakalah akan mengulas mengenai pembayaran tanpa hutang
1
Djoko Imbawani Atmadja,Hukum Perdata,Sinar Grafika,Jakarta,2016,hlm 4
2
Ahmadi Miru dan Sakka Pati, Hukum Perikatan (Penjelasan Makna Pasal 1233 sampai
1456 BW),Rajawali Pers,Jakarta,2011, hlm. 1

1
beserta dengan kuasa sukarela (Zaakwaarneming) dan perbuatan melawan hukum

dalam makalah ini dengan judul “Peraturan Perundang-Undangan Mengenai

Pembayaran Tanpa Hutang, Wakil Tanpa Kuasa, dan Perbuatan Melawan

Hukum”.

1.2 Rumusan Masalah

1.2.1. Bagaimana pengaturan pembayaran tanpa hutang dalam peraturan

perundang-undangan ?

1.2.2. Bagaimana pengaturan wakil tanpa kuasa dalam peraturan perundang-

undangan ?

1.2.3. Bagaimana pengaturan perbuatan melawan hukum dalam peraturan

perundang-undangan?

1.3 Tujuan

1.3.1. Untuk dapat mengetahui dan menganalisa mengenai pengaturan

pembayaran tanpa hutang dalam peraturan perundang-undangan.

1.3.2. Untuk dapat mengetahui dan menganalisa mengenai pengaturan wakil

tanpa kuasa dalam peraturan perundang-undangan.

1.3.3. Untuk dapet mengetahui dan menganalisa mengenai perbuatan

melawan hukum dalam peraturan perundang-undangan.

2
BAB II

KAJIAN PUSTAKA

2.1 Hukum Perikatan

Menurut Djoko Imbawani Atmadjaja, hukum perikatan adalah hubungan

hukum antara dua belah pihak dalam lingkup harta kekayaan, dalam mana

kreditor berhak atas suatu prestasi dan karena debitur wajib (schould)

melaksanakan prestasi tersebut, dan pada umumnya debitur bertanggungjawab

atas hal itu sesuai dengan bunyi pasal 1131 KUH Perdata3.

Menurut Ratna Artha Windari perikatan adalah suatu hubungan hukum dalam

lapangan harta kekayaan antara dua orang atau lebih di mana pihak yang satu

berhak atas sesuatu dan pihak lain berkewajiban atas sesuatu4.

Dari definisi perikatan menurut para ahli di atas, dapat disimpulkan bahwa

perikatan adalah suatu hubungan hukum yang terjadi anatara dua belah pihak

dalam ruang lingkup harta kekayaan, dimana pihak yang satu berhak atas sesuatu

dan pihak lain berkewajiban atas sesuatu.

Istilah Perikatan berasal dari bahasa belanda verbintenis. Namun demikian

dalam kepustakaan hukum Indonesia memakai bermacam-macam istilah untuk

menterjemahkan Verbintenis. Subekti dan Tjiptosudibjo, menggunakan istilah

perikatan untuk verbintenis dan persetujuan untuk Overeenkomst. Dengan

demikian, verbentesis ini dikenal memiliki tiga istilah di Indonesia yaitu :

a. Perikatan.

b. Perutangan dan

c. Perjanjian5.
3
Djoko Imbawani Atmadjaja,op.cit.hlm. 82
4
Ratna Artha Windari,Pengantar Hukum Indonesia,Rajawali Pers,Depok,2017,hlm 66
5
Subekti,Pokok-Pokok Hukum Perdata,Intermassa,Jakarta,2002,hlm 23

3
Sedangkan untuk overeenkomst dipakai untuk dua istilah yaitu perjanjian

dan persetujuan. Jadi jika berhadapan dengan istilah verbintenis dan

overeenkomst, haruslah berusaha menjawab pengertian apakah yang tersimpul

dalam istilah tersebut. Secara terminologi, verbintenis berasal dari kata kerja

verbinden yang artinya mengikat. Dengan demikian verbintenis menunjuk kepada

adanya ikatan atau hubungan.

Hukum Perikatan diatur dalam Bab III KUH Perdata. Namun demikian

dalam bab III KUH Perdata tersebut tidak ada satu pasal pun yang merumuskan

makna tentang perikatan. Menurut Subekti, perkataan “perikatan” dalam Buku III

KUH Perdata mempunyai arti yang lebih luas dari "perjanjian", sebab dalam Buku

III itu, diatur juga perihal hubungan hukum yang sama sekali tidak bersumber

pada suatu persetutujuan atau perjanjian, yaitu perihal perikatan yang timbul dari

perbuatan yang melanggar hukum (onrechtmatige daad) dan perihal perikatan

yang timbul dari pengurusan kepentingan orang lain yang tidak berdasarkan

persetujuan (zaakwaarneming). Tetapi sebagian besar dari Buku III ditujukan

pada perikatan yang timbul dari persetujuan atau perjanjian. Dalam Ilmu

Pengetahuan Hukum Perdata perikatan diartikan sebagai hubungan hukum yang

terjadi di antara 2 (dua) orang atau lebih, yang terletak di dalam lapangan harta

kekayaan di mana pihak yang satu berhak atas prestasi dan pihak lainnya wajib

memenuhi prestasi itu. Subekti dalam bukunya Pokok-Pokok Hukum Perdata

berpendapat, bahwa perikatan adalah suatu hubungan hukum antara dua orang

atau dua pihak, yang mana pihak yang satu berhak menuntut sesuatu dari pihak

yang lainnya yang berkewajiban memenuhi tuntutan itu. Perikatan sendiri

merupakan suatu pengertian yang abstrak6.


6
Ibid, hlm 45

4
Hukum perikatan diatur dalam Buku III KUH Perdata yang terdiri atas 18

bab dan 631 pasal. Dimulai dari pasal 1233 sampai dengan 1864 dan masing

masing bab dibagi menjadi beberapa bagian. Hal yang diatur dalam Buku III

KUH Perdata, meliputi hal-hal berikut ini:

a. Perikatan pada umumnya (pasal 1233-1312 KUH Perdara). Hal yang

diatur dialamnya meliputi sumber perikatan, prestasi, penggantian biaya

rugi, dan bunga karena tidak terpenuhinya suatu perikatan dan jenis-jenis

perikatan.

b. Perikatan yang dilahirkan dari perjanjian (pasal 1313-1351 KUH Perdata).

Hal yang diatur di dalamnya adalah ketentuaan umum, syarat sahnya

perjanjian, akibat perjanjian, dan penafsiran perjanjian.

c. Perikatan yang dilahirkan dari UU (pasal 1352-1380 KUH Perdata).

d. Hapusnya perikatan (pasal 1381-1456 KUH Perdata).

e. Jual beli (pasal 1457-1540 KUH Perdata). Meliputi ketentuan umum,

kewajiban penjual, kewajiban pembeli, hak membeli kembali, jual beli

piutang, dan lain-lain.

f. Tukar menukar (pasal 1541-1546 KUH Perdata).

g. Sewa menyewa (pasal 1548-1600 KUH Perdata).

h. Persetujuan untuk melakukan pekerjaan (pasal 1601-1617 KUH Perdata).

i. Persekutuan (pasal 1618-1652 KUH Perdata).

j. Perkumpulan (pasal 1653-1665 KUH Perdata).

k. Hibah (pasal 1666-1693 KUH Perdata).

l. Penitipan barang (pasal 1694-1739 KUH Perdata).

m. Pinjam pakai (pasal 1740-1753 KUH Perdata).

5
n. Pinjam-meminjam (pasal 1754-1769 KUH Perdata).

o. Bunga tetap atau bunga abadi (pasal 1770-1773 KUH Perdata).

p. Perjanjian untung-untungan (1774-1791 KUH Perdata).

q. Pemberian kuasa (pasal 1792-1819 KUH Perdata).

r. Penanggungan utang (pasal 1820-1850 KUH Perdata).

s. Perdamaian (pasal 1851-1864 KUH Perdata).

Dalam Pasal pasal 1352-1380 KUH Perdata diatur mengenai perikatan yang

lahir dari Undang-Undang. Berbeda halnya dengan perikatan yang lahir dari

perjanjian, perikatan yang lahir dari Undang-Undang tidak memiliki asas

kebebasan berkontrak. Karena dalam konteks ini suatu perikatan lahir oleh karena

kehendak dari Undang-Undang. Menurut ketentuan Pasal 1352 KUH Perdata,

perikatan yang lahir dari Undang-Undang terbagi menjadi :

1. Perikatan yang timbul dari undang-undang saja;

2. Perikatan yang timbur dari undang-undang sebagai akibat dari perbuatan

orang.

KUH Perdata tidak memberikan uraian lebih rinci mengenai perikatan yang

timbul dari undang-undang saja. Namun dari beberapa literature dapat diketahui

bahwa perikatan yang timbul dari undang-undang saja merupakan perikatan-

perikatan yang disebabkan oleh hubungan kekeluargaan. Yaitu, yang diatur dalam

Buku I KUH Perdata, misalnya hak dan kewajiban antara orang tua dan anak.

Sedangkan menurut Pasal 1353 KUH Perdata, perikatan yang timbul dari

undang-undang sebagai akibat dari perbuatan orang terdiri dari :

1. Yang terbit dari perbuatan halal atau dibolehkan oleh hukum

(rechtmatige daad), yaitu :

6
a) Wakil tanpa kuasa (zaakwaarneming) yang diatur dalam Pasal

1354 KUH Perdata;

b) Pembayaran yang tidak terutang (overschuldigde betaling) yang

diatur dalam Pasal 1359 KUH Perdata;

c) Perikatan wajar atau perikatan alam (natuurlijke verbintenis)

yang diatur dalam Pasal 1791 KUH Perdata.

2. Yang terbit dari perbuatan melawan hukum (onrechtmatige daad).

BAB III

PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN MENGENAI

PEMBAYARAN TANPA HUTANG, WAKIL TANPA KUASA,

DAN PERBUATAN MELAWAN HUKUM

7
3.1 Pembayaran Tanpa Hutang (overschuldigde betaling)

Pembayaran yang tidak terutang termasuk dalam perikatan yang lahir karena

undang-undang. Yang dimaksud dengan pembayaran di sini harus selalu berkaitan

dengan utang. Dengan demikian, apa yang dimaksud dengan pembayaran yang

tidak terutang akan selalu berkaitan dengan pasal-pasal sebagai berikut :

1. Pasal 1359 KUH Perdata, yang berbunyi :

(1) “Tiap-tiap pembayaran memperkirakan adanya suatu utang, apa

yang telah dibayarkan dengan tidak diwajibkan, dapat dituntut

kembali”.

(2) “Terhadap perikatan-perikatan bebas, yang secara sukarela telah

terpenuhi, tak dapat dilakukan penuntutan kembali”.

2. Pasal 1360 KUH Perdata, yang berbunyi :

“Barang siapa secara khilaf atau dengan mengetahuinya, telah menerima

sesuatu yang tak harus dibayarkan kepadanya, diwajibkan

mengembalikan barang yang tak harus dibayarkan itu kepada orang dari

siapa ia telah menerimanya”.

Dari ketentuan pasal tersebut, dapat dikatakan bahwa yang dimaksud

dengan pembayaran yang tidak terutang adalah seseorang yang membayar

tanpa adanya utang. Konsekuensi dari tindakan tersebut adalah seorang

yang melakukan pembayaran tanpa adanya utang, berhak menuntut

kembali apa yang telah dibayarkan. Dan yang menerima tanpa hak

mempunyai kewajiban untuk mengembalikan.

3. Pasal 1361 KUH Perdata, yang berbunyi :

8
“Jika seorang yang secara khilaf mengira bahwa ia berutang, membayar

suatu utang, maka ia adalah berhak menuntut kembali dari si berpiutang

apa yang telah dibayarkannya”.

Meskipun demikian, hak ini hilang jika si berpiutang sebagai akibat

pembayaran tersebut telah memusnahkan surat pengakuan berutangnya,

dengan tidak mengurangi hak orang yang telah membayar itu untuk

menuntutnya kembali dari orang yang sungguh-sungguh berutang.

4. Pasal 1362 KUH Perdata, yang berbunyi :

“Siapa yang, dengan itikad buruk, telah menerima sesuatu yang tidak

harus dibayarkan kepadanya, diwajibkan mengembalikannya dengan

bunga dan hasil-hasil, terhitung dari hari pembayaran, dan yang

demikian itu tidak mengurangi penggantian biaya, rugi dan bunga, jika

barangnya telah menderita kemerosotan”.

Jika barangnya telah musnah, meskipun ini terjadi di luar salahnya, maka

ia diwajibkan membayar harganya, dengan disertai penggantian biaya, rugi

dan bunga, terkecuali jika ia dapat membuktikan bahwa barang itu akan

musnah juga, seandainya ia berada pada orang kepada siapa ia seharusnya

diberikan.

Jadi, maksud dari istilah pembayaran dalam ketentuan-ketentuan tersebut

harus diartikan sebagai setiap pemenuhan prestasi. Harus diartikan secara

luas, tidak hanya pembayaran uang saja, akan tetapi juga penyerahan

barang, memberikan kenikmatan dan mengerjakan sesuatu pekerjaan.

Dalam hal sesuatu yang tidak mungkin dikembalikan, maka akan

diperhitungkan nilai harganya.

9
Dengan demikian. hal-hal yang harus diperhatikan dalam pembayaran yang

tidak terutang adalah :

1) Kekhilafan atau kekeliruan bukanlah merupakan syarat untuk menuntut

pengembalian pembayaran yang tidak terutang. Oleh karena itu

seseorang yang dengan sadar membayar tanpa adanya utang, berhak

menuntut pengembaliannya. Misalnya, seseorang yang telah membayar

utang, ditagih kembali untuk kedua kalinya, dan untuk menghindari

pertikaian ia membayar lagi sekalipun ia sudah tidak mempunyai utang.

2) Jika seseorang karena kekhilafannya mengira bahwa ia berutang dan

telah membayar utang tersebut, maka ia dapat menuntut kembali apa

yang ia telah bayarkan. Hak untuk menuntut kepada kreditur hilang, jika

surat pengakuan utang telah dimusnahkan setelah terjadinya pembayaran.

Sekalipun demikian orang yang telah membayar berhak untuk menuntut

pengembaliannya dari orang yang sebenarnya berutang.

3) Barang siapa dengan itikad buruk menerima sesuatu pembayaran tanpa

hak, harus mengembalikan hasil dan bunganya.

4) Orang yang menerima pembayaran yang tidak terutang juga harus pula

membayar ganti rugi jika nilai barangnya menjadi berkurang. Jika

barangnya musnah di luar kesalahannya, ia harus mengganti harga

barangnya beserta biaya, kerugian dan bunga, kecuali jika ia dapat

membuktikan bahwa barangnya tetap akan musnah sekalipun berada

pada orang yang berhak.

10
5) Barang siapa dengan itikad baik menerima pembayaran yang tidak

terutang dan telah menjual barang tersebut, maka ia hanya wajib

membayar kembali harganya.

6) Jika ia dengan itikad baik menghadiahkan barangnya kepada orang lain,

maka ia tidak wajib mengembalikan sesuatu apapun7.

3.2 Wakil Tanpa Kuasa (zaakwaarneming)

KUH Perdata tidak secara tegas memberikan rumusan pengertian dari

zaakwaarneming, namun maksud dari zaakwaarneming dapat dilihat dari Pasal

1354 KUHPerdata, yaitu :

“Suatu keadaan jika seseorang secara sukarela, dengan tidak mendapat

perintah untuk itu, mewakili urusan orang lain dengan atau tanpa

pengetahuan orang ini, maka ia secara diam-diam mengikatkan dirinya untuk

meneruskan serta menyelesaikan urusan tersebut, hingga orang yang diwakili

kepentingannya dapat mengerjakan sendiri urusan tersebu”.

Pengertian di dalam Pasal 1354 KUHPerdata pun disempurnakan di dalam

Nieuw Burgerlijk Wetboek (NBW) pada pasal 6:198, yang mengartikan

zaakwaarneming sebagai mengurus kepentingan orang lain dengan sengaja karena

didasari atas alasan yang layak tanpa ada kewenangan pengurusan baik

kewenangan dari suatu tindakan hukum atau dari undang-undang.

Dari kedua pengertian diatas, dapat disimpulkan beberapa poin unsur dari

zaakwaarneming yaitu sebagai berikut:

a) atas kepentingan orang lain;

b) secara sengaja dan suka rela;


7
R. Setiawan,Pokok-Pokok Hukum Perikatan,Setara Press, Malang,2016,hlm. 36

11
c) tidak mendapat perintah untuk itu;

d) dengan atau tanpa pengetahuan orang yang diurus kepentingannya;

e) adanya alasan yang layak; dan

f) bukan berdasarkan suatu tindakan hukum atau undang-undang.

Pengaturan mengenai zaakwaarneming di dalam KUHPerdata diatur di dalam

Pasal 1354 sampai dengan Pasal 1358. Di Belanda, pengaturan ini disempurnakan

dalam pasal 6:198 sampai dengan 6:202 NBW. Didalam zaakwaarneming

terdapat 2 (dua) pihak, yaitu gestor dan dominus.

1) Gestor, yaitu pihak yang melakukan atau mengurus kepentingan orang lain

secara sukarela tanpa ada kewenangan yang baik berasal dari suatu

tindakan hukum maupun undang-undang.

2) Dominus, yaitu pihak yang diurus kepentingannya oleh orang lain (gestor).

Dalam zaakwaarneming, terdapat beberapa syarat yang menandakan bahwa

peristiwa tersebut merupakan zaakwaarneming, yaitu :

1. Urusan atau kepentingan orang lain, yang harus menjadi syarat

zaakwaarneming adalah gestor harus dengan sadar, memiliki niat, dan

menghendaki untuk mengurus benda atau kepentingan orang lain. Harus

dibedakan antara mengurus benda atau kepentingan sendiri yang kebetulan

secara sekaligus juga bermanfaat bagi benda atau kepentingan orang lain

dengan mengurus benda atau kepentingan orang lain yang sekaligus juga

menguntungkan benda atau kepentingan diri sendiri. Dalam peristiwa yang

pertama, tujuan pokoknya adalah benda atau kepentingan sendiri sehingga

hal tersebut tidak dapat dikatakan sebagai zaakwaarneming. Sedangkan

dalam peristiwa yang kedua justru tujuan pokoknya adalah mengurus

12
benda atau kepentingan orang lain, sehingga apabila syarat-syarat lainnya

terpenuhi, keadaan kedua dapat dikatakan sebagai zaakwaarneming.

Atas kepentingan orang lain ini, Pasal 1354 KUHPerdata maupun

NBW tidak mengatur mengenai apakah gestor yang melakukan tindakan

tersebut harus dengan atas nama dominus atau dapat mengatasnamakan

dirinya sendiri. Sehingga, dalam zaakwaarneming tindakan yang

dilakukan gestor untuk mengurus kepentingan dominus dapat dilakukan

atas nama dirinya sendiri maupun atas nama dominus. Namun, Pasal 1357

KUHPerdata mengatur 2 (dua) hal, yaitu:

a) dominus harus memenuhi perikatan-perikatan yang muncul dari

tindakan pengurusan gestor yang dilakukan atas nama dominus;

dan;

b) dominus mengganti rugi pengeluaran untuk perikatan yang

dilakukan atas nama gestor dalam rangka mewakili kepentingan

dominus.

2. Secara sukarela, Zaakwaarneming harus dilakukan secara sukarela.

Tindakan mengurus kepentingan orang lain tersebut harus dilakukan atas

kemauannya sendiri pada saat pertama kali gestor melakukannya.

Tindakan ini tanpa didasari oleh kewajiban untuk melakukan hal tersebut

maupun adanya ketentuan undang-undang dan perjanjian yang mendasari

tindakan tersebut. Sesudah adanya tindakan sukarela yang pertama, maka

undang-undang mewajibkan gestor untuk meneruskannya sampai dominus

dapat mengurus kepetingannya sendiri. Sehingga sesudah tindakan

pertama, timbul kewajiban untuk meneruskan tindakan tersebut.

13
Kewajiban yang dimaksud disini adalah kewajiban hukum, baik yang

berdasarkan undang-undang maupun perjanjian, bukan kewajiban moril

yang mungkin ada dan mendasari perbuataan zaakwaarneming. Unsur

tidak ada kewajiban hukum inilah yang membedakan zaakwaarneming

dengan perjanjian pemberian kuasa ataupun perjanjian pemberian perintah

(lastgeving). Walaupun demikian, seorang kuasa atau lasthebber dapat

juga melakukan tindakan zaakwaarneming apabila hal yang dilakukannya

tidak termasuk dalam tindakan-tindakan yang dikuasakan oleh pemberi

kuasa atau lastgever.

3. Dengan tidak mendapat perintah, Tidak mendapat perintah dan secara

sukarela tidak selalu sama. Seseorang dapat mendapatkan perintah tetapi ia

menerima kewajiban tersebut secara sukarela. Syarat ini harus ditekankan

karena jika seseorang melakukan urusan orang lain berdasarkan kewajiban

yang ada padanya, hal tersebut merupakan lastgeving (jika berdasarkan

perjanjian) atau tindakan berdasarkan undang-undang, bukan

zaakwaarneming.

4. Dengan atau tanpa sepengetahuan dominus, Zaakwaarneming dapat

dilakukan dengan atau tanpa sepengetahuan dominus. Untuk keadaan

tanpa sepengetahuan dominus, tidak terdapat perdebatan mengenai ada

atau tidaknya zaakwaarneming. Karena gestor berarti memang secara

sukarela mengurus benda atau kepentingan dominus. Namun berbeda

halnya dengan zaakwaarneming yang terjadi dengan sepengetahuan

dominus. Apabila zaakwaarneming terjadi dengan sepengetahuan dominus,

akan sulit membedakan apakah hal tersebut memang zaakwaarneming atau

14
lastgeving. Letak perbedaannya adalah dalam lastgeving, terdapat

perjanjian dan ada penyataan kehendak untuk menyetujuinya.

Zaakwaarneming yang dilakukan dengan sepengetahuan dominus biasanya

sesudah berjalan beberapa waktu, lalu berubah menjadi perjanjian

lastgeving. Kalaupun zaakwaarneming dengan sepengetahuan dominus

dapat terjadi, perbedaan antara zaakwaarneming dan lastgeving adalah

dalam zaakwaarneming, pengurusan itu hanyalah dibiarkan atau ditolerir,

sedangkan dalam lastgeving pengurusan itu memang dikehendaki dan

kehendak itu walaupun tidak secara langsung, telah dinyatakan. Apabila

zaakwaarneming terjadi dengan pengetahuan si dominus, namun yang

terjadi adalah dominus telah menyatakan ketidaksetujuannya dengan

pengurusan tersebut, maka zaakwaarneming tersebut tidaklah sah.

5. Adanya alasan yang layak, Berdasarkan NBW hal lainnya yang penting

dari zaakwaarneming adalah adanya alasan yang layak untuk melakukan

hal tersebut. Ketiadaan alasan yang layak dapat berakibat tindakan tersebut

merupakan tindakan melawan hukum yang mewajibkan gestor untuk

memberikan ganti rugi kepada dominus yang dirugikan akibat tindakan itu.

Selain itu, gestor juga tidak berhak untuk menuntut penggantian biaya

yang sudah ia keluarkan. Gestor berhak untuk menetapkan jangka waktu

yang pantas kepada dominus untuk menilai apakah perbuatan gestor untuk

mengurus kepentingan dominus didasarkan atas adanya alasan yang layak

atau tidak.

15
6. Wujud tindakan, Baik KUHPerdata maupun NBW tidak merinci wujud

tindakan pengurusan dalam zaakwaarneming. Tindakan zaakwaarneming

dapat meliputi tindakan nyata maupun tindakan hukum8.

3.3 Perbuatan Melawan Hukum (onrechtmatige daad)

Istilah “perbuatan melawan hukum” dalam istilah bahasa Belanda disebut

dengan onrechtmatige daad. Untuk memahami konsep perbuatan melawan

hukum, perlu dibaca Pasal 1365 KUHPer yang sama rumusannya dengan Pasal

1401 BW Belanda yang menentukan sebagai berikut:

“Setiap perbuatan melawan hukum yang mengakibatkan kerugian pada orang

lain, mewajibkan orang yang karena kesalahannya yang menimbulkan

kerugian itu, mengganti kerugian tersebut”.

Berdasarkan pada rumusan Pasal ini, dapat dipahami bahwa suatu perbuatan

dinyatakan melawan hukum apabila memenuhi empat unsur berikut :

a. Perbuatan itu harus melawan hukum (onrechtmatige);

b. Perbuatan itu harus menimbulkan kerugian;

c. Perbuatan itu harus dilakukan dengan kesalahan; dan

d. Antara perbuatan dan kerugian yang timbul harus ada hubungan kausal.

Salah satu saja dari unsur-unsur di atas ini tidak terpenuhi, perbuatan itu tidak

dapat digolongkan perbuatan melawan hukum9.

Dari ketentuan Pasal 1365KUHPer ini, dapat diketahui bahwa suatu perbuatan

melawan hukum baru dapat dituntut penggantian kerugian apabila telah

memenuhi unsur-unsur sebagai berikut :10


8
J. Satrio, Hukum Perikatan (Perikatan yang Lahir dari Undang-Undang),Rajawali Pers,
Depok,2015, hlm 54
9
Abdulkadir Muhammad, Hukum Perdata Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2014,
hlm. 60
10
.N.H. Simanjuntak, Hukum Perdata Indonesia, (Jakarta: Prenadamedia Group, 2015),
hlm 56

16
A. Perbuatan itu harus melawan hukum

Suatu perbuatan adalah merupakan suatu perbuatan melawan hukum

apabila berlawanan dengan :

1. Hak orang lain, melanggar hak subjektif orang lain berarti melanggar

wewenang khusus yang diberikan oleh hukum kepada seseorang. Sifat

hakikat dari hak subjektif wewenang khusus yang diberikan oleh

hukum kepada seseorang yang memperoleh demi kepentingannya.

2. Kewajiban hukumnya sendiri, menurut pandangan yang berlaku saat

ini, hukum diartikan sebagai suatu keseluruhan yang terdiri dari

norma-norma yang tertulis maupun yang tidak tertulis. Yang dimaksud

dengan suatu tindakan atau kelalaian yang bertentangan dengan

kewajiban hukum si pelaku adalah suatu tingkah laku yang

bertentangan dengan suatu ketentuan undang-undang.

3. Kesusilaan yang baik, kaidah kesusilaan diartikan sebagai norma-

norma sosial dalam masyrakat, sepanjang norma tersebut diterima oleh

anggota masyarakat dalam bentuk peraturan-peraturan hukum yang

tidak tertulis.

4. Keharusan yang harus diindahkan dalam pergaulan hidup masyarakat

mengenai orang lain atau benda, dalam pengertian ini manusia harus

mempunyai tenggang rasa dengan lingkungannya dan sesama manusia,

sehingga tidak hanya mementingkan kepentingan pribadi tetapi juga

kepentingan orang lain sehingga dalam bertindak haruslah sesuai

dengan, ketelitian, dan kehati-hatian yang berlaku dalam masyarakat.

B. Perbuatan itu harus menimbulkan kerugian

17
Kerugian yang disebabkan oleh karena perbuatan melawan hukum dapat

berupa kerugian materiel (dapat dinilai dengan uang) dan kerugian

immateriel (tidak dapat dinilai dengan uang). Dengan demikian, kerugian

yang ditimbulkan karena perbuatan melawan hukum tidak hanya terbatas

pada kerugian yang ditujukan kepada kekayaan harta benda, tetapi juga

kerugian yang ditujukanpada tubuh, jiwa, dan kehormatan manusia.

1. Kerugian materil, kerugian materil dapat berupa kerugian yang nyata

diderita dari suatu perbuatan melanggar hukum yang dilakukan oleh

orang lain. Misalnya : kebakaran mobil penumpang akibat perbuatan

melawan hukum, mewajibkan si pembuat kerugian itu tidak hanya

membayar biaya perbaikan mobil tersebut, akan tetapi juga

bertanggungjawab untuk mengganti penghasilan mobil penumpang

itu yang akan diperoleh si pemilik sewaktu memperbaiki mobil

tersebut.

2. Kerugian immaterial, yang termasuk dalam kerugian immaterial

akibat perbuatan melawan hukum dapat berupa :

 Kerugian moral,

 Kerugian yang tidak dapat dihitung dengan uang.

C. Perbuatan itu harus dilakukan dengan kesalahan

Suatu kesalahan dapat berupa kesengajaan dan kelalaian. Kesengajaan

berarti seseorang melakukan suatu perbuatan dan perbuatan ini berniat

untuk membuat suatu akibat. Adapun kelalaian berarti seseorang tidak

18
melakukan suatu perbuatan, padahal menurut hukum ia harus berbuat atau

melakukan suatu perbuatan. Dengan kata lain dapat disimpulkan, bahwa:

1. Kesengajaan adalah melakukan suatu perbuatan, dimana dengan

perbuatan itu si pelaku menyadari sepenuhnya akan ada akibat dari

perbuatan tersebut.

2. Kelalaian adalah seseorang tidak melakukan suatu perbuatan, tetapi

dengan bersikap demikian pada hakikatnya ia telah melawan

hukum, sebab semestinya ia harus berbuat atau melakukan suatu

perbuatan. Jadi, ia lalai untuk melakukan suatu perbuatan yang

sebenarnya wajib melakukan suatu perbuatan.

D. Perbuatan itu harus ada hubungan kausal (sebab-akibat)

Hubungan kausal merupakan hubungan sebab-akibat antara perbuatan

melawan hukum dan kerugian. Hubungan kausal ini tersimpul dalam Pasal

1365 KUHPer yang mengatakan, bahwa perbuatan yang karena

kesalahannya menyebabkan kerugian. Dengan demikian, kerugian itu

harus timbul sebagai akibat dari perbuatan seseorang. Jika tidak ada

perbuatan (sebabnya), maka tidak ada kerugian (akibatnya).11

Dari uraian diatas dapat disimpulkan, bahwa akibat dari suatu perbuatan

melawan hukum adalah timbulnya kerugian. Kerugian sebagai akibat perbuatan

melawan hukum diharuskan supaya diganti oleh orang yang karena salahnya

menimbulkan kerugian itu atau oleh si pelaku perbuatan melawan hukum. Dengan

demikian Pasal 1365 KUHPer mengatur tentang kewajiban si pelaku perbuatan

melawan hukum mengganti kerugian yang timbul karenanya di satu pihak dan hak

untuk menuntut penggantian kerugian bagi orang yang diragukan. Dengan kata
11
Ibid.

19
lain, kerugian yang diderita oleh korban haruslah benar-benar sebagai akibat dari

perbuatan yang dilakukan oleh pelaku bukan oleh akibat perbuatan lain.

BAB IV

PENUTUP

4.1 Kesimpulan

Pengaturan mengenai pembayaran tanpa hutang dalam Kitab Undang-Undang

Hukum Perdata diatur dalam Pasal 1359 sampai dengan Pasal 1362. Pembayaran

20
tanpa hutang termasuk dalam perikatan yang lahir karena undang-undang. Yang

dimaksud dengan pembayaran yang tidak terutang adalah seseorang yang

membayar tanpa adanya utang.

Pengaturan mengenai wakil tanpa kuasa (zaakwaarneming) di dalam

KUHPerdata diatur di dalam Pasal 1354 sampai dengan Pasal 1358. Di Belanda,

pengaturan ini disempurnakan dalam pasal 6:198 sampai dengan 6:202 NBW.

Wakil tanpa kuasa yaitu mengurus kepentingan orang lain dengan sengaja karena

didasari atas alasan yang layak tanpa ada kewenangan pengurusan baik

kewenangan dari suatu tindakan hukum atau dari undang-undang.

Pengaturan mengenai perbuatan melawan hukum dalam Kitab Undang-

Undang Hukum Perdata diatur dalam Pasal 1365. Istilah “perbuatan melawan

hukum” dalam istilah bahasa Belanda disebut dengan onrechtmatige daad.

4.2 Saran

Masyarakat khususnya mahasiswa sebagai kaum intelektual hendaknya dapat

mencermati dan memahami dengan baik mengenai perikatan yang lahir dari

undang-undang agar dapat membedakan antara perikatan yang lahir dari

perjanjian dan perikatan yang lahir dari undang-undang yang diatur dalam

KUHPerdata.

21
DAFTAR PUSTAKA

Atmadja ,Djoko Imbawani.2016.Hukum Perdata.Jakarta : Sinar Grafika

Miru, Ahmadi dkk.2011.Hukum Perikatan (Penjelasan Makna Pasal 1233

sampai 1456 BW).Jakarta:Rajawali Pers

Windari, Ratna Artha.2017.Pengantar Hukum Indonesia.Depok:Rajawali Press

Subekti.2002.Pokok-Pokok Hukum Perdata.Jakarta:Intermassa

Setiawan,R. 2016. Pokok-Pokok Hukum Perikatan. Malang:Setara Press

Satrio,J.2015. Hukum Perikatan (Perikatan yang Lahir dari Undang-Undang).

Depok:Rajawali Press

Muhammad, Abdulkadir.2014. Hukum Perdata Indonesia. Bandung:Citra Aditya

Bakti

Simanjuntak,N.H.2015. Hukum Perdata Indonesia.Jakarta: Prenadamedia Group

Anda mungkin juga menyukai