LO
1. M definisi dan jenis-jenis euthanasia ( definisi secara etimiologis juga )
2. M euthanasia menurut pandangan semua agama ( pandangan bagaimana agama menghargai suatu
kehidupan sampai kematian )
3. M euthanasia menurut etika kedokteran
4. M euthanasia menurut hukum ( di Indonesia dan di Negara lain serta prosedur pelaksanaan euthanasia )
5. Solusi ( untuk dokter dan pasien )
Berdasarkan akibatnya, euthanasia aktif kemudian dibagi lagi menjadi dua golongan, yaitu :
euthanasia aktif langsung, yaitu cara pengakhiran kehidupan melalui tindakan medis yang diperhitungkan
akan langsung mengakhiri hidup pasien. Misalnya dengan memberi tablet sianida atau suntikan zat yang segera
mematikan
euthanasia aktif tidak langsung, yang menunjukkan bahwa tindakan medis yang dilakukan tidak akan langsung
mengakhiri hidup pasien, akan tetapi diketahui bahwa resiko dari tindakan tersebut dapat mengakhiri hidup
pasien. Misalnya mencabut oksigen atau alat bantu kehidupan lainnya
- Euthanasia pasif : scr sengaja tdk lagi memberikan perawatan/bantuan medik yg dpt memperpanjang
hdp penderita
- Auto – euthanasia : penolkan scr tegas olh pasien utk memperoleh bantuan/perawatan medik trhdp
dirinya, dan ia tahu pst bahwa hal itu akan memperpendek/mengakhiri hidupnya
5. Pseudo-euthanasia / euthanasia semu bntk pengakhiran khdpn yg mirip dgn euthanasia, tp sbnrnya bkn.
Bentuk2 pseudo-euthanasia yg diuraikan olh Professor Leenen yaitu:
a. Pengakhiran perawatan medik karena gejala mati otak/batang otak
- Dulu, berakhirnya pernapasan dan detak jantung, jd gejala utama utk nentuin kematian seseorang. Seiring
perkembangan tekno kedok, udah dibedain antar mati klinik dgn mati vegetative
- Dgn tekno kedok, skrg dimungkinkan jantung & paru2 ttp berfungsi scr otonom walaupun fungsi otak udh
berenti. Fungsi b’pikir dan merasakan pd manusia dpt berlangsung kalo otk msh berfungsi.
- Walau pernapasan dan denyut jantung msh ada, tp kalo otak gal g b’fungsi, maka khdpn scr intelektual dan
psikis/kejiwaan tlh berakhir
- Mati otak jd tanda bahwa org udah meninggal dunia dlm proses kematian
- Dgn keadaan spt yg disebutin di poin2 di atas, ga ada tindak euthanasia, karna sbnrnya pasien udah
meninggal dunia dgn tdk b’fungsinya otak, walaupun mgkn pernapasan dan detak jantung msh ada
6. Kalo pasien menolak perawatan/bantuan medis thdp dirinya, walaupun ia tau bahwa itu akan menyebabkan
kematiannya, maka itu disebt AUTO-EUTHANASIA
7.
LO 2 M euthanasia menurut pandangan semua agama ( pandangan bagaimana agama
menghargai suatu kehidupan sampai kematian )
1. Muslim yang menilai penderitaan sebagai cobaan dari Tuhan atau bahkan pembersihan diri sebelum menghadap
kepadaNya
2. Hanya Allah SWT yang dapat menentukan kapan seseorang lahir dan kapan ia mati. Bagi mereka yang menderita
bagaimanapun bentuk dan kadarnya Islam tidak membenarkan merenggut kehidupan baik melalui praktek
euthanasia apalagi bunuh diri.
3. Menurut tokoh Islam di Indonesia, seperti Amir Syarifuddin bahwa euthanasia adalah pembunuhan seseorang
bertujuan menghilangkan penderitaan si sakit
4. Surah Al-An’am ayat 151:
“Dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya) melainkan dengan sesuatu sebab
yang benar.”
5. Jadi hukum Islam dalam menanggapi euthanasia secara umum ini memberikan suatu konsep bahwa untuk
menghindari terjadinya euthanasia, utamanya euthanasia aktif umat Islam diharapkan tetap berpegang teguh pada
kepercayaannya yang memandang segala musibah (termasuk penderita sakit) sebagai ketentuan yang datang dari
Allah SWT. Hal ini hendaknya dihadapi dengan penuh kesabaran dan tawakal. Dan diharapkan kepada dokter untuk
tetap berpegang kepada kode etik kedokteran dan sumpah jabatannya.
6. Beberapa ulama memberikan suatu konsep tentang euthanasia secara khusus bagi penderita yang penyakitnya
menular. Contohnya saja bagi penderita AIDS, menurut AF. Ghazali dan salah seorang Ketua MUI Pusat HS.
Prodjokusumo mengatakan bahwa, mengisolasi penderita AIDS dipandang penyelesaian yang terbaik ketimbang
harus dihilangkan nyawanya (di euthanasia). Hal ini berarti bahwa kalau sedapat mungkin euthanasia dapat
dihindari, mengapa tidak dilakukan. Karena pepatah mengatakan dimana ada kemauan disitu pasti ada jalan. Kalau
dokter sudah menyerah untuk mengobati pasiennya lebih baik dikembalikan kepada keluarganya tanpa bermaksud
untuk menghentikan bantuan kepada si pasien.
LO 3 M euthanasia menurut etika kedokteran
1. Euthanasia aktif merupakan suatu tindakan yang dilarang sesuai dengan Kode Etik Kedokteran Indonesia Pasal 10
yang berbunyi: “Seorang dokter harus senantiasa mengingat akan kewajiban melindungi hidup makhluk insani.”
2. Euthanasia pasif dibolehkan jika dapat dibuktikan dengan tepat dan akurat berbagai ketentuan yang ada. Sebagai
contoh seperti: penyakit tersebut memang tidak dapat disembuhkan lagi (upaya medis tidak ada gunannya lagi jika
pengobatan itu diteruskan).
LO 4 M euthanasia menurut hukum ( di Indonesia dan di Negara lain serta prosedur
pelaksanaan euthanasia )
1. Pengaturan euthanasia terdapat dalam KUHPidana buku ke-dua Bab XIX tentang kejahatan terhadap nyawa orang,
Pasal 344 yang berbunyi:
“Barangsiapa menghilangkan nyawa orang atas permintaan sungguh-sungguh orang itu sendiri, dipidana dengan pidana
penjara selama-lamanya dua belas tahun.”
2. Euthanasia secara umum dibedakan menjadi dua macam, yaitu:
- Euthanasia aktif : suatu tindakan secara langsung dari dokter atas persetujuan pasien atau pihak
keluarga untuk mempercepat kematian pasien, agar terlepas dari penderitaan yang berkepanjang.
- Euthanasia pasif : suatu tindakan secara tidak langsung dari dokter atas persetujuan dari pasien atau
pihak keluarga untuk menghentikan segala upaya medis yang dianggap tidak memberikan perubahan terhadap
pasien.
EUTANASIA AKTIF
3. Euthanasia Aktif Dalam Pasal 344 KUHPidana kalau dicermati ada beberapa unsur yang terkandung di dalamnya yaitu:
- perbuatan: menghilangkan nyawa
- objek: nyawa orang lain
- atas permintaan orang itu sendiri
- yang jelas dinyatakan dengan sungguh-sungguh
Unsur-unsur di atas harus dapat dipenuhi untuk menyatakan suatu perbuatan itu merupakan tindakan
euthanasia. Oleh karena itu, unsur-unsur tersebut harus dapat dibuktikan guna untuk memastikan perbuatan itu
memang merupakan tindakan euthanasia
Permintaan itu berupa pernyataan kehendak yang ditujukan pada orang lain, agar orang lain itu melakukan
perbuatan tertentu bagi kepentingan orang yang meminta. Adapun bagi orang yang diminta, terdapat kebebasan
untuk memutuskan kehendaknya, apakah permintaan korban yang jelas dan dinyatakan dengan sungguh-sungguh itu
akan dipenuhi atau tidak
Apabila seorang dokter menyetujui apa yang diminta oleh pasiennya (permintaan mati) secara langsung maka,
dokter dapat dikenakan Pasal 344 KUHPidana.
( kasus pemicu : dokter sudah melanggar pasal 344 KUHPidana karena dia menyetujui permintaan pasien yang
meminta euthanasia secara langsung. Kan si pasien sebelumnya yg minta langsung buat jangan diresusitasi kalo dia
ga sdrkan diri )
Tindakan tersebut tentunya sudah dapat dibuktikan sebelumnya dan perbuatan itu pun sudah terjadi serta
tindakan dokter tersebut telah memenuhi syarat-syarat pemidanaan seperti:
Sudah ada pengaturannya terlebih dahulu
adanya perbuatan
perbuatan tersebut memang melanggar hukum
adanya kesalahan
dapat dipertanggung jawabkan
4. Dalam perbuatan menghilangkan nyawa (orang lain) terdapat tiga syarat yang harus dipenuhi yaitu:
adanya wujud perbuatan
adanya suatu kematian
adanya hubungan sebab dan akibat (causal verband) antara perbuatan dan akibat kematian.
5. Selain itu, dokter juga sudah melanggar ketentuan Kode Etik Kedokteran Indonesia, sesuai dengan Pasal 10, yang
berbunyi:
“Seorang dokter harus senantiasa mengingat akan kewajiban melindungi hidup makhluk insani.”
6. Jadi, euthanasia aktif dilarang di Indonesia. Maka, terhadap pelaku (dokter) dapat dimintai pertanggungjawaban
pidana dan dapat dituntut sesuai dengan Pasal 344 KUHP dengan hukuman penjara selama-lamanya dua belas
tahun.
7. Trus gimana kalau PASIENNYA KOMA?
“naluri terkuat dari setiap mahluk hidup selalu ingin mempertahankan hidupnya”
Jd, kalo pasiennya koma, dia pasti jg ga pengen hdpnya diakhiri. JIKA PIHAK KELUARGA TETAP MENDESAK DOKTER
untuk melakukan euthanasia maka pihak keluarga dapat dituntut berdasarkan uitlokking Pasal 55 KUHPidana
8. Uitlokking merupakan bahasa Belanda yang sama artinya dengan flaterry dalam bahasa Inggris yang berarti bujukan
Adapun bunyi dari Pasal 55 KUHPidana, yaitu:
Dihukum seperti pelaku dari suatu perbuatan yang dapat dihukum:
- Orang yang melakukan, yang menyuruh melakukan atau yang turut melakukan perbuatan itu.
- Orang yang memberikan upah, perjanjian, salah memakai kekuasaan atau martabat, memakai paksaan,
ancaman atau tipu karena memberi kesempatan, ikhtiat atau keterangan, dengan sengaja menghasut supaya
perbuatan itu dilakukan
9. euthanasia aktif dilarang di Indonesia, karena itu merupakan perbuatan yang menghilangkan nyawa manusia
meskipun mati itu merupakan permintaan dari pasien sendiri.
EUTANASIA PASIF
10. Euthanasia pasif merupakan pemberhentian seluruh upaya medis yang ada karena upaya-upaya tersebut dianggap
tidak dapat membantu meringankan penderitaan pasien
11. Euthanasia pasif dibagi jd 3 klmpk:
Euthanasia pasif atas permintaan pasien
Euthanasia pasif atas permintaan pasien ini, berkaitan erat dengan hak-hak pasien seperti yang terdapat dalam
Undang-undang Nomor 29 Tahun 2004 Pasal 52 yang berbunyi:
Pasien, dalam menerima pelayanan pada praktek kedokteran, mempunyai hak:
- Mendapatkan penjelasan secara lengkap tentang tindakan medis sebagaimana dimaksud dalam pasal 45 ayat 3
- Meminta pendapat dokter atau dokter gigi.
- Mendapatkan pelayanan sesuai dengan kebutuhan medis.
- Menolak tindakan medis, dan
- Mendapatkan isi rekam medis.
Apabila pasien telah meminta dokter untuk melakukan euthanasia pasif atas dirinya, maka berarti ia
telah menjalankan haknya, yaitu hak untuk menghentikan pengobatan. Dengan demikian, pasien yang
bersangkutan sudah tidak peduli dengan resiko kematiannya.
Dalam hal ini, dokter tidak lagi kompeten untuk melakukan pengobatan terhadap pasiennya. Walaupun
pasien yang bersangkutan segera meninggal dunia setelah dilakukan euthanasia pasif, dokter tetap bebas dari
tuntutan hukum, karena tidak terdapat strafbaarfeit pada dirinya
Apabila DOKTER DAPAT MEMBUKTIKAN bahwa tindakan medik yang akan dilakukan itu sudah tidak ada
gunanya lagi, maka dokter bebas dari tuntutan hukum. Sebaliknya apabila DOKTER TIDAK DAPAT
MEMBUKTIKAN bahwa tindakan medik yang akan dilakukannya sudah tidak ada gunanya lagi, maka dokter
dapat dijerat dengan Pasal 304 dan 306 (2) KUHP
Pasal 304 menyatakan: “Barangsiapa dengan sengaja menempatkan atau membiarkan seseorang dalam
keadaan sengsara, padahal menurut hukum yang berlaku baginya atau karena persetujuan, dia wajib
memberikan kehidupan, perawatan atau pemeliharaan terhadap orang itu, diancam dengan pidana penjara …”
Pasal 306 (2) menyatakan: “Apabila salah satu perbuatan tersebut menyebabkan orang itu meninggal,
maka ia dihukum dengan hukuman penjara selamalamanya Sembilan tahun.”
Ada juga Pasal 531 KUHP yg menyatakan: “Barangsiapa ketika menyaksikan bahwa ada orang yang
sedang menghadapi maut, tidak memberi pertolongan yang dapat diberikan padanya tanpa selayaknya
menimbulkan bahaya bagi dirinya atau orang lain, diancam jika kemudian orang itu meninggal dunia …”
“tanpa sikap” pasien apabila keadaan pasien sudah dalam tak sadarkan diri (koma). Hal itu berarti tanpa
diketahui apa kehendak pasien yang sebenarnya. Tanpa sikap ini dapat juga berarti bahwa pasien masih dalam
keadaan sadar. Akan tetapi, ia sendiri tidak dapat menentukan sikapnyaPada prinsipnya pengertian “tanpa
permintaan” dengan “tanpa sikap” pasien hampir sama. Dengan demikian, akibat hukum yang ditimbulkan antara
keduanya tidak ada perbedaan yang prinsipil pula.
12. Kalau dokter ga ngelakuin apapun trus pasien meninggal, dokter kena pasal 304 KUHPidana. Sebaliknya kalo ia
nurutin permintaan pasien utk mati (euthanasia aktif), dia kena pasal2 KUHO khususnya pasal 344.
LO 5 Solusi ( untuk dokter dan pasien )
http://nationalgeographic.co.id/ 5 Agustus 2014
Tuntutan Ryan dan Soal Kebijakan Eutanasia di Indonesia
Ignatius Ryan Tumiwa (48), warga Jakarta Barat, mengajukan permohonan uji materi Kitab Undang-undang
Hukum Pidana (KUHP) Pasal 344 terhadap Undang-undang Dasar 1945 ke Mahkamah Konstitusi. Pasal tersebut, yang
berbunyi “Barang siapa merampas nyawa orang lain atas permintaan orang itu sendiri yang jelas dinyatakan dengan
kesungguhan hati, diancam dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun”, dianggap menghalangi niatnya untuk
menyuntik mati diri sendiri.
Seperti dilansir Warta Kota, Senin (4/8), Ryan Tumiwa hidup sebatang kara dan tanpa pekerjaan. Sejak ditinggal
ayahnya yang bernama Thu Indra (88) pada 2012, ia merasa depresi berat. Ia mulanya pergi ke Komnas HAM, bertanya
soal pemberian tunjangan negara.Lantaran itu tak ditanggapi, kemudian terlintas ide untuk ke Departemen Kesehatan
minta disuntik mati, terganjal karena di Indonesia tak ada hukum yang mengatur. Saat ini, dirinya lebih memperjuangkan
suntik mati bukan lagi tunjangan bagi penganggur.
Euthanasia sampai saat ini masih dipandang tidak sesuai etika yang dianut bangsa, sehingga Indonesia tidak
melegalkannya: Eutanasia melanggar hukum positif yang masih berlaku yakni KUHP.
Di Indonesia, kasus eutanasia pernah mencuat pada pengujung 2004, saat Hasan Kesuma, suami dari Agian Isna
Nauli, mengajukan ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat untuk mengakhiri penderitaan istrinya. Namun permohonan itu
ditolak oleh pengadilan.
Hasan mengajukan upaya permohonan eutanasia karena "tidak tega menyaksikan Agian yang telah tergolek
koma selama dua bulan", di samping itu ketidakmampuan untuk menanggung beban biaya perawatan merupakan suatu
alasan pula. Kasus ini salah satu contoh bentuk eutanasia yang di luar keinginan pasien.
Menanggapi permasalah eutanasia ini, pakar hukum pidana, Indriyanto Seno Adji, dalam sebuah artikel yang
dilansir laman hukumonline.com, tindakan eutanasia harus memenuhi parameter medis yang diatur dengan tegas,
bukan karena alasan sosial-ekonomi. Menurutnya, sifat limitatif ini untuk mencegah agar nantinya pengajuan eutanasia
tidak sewenang-wenang.
Tetapi sementara dalam kasus lain pada tahun 2005, seorang pasien bernama Siti Julaeha kemungkinan adalah
korban malpraktik. Kondisi Siti Julaeha yang tak sadarkan diri sejak usai menjalani operasi kandungan di rumah sakit di
Jakarta Timur, diduga akibat malpraktik. Rudi Hartono, sang suami, bersama keluarga besar Siti Julaeha, telah meminta
pihak Lembaga Bantuan Hukum Kesehatan dalam pengajuan permohonan eutanasia. "Keputusan ini benar-benar jalan
yang terbaik untuk semua," katanya kepada TEMPO.co, waktu itu.