OLEH:
MIRNA WIDASRI (16/402578/PFA/01642)
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Teofilin
Teofilin [(3,7-dihidro-1,3-di-metilpurin-2,6-(1H)-dion] atau 1,3-dimetilxantin
salah satu obat yang memiliki indeks terapi sempit yaitu 8-15 mg/L darah. Potensi
toksisitasnya telah diketahui berhubungan dengan kadar teofilin utuh dalam darah
yaitu >20 mg/L (Dollery, 1991). Rasio ekstraksi hepatik teofilin termasuk rendah,
yakni 0,09 (Shargel dan Yu, 2005), oleh karena itu, efek potensialnya ditentukan oleh
keefektifan sistem oksidasi sitokrom P450 di dalam hati (Dollery, 1991). Menurut
Rahmatini et al. (2004) teofilin dimetabolisme oleh enzim mikrosom hepar sitokrom
P450 CYP 1A2. Teofilin merelaksasi langsung pada otot polos jalur pernafasan,
sehingga mengatasi bronkospasme. (McEvoy, 2004).
Mekanisme kerja teofillin menghambat enzim nukleotida siklik fosfodiesterase
(PDE). PDE mengkatalisis pemecahan AMP siklik menjadi 5’- AMP dan GMP siklik
menjadi 5’-GMP. Penghambatan PDE menyebabkan penumpukan AMP siklik dan GMP
siklik, sehingga meningkatkan tranduksi sinyal melalui jalur ini. Teofilin merupakan
suatu antagonis kompetitif pada reseptor adenosin, kaitan khususnya dengan asma adalah
pengamatan bahwa adenosin dapat menyebabkan bronkokonstriksi pada penderita asma
dan memperkuat mediator yang diinduksi secara imunologis dari sel must paru-paru
(Goodman & Gilman, 2007). Teofilin merupakan perangsang SSP yang kuat, merelaksasi
otot polos terutama bronkus ( Ganiswarna, 1995).
Dosis pemeliharaan untuk teofilin non-sustained release adalah 200-300 mg, 3-4
kali sehari atau 200-400mg, 2 kali sehari untuk sediaan sustained released. Kadar
terapetik plasmanya adalah 5-20 mg/L. Konsentrasi serum 10 –20 mcg/ml diperlukan
untuk menghasilkan respon bronkodilator optimum. Teofilin diabsorbsi dengan cepat dan
lengkap, sehingga kadar puncak serum dicapai kira-kira hanya 1 - 2 jam setelah
penggunaan oral. Volume distribusinya mencapai 0,5 L/kg dan mengikuti model 2
kompartemen. Pada berat badan ideal, klirens teofilin rata-rata 0,04 L/kg/hari. Tetapi,
sebenarnya angka ini sangatlah bervariasi karena banyak hal yang dapat
meningkatkannya, seperti kondisi obesitas, merokok, diet dan penyakit hati. Begitu juga
dengan t1/2 nya, dimana pada pasien dewasa mencapai 8 jam (Winter, 2004). Dosis terapi
teofilin untuk manusia dalam sehari maksimal 300 mg (Dipiro, 2006). Efek samping
teofilin merupakan kelanjutan dari efek farmakologik. Pada kadar serum sekitar 10 pg/ml
yang merupakan efek terapi, pada beberapa orang telah timbul efek samping ringan
seperti mual, kadang- kadang muntah atau sakit kepala. Pada kadar di atas 15 pg/ml efek
samping menjadi lebih berat, seperti takikardi. Sedangkan di atas 20 pg/ml dapat terjadi
konvulsi (Sukasediati, 1988). Efek samping terpenting berupa mual dan muntah, baik
pada penggunaan oral maupun rektal atau parenteral. Pada dosis berlebih terjadi efek-
efek sentral (gelisah, sukar tidur, tremor,dan konvulsi) dan gangguan pernafasan, juga
efek-efek kardiovaskuler seperti takikardia, aritmia, dan hipotensi. Anak kecil sangat
peka terhadap efek samping teofilin. Dosis : oral 3-4 x sehari 125- 250 mg microfine
(retard) (Tjay dan Raharja, 2007).
2.5. Maltodekstrin
Maltodekstrin merupakan salah satu produk hasil hidrolisa pati dengan
menggunakan asam maupun enzim, yang terdiri dari campuran glukosa, maltosa,
oligosakarida, dan dekstrin (Deman, 1993). Lloyd dan Nelson, 1984 dan Kennedy et
al, 1995 dalam ebook pangan menyatakan bahwa produk hasil hidrolisis enzimatis
pati mempunyai karakteristik yaitu tidak higroskopis, meningkatkan viskositas
produk, mempunyai daya rekat, dan ada yang dapat larut dalam air seperti laktosa.
Karakteristik maltodekstrin yang dihasilkan sangat dipengaruhi oleh karakteistik
tepung yang digunakan dan proses yang dipilih. Maltodekstrin dapat diproduksi
dengan tiga macam proses, yaitu secara enzimatis, basah dan proses kering (ebook
pangan, 2006).
Maltodekstrin didefinisikan sebagai suatu produk hidrolisis pati parsial yang
dibuat dengan penambahan asam atau enzim, yang mengandung unit α-D-glukosa
yang sebagian besar terikat melalui ikatan (1,4) glycosidic. Maltodekstrin merupakan
campuran dari glukosa, maltosa, oligosakarida, dan dekstrin. Rumus umum
maltodekstrin adalah [(C6H10O5)nH2O)] (Yongki Kastanya Luthana, 2008).
2.5.1. Sifat Maltodekstrin
Maltodekstrin pada dasarnya merupakan senyawa hasil hidrolisis pati yang
tidak sempurna atau disebut hidrolisis parsial, yang terdiri dari campuran gula-gula
dalam bentuk sederhana (mono- dan disakarida) dalam jumlah kecil, oligosakarida
dengan rantai pendek dalam jumlah relatif tinggi serta sejumlah kecil oligosakarida
berantai panjang (P. H. Blancard dan F. R. Katz, 1995).
2.5.2. Dextrose Equivalent
Pada hidrolisis sempurna, pati seluruhnya dikonversi menjadi dektrosa,
derajat konversi tersebut dinyatakan dengan Dextrose Equivalent (DE), dari larutan
tersebut diberi indeks 100. Dextrose Equivalent (DE) adalah besaran yang
menyatakan nilai total pereduksi pati atau produk modifikasi pati dalam satuan
persen. DE berhubungan dengan Derajat Polimerisasi (DP) (Lynn A. Kuntz, 1997).
Unit monomer dalam pati adalah glukosa, sehingga dengan demikian maltose
memiliki DP 2 dan DE 50.
Secara komersial penggunaan pati dipengaruhi oleh nilai DE. Semakin besar
DE berarti semakin besar juga persentase pati yang berubah menjadi gula pereduksi.
Harga DE mempengaruhi karakteristik maltodekstrin (Lynn A. Kuntz, 1997). Jika
harga DE tinggi maka harga hygroscopicity, plasticity, sweeteness, solubility, dan
osmolality juga tinggi. Selain itu pati akan lebih mudah mengalami proses browning.
Namun jika harga DE turun, yang akan meningkat adalah berat molekul, viscocity,
cohesiveness, dan film-forming properties. Selain itu, harga DE yang rendah
mengakibatkan pembentukan kristal gula yang besar dapat dicegah.
2.6. Kulit
Kulit sebagai salah satu organ pada tubuh manusia berfungsi dalam
memberikan proteksi dan menerima rangsangan sensorik yang berasal dari
lingkungan. Kulit merupakan organ yang sangat luas dan paling mudah untuk
dijangkau yang ada pada tubuh manusia. Pada manusia dewasa, kulit memiliki luas
hingga 2 m2 yang melapisi tubuh manusia dan terdapat hampir sepertiga pembuluh
darah yang terdapat pada kulit; darah kemudian mengalir dan masuk ke dalam
pembuluh darah vena sehingga metabolisme lintas pertama dapat dihindari. Kulit
bersifat elastis namun cukup kuat walaupun ketebalannya hanya 3 mm. Kulit juga
mampu meregenerasi dirinya sendiri (Washington dkk, 2001).
Kulit manusia terdiri atas beberapa lapisan. Lapisan kulit terdiri dari kulit
bagian luar yang telah mengalami diferensiasi yang dikenal sebagai stratum corneum
dengan ketebalan ~ 10 µm, lapisan epidermis dengan ketebalan ~ 100 µm, lapisan
dermis dengan ketebalan ~ 1000 µm (1 mm), dan lapisan lemak subkutan (Banker
dan Rhodes, 2002).
2.6.1. Stratum Corneum
Stratum corneum merupakan lapisan terluar dari kulit dan terdiri dari beberapa
lapisan sel mati yang kuat, padat, datar, kering, dan mengandung keratin. Sel-sel yang
kuat tersebut saling menumpuk seperti kolom, dimana dalam satu kolom terdiri dari
15-25 sel (Latheesjlal dkk, 2011). Susunan sel-sel kuat ini dapat dijelaskan dengan
model dinding bata. Dalam model ini, sel yang mengandung keratin berfungsi sebagai
‘dinding bata’ protein yang tertanam dalam sebuah ‘mortar; lipid (Sharma dkk,
2011). Lapisan inilah yang bertanggung jawab sebagai dinding pertahanan utama dari
kulit.
Dalam sistem transdermal, terdapat beberapa jalur yang dapat dilalui molekul
obat untuk berpenetrasi masuk ke dalam kulit, salah satunya dengan cara menembus
langsung masuk melalui stratum corneum (Uzor dan Omeje, 2011). Namun tidak
mudah menembus masuk melalui stratum corneum yang teridiri dari banyak lapisan
sel. Beberapa metode digunakan untuk meningkatkan daya permeasi molekul obat.
Salah satuya adalah dengan formulasi bahan aktif ke dalam suatu sistem vesikular.
Sistem vesikular merupakan salah satu metode yang paling sesuai untuk
penghantaran obat secara transdermal dan niosom merupakan sistem yang paling baik
(Srujan dkk, 2013).
Penetrasi melintasi stratum corneum dapat terjadi melalui penetrasi transepidermal
dan penetrasi transappendageal. Pada kulit normal, jalur penetrasi obat umumnya
melalui epidermis (transepidermal), dibandingkan penetrasi melalui folikel rambut
maupun melewati kelenjar keringat (transappendageal). Jumlah obat yang terpenetrasi
melalui jalur transepidermal berdasarkan luas permukaan pengolesan dan tebal
membran. Kulit merupakan organ yang bersifat aktif secara metabolik dan kemungkinan
dapat merubah obat setelah penggunaan secara topikal. Biotransformasi yang terjadi ini
dapat berperan sebagai factor penentu kecepatan (rate limiting step) pada proses absorpsi
perkutan (Swarbrick dan Boylan, 1995).
a. Penetrasi transappendageal
Rute transappendageal merupakan rute yang sedikit digunakan untuk
transport molekul obat, karena hanya mempunyai daerah yang kecil (kurang dari
0,1% dari total permukaan kulit). Akan tetapi, rute ini berperan penting pada
beberapa senyawa polar dan molekul ion hampir tidak berpenetrasi melalui stratum
corneum (Moghimi dkk, 1999). Rute transappendageal ini dapat menghasilkan difusi
yang lebih cepat, segera setelah penggunaan obat karena dapat menghilangkan waktu
yang diperlukan oleh obat untuk melintasi stratum corneum. Difusi melalui
transappendageal ini dapat terjadi dalam 5 menit dari pemakaian obat (Swarbrick
dan Boylan, 1995).
b. Penetrasi transepidermal
Sebagian besar penetrasi zat adalah melalui kontak dengan lapisan stratum
corneum. Jalur penetrasi melalui stratum corneum ini dapat dibedakan menjadi jalur
transelular dan interseluler. Prinsip masuknya penetran kedalam stratum corneum
adalah adanya koefisien partisi dari penetran. Obat-obat yang bersifat hidrofilik akan
berpenetrasi melalui jalur transeluler sedangkan obat-obat lipofilik akan masuk
kedalam stratum corneum melalui rute interseluler. Sebagian besar difusan
berpenetrasi kedalam stratum corneum melalui kedua rute tersebut, hanya kadang-
kadang obat-obat yang bersifat larut lemak berpartisipasi dalam corneocyt yang
mengandung residu lemak. Jalur interseluler yang berliku dapat berperan sebagai rute
utama permeasi obat dan penghalang utama dari sebagian besar obatobatan
(Swarbrick dan Boylan, 1995).
2.7. Pelepasan Obat
Membran dalam kajian formulasi dan biofarmasi merupakan suatu fase padat,
setengah padat atau cair dengan ukuran tertentu, tidak larut atau tidak tercampurkan
dengan lingkungan sekitarnya dan dipisahkan satu dan lainnya, umumnya oleh fase
cair. Dalam biofarmasi, membran padat digunakan sebagai model pendekatan
membran biologis. Membran padat juga digunakan sebagai model untuk mempelajari
kompleks atau interaksi antara zat aktif dan bahan tambahan serta proses pelepasan
dan pelarutan (Aiache, 1993). Dalam studi pelepasan zat aktif yang berada dalam
suatu bentuk sediaan digunakan membran padat tiruan yang berfungsi sebagai sawar
yang memisahkan sediaan dengan cairan disekitarnya. Teknik pengukuran laju
pelepasan yang tidak menggunakan membran akan mengalami kesulitan karena
perubahan yang cepat dari luas permukaan sediaan yang kontak dengan larutan uji.
Pengadukan pada media reseptor sangat berperan untuk mencegah kejenuhan lapisan
difusi yang kontak dengan membran (Aiache, 1993).
Perlintasan membran sintetik umumnya berlangsung dalam dua tahap. Tahap
awal adalah proses difusi zat aktif menuju permukaan yang kontak dengan membran.
Pada tahap ini daya difusi merupakan mekanisme pertama untuk menembus daerah
yang tidak diaduk, dari lapisan yang kontak dengan membran. Tahap kedua adalah
pengangkutan. Tahap ini dapat dibagi atas dua bagian. Bagian yang pertama adalah
penstabilan gradien konsentrasi molekul yang melintasi membran sehingga difusi
terjadi secara homogen dan tetap. Bagian kedua adalah difusi dalam cara dan jumlah
yang tetap. Hal ini menunjukkan bahwa perbedaan konsentrasi tidak berubah sebagai
fungsi waktu. Dalam hal ini diasumsikan bahwa interaksi zat aktif-pelarut dan
pelarut-pelarut tidak berpengaruh terhadap aliran zat aktif. Difusi dalam jumlah yang
tetap dinyatakan dengan hukum Fick I:
J = dQ/ dt = D'. A (Cd-Cr)/h…………………… (1)
Dimana J adalah fluks atau jumlah Q linarut yang melintasi membrane setiap satuan
waktu t, A adalah luas permukaan efektif membran, Cd dan Cr adalah konsentrasi
pada kompartemen awal dan dalam kompartemen reseptor, h adalah tebal membran
dan D’ adalah tetapan dianalisa atau koefisien permeabilitas (Aiache, 1993).
2.8. Landasan Teori
Teofilin memiliki rentang indeks terapi yang sempit. Toksisitas teofilin
biasanya terjadi jika konsentrasi teofilin dalam serum melampaui 20 µg/ml. Selain
itu, sebagai turunan xantin teofilin memiliki beberapa efek samping jika tidak
mempertimbangkan rute pemberian (Sweetman, 2009). Selain rasa teofilin yang
pahit, efek samping teofilin adalah sinus takikardia, mual, muntah dan indigesti
akibat meningkatnya sekresi asam lambung sehingga menimbulkan rasa yang tidak
nyaman bila dikonsumsi secara oral (Rijal dkk, 2006). Oleh karenanya penggunaan
teofilin secara transdermal dapat mengurangi efek samping tersebut serta dapat
mencegah fluktuasi kadar teofilin dalam tubuh. Selain itu sifat lipofilisitas yang
memadai dan berat molekul yang rendah menunjang obat ini untuk dibuat menjadi
sediaan transdermal (Costa, dkk., 2006).
Untuk dapat dihantarkan secara transdermal obat harus dibuat dalam sediaan
yang memadai. Gel niosom merupakan salah satu sistem yang cukup menjanjikan
untuk dibuat digunakan secara transdermal. Selain lebih mudah diaplikasikan, niosom
memiliki keuntungan yaitu mampu meningkatkan permeasi obat kedalam stratum
corneum karena dapat bertindak sebagai enhancer dengan mempengaruhi konformasi
lipid bilayer stratum corneum (Choi dan Maibach, 2004).
Niosom merupakan vesikel surfaktan non ionk yang mempunyai struktur
bilayer dan dapat menjerap senyawa hidrofob, lipofob dan ampifilik (Hu dan Rhodes,
2000). Pada aplikasinya, untuk membuat vesikel ini menjadi stabil maka dibuat
formulasi kering niosom yaitu proniosom dengan menggunakan maltodekstrin
(Arunothayanun, 2000). Maltodekstrin dapat bercampur dengan air membentuk
cairan koloid bila dipanaskan dan mempunyai kemampuan sebagai perekat, tidak
memiliki warna dan bau yang tidak enak serta tidak toksik (Jufri, dkk., 2004).
Pada penelitian terdahulu dilaporkan bahwa niosom berbasis maltodekstrin
dapat digunakan sebagai pembawa obat ampifilik dengan alprenolol sebagai model
(Blazek-Welsh, 2001). Penggunaan maltodekstrin sebagai basis dari gel niosom
teofilin diharapkan dapat menghasilkan sediaan gel dengan karakteristik fisik yang
stabil dan transport transdermal yang baik.
2.9. Hipotesis
a. Formula gel niosom teofilin stabil secara fisik maupun kimia
b. Penggunaan maltodekstrin sebagai basis gel niosom dapat meningkatkan efisiensi
penjerapan teofilin kedalam kulit
c. Formula gel niosom teofilin memiliki laju pelepasan obat yang terkontrol sehingga
dapat diaplikasikan pada pengobatan asma bronkial
DAFTAR PUSTAKA
Anehal Sankhyan dan Pravin Pawar. 2012. Recent Trends In Niosomes as Vesicular
Drug Delivery System. Applied Pharmaceutical Sciences. Vol. 2, No.6 :20-
32
Anwar, Effionora. Henry. Jufri, Mahdi. 2004. Studi kemampuan niosom yang
menggunakan maltodekstrin pati garut (Maranta arundinaceae L.)
sebagaipembawa klorfeniramin maleat. Depok : FMIPA UI.
Arunothayanun P, M.S. Berdnard, D.Q.M. Craig, I.F. Uchegbu, A.T. Florence. 2000. Int. J.
Pharm. Vol. 7 : 201
Chourasia, M.K., Lifeng K., Sui Y.C. 2011. Nanosized Ethosomes Bearing
Ketoprofen For Improved Transdermal Delivery. Results in Pharma
Sciences. Vol. 1 : 60-67
Namdeo A, Mishra PR, Khopade AJ and Jain NK. 1999. Formulation and evaluation
of niosome encapsulated indomethacin. Indian Drugs. Vol. 36, No.6: 378-
380.
Nounou, M.I., Labiba K.E., Nawal A.K., Said A.K. 2008. Liposomal Formulation for
Dermal and Transdermal Drug Delivery: Past, Present and Future. Recent
Patents on Drug Delivery & Formulation. Vol. 2, No. 1 : 9-18
Parashar, T., Soniya, Sachan, R., Singh, V., Singh, G., Tyagi, S., Patel, C., Gupta, A.
2013. Ethosomes: A Recent Vesicle Of Transdermal Drug Delivery System.
International Journal of Research and Development in Pharmacy and Life
Sciences. Vol. 2, No. 2 : 285-292
Pathan, I.B. dan Setty, C.M. 2009. Chemical Penetration Enhancers for Transdermal
Drug Delivery Systems. Tropical Journal of Pharmaceutical Research. Vol.
8, No. 2 : 173-179).
Prashanti, D. dan Lakshmi, P.K. 2012. Development Of Ethosomes With Taguchi
Robust Design-Based Studies For Transdermal Delivery Of Alfuzosin
Hydrochloride. International Current Pharmaceutical Journal. Vol. 1, No.
11 : 370-375
Selvam, R.P., Anoop K.S., Sivakumar T. 2010. Transdermal drug delivery systems
for antihypertensive drugs - A review. Int J Pharm Biomed Res. Vol. 1, No.
1 : 1-8
Suprapto dan Setiyadi G. 2010. Formulasi Sediaan Tablet Matrik Sustained Release
Teofilin : Studi Optimasi Pengaruh Tekanan Kompressi dan Matrik
Etilselulosa dan HPMC dengan Model Factorial Design. Jurnal Penelitian
Sains & Teknologi. Vol. 11, No. 2 : 100-116
Washington, N., Clive W., Clive G.W. 2001. Physiologigal Pharmaceutics, Barriers
to Drug Absorption. Edisi Kedua. Taylor and Francis Inc. Canada