Anda di halaman 1dari 6

PEMBIAYAAN PEMBANGUNAN :

Kaitannya dengan fungsi Bappenas


Kennedy Simanjuntak
(Staf pada Biro Analisis dan Formulasi Pembiayaan, Bappenas)

Pengantar :
Bahan tulisan ini merupakan hasil diskusi diantara rekan-rekan Bappenas. Terimakasih
atas komentar-komentar yang telah diberikan rekan-rekan, khususnya sdr. Tamtama, Syafril,
Junaidi, Yudo, Toto, Icha dan rekan-rekan lain. Namun demikian, isi tulisan ini merupakan
tanggungjawab penulis, dan tidak harus mencerminkan pandangan Biro Analisis dan Formulasi
Pembiayaan, Bappenas.

APBN dan Anggaran Pembangunan

• Format penampilan APBN akan sangat berpengaruh dalam


memberikan/menangkap informasi yang tersaji. Sampai dengan tahun
anggaran 1999/2000, format APBN disusun dalam bentuk T (T-account)
seperti diperlihatkan pada lampiran 1. Dalam format APBN yang demikian,
tidak ditunjukkan apakah anggaran pemerintah dalam posisi defisit atau
surplus. Pemerintah menyatakan dalam “anggaran berimbang”, seluruh
pengeluaran dibiayai oleh penerimaan. Konsekuensinya, pinjaman luar negeri
disebut sebagai Penerimaan Pembangunan.
• Sebagai usaha meningkatkan transparansi pengelolaan keuangan negara, maka
sejak tahun anggaran 2000, pemerintah merubah penampilan APBN dari
bentuk T-account kedalam bentuk Staple, seperti terlihat dalam lampiran 2.
Dalam model ini terlihat dengan jelas bahwa posisi keuangan negara dalam
keadaan defisit. Disamping itu, dalam tabel tersebut juga ditunjukkan
bagaimana pemerintah menutup defisit tersebut.
• Sejalan dengan pelaksanaan otonomi daerah, maka dalam tahun anggaran
2001, pemerintah kembali melakukan penyempurnaan dalam penampilan APBN.
Apabila pada waktu-waktu yang lalu, anggaran yang di-transfer kedaerah
dibagi dalam (a) anggaran rutin daerah, dan (b) anggaran pembangunan yang
dikelola daerah, maka sejak RAPBN 2001, anggaran yang di-transfer ke
daerah dirubah menjadi Dana Perimbangan. Perubahan ini menunjukkan
peningkatan otonomi daerah dalam pengelolaan keuangannya.
• Suatu hal yang menarik dalam seluruh format penampilan APBN di atas,
adalah dikelompokkannya pengeluaran pemerintah (pusat) kedalam
pengeluaran rutin dan pengeluaran pembangunan.
• Apabila dikaitkan dengan fungsi Bappenas, maka pola penampilan yang
demikian, memberikan (salah satu) justifikasi kepada Bappenas untuk
menyusun arah penggunaan anggaran pembangunan.

1
• Hal tersebut di atas sesuai dengan fungsi Bappenas, yang salah satu butirnya
menyatakan “bersama-sama dengan Departemen Keuangan menyusun RAPBN”.
• Kondisi di atas memberikan keuntungan dan kerugian dalam menentukan posisi
Bappenas.

• Keuntungan :
a. Bappenas mempunyai kepastian mengenai besarnya dana pembangunan yang
akan diarahkan.
b. Mempunyai posisi yang kuat dalam menentukan arah pembangunan.
c. Diajak oleh lembaga lain dalam menyusun kebijakan, khususnya apabila
kebijakan tersebut mengakibatkan dampak anggaran pemerintah. Dengan
demikian, ada kesempatan bagi Bappenas menyampaikan pandangan atau
pemikiran yang berkembang di Bappenas.
• Kerugian :
a. Bappenas terperangkap hanya mengelola anggaran pembangunan, tanpa
memikirkan berbagai sumber pembiayaan yang lain.
b. Hanya memikirkan pelaksanaan proyek pembangunan tanpa memikirkan
kinerja lembaga pelaksana pmbangunan (Departemen/Lembaga).
Padahal kinerja suatu lembaga harus dilihat dari seluruh input yang
dimasukkan kedalam lembaga tersebut. Dengan memisahkan anggaran
pembangunan dan anggaran rutin maka sulit dilakukan evaluasi terhadap
kinerja suatu lembaga.
c. Terlibat dalam pengelolaan anggaran, yang memungkinkan Bappenas secara
langsung atau tidak langsung terlibat dalam penyalah gunaan keuangan
negara.
d. Bappenas dapat dituduh sebagai “big spender” khususnya dalam kaitan
dengan penggunaan pinjaman luar negeri, karena pengusulan pinjaman luar
negeri disiapkan Bappenas.

Pengelompokan anggaran pembangunan : Pusat dan Daerah

• Hingga tahun 2000, anggaran pemabangunan dikelompokkan dalam anggaran


pembangunan yang dikelola (a) pusat dan (b) daerah.
• Dengan pola pengelompokan yang demikian, disamping memberikan arah
penggunaan anggaran pembangunan pemerintah pusat, pada wkatu yang lalu
ada alat (kesempatan) bagi Bappenas untuk turut dalam mengatur arah
pembangunan yang dilakukan oleh pemerintah daerah, yang disebut dengan
Dana Pembangunan Daerah (dahulu Inpres).
• Sejalan dengan akan dilaksanakannya otonomi daerah, maka pemerintah
daerah dapat mengatur sendiri anggaran pendapatannya. Sesuai dengan
undang-undang 25 tahun 1999, alokasi anggaran untuk daerah disebut dengan

2
Dana Perimbangan (Bagi Hasil, dana Alokasi Umum. Dana Alokasi Khusus).
Mulai RAPBN 2001, anggaran yang didaerahkan tidak lagi dikelompokkan
menjadi anggaran rutin dan anggaran pembangunan, melainkan digabungkan
dalam Dana Perimbangan.
• Dengan adanya undang-undang tersebut, membuat Bappenas menjadi
“gamang”, apakah Bapppenas masih terlibat dalam memberikan arah
penggunaan atau menyusun alokasi Dana Perimbangan tersebut.
• Kondisi ini membuat hingga saat ini, belum ada suatu lembaga-pun yang
memerinci Dana Perimbangan tersebut kedalam alokasi per-propinsi atau
kabupaten/kota.
• Undang-undang 25/1999 menyatakan alokasi Dana Perimbangan disusun oleh
Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah (DPOD). Namun perlu diketahui, bahwa
DPOD ini bersifat ad-hoc yang diketuai oleh Menteri Dalam Negeri. Oleh
sebab itu, menurut hemat kami perlu ada lembaga yang operasional
memberikan input terhadap Dewan tersebut dalam menyusun berbagai arahan
dalam alokasi dana perimbangan. Apakah Bappenas dapat memberikan
kontribusi yang positif ?

Klasifikasi Anggaran Pembangunan

• Untuk memudahkan dalam pengelolaan anggaran pembangunan, klasifikasi


anggaran pembangunan disusun menurut (a) Bagian Anggaran dan (b)
Sektor/Sub Sektor
• Bagian anggaran adalah jumlah anggaran yang menjadi tanggung jawab suatu
departemen/lembaga. Anggaran yang tidak dapat dikelompokkan kedalam
bagian anggaran departemen/lembaga dimasukkan kedalam Bagian anggaran
16, misalnya seperti untuk kegiatan pembangunan yang bersifat lintas
sektoral (Pengembangan Kawasan Timur Indonesia), Pengeluaran untuk
BUMN, Pinjaman untuk daerah, dll.
• Disamping menurut Bagian Anggaran (Departemen/Lembaga), klasifikasi
anggaran juga dapat dilakukan menurut fungsi anggaran menurut sektor/sub
sektor.

Proses Penyusunan Anggaran Pembangunan

• Mulai penyusunan RAPBN tahun anggaran 2001, proses pengusulan anggaran


pembangunan menggunakan dokumen Daftar Rencana Progam (bukan lagi
Daftar Usulan Proyek/DUP). Hal ini sesuai dengan perkembangan yang ada
bahwa Bappenas tidak lagi menyusun daftar proyek. Penyusunan alokasi per
proyek dilakukan oleh Departemen/Lembaga.
• Berdasarkan usulan Departemen/Lembaga tersebut, biro-biro di Bappenas
melakukan evaluasi menurut sektor/sub sektor/program untuk tiap Bagian

3
Anggaran. Usulan biro tersebut dikompilasi untuk dibahas dalam oleh
pimpinan Bappenas.
• Penyusunan alokasi untuk tiap sektor/sub sektor maupun Bagian Anggaran
memperhatikan prioritas yang ada dalam GBHN, Propenas, Repeta dan
arahan-arahan pemerintah dikaitkan dengan ketersediaan anggaran
pembangunan.
• Hal yang selalu menjadi perhatian adalah bagaimana menerjemahkan arahan
GBHN, Propenas, Repeta menjadi alokasi. Dalam dokemen tersebut tidak ada
arahan yang secara tegas menyatakan sektor atau program yang lebih
prioritas.
• Berbeda dengan anggaran yang bersumber dari Rupiah Murni, alokasi
pinjaman proyek dalam RAPBN adalah proyeksi penarikan pinjaman yang
direncanakan dapat dilakukan dalam tahun anggaran yang bersangkutan.
Proses penentuan proyek yang mendapat alokasi pinjaman luar negeri
melibatkan berbagai pihak diluar Bappenas, khususnya donor. Proses
penentuan proyek yang mendapat alokasi pinjaman luar negeri ini seharusnya
selalu memperhitungkan dampak pinjaman tersebut kedalam APBN.
• Alokasi anggaran menurut sektor/sub sektor tersebut di bahas bersama oleh
pimpinan Bappenas. Usulan Bappenas tersebut, kemudian dibahas dalam
sidang kabinet bidang Perekonomian (dahulu Ekuin). Hasil sidang kabinet
bidang Ekuin tersebut kemudian dibahas dalam sidang kabinet paripurna.
• Hasil sidang kabinet paripurna tersebut kemudian dicantumkan kedalam Nota
Keuangan untuk disampaikan ke DPR. Hasil pembahsan dengan DPR
menghasilkan undang-undang APBN yang berisi alokasi anggaran menurut
sektor/sub sektor.

Kaitan dengan Good Governance :

• Hingga saat ini, bebagai biaya O&P masuk dalam alokasi anggaran
pembangunan, karena anggaran rutin hanya menampung gaji/upah dan biaya
operasi. Apabila biaya O&P dimasukkan anggaran rutin maka anggaran
pembangunan akan sangat berkurang.
• Bagaimana menilai/mengukur perencanaan ? Harus ada justifikasi yang jelas
dan dapat dipertanggungjawabkan dalam alokasi maupun dalam persetujuan
suatu rencana.
• Sasaran APBN/rencana harus makin terukur. Dalam Propenas/Repeta telah
dikembangkan berbagai indikator kinerja, namun dalam penyusunan rencana
terlihat bahwa penyampaian sasaran dalam Propenas lebih kualitatif
dibandingkam dengan Repelita dahulu. Dengan pola yang demikian, maka
pengukuran pencapaian Propenas akan sulit.

4
• Disamping itu, keterkaitan program Propenas, program Repeta dan program
APBN harus diperjelas. Keterkaitan ini akan memberikan arahan yang lebih
baik dalam penyusunan alokasi anggaran dalam APBN.
• Pelayanan : Harus dipertimbangkan unsur pelayanan dalam pembagian tugas
dan fungsi biro dalam hal penanggung jawab program vs. penanggung jawab
departemen/lembaga. Contoh : dalam penyediaan airport tax.

Hal-hal yang perlu mendapat perhatian dalam kaitan dengan pembiayaan


pembangunan:

• Untuk lebih mempertajam penyusunan alokasi anggaran pembangunan, perlu


pengkajian yang terus menerus mengenai PP 25/2000 perihal pembagian
wewenag dan tanggungjawab pemerintah daerah (kabupaten/kota, propinsi
dan pusat)
Ketidakjelasan tersebut terlihat dari kekisruhan debat masalah alokasi
anggaran pendidikan di media massa beberapa waktu yang lalu. Berbagai pihak
menuntut alokasi pendidikan di dalam RAPBN 2001 mencapai 10% dari PDB,
pada akhirnya menurun menjadi 25% dari volume RAPBN 2001.
a. Apabila dilihat dari pembagian tugas dan wewenang, hampir seluruh tugas
dan wewenang pendidikan ada pada pemerintahan daerah. Jadi tuntutan
tersebut seharusnya menjadi perhatian Pemda untuk mengalokasikan Dana
perimbangan untuk sektor pendidikan.
Dilihat dari alokasi sektor pendidikan untuk tiga tahun terakhir sbb. :

Sumber 199/2000 2000 *) % 2001 %

Rutin 6.045,2 6.454,4 6,8 4.046,0 -37,9


Pembangunan 8.381,3 5.396,8 -35,6 7.266,5 34,6
Jumlah 14.426,5 11.851,2 -17,9 11.312,5 -4,5

*) Tahun anggaran berlangsung 9 bulan


Dilihat dari angka di atas, apabila dibandingkan dengan tahun 2000, maka
alokasi anggaran untuk sektor pendidikan.
b. Apabila dilihat dari penerimaan dalam negeri RAPBN 2001.
Penerimaan dalam negeri sebesar Rp 243,0 Triliun. Tuntutan alokasi
untuk sektor pendidikan sebesar 25% dari penerimaan dalam negeri adalah
Rp 60,75 T. Padahal total anggaran pembangunan yang tersedia tahun
2001 hanya sebesar Rp 33,3 T.
• Perlu meningkatkan keterkaitan antar unit organisasi didalam Bappenas.
Sebagai contoh hasil kajian dari Model Makroekonomi yang dikembangkan di

5
Bappenas seharusnya dapat memperkaya kemampuan biro sektoral dalam
menyusun berbagai kebijakan sektor-sektor.

Beberapa penyempurnaan yang dapat dikembangkan :

• Keterkaitan program Propenas, program Repeta dan program APBN harus


diperjelas. Keterkaitan ini akan memberikan arahan yang lebih baik dalam
penyusunan alokasi anggaran dalam APBN.
• Propenas atau Repeta perlu memberikan arahan mengenai prioritas kegiatan
yang akan dibiayai oleh anggaran pemerintah.
• Perlu dikembangkan sistem kerja di Bappenas dari “orientasi proyek” menjadi
“orientasi kinerja”. Orientasi kinerja dapat dilakukan dengan mengukur
kinerja “program/proyek” atau kinerja lembaga. Dalam jangka pendek,
mungkin dapat dikembangkan pengukuran kinerja proyek/program. Tetapi
dalam jangka panjang harus dikembangkan pengukuran kinerja lembaga.
• Dengan pengukuran kinerja suatu proyek/program, maka ketrkaitan anggaran
pembangunan dengan pembiayaan lain akan lebih jelas. Contoh : dalam
pembangunan sektor pertanian, berbagai pembiayaan dilakukan pemerintah,
yaitu melalui kredit program (KUT/Koperasi) dan subsidi pupuk/benih.
Anggaran pembangunan dan pembiayaan tersebut harus dikaitkan dalam
tingkat program pembangunan pertanian.
• Sistem administrasi pembiayaan perlu dirubah, dari DIP menjadi dokumen
proyek. Bappenas harus melihat keseluruhan input maupun output yang
diterima proyek atau Departemen/Lembaga. Dalam terminologi “Proyek”
dapat dilihat sumber-sumber pembiayaan dan pelaku serta sasaran yang akan
dicapai. Bappenas melakukan persetujuan atas alokasi anggaran untuk proyek
(bukan DIP).
• Usulan agar Bappenas untuk melepaskan tidak mengurusi anggaran
pembangunan, dan hanya menjadi policy research sangat menarik secara
intelektual. Namun dalam pandangan praktis, tanpa kemampuan anggaran,
maka berbagai pemikiran yang berkembang di Bappenas akan sulit
diimplementasikan. Oleh sebab itu, kemampuan dalam policy research harus
dikembangkan tanpa melepas fungsi pengelolaan anggaran pembangunan.
Yang lebih penting, Bappenas harus dapat menjelaskan dampak dari anggaran
pembangunan terhadap perekonomian nasional.

Anda mungkin juga menyukai