Anda di halaman 1dari 2

Kitab Hakim-Hakim Bag.

4
“Ciri Khas Kitab Hakim-Hakim 2”

3. Kesetiaan Allah
Kasih setia Allah merupakan sebuah kontradiksi dengan kemurtadan Israel. Meskipun
berulang kali bangsa ini tidak taat, Allah tetap memberi kelepasan. Dia melepaskan orang
Israel karena perjanjian-Nya tentang negeri ini, karena kasih sayang Allah semata (Hak.
2:6,18). Allah selalu muncul sebagai pahlawan dalam kitab ini dan bertindak bagi kebaikan
Israel walaupun bangsa ini tidak setia. Meskipun para hakim disebut ‘tokoh pembebas atau
penyelamat’, namun jelas dalam pikiran penulis bahwa Allahlah yang merupakan Sang
Penyelamat.
Teologi Kasih Setia: Sesungguhnya kata “kasih setia” berasal dari bahasa Ibrani khesed.
Istilah khesed atau kasih setia pada mulanya bukan berasal dari istilah keagamaan, melainkan
muncul dari dunia politik dan kekerabatan manusia. Dalam budaya Yahudi jika ada dua
orang sahabat atau dua orang raja yang membuat suatu perjanjian pasti disertai dengan rasa
komitmen. Jika kemudian salah seorang dari mereka meninggal dunia, maka perjanjian itu
harus dilanjutkan oleh putra sulung atau anak-anaknya yang lain. Komitmen memberlakukan
perjanjian inilah disebut khesed. Sedangkan orang yang menjalankan perjanjian itu disebut
khasid. Jadi, kasih setia adalah loyalitas dua mitra atau pribadi yang saling berkomitmen
untuk saling mengasihi, bukan setengah jalan atau setengah hati, melainkan secara setia,
yaitu secara berkelanjutan.
Di dalam Perjanjian Lama kasih setia Tuhan terlihat ketika Ia memilih Israel untuk
menjadi umat-Nya. Perjanjian atau kasih setia ini terlihat ketika Tuhan memberikan Taurat
kepada Israel. Tujuannya adalah agar Israel dapat menyelenggarakan kehidupan mereka
berdasarkan hukum yang Tuhan berikan, sehingga mereka menjadi umat-Nya dan Tuhan
menjadi Allahnya. Meskipun demikian dalam perjalanan waktu bangsa Israel banyak
mengalami kegagalan dalam menjaga kasih setianya kepada Tuhan. Mereka melakukan
penyembahan berhala dan menyakiti hati Tuhan. Tetapi, kesabaran Tuhan tidaklah terbatas.
Ia tetap sabar dalam menghadapi Israel dan menantikan mereka berbalik kepada-Nya.
Dari penjelasan di atas maka dapat disimpulkan bahwa di dalam kasih setia terdapat
unsur komitmen kedua pihak. Demikian juga dengan kasih setia Tuhan kepada manusia.
Kasih setia Tuhan dengan manusia harus disertai dengan komitmen. Di dalam zaman
Perjanjian Baru ini Tuhan Allah telah menunjukkan kasih setia-Nya kepada manusia dengan
cara mengutus Tuhan Yesus ke dunia ini untuk menebus dosa manusia. Sedangkan pihak
manusia harus merespon kasih setia Tuhan tersebut. Manusia harus merespon kasih setia
Tuhan dengan cara memberikan seluruh hidupnya bagi Tuhan. Sebab, ia telah ditebus oleh
darah Tuhan Yesus dan sudah selayaknya ia hidup bagi Tuhan (1 Ptr. 1:18; Rm. 6:11).
4. Harapan akan kepemimpinan seorang raja
Kitab ini secara tidak langsung mengemukakan ide bahwa Israel memerlukan seorang raja.
Di sini terkandung harapan bahwa masalah-masalah yang dihadapi Israel akan terselesaikan.
Empat kali pada pasal penutup dituliskan, “Pada zaman itu tidak ada raja di antara orang
Israel” (Hak. 17:6; 18:1; 19:1; 21:25), dan masih diikuti dengan keterangan, “setiap orang
berbuat apa yang benar menurut pandangannya sendiri” (Hak. 17:6 band. 21:25). Raja yang
diharapkan adalah orang yang harus membawa Israel dalam ibadah yang benar dan
membawa Israel percaya bahwa Tuhanlah yang berperang ganti mereka (band. Ul. 17:14-20).
Pemimpin seperti ini membuat Israel melakukan apa yang benar di hadapan Tuhan.

Anda mungkin juga menyukai