Anda di halaman 1dari 63

MANAJEMEN ASUHAN KEPERAWATAN

HIV/AIDS
Mata Kuliah: HIV/AIDS
Dosen Koordinator: Ns. Kiki Hardiansyah, M.Kep., Sp.KMB

Disusun Oleh:
Kelompok 4
1. Devi Arisda Tutik ( 1805805801 )
2. Maria katarina ( 1807307301 )
3. Nurul Hidayah ( 1808008001 )
4. Rhesti nur aisyach ( 1808808801 )
5. Panca wahyudi isro ( 1808208201 )

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN

INSTITUT TEKNOLOGI KESEHATAN DAN SAINS

WIYATA HUSADA SAMARINDA

2020
KATA PENGANTAR

Segala Puji dan syukur saya panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa,
karena berkat Rahmat dan BimbinganNya kami dapat menyelesaikan makalah
dengan judul ”Manajemen Asuhan Keperawatan kasus II limfoma” penulisan
makalah ini dilakukan dalam rangka memenuhi salah satu tugas mata kuliah
HIV/AIDS.

Kami menyadari bahwa tanpa bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak dari
masa perkulihan sampai pada penyusunan makalah ini, sangatlah sulit bagi kami
untuk menyelsaikan semua proses tepat pada waktunya. Oleh karena itu,
perkenakanlah kami mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya dengan
hati yang tulus kepada Ns. Kiki Hardiansyah, M.Kep., Sp.KMB selaku dosen mata
kuliah HIV/AIDS yang telah meyediakan waktu, tenaga dan pikiran untuk
mengarahkan kami dalam penyusunan tugas ini. Dan semua pihak yang telah
membantu penyelsaian makalah ini, semoga Tuhan Yang Maha Kuasa berkenan
membalas kebaikan kita semua dan makalah ini dapat bermanfaat bagi
pengembangan ilmu.

Samarinda, Maret 2020

Penyusun

DAFTAR ISI
i
KATA PENGANTAR ................................................................................................................i
DAFTAR ISI ................................................................................................................................ii
DAFTAR TABEL ........................................................................................................................iii
DAFTAR GAMBAR ..................................................................................................................iv
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang ..............................................................................................................1
BAB II TINJAUAN TEORI
A. Konsep Dasar HIV/AIDS.............................................................................................3
B. Konsep Medik ...............................................................................................................21
C. Limfoma ( Non-Hodgkin ).........................................................................................45
BAB III PENGKAJIAN KASUS ...............................................................................................
A. Kasus..................................................................................................................................50
B. Data klinis........................................................................................................................50
C. Pemeriksaan keperawatan........................................................................................51
BAB IV PEMBAHASAN KASUS
A. WOC ( perjalanan penyakit )....................................................................................69
B. Manifestasi Klinik .........................................................................................................70
C. Intervensi keperawatan..............................................................................................73
DAFTAR PUSTAKA

ii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

HIV (Human Immunodeficiency Virus) adalah virus yang menyerang


sistem kekebalan tubuh yang selanjutnya melemahkan kemampuan tubuh
melawan infeksi dan penyakit. Obat atau metode penanganan HIV belum
ditemukan. Dengan menjalani pengobatan tertentu, pengidap HIV bisa
memperlambat perkembangan penyakit ini, sehingga pengidap HIV bisa
menjalani hidup dengan normal. AIDS (Acquired Immune Deficiency
Syndrome) adalah kondisi di mana HIV sudah pada tahap infeksi akhir. Ketika
seseorang sudah mengalami AIDS, maka tubuh tidak lagi memiliki
kemampuan untuk melawan infeksi yang ditimbulkan. HIV atau AIDS
berkembang dalam berbagai stadium.

Tiap stadium memiliki gejala berbeda. Stadium satu: Infeksi akut atau
seroconvertion Terdapat dua hingga enam minggu masa jeda (window
periode) setelah terpapar dengan human immunodeficincy virus yang mana
orang tersebut menjadi terinfeksi. Selama stadium ini, tubuh berusaha untuk
melawan virus, hingga menyebabkan gejala awal yang seringkali mirip
dengan gejala flu. Stadium ini biasanya berlangsung satu hingga dua minggu
dan diikuti oleh stadium tanpa gejala.

Stadium dua: Stadium Asimptomatis/Tanpa Gejala. Jika gejala awal


terlalui, hal ini berarti sudah melewati stadium kedua. Infeksi saat ini
mengambil kendali tubuh saat sistem kekebalan tubuh kalah dalam
perlawanan sepenuhnya. Hal ini biasanya terjadi dalam periode yang lama,
kadang berlangsung selama sepuluh tahun atau lebih lama, dan selama itu
pasien tidak merasakan gejala sama sekali. Namun di dalam tubuh, virus
secara bertahap menyerang sel-T CD4, yang seharusnya secara normal berada
di antara 450 hingga 1400 sel per mikroliter. Ini adalah stadium dimana
banyak individu yang terinfeksi tanpa diketahui menularkan virus tersebut ke
orang lain.

Stadium Tiga: AIDS. Stadium ketiga secara luas dikenal sebagai AIDS,
yang merupakan stadium akhir infeksi ini. Faktor yang menentukan stadium
ini adalah saat jumlah sel CD4 turun hingga dibawah 400 per mikroliter.

Limfoma non-Hodgkin adalah kanker yang berkembang di kelompok


sistem limfatik atau getah bening, yaitu pembuluh dan kelenjar yang tersebar
di seluruh tubuh yang berfungsi sebagai bagian dari sistem kekebalan tubuh.
Di dalam pembuluh limfatik mengalir cairan bening yang disebut cairan limfe.
Cairan ini mengandung salah satu jenis sel darah putih yang disebut limfosit
dan berfungsi melawan infeksi. Kelainan limfosit ini merupakan awal mula
terjadinya limfoma (kanker kelenjar getah bening). Limfoma dibedakan
menjadi 2, yaitu limfoma Hodgkit dan limfoma non-Hodgkin berdasarkan
bentuk kelainan sel kanker yang dilihat di bawah mikroskop.

Limfoma non-Hodgkin yang tidak segera mendapatkan perawatan dapat


menyebar ke kelompok sistem limfatik lainnya dan bahkan menyebar juga ke
organ tubuh lain, seperti hati, otak, atau sumsum tulang. Kondisi ini sangat

1
berbahaya dan dapat mengancam nyawa. limfoma non-Hodgkin adalah
perubahan DNA atau mutasi yang terjadi di dalam salah satu jenis sel darah
putih yang disebut limfosit. Namun, penyebab terjadinya mutasi belum
diketahui hingga saat ini.

Umumnya, tubuh akan memproduksi limfosit baru untuk menggantikan


limfosit yang telah mati. Namun pada kasus limfoma non-Hodgkin, limfosit
terus membelah dan berkembang secara abnormal (tanpa henti), sehingga
terjadi penumpukan limfosit di dalam kelenjar getah bening. Kondisi ini
menyebabkan terjadinya pembengkakan kelenjar getah bening (limfadenopat)
dan tubuh menjadi rentan terhadap infeksi.Limfoma non-Hodgkin tidak
menular dan tidak diturunkan. Meskipun demikian, ada peningkatan risiko
jika anggota keluarga terdekat, seperti orang tua atau saudara kandung pernah
menderita limfoma.

Infeksi oportunistik adalah infeksi yang disebabkan oleh organisme yang


biasanya tidak menyebabkan penyakit pada orang dengan sistem kekebalan
tubuh yang normal, tetapi dapat menyerang orang dengan sistem kekebalan
tubuh yang buruk. Mereka membutuhkan "kesempatan" untuk menginfeksi
seseorang.

2
BAB II

TINJAUAN TEORI

A. KONSEP DASAR MEDIK HIV/ AIDS


1. Anatomi Fisiologi Sistem Imun
Manusia diciptakan sebagai mahluk yang sempurna. Salah satu wujud
kesempuraan manusia adalah manusia memiliki anatomi dan fisiologi yang
luar biasa menamjubkan. Di dalam tubuh manusia terdapat banyak organ, sel,
dan saraf yang bekerja saling terkait. Salah satunya adalah kemampuan tubuh
dalam mempertahankan diri dari virus, bakteri, parasit, dan jamur. Tanpa
kehadiran sistem imun yang sehat, manusia akan mudah sakit dan terkena
kanker.
Sistem imun adalah sistem dalam tubuh manusia yang berperan dalam
pertahanan diri. Sementara itu, imunologi merupakan cabang ilmu yang fokus
memperlajari tentang fungsi pertahanan tubuh, antigen, antibodi. Ilmu ini
menekankan peran imunitas, baik terhadap reaksi yang terjadi dalam tubuh
kita. Mulai dari reaksi hipersensitif, penolakan jaringan ataupun alergi. Istilah
inilah yang kemudian lebih sering dikenal dengan istilah sistem imun. Berikut
adalah organ yang paling berpengaruh dalam sistem imun.

Gambar 2.1 : Sistem Imun


Sumber: https://www.google.com/url?sa=i&url=https%3A%2F
%2Fslideplayer.info%

Sistem imun merupakan sistem pertahanan diri tubuh kita terhadap


infeksi. Baik itu infeksi yang sifatnya makromolekul asing sampai serangan
organisme seperti parasit, virus dan bakteri. Kekebalan imun di dalam tubuh
berfungsi untuk melawan bakteri dan virus jahat yang masuk ke dalam tubuh.
Peran imun juga mampu meminimalisir bakteri yang berkembang menjandi
tumor. Imun juga mampu melawan protein tubuh dan molekul lain yang ada
pada gangguan autoimun. Berikut organ sistem imun yang ada daalm tubuh
kita. Secara garis besar, organ dan jaringan system imun manusia terdiri dari:

3
a. Adenoid
Adenoid terletak di belakang saluaran rongga hidung. Bentuknya
berupa kelenjar. Adenoid bergungsi melawan infeksi dan kuman yang
masuk melalui hidung dan mulut. Kelenjar adenoid yang tidak mampu
mengatasi virus dan bakteri yang masuk, dapat menimbulkan
pembengakakn yang disebut dengan adnoiditis.

Gambar 2.2 Adenoid


Sumber data:image/jpeg;base64,/9j/4AAQSkZJRgABAQAAAQABAAD/2wCEAAkGBxASEBUQEBIVF

b. Sumsum Tulang Belakang


Sumsum tulang belakang adalah oragan tempat memproduksi sel
darah biru. Sumsum tulang belakang termasuk kedalam jaringan
limfatik, karena mampu memproses limfosit muda menjadi Limfosit T
dan Limfosit B. Pada sumsum tulang belakang banyak di temukan sel
imun yang dihasilkan oleh sel induk tulang belakang.

Gambar 2.3 Sumsum tulang belakang


Sumber: https://www.sekolahan.co.id/pengertian-letak-fungsi-struktur-dan-bagian-struktur-

sumsum-tulang-belakang-medula-spinalis-manusia/

c. Kelenjar Limfa (Getah Bening)


Kelenjar limfe fungsinya membawa limfosit ke bagigan organ
limfoid dan aliran darah kelenjar getah bening mengalir ke kelenjar
getah kapiler. Getah kapiler memiliki lapisan yang tipis dan memiliki
banyak lubang kecil. Lubang kecil inilah yang menjadi jalan gas, nutrisi
dan air lewat masuk sekitarnya. Ada beberapa titik yang sering
digunakan getah bening berkumpul, yaitu di leher, selangkangan, para-
aorta dan aksila. Tempat-tempat jika terjadi penumpukan memunculkan
tonjolan hingga ke permukaan kulit.

4
Gambar 2.3 Kelenjar limfa (Getah bening)
Sumber: https://www.wajibbaca.com/2019/02/penyakit-kelenjar-getah-bening.htm

d. Peyers patches
Peyers patches terletak di usus halus. Peyers patches sebenarnya
masih termasuk jaringan limfoid.

Gambar 2.4 Peyer’s Patches


Sumber: https://www.wajibbaca.com/2019/02/penyakit-kelenjar-getah-
bening.html

e. Pembuluh Limpa
Limpa terletak di rongga perut. Di pembuluh limpa terdapat cairan
yang disebut cairan limpa yang berasal dari cairan ekstrasel (cairan
darah yang meresap dari kapiler darah). Sama seperti usus, cairan limpa
juga mengandung lemak. Lemak yang terdapat di usus diangakt oleh
pembuluh limpa.

Gambar 2.5 Pembuluh limpa


Sumber: http://dokterbenvie.blogspot.com/2018/01/anatomi-histologi-dan-fisiologi.html

Pembuluh limpa memiliki cabag halus yang bagian ujungnya


terbuka. Lokasinya di sela-sela otot. Bentuk pembuluh limpa mirip
dengan vena yang memiliki katup banyak. Pembuluh limpa terbagi

5
menjadi dua bagian, yaitu limpa kanan (dada kanan) dan limpa kiri
(dada kiri). Fungsi pembuluh limpa kanan sebagai penampung cairan
limpa dari kepala, leher, dada, paru, dan lengan sisi kanan. Sebalikbya,
pembuluh limpa kiri menampung cairan limpa dari kepala, kemudian ke
leher, dada, lengan, dan tubuh bagian bawah sisi kiri.
f. Glandula Thymus
Galandula thymus berfungsi pada proses sekresi hormon
thymopoetin dan thymosin. Dua hormon inilah yang akan memengarui
perkembangan limfosit. Lmfosit terbagi menjadi Limfosit T sitotaksisk,
Limfosit T Helper, Limfosit B, dan sel plasma. Hasil produksi Glandula
Thymus akan mematurasi (mematangkan) Limfosit T ke jaringan limfa
lainnya.

Gambar 2.6 Kelenjar timus


Sumber: https://www.pelajaran.id/2018/06/pengertian-kelenjar-timus-fungsi-struktur-
bagian-dan-mekanisme-kerja-kelenjar-timus-lengkap.html

Limfosit T Sitotoksik akan mersespons lebih aktif ketika ada


antigen permukaan yang bersifat abnormal. Sel ini akan menyerang dan
menghancurkan sel abnormal yang masuk. Sementara itu, Limfosit T
Helper akan bekerja lebih agresif ketika diserang dengan antigen
presenting sel (semacam makrofag). Di sinilah T Helper melepaskan
faktor yang mendorong prolifferasi sel Limfosit B. Ketika Limfosit B
berubah menjadi sel memori dan sel plasma, ia akan memproduksi
antibody. Lain halnya dengan limfosit, sel plasma memiliki reticulum
endoplarnik kasar yang banyak. Retikulum endoplarnik kasar inilah
yang bekerja untuk memproduksi antibodi.
g. Nodus Limfatikus
Nodus limfatikus atau lomfonodi mengandung makrofag dan
lomfosit dalam jumlah banyak. Fungsi limfatikus sebagai kekebalan
tubuh yang melawan mikroorgnisme. Lokasi limfatikus di sistem
limfatik.

6
Gambar 2.7: Nodus limfatikus
Sumber: http://dokterbenvie.blogspot.com/2018/01/anatomi-histologi-dan-
fisiologi.html

h. Tonsil (Amandel)
Tonsil adalah organ yang paling sering memperoleh paparan benda
asing dan pathogen. Tonsil atau yang sering disebut amandel, terletak
di kerongkongan sebelah kiri dan kanan belakang rongga mulut. Tonsil
merupakan bagian jaringan kekebalan taubuh dari serangan benda
asing dan pathogen berbahaya.
Benda asing dan pathogen yang masuk kemudian dimasukkan ke
sel limfoid. Oleh sebab itu, imun tonsil sangat penting, terutama pada
anak-anak. Struktur imunologis tonsil paling besar ditemukan pada
anak-anak usia 4 sampai 10 tahun. Sementara itu, pada usia 60 tahun
ke atas, tonsil mengalami penurunan dan fungsinya akan digantiakan
dengan jaringan lain.

Gambar 2.8 Tonsil


Sumber: https://newsnetwork.mayoclinic.org/discussion/tuesday-q-
and-a-self-care-steps-may-help-prevent-tonsil-stones-from-returning/

Anak di bawah usia 6 tahun, terutama anak-anak balita, sering


memasukan berbagai macam ke dalam mulutnya. Untuk menjaga
ketahanan tubuh, kelenjar tonsil pada balita memproduksi lebih banyak
sel imun. Oleh karenanya, meskipun balita sering memasukkan benda
asing kedalam mulut, si anak dapat terbebas dari penyakit. Apabila
terjadi gangguan akibat peradangan tonsil, anak jatuh demam dan sulit
menelan makanan.

7
i. Limfosit
Limfosit merupakan sel darah putih yang berfungsi melawan
infeksi. Sel darah ini bekerja dan merespons benda asing yang ada d
dalam darah. Limfosit memiliki dua komponen, yaitu pulpa merah dan
pulpa putih, pulpa merah terdapat di sinus dan berfungsi sebagai organ
filterasi, yaitu menghancurkan darah yang sudah tua dan rusak dengan
bantuan makrofag. Darah tua dan darah rusak jika dibiarkan memiliki
kecenderungan untuk merusak.

Gambar 2.9 Limfosit


Sumber: http://www.myrightspot.com/2016/07/sel-darah-putih-
leukosit-sel-darah.html

Pada pulpa putih terdapat limfosit dan makrofag benda asing yang
masuk di pulpa putih dapat menstimulasi limfosit. Limfosit di dalam
pulpa putih berfungsi untuk mengidentifikasi antigen. Pulpa putih juga
berfungsi memproduksi antibody untuk melawan infeksi dan
mengaktifkan respons imunologi terhadap antigen di dalam darah. Pada
dasarnya, semua jenis sel darah, termasuk imun seperti limfosit di
bentuk di sumsum tulang belakang. Dari hasil proses tersebut sebagian
menjadi tipe lain, dan sebagian lagi menjadi sel imun yang disebut
fagosit.

2. Mekanisme Pertahanan Tubuh Manusia


Mekanisme pertahanan di dalam tubuh manusia memiliki
kompleksitas yang rumit. Sistem, jaringan, dan sel di dalam tubuh manusia
saling bekerja sama melindungi tubuh dari infeksi virus, jamur dan bakteri.
Ketika tubuh mempertahankan sebagai serangan infeksi yang masuk
kedalam tubuh, ada dua sistem imun yang bekerja. Kedua sistem tersebut,
yaitu sistem imun nonspesifik dan sistem imun spesifik. Sistem imun
nonspesifik terdiri dari kulit dan kelenjar, termasuk juga lapisan mukosa dan
enzimnya.

a. Sistem imun nonspesifik


Sistem imun nonspesifik (innate immune system)
merupakan sistem pertahanan tubuh yang utama. Sistem ini di

8
sebut juga sebagai sistem imun bawaan. Imun bawaan yang
memiliki peran penting dalam melawan infeksi adalah neotrofil
dan makrofag. Pertahanan imun nonspesifik termasuk cidera
jaringan (peradangan), interferon (mempertahankan sel dari
infeksi virus), natural killer cells (mencegah infeksi dan
menghancurkan sel kanker), dan sebagai sistem komplemen.
1) Peradangan
Peradangan salahsatu reaksi pertahanan tubuh
yang di awali kerusakan jaringan (infeksi) karena
terjadinya trauma fisik dan kimia. Secara umum,
gejala peradangan di sertai oleh rubor, kalor, dolor,
dan function laesa (perubahan fungsi). Proses
terjadinya peradangan diatur oleh sistem komponen
seperti prostaglandin E2 (PGE2), transforming grow
factor ß (TGFß), interleukin 10 (IL-10), dan
glukokartikoid.
Peradangan dibagi menjadi tiga keadaan, yaitu
radang akut, radang subakut, dan radang kronis.
Dalam proses penyembuhan peradanagan, sistem
imun nonspesifik membawa fagosit dan protein
plasma ke lokasi yang mengalami kerusakan untuk
mencapai tiga tujuan, yakni mengisolasi, mematikan
penyerang, dan menghancurkan; membersihkan
debris; serta proses penyembuhan dan perbaikan.
Ketika kulit mengalami peradangan dan
mengalami kerusakan di bagian eksternal, makrofag
bertugas melawan mikroba yang masuk. Makrofag
bekerja dengan memakan debris dan kontaminan
yang ditemui. Saat antibody menaklukan serangan
mikroba, bagian anterior melebar untuk
meningkatkan aliran darah ke tempat cidera. Aliran
darah lokal inilah yang nantinya membawa lebih
banyak leukosit fagostik dan protein plasma untuk
melawan bakteri. Ketika bakteri menang perlahan
luka mengalami vasodilatasi lokal atau mengalami
penciutam pembulu darah. Vasodilatasi dipicu oleh
histamine yang dibebaskan oleh sel jaringan yang
rusak.

9
2) Fagositosis
Fagositosis adalah suatu mekanisme pertahanan
yang dilakukan oleh sel-sel fagosit, daengan jalan
mencerna (memakan) mikroorganisme / partikel
asing yang masuk ke tubuh. Contohnya adalah ketika
sel darah putih menelan pathogen, membawanya ke
dalam vakuola yang terdapat pada sitoplasma sel
tersebut, lalau dicerna dengan enzim litik.
3) Protein Antimikroba
Ini adalah jenis protein yang berperan dalam,
sistem pertahanan nonspesifik yaitu protein
komplemen dan interferon. Protein kompelmen
membunuh bakteri penginfeksi dengan cara
membentuk lubang pada dinding sel dan membrane
plasma tersebut. Interferon akan membentuk zat yang
mampu mencegah replikasi virus, sehingga serangan
dapat dicegah.

b. Pertahanan Spesifik
Sistem pertahanan spesifik bekerja apabila sistem
pertahanan tubuh non spesifik gagal menahan masuknya pathogen.
Sitem pertahanan spesifik melibatkan peran limfosit dan antibody.
Selain itu sistem ini melibatkan sel dalam menyerang organism
asing.
Pertahanan spesifik dilakuakn oleh sel T. Ini adalah jenis
sel yang terdiri dari tiga jenis yaitu pembunuh, pembantu, dan
supresor. Antibodi dihasilkan oleh limfosit B dan teraktivasi bila
mengenali antigen yang terdapat pada permukaan sel pathogen,
dengan bantuan sel limfosit T.
Ada tiga jenis sel limfosit B, yaitu sel B plsma, pengingat,
dan pembelah. Ketika suatu pathogen masuk dalam tubuh dan
mampu melewati pelindung lapis pertama dan kedua pada sistem
pertahanan alami, sel limfosit B dan sel limfosit T yang memiliki
resptor antigen A akan membela dan berdiferensiasi. Hasil
pembelahan dan refrensi tersebut akan membentuk dua klon. Klon
pertama menghasilkan sel-sel efektor, sedangkan klon kedua
menghasilkan sel-sel memori.
Apabila kemudian antibody menang melwan antigen, maka
tubuh akan sehat dan memiliki sel memori untuk melawan antigen

10
yang sama di waktu yang akan datang. Oleh karena itu, jika suatu
saat orang tersebut dimasuki oleh antigen (kuman) berjenis sama,
tubuh orang tersebut akan mengaktifkan sel-sel memori yang telah
terbentuk sebelumnya. Waktu untuk menanggapi dan melawan
kuman tersebut cenderung lebih pendek, dibandingkan respons
pertahanan primer. Kondisi ini disebut respons pertahanan
skunder. Berikut ini adalah table jenis-jenis limfosit beserta
fungsinya :

Tabel 2. 1 Jenis- jenis Limfosit Berserta Fungsinya


Tipe Jenis Fungsi
Limfosi Limfosit
t
Limfosit 1. Sel B 1. Mensekresikan antibodi
B (sel plasma ke sistem sirkulasi tubuh.
B) 2. Sel B Setiap antibodi sifatnya
penginga spesifik terhadap satu
t antigen patogenik.
3. Sel B 2. Mengingat antigen yang
pembela pernah masuk ke tubuh.
h Sel yang deprogram
untuk mengingat suatu
antigen yang spesifik
dan akan merespon
dengan sangat cepat bila
terjadi infeksi kedua.
3. Berfungsi untuk
menghasilkan lebih
banyak lagi sel-sel
limfosit B, yaitu
membentuk sel B plasma
dan sel pengingat.
Limfosit 1. Sel T 1. Meyerang pathogen yang
T (sel T) pembunuh masuk ke tubuh, sel
2. Sel T tubuh yang terinfeksi,
pembantu serta sel kanker secara
3. Sel T langsung.
supresor 2. Menstimulasi
pembentukkan jenis sel
T lainnya dan sel B
plasma serta

11
mengaktivisi makrofag
untuk melakukan
fagositosis.
3. Menurunkan dan
menghentikan respons
imun dengan cara
menurunkan produksi
antibody, serta
mengurangi aktivitas sel
T pembunuh.
Mekanisme tersebut di
perlukan ketika respons
imun sudah mulai lebih
dari yang diperlukan,
atau ketika infeksi sudah
berhasil diatasi.

Selain itu, ada bebrapa antibody lain dalam tubuh yaitu IgM,
IgA, IgD, dan IgE. Berikut ini adalah tabel tipe-tipe antibdi
beserta karakteristiknya.
Tabel 2.2 Tipe- tipe Antibodi Berserta Karakteristiknya
No. Tipe Karakteristik
Anti
bodi
IgM Antibodi ini dilepaskan ke aliran
darah pada saat terjadi infeksi yang
pertama kali (respons kekebalan
primer).
IgG Antibody ini banyak terdapat
didalam darah dan diproduksi saat
terjadi infeksi kedua (respons
kekebalan sekunder).
igG juga mengalir melalui plasenta
dan memberi kekebalan pasif dari
ibu kepada janin.
IgA Antibodi IgA dapat ditemukan dalam
air mata, air ludah, keringat, dan
membrane mukosa. IgA berfungsi
untuk mencegah infeksi pada
permukaan epitelium. IgA juga
terdapat dalam kolostrum yang

12
berfungsi unuk mencegah kematian
bayi akibat infeksi saluaran
pencernaan.
IgD Antibodi ini ditemukan pada
permukaan limfosit B sebagai resptor
dan berfungsi merangsang
pembentukan antibodi oleh sel B
plasma.
5. IgE Antibodi ini ditemukan terikat pada
basophil di dalam sirkulasi darah dan
mastosit di dalam jaringan yang
berfungsi memengaruhi sel untuk
melepaskan hitamine yang terlibat
dalam reaksi alergi.

3. Respons Kekebalan Tubuh


Respons kekebalan tubuh terdapat antigen dapat dibedakan menjadi dua
jenis, yaitu kekebalan humoral (antibody-mediated immunity) dan kekebalan
seluler (cell-mediated immunity).
a. Kekebalan Humoral
Kekebalan humoral melibatkan aktivitas sel B dan atntibodi
baredar dalam cairan darah limfa. Serangakaian respons terhadap
pathogen ini disebut respons kekebalan primer. Apabila antigen yang
masuk kembali ke dalam tubuh dengan cepat, tubuh memberikan
respons kekebalan skunder.
b. Kekebalan Seluler
Kekebalan seluler melibatkan sel T yang bertugas menyerang sel-
sel asing jaringan tubuh yang terinfeksi secara langsung. Berdasarkan
cara memperolehnya, kekebalan tubuh digolongkan menjadi dua
kelompok, yaitu kekebalan aktif dan kekebalan pasif.
1) Kekebalan Aktif
Kekebalan aktif merupakan kekebalan yang dihasilkan
oleh tubuh itu sendiri. Kekebalan ini dapat diperoleh secara
alami melalui penyakit (misal penyakit cacar) dan secara
buatan melalui vaksinasi. Vaksin berprran sebagai antigen
yang akan memacu tubuh membentuk antibody guna melawan
antigen tersebut. Dengan demikian tubuh akif membentuk
pertahanan yang ditimbulkan disebut pertahanan aktif.
Vaksinasi adalah pemberian paksin kedalam tubuh seseorang
untuk memberikan kekebalan terhadap penyakit tersebut.

13
2) Kekebalan Pasif
Kekebalan pasif merupakan kekebalan yang diperoleh
setelah menerima antibody dari luar. Kekebalan ini dapat
diperoleh secara alami melalui pemberian ASI dan secara
buatan melalaui penyuntikan antiserum. Pertahanan pasif
merupakan pertahanan yang diberikan kepada individu dan
bersifat sementara. Pertahanan ini diberikan kepada tubuh yang
sakit untuk melawan antigen yang sudah ada. Dalam
pertahanan pasif, tubuh tidak membentuk antibody karena
menerima antibody yang sudah jadi.

4. Kompleks Histokompabilitas Utama


Kompleks histokompatibilitas utama (major histocompatibility
complex atau MHC) adalah sekumpulan gen yang ditemukan pada semua
jenis verterbata. Gen tersebut terdiri dari lebih kurang 4 juta bp yang terdapat
dikromosom nomor 6 manusia dan lebih dikenal sebagai kompleks antigen
leukosit manusia (HLA). Protein MHC yang di sandikan berperan dalam
mengikat dan mempresentasikan antigen peptida ke sel T.
Molekul permukaan sel yang bertanggung jawab terhadap rejeksi
trnsplan dinamakan molekul histokompatibilitas, dan gen yang membentuk
kodenya disebut gen histokompatibilitas.
Nama ini kemudian disebut dengan histokompatibilitas mayor karena
ternyata MHC bukan satu-satunya penentu rejeksi. Terdapat pula molekul
lain yang walaupun lebih lemah juga ikut menentukan rejeksi, yaitu, molekul
histokmopatibilitas minor. Pada saat ini telah diketahui bahwa molekul
MHC merupakan titik sentral inisiasi respons imun.

a. Molekul MHC
Gen MHC berhubungan dengan gen imuonoglobin dan gen
reseptor sel T yang tergabung dalam keluarga supergen
imunoglobin. Akan teteapi pada perkembangannya tidak mengalami
penataan kembali gen seperti halnya gen imunoglobin dan TCR.
Daerah MHC sangat luas, sekitar 3500 kb di lengan pendek
kromosom 6, meliputi region yang mengkode MHC kelas I. II, III,
dan protein lain, serta gen lain yang belum dikenal, yang
mempunyai peran penting pada fungsi sistem imun.
Gen MHC bersifat kodominan, artinya ekspresi gen orang tua
akan terlihat pada anak mereka. Selain itu, jelas terlihat beberapa
gen yang terkait erat dengan gen MHC dan mengkode berbagai

14
molekul MHC berbeda, karena itu gen MHC disebut sebagai gen
multigenik. Pada populasi terlihat bahwa setiap gen tersebut
mempunyai banyak macam alel sehingga MHC bersifat sangat
polimorfik.
Untuk memudahkan, maka semua alal pada gen MHC yang
berada pada suatu kromosom disebut sebagai haplotip MHC. Stiap
individu mempunyai haplotip, masing-masing satu dari ayah dan
ibu yang akan terlihat ekspresinya pada individu tersebut.
b. Molekul HLA
Pada manusia terdapat tiga jenis molekul MHC kelas I
polimorfik, yaitu HLA-A, HLA-B dan HLA-C. Molekul HLA kelas
I terdiri dari rantai berat a polimorfik yang berpasangan nonkovalen
denagn rantai nonpolimorfik b2 –mikroglobulin yang bukan dikode
oleh gen MHC.
Rantai a yang mengandung 338 asam amino terdiri dari 3
bagian, yaitu region hidrofilik ekstraseluler, regio hidrofobik
transmembran, dan regio hidrofilik intraseluler. Regio ektraseluler
membentuk tiga domain a1, a2, dan a3. Domain a3 dan b2-
mikroglobulin, tetapi memiliki kemampuan yang sangat terbatas
untuk mengikat antigen.
Molekul HLA kelas I terdapat pada hampir semua permukaan
sel berinti mamalia. Molekul tersebut berfungsi untuk
mempresentasikan antigen pada sel T CD8. Oleh karena itu perlu
terdapat ekspresi MHC kelas I di timus untuk maturasi CD8.
Pada manusia terdapat tiga jenis molekul MHC kelas II
polimorik, yaitu HLA-DR, HLA-DP. Molekul HLA kelas II terdiri
dari 2 rantai polimorfik a dan b yang terkait secara nonkovalen, dan
dan masing-masing terdiri dari 229 dan 237 asam amino yang
membentuk 2 domain. Seperti halnya rantai a HLA kelas I, maka
rantai a dan b kelas II terdiri dari regio hidrofobik transmembran,
region hidrofilik interseluler. Selain itu, terdapat pada rantai
nonpolimorik yang disebut rantai yang disebut invarian, berfungsi
untuk pembentukan dan transport molekul MHC kelas II dengan
antigen.
Molekul MHC kelas II terdapat pada sel makrofag dan
monosit, sel B, sel T aktif, sel dendrit, sel Langerhans kulit, dan sel
epitel, yang umunnya timbul setelah rangsangan sitokin. Fungsi
molekul MHC kelas II adalah untuk presentasi antigen pada CD4
(umumnya Th) yang merupakan sentral respons imun, Karena itu
sel yang mempunyai molekul MHC kelas II umumnya disebut sel

15
APC (antigen presenting cells). Molekul MHC kelas II terdapat
dalam timus untuk maturasi T CD4.
Ada pula beberapa molekul laun yang dikode oleh darah MHC,
tetapi mempunyai fungsi yang berbeda dengan molekul MHC kelas
I dan II. Suatu daerah dalam MHC kelas III memberi kode sejumlah
protein komplemen (C2, B, C4A, C4) dan enzim sitikrom p450 21-
hidroksilase. Selain itu, terdapat pula gen sitoksin TNF a dan b,
atau gen lain yang memberi kode molekul, yang berfungsi untuk
pementukan dan transport molekul MHC dan sel ß .

B. KONSEP MEDIK
1. Definisi HIV/AIDS
HIV membahayakan sistem kekebalan tubuh dengan menghancurkan sel
darah putih yang melawan infeksi. Virus ini membuat seseorang berisiko
terkena infeksi serius dan kanker tertentu sementara itu AIDS adalah tahap
akhir dari HIV . tidak semua orang dengan HIV sampai tahap AIDS.
HIV paling sering menyebar dengan hubungan seks tanpa kondom
dengan orang yang terinfeksi. Virus ini juga bisa menyebar dengan berbagai
jarum suntik atau melalui kontak dengan darah orang yang terinfeksi. Virus
ini juga menyebar dengan berbagi jarum suntik atau melalui kontak dengan
darah orang yang terinfeksi. Wanita hamil bisa menularkan virus pada bayi
mereka selama kehamilan atau persalinan.
Tanda pertama infeksi HIV bisa berupa kalenjer bengkak dan gejala
seperti flu yang terjadi dalam 2-4 minggu, gejala parah mungkin tidak muncul
sampai berbulan bulan atau bertahun tahun kemudian hingga saat ini penyakit
HIV tidak ada obatnya tetapi ada banyak obat yang dapat melawan infeksi
HIV dan menurunkan resiko menulari orang lain. Orang yang mendapat
pengobatan dini bisa hidup dngan penyakit ini untuk waktu yang lama
menurut data WHO HIV terus menjadi isu kesehatan masyarakat global yang
telah menewaskan lebih dari 35juta orang. Pada tahun 2016 1.000.000 orang
meninggal akibat sebab terkait HIV secara global.

2. Etiologi
HIV adalah infeksi virus yang dapat ditularkan melalui hubungan
seksual, melalui hubungan seksual, melalui darah atau dari ibu ke anak
selama kehamilan, persalinan, atau menyusui HIV menghancurkan sel CD4
yaitu jenis sel darah putih tertentu yang berperan besar dalam membantu
tubuh melawan penyakit. Sistem kekebalan tubuh akan melemah karena lebih

16
banyak sel CD4 yang terbunuh. Seseorang bisa memiliki infeksi HIV selama
bertahun-tahun sebelum berkembang menjadi AIDS. Orang yang terinfeksi
HIV mengalami AIDS saat jumlah CD4 nya turun dibawah 200 atau mereka
mengalami komplikasi dengan indikasi AIDS.
CD4 merupakan tipe dari lymphocyte, yang merupakan bagian dari sel
darah putih. Kurang lebih antara 15 sampai dengan 40% dari sel darah putih
kamu merupakan lymphocytes. Sel ini berfungsi melindungi kamu dari
infeksi yang disebabkan oleh virus, membantu melawan infeksi yang
disebabkan oleh bakteri dan jamur: memproduksi antibodi; melawan sel
cancer: sebagia koordinator dari sel sel lain dalam sistem kekebalan tubuh.
Sel CD4 merupakan target dari virus HIV, yang bis menyebabkan
jumlah dari sel CD4 ini akan berkurang seiring dengan waktu. Dengan
jumlah CD4 yang sedikit artinya sistem kekebalan tubuh kamu tidak bisa lagi
berfungsi sebagaimana mestinya.
Ada 2 tipe dari lymphocytes yaitu B-cells dan T-cells. B-cells terbentuk
dan berkembang di sumsum tulang kamu, sedangkan T-cells terbentuk di
sumsum tulang kamu dan berkembang di kelenjar thymus. B-cells
memproduksi antibodies, yang membantu tubuh membunuh sel sel yang
abnormal dan organisme perusak lainnya seperti bakteri, virus dan jamur.
Dengan mengeetahui jumlah CD4 yang kamu punyai didalam tubuh,
kamu bisa tahu seberapa sehat sistem kekebalan tubuh kamu dan seberapa
mampu untuk melawan HIV.
HIV dapat ditularkan melalui darah, air mani atau cairan vagina yang
terinfeksi. Namun, seseorang tidak akan terinfeksi hanya karena kontak biasa,
seperti memeluk, mencium, atau berjabat tangan dengan seseorang yang
memiliki HIV atau AIDS. HIV tidak dapat ditularkan melalui udara, air, atau
gigitan serangga. Lebih lanjut, seseorang bisa terinfeksi HIV dengan
beberapa cara, termasuk:
a. Dengan melakukan hubungan seks
Seseorang bisa terinfeksi HIV jika memiliki hubungan seks
dengan vagina, anal/oral dengan pasangan yang terinfeksi baik
darah, air mani/cairan vaginamasuk ke dalam tubuh pasangan.
Virus bisa dapat masuk ke dalam tubuh melalui luka mulut yang
terkadang berkembang di rectum atau vagina saat melakukan
aktivitas seksual.
b. Transfuse darah
Dalam beberapa kasus, virus dapat ditularkan melalui
transfuse darah. Namun demikia RS dan bank darah memiliki cara
penanggulangan resiko penularan ini, jadi resiko ini sagat kecil.

17
c. Dengan berbagai jarum suntik.
HIV dapat ditularkan melalui jarum suntik yang
terkontaminasi dengan darah yang terinfeksi. Berbagai
perlengkapan obat intravena menempatkan seseorang pada
risiko tinggi HIV dan penyakit menular lainnya, seperti
hepatitis.
d. Selama kehamilan atau persalinan/melalui menyusui.
Ibu yang terinfeksi dapat menginfeksi bayinya. Tetapi
dengan menerima pengobatan untuk infeksi HIV selama
kehamilan, ibu secara signifikan menurunkan risiko pada bayi.

3. Klasifikasi
1) Klasifikasi Menurut WHO
WHO mengklasifikasikan HIV/AIDS pada orang dewasa menjadi 4
stadium klinis sebagai berikut.
Tabel 2.3 Stadium HIV Menurut Gejala Klinis WHO
Stadium BB Gejala
Stadium 1 Tidak ada 1. Tidak ada gejala atau hanya
Asimptom penurunan
sedikit.
atik berat badan
2. Persistent generalized
lymphadenopathy (PGL).
3. Kelenjar multiple berukuran
kecil tanpa rasa nyeri.
Stadium 2 Penurunan berat 1. Luka sekitar bibir (angular
sakit badan 5-10%
cheilitis).
ringan
(simptomatik) 2. Deematitis seboroik: lesi kulit
bersisik pada batas antara
wajah dan rambut serta sisi
hidung.
3. Herpes zoster dalam lima
tahun terakhir.
4. ISPA berulang, misalnya
sinusitis atau otitis.
5. Ulkus pada mulut berulang.
6. Pruritic popular eruption:
lesi kulit yang gatal pada
lengan dan tungkai.
Stadium 3 Penurunan >10% 1. Kandidiasi mulut: bercak
sakit
putih yang menutupi daerah
sedang
di dalam mulut.
2. Oral hairy leukoplakia: garis

18
vertical putih disamping
lidah, tidak nyeri, tidak hilang
jika dikerok.
3. TB paru.
4. Lebih dari satu bulan: diare
kadang-kadang intermiten,
deman tanpa sebab jelas.
5. Infeksi bakteri yang berat:
pneumonia, piomiositis.
6. Gingivitis/periodontitis.
7. Hb <8, leukosit <500,
trombosit <50.000
Stadium 4 HIV wasting 1. Candidiasis esophagus: nyeri
sakit berat syndrome
hebat saat menelan.
(AIDS)
2. Herpes simpleks lebih dari
satu bulan: luka lebar dan
nyeri kronis digenitalia
dan/atau anus.
3. Limfoma.
4. Sarcoma Kaposi: lesi warna
gelap (ungu) di kulit dan/atau
mulut, mata, paru, usus sering
disertai edema.
5. Ca serviks.
6. PCP.
7. Renitis CMV.
8. TB ekstra paru.
9. Meningitis kriptokokal:
meningitis dengan tanpa kaku
kuduk.
10. Abses otak toksoplasma.
11. HIV wasting syndrome:
sangat kurus disertai deman
kronis dan/atau diare kronis.
12. Ensefalopati HIV:
ganguan neurologis yang
tidak disebabkan oleh factor
lain, sering kali membaik
dengan pengobatan ART.

1) Stadium pertama HIV

19
Infeksi dimulai dengen masuknya HIV dan diikuti terjadinya
perubahan serologis ketika antibodi terhadap virus tersebut dari negatif
berubah menjadi positif. Rentang waktu sejak HIV masuk ke dalam
tubuh sampai test antibodi terhadap HIV menjadi posotif disebut
window period. Lamanya window period antara sat sampan tiga bulan,
bahkan ada yang data berlangsung sampai enam bulan. Aktivitas
normal dan dijumpai adanya Limfadenopati generalisata.
2) Stadium kedua: asimptomatik (tanpa gejala)
Asimtomatik berarti bahwa dalam organ tubuh terdapat HIV tetapi
tubuh tidak menunjukkan gejala-gejala. Keadaan ini dapat berlangsung
rata-rata 5-10 tahun. Cairan tubuh pasien HIV/AIDS yang tampak
sehat ini sudah dapat menularkan HIV kepada orang lain. Aktivitas
normal, berat badan menurun <10%, terdapat kelainan kulit dan
mukosa yang ringan, seperti dermatitis seroboik, prorigo,
onikomikosis, ulkus yang berulang dan khelitis angularis, herpes
zoster dalam 5 tahun terakhir,serta adanya infeksi saluran naps bagian
atas, seperti sinusitis bakterialis.
3) Stadium ketiga
Pada umumnya kondisi tubuh lemah, aktivitas di tempat tidur
<50%, berat badan menurun >10%, terjadi diare kronis yang
berlangsung lebih dari 1 bulan, deman berkepanjangan lebih dari 1
bulan, terdapat kandidiasis orofaringeal, TB paru dalam 1 tahun
terakhir infeksi bacterial yang berat seperti pneumonia dan
piomiositis.Pembesaran kelenjar limfe secara menetap dan merata
(PGL), tidak hanya muncul pada satu tempat saja, dan berlangsung
lebih satu bulan.
4) Stadium keempat; AIDS
Pada umumnya kondisi tubuh lemah, aktivitas di tempat tidur
>50%, terjadi HIV wasting syndrome, semakin bertambahnya infeksi
oportunistik, seperti pneumonia pneumocystis carinii,
toksoplasmosis.Keadaan ini disertsi adanya bermacam-macam
penyakit, antara lain penyakit konstitusional, penyakit saraf, dan
penyakit infeksi sekunder.

20
Gambar 2.10 Stadium HIV/AIDS
Sumber: http://kspansmpn3singaraja.blogspot.com/2017/07/1.html

2) Klasifikasi menurut CDC


Mengklasifikasi HIV/AIDS pada remaja (> 13 tahun dan
dewasa) berdasarkan dua sistem, yaitu dengan melihat jumlah supresi
kekebalan tubuh yang dialami pasien serta stadium klinis. Jumlah
supresi kekebalan tubuh ditunjukkan limfosit CD4+. CD4+ adalah
jenis sel darah putih atau limfosit. Sel tersebut adalah bagian yang
terpenting dari sistem kekebalan tubuh kita. Sel CD4+ kadang kala
disebut sebagai sel T. Ada 2 macam sel T yaitu sel T-4, yang juga
disebut CD4 dan kadang kala sel CD4+, adalah sel ‘pembantu’. Sel T-8
(CD8) adalah sel penekan, yang mengakhiri tanggapan kekebalan. Sel
CD8 juga disebut sebagai sel pembunuh, karena sel tersebut
membunuh sel kanker atau sel yang terinfeksi virus.
Sel CD4 dapat dibedakan dari sel CD8 berdasarkan protein
tertentu yang ada di permukaan sel. Sel CD4 adalah sel-T yang
mempunyai protein CD4 pada permukaannya. Protein itu bekerja
sebagai reseptor untuk HIV. HIV mengikat pada reseptor pada CD4
itu seperti kunci dengan gembok.
HIV umunya menulari sel CD4. Kode genetik HIV menjadi
bagian dari sel itu. Waktu sel CD4 menggandakan diri (bereplikasi)
untuk melawan infeksi apapun, sel tersebut juga membuat tiruan HIV.
Setelah kita terinfeksi HIV dan belum mulai terapi antiretroviral
(ART), jumlah sel CD4 kita semakin menurun. Ini tanda bawah sistem
kekebalan tubuh kita semakin rusak. Semakin rendah jumlah CD4
semakin mungkin kita akan jatuh sakit.
Ada jutaan keluarga sel CD4. Setiap keluarga dirancang khusus
untuk melawan kuman tertentu. Waktu HIV mengurangi jumlah sel
CD4, beberapa keluarga dapat diberantas, kalau itu terjadi, kita
kehilangan kemampuan untuk melawan kuman yang seharusnya

21
dihadapi oleh keluarga tersebut. Jika ini terjadi mungkin mengalami
infeksi oportunistik.
Jumlah CD4 adalah ukuran kunci kesehatan sistem imun
kekebalan tubuh. Semakin rendah jumlahnya, semakin kerusakan yang
diakibatkan HIV. Jika kita mempunyai jumlah CD4 dibawah
200/presentase CD4 dibawah 14% kita dianggap AIDS, berdasarkan
definisi kemenkes. Jumlah CD4 dipakai bersama dengan viral load
untuk meramalkan berapa lama kita akan tetap sehat. Jumlah CD4 juga
dipakai untuk menunjukkan kapan beberapa macam pengobatan
termasuk ART sebaiknya dimulai. Hasil tes CD4 biasanya dilaporkan
sebagai jumlah sel CD4 yang ada dalam suatu millimeter kubik darah
(biasanya ditulis mm3). Jumlah CD4 yang normal berkisar antara 500
dan 1.600. Infeksi lain dapat sangat berpengaruh pada jumlah CD4.
Jika tubuh kita menyerang infeksi, maka jumlah sel darah putih
(limfosit) naik dan jumlah CD4 juga naik. Sistem terdiri dari tiga
kategori, sebagai berikut.
1) Kategori klinis A: CD4+> 500 sel/ml
Meliputi infeksi tanpa gejala (asimptomatik),
limfa denopati, generalisata yang menetap. Infeksi akut
primer dengan penyakit penyerta atau adanya riwayat
infeksi akut.
2) Kategori klinis B: CD4+ 200-499 sel/ml
Yang termasuk kategori ini antara lain
angiomatosis basilari, kandidiasis orofaringeal,
kandidiasus vulvo vaginal, dysplasia leher Rahim,
herpes zoster, neuropati perifer, penyakit radang
panggul.
3) Kategori Klinis C: CD4+<200 sel / ml
Meliputi gejala yang ditemukan pada penderita
AIDS dan pada tahap ini orang yang terinfeksi HIV
menunjukkan perkembangan infeksi dan keganansan
yang mengancam kehidupannya, meliputi Ensefalopati
HIV, Pneumonia Pnumocystis carinii, Toksoplasmosis
otak, Diare Kritosporidosis ekstrapulmonal, Retinitas
virus sitomegalo, herpes simpleks mukomutan,
Leukoen selopati multivocal progresif, Mikosis
disminata, Kandidiasis di atas esophagus, trakea,
bronkus, dan paru, Tuburkulosis di paru, limfoma,
sakroma Kaposi.

22
4. Faktor Resiko
Perilaku dan kondisi yang menempatkan individu pada resiko tertular
HIV yang lebih besar antara lain:
a. Melakukan hubungan seksual anal atau vaginal tanpa kondom.
b. Memiliki infeksi menular seksual lain, seperti sifilis dan herpes,
Chlamydia, gonore, dan bakteri vaginosis.
c. Berbagi jarum suntik yang terkontaminasi, jarum suntik dan
peralatan suntik lainnya dan obat saat menyuntikkan narkoba.
d. Menerima suntikan yang tidak aman, transfusi darah,
transplantasi jaringan, prosedur medis yang melibatkan
pemotongan atau pendidikan yang di sterilkan.
e. Mengalami luka tembak jarum suntik, termasuk diantara petugas
kesehatan.

5. Patofisiologi
HIV adalah virus RNA yang dilapaisi struktur dasar dengan lapisan luar
terdiri dari lemek dan glikoprotein sedangkan bagian dalam inti terdiri dari 2
untai RNA tunggal yang mengikat bersama-sama berasal dari protein 24
(p24). Bagian membrane luar HIV terdiri dari elemen struktur spesifik yang
berperan penting dalam menginfeksi dan perkembangan proses penyakit.
Yang palinga penting dari HIV yaitu virus yang dilapisi glikoprotein 120
(gp120), yang digunakan untuk interaksi virus dengan sel reseptor tubuh
termasuk limfosit CD4++ makrofag, dan monosit. Virus HIV menginfeksi
tubuh melalui 8 tahapan yaitu :
a. Pengikatan oleh virus.
Pada permukaan membrane sel tubuh manusia terdiri dari
sturktur protein yang kompleks yabg berfungsi sebegi resptor. Virus
mengikat 2 jenis reseptor sel tubuh yaitu resptor CD4++ dan komkin
reseptor seperti CXCR4 (CXC rmembantu virus memasuki sel
targetnya. Kemudian, viru HIV akan menginfeksi sebuah sel limfosit
dimulai dengan melmapirkan virus melalui gp120 dengan membrane
sel sehingga virus dapat masuk kedalam sel.

b. Memasuki sel.
Setelah virus masuk ke dalam sel tubuh, inti virus dan RNA
(ribonucleic acid) masuk ke dalam sel, dengan tujuan unuk membuat
kembali material genetic virus, melapisi RNA atau melarutkan
nukleokapisid sehingga RNA virus masuk ke dalam sitoplasma sel
tubuh.
c. Reverse transcription.

23
Perubahan matrial genetic virus RNA menjadi DNA
(deoxyribpnucleic acid) terjadi melalui dikelurkan. Enzym Reverse
transcription yang oleh virus. Enzym Reverse transcription urutan
rantai RNA virus yang masuk kedalam sel dan mentrnskripsi urutan
menjadi pelengkap urutan DNA yang berguna untuk membuat
protein virus dan menyalin RNA virus oleh sebab itu, virus dapat
bereplikasi.
d. Mengintegrasikan ke dalam kromosom DNA tubuuh.
Selama tahap ini, DNA virus secara acak masuk ke dalam
DNA sel manusia dengan menggunakan enzim integrase yang
terdapat dalam virus. Setelah DNA yang diintegrasikan ke dalam
material genetic menjadi fas laten sampai beberapa tahun.
e. Sintesis DNA virus.
Pada saat aktivasi sel yang terinfeksi, DNA virus ditranskip
bersama dengan DNA ke dalam messenger RNA (mRNA). Kode
mRNA berfungsi memproduksi protein dan enzim virus. RNA virus
yang baru juga menyediakan material genetic untuk generasi virus
berikutnya. Setelah diproduksi, mRNA virus ditransportasikan ke
luar nukleus dan dimasukkan ke dalam sitoplasma sel manusia.
f. Translasi dan produksi dari protein virus.
Menerjemahkan atau translasi mRNA virus dari hasil produksi
urutan polipeptida. Masing-masing dari mRNA sesuai dengan
protein atau enzim yang disiapkan untuk membangun partikel virus
HIV baru.
g. Pertumbuhan virus dalam sel tubuh.
Dalam tahap ini virus membantuk partikel virus baru yang
dibuat dari protein virus (gp120 dan gp41) dan enzim. Polipeptida
dipecah menjadi partikel kecil oleh enzim protease dan mengambil
protein membran sel tubuh yang mengandung virus untuk
membentuk virus baru sehingga CD4++ limfosit menjadi rusak dan
fungsinya menurun sehingga terjadi penurunan kekealan tubuh dan
virus semakin banyak diproduksi.
h. Maturasi.
Tahap terakhir dari siklus hidup virus HIV adalah maturasi.
Maturasi dibutuhkan agar virus menjadi menular. Setelah tumbuh
dari sel tubuh manusia, enzim protease dalam partikel virus baru
menjadi aktif dan memecahan polipeptida ke dalam subunit
fungsional yang sesuai atau protein dan enzim. Proses tahapan ini
menghasilkan generasi virus yang matur dan menular.

24
6. Perjalanan Penyakit
Perjalanan klinis pasien dari tahap terinfeksi HIV sampai tahap AIDS,
sejalan dengan penurunan derajat omunitas pasien, terutama imunitas seluler
dan menunjukkan gambaran penyakit yang kronis. Penurunan imunitas
biasanya diikuti adanya peningkatan resiko dan derajat keparahan infeksi
oportunistik serta penyakit keganasan. Dari semua orang yangterinfeksi HIV,
sebagian berkembang menjadi AIDS pada tiga tahin pertama, 50% menjadi
AID setelah 10 tahun, dan hampir 100% pasien HIV menjadi AIDS setelah 13
tahun.
Dalam tubuh ODHA, partikel virus akan bergabung dengan DNA sel
pasien. Degan demikian, orang yang terinfeksi HIV seumur hidup tetap
terinfeksi. Sebagian pasien memperlihatkan gejala tidak khas infeksi seperti
demam, nyeri menelan, pembengkakan kelenjar getah bening, ruam, diare,
atau batuk pada 3-6 minggu setelah infeksi. Kondisi ini dikenal dengan infeksi
primer.
Infeksi primer berkaitan dengan periode waktu, yakni HIV pertama kali
masuk ke dalam tubuh. Pada fase awal proses infekai (imunokompeten) akan
terjadi respons imun berupa peningkatan aktivasi imun, yaitu pada tingkat
seluler (HLA-DR, sel T, IL-2R), serum atau humoral (beta-2 mikroglobulin,
neopretin, CD-8, IL-R) dan antibodi upregulation (gp 120, anti p24, IgA).
Induksi sel-T helper sistem imun agar tetap berfungsi baik. Infeksi HIV akan
mengahncurkan sel-sel T, sehingga T-helper tidak dapat memberikan induksi
kepada sel sel efektor sistem imun. Dengan tidak adanya T-helper, sel-sel
efektor sistem imun seperti T8 sitotosik, sel NK, monosit, dan sel B tidak
dapt berfungsi secra baik. Daya tahan tubuh menurun sehingga pasien jatuh ke
stadium lebih lanjut.
Saat ini darah pasien menunjukkan jumlah virus yang sangat tinggi, yang
berarti banyak virus lain didalam darah. Sejumlah virus dalam darah atau
plasma per mililiter mencapai satu juta. Orang dewasa yang baru terinfeksi
sering menunjjukan sindrom retroviral akut. Tanda dan gejala meliputi panas,
nyeri otot, sakit kepala, mual, muntah, diare, berkeringat dimalam hari,
kehilangan berat badan dan timbul ruam. Biasanya terjadi 2-4 minggu setelah
infeksi, dan hilang timbul.
Selama indeksi primer jumlah limfosit CD4+ dalam darah menurun
dengan cepat. Targer virus ini adalah limfosit CD4+ pada nodus limfa dan
timus selama waktu tersebut, yang membuat individu yang terinfeksi HIV
akan mungkin terkena infeksi oportunistik dan membatasi kemampuan timus
untuk memproduksi limfosit.
Setelah indeksi akut, dimulailah indeksi HIV asimtomatik (tanpa gejala).
Masa tanpa gejala ini bisa berlangsung selama 5-10 tahun. Akan tetapi ada

25
sekelompok orang yang perjalanan penyakitnya sangat cepat, hanya sekitar
dua tahun, dan ada pula yang perjlanannya sangat lambat.
Seiring dengan makin memnuruknya kekebalan tubuh, ODHA mulai
menampakkan gejala akibat infeksi oportunistik (penurunan BB, demam lama,
pembesaran kelenjar getah bening, diare, TB paru, infeksi jamur, herpes, dll).
Perjalanan penyakit lebih progresif pada pengguna narkoba. Lamanya
penggunaan jarum suntik berbanding lurus dengan infeksi pneumonia dan TB
paru. Infeksi oleh kuman lain akan membuat HIV membelah lebih cepat.
Selain itu, dapat mengakibatkan reaktivitas virus di dalam limfosit T sehingga
perjalanan penyakit bisa lebih progresif.

7. Manifestasi Klinis
Keganasan AIDS adalah bentuk dari manifestasi klinis akibat infeksi
oportunistik yang khas. Bentuk manifestasi klinis ini pulalah yang
mendorong penderita HIV/AIDS berujung pada kematian.
a. Keganasan
Keganasan virus HIV/AIDS menyebabkan banyak dampak
kanker dan penyakit lain. Bahkan, dampak infeksi HIV
memunculkan penyakit ganas dan kronik. Berikut beberapa bentuk
dari manifestasi klinis HIV/AIDS.
1) Sarcoma Kaposi (SK)
Kemunculan keganasan gangguan ini berasal dari
manifestasi proliferasi sel gelondong yang berlebihan. Sel
gelondong diperkirakan muncul dari system vascular. SK
salah satu mikroorganisme menular secara seksual, yang
disebabkan oleh dua virus, yaitu virus herpes manusia tipe 8
(HHV8) dan virus herpes terkait-sarkoma Kaposi. Jadi,
penyebarannya bukan HIV. Hamper penderita yang
terjangkit vierus HHV8 rentan terhadap kanker serviks pada
orang yang terinfeksi akibat vierus papilloma.
Kemunculan SK secara multisentrik berupa nodus
asimtomatik atau suatu angiosarkoma. Sementara itu, untuk
klien yang mengalami kanker serviks lesi ditandai dengan
bercak kemerahan campur keunguan di kulit. Ada juga yang
warnanya ungu tua, merah kecoklatan, dan merah mudah.
Lesi yang muncul pada SK juga ditemukan di saluran cerna
(GI). Paru, dan kelenjar getah bening. Jika terjadi kerusakan
di titk tersebut, manifestasi lebh lanjut dapat menyebabkan
kerusakan fungsional dan struktual, seperti gangguan
malabsorpsi dan limfedema.

26
Apabila SK terlokasisasi di kulit maka penangan
dapat dilakukan dengan melakukan bedah laser, beku, dan
eksisi bedah. Hanya saja, banyak penderita yang lebih
memilih radioterapi untuk penyakit local dan kemoterapi.
Sedangkan untuk penanganan jalur obat kemoterapi yang
sering digunakan adalah jenis doksurubisin, vinblastine,
bleomisin, dan vinkristin.

2) Limfoma maligna
Manifestasi klinis AIDS juga dapat menyebabkan
tumor sel B, yang termasuk bagian dari bagian limfoma
maligna. Sebagian besar, penderita yang mengalami
limfoma maligna adalah klain yang mengidap
limfadenopati genelirasata persisten (PGL). Sementara,
tumor sel B stadium patologik tinggi disebut dengan small
noncleaved iymphoma. Gejala yang ditimbulkan antara lain
demam, keringat berlebihan di malam hari, dan penurunan
berat badan secara ekstrem.
3) Tumor sistem saraf pusat
Tumor limfoma sistem saraf pusat primer
(SSP). SSP gangguan yang disebabkan oleh tata letak
tumor dan edema. Gejala awal yang ditunjukan
penderita SSP disertai sakit kepala memori jangka
pendek berkurang, terjadi kelumpuhan saraf kranialis,
perubahan kepribadian, dan hemiparesis.
4) Kanker serviks invasif
Kanker serviks invasif disebabkan dari
keganasan ginekologik yang berkaitan dengan HIV
kronik. Menurut Fauci, Lane (1998) displasiaserviks
menyerang perempuan sebanyak 40%. Jenis displasia
desebabkan karena virus papiloma yang bermanifastasi.
Tindakan penyembuhan dapat dilakukan dengan
pemeriksaan apusan papanicolaou atau disebut juga
pemeriksaan kolposkopik yang dilakukan selama 6
bulan sekali. Pemeriksaan secara dini sangat dianjurkan
untuk meminimalisasi terjadi serangan yang lebih
ganas.

5) AIDS Pediatrik

27
Penularan HIV pada anak terjadi saat bayi
dilahirkan, saat dalam kandunga, atau ketika bayi
meminum ASI ibu yang positif HIV. Sebagian besar
bayi baru akan memperlihatkan antibodi yan terinfeksi
HIV ketika berusia 10-18 bulan setelah lahir. Hal ini
sebabkan karena penyaluran IgG anti HIV masuk
melewati plasma.
Stringer dan Vermund dalam Prevention of
mother to Child transmission (2000) menyatakan
bahwa mekanisme penularan HIV dari ibu ke janin
bervariasi. Di Negara industry populasi yang tidak
menyusui dan tidak menyusui dan tidak diobati
mencapai 40%. Sementara itu, ibu yang tidak
memyusui sekitar 20% dari infeksi HIV, sisanya
hamper 80% bayi yang terinfeksi HIV terjadi selama
kehamilan. Penularan virus terjadi pacsapartus
menimbulkan risiko lebih besr 15% penularan perinatal
melalui kolostrum dan ASI.
Berbagai upaya untuk mengurangi kemungkinan
penularan virus HIV pada bayi. Conner (2003)
menyatakan ibu hamil yang diberi zidovidun dapat
mengurangi infeksi HIV pada janin sebesar 2/3. Jika
kemungkinan awal janin terkena virus HIV sebesar
25% menurun menjadi 8%. Cara ini pernah dicoba di
Amerika Serikat pada tahun 1992 sampai 1997,hasil
juga mampu menurunkan kemungkinan penularan.
Selain pemberian zidovudin, ada beberapa cara
mengurangi risiko penularan antara lain:
a. Seksio sesaria, cara ini diberikan
sebelum ketuban pecah. Cara ini
mampu meminimalisir penularan
sebesar 50%.
b. Pemberian zidovudin intravena selama
persalinan dan melahirkan.
c. Pemberian sirup zidovudin kepada bayi
yang baru dilahirkan.
d. Tidak memberikan ASI.
Anak yang positif virus HIV akibat
penyebaran secara vertical memiliki
kemiripan dan perbedaan pada

28
HIV/AIDS pada orag dewasa. Penderita
anak sering mengalami disfungsi sel B
sebelum terjadi perubahan jumlah
limfosit CD4+. Disfungsi sel B ini
menyebabkan terjadinya disfungsi
system sel imun. Dampak secara fisik
yang dirasakan adalah anak rentan
terinfeksi bakteri rekuren. Infeksi ini
menyebabkan pathogen bakteri yang
masuk akan bermanifestasi menjadi
sindrom klinis menjadi otitis media,
infeksi saluran kemih, infeksi
pernapasan, sinusitis, meningitis
penyakit IG.
Anak-anak dan bayi positif AIDS
berisiko mengalami infeksi oportunistik.
Infeksi lain yang ditemukan mencakup
infeksi herpes, toskoplasmosis, infeksi
sitomegalovirus diseminata, infeksi
kriptokokus, kandidiasis, dan
histoplasmosis. Dampak infeksi ini
dapat memburuk ketika terdapat
patongen lain.
Anak-anak remaja dengan AIDS
berisiko infeksi EBC yang terkait
dengan pneumonitis interstisium
limfoid-hiperplasia limfoid paru (LIP-
PLH) yang tinggi. Gejala klinis yang
terlihat adalah terjadi pembengkakan
parotis, terjadi keterlambatan
perkembangan, anak juga sering
mengalami diare, deman, dan
limfadenopati. Sementara itu, pada bayi
yang terkait dengan disfungsi sel B dan
sel T berisiko terkenak ensefalopati
progresif yang dianggap sebagai
masalah palin parah terkait infeksi HIV
(brouwerset, 1994).

b. Infeksi Oportunistik

29
Penderita AIDS dapat mengalami destruktif secara progresif fungsi
imun. Penderita jug mengalami morbiditas dan mortalitas akibat
infeksi oportunistik yang menyebabkan terjadinya kegagalan
surveilans dalam proses system imun. Kekebalan tubuh AIDS sangat
rentan terhadap antigen dan mudah terinfeksi oleh bakteri, virus,
protozoa, dan jamur. Infeksi mikroorganisme yang langka dan
mengalami infeksi menetap, parah dan sering kambuh karena
terinfeksi lebih dari satu, misalnya cryptosporidium dan
mycobacterium avium-intracellulare (MAI).
Infeksi serius yang dialami penderita AIDS adalah klien
didiagnosis pneumonia pneumocystis carinii (PPC). Infeksi ini
sebagai penanda klien mengalami beberapa gejala. Mulai dari
demam, intoleransi olahraga, merasakan sesaknapas yang
berkembang secara bertahap dan batuk kering nonproduktif. Sering
juga disertai badan terasa lemas. Pengobatan dapat dilakukan dengan
cara terapi, seperti profilaktit atau supresif. Jika menggunakan obat,
dapat menggunakan trimetoprim-sulfametokszol. Bisa juga
menggunakan obat alternative seperti pentamidin yang diberikan
secara parental.
Penderita AIDS memiliki risiko 30% lebih besar terkena
toksoplasmosis dalam kurun waktu 2 tahun. Sementara itu, penderita
AIDS dan mengalami penyakit system saraf pusat (SSP) gejala yang
ditimbulkan adalah terjadinya lesi tunggal dan jamak, yang hanya
bisa dipantau menggunakan CT San. Penderita HIV/AIDS yang
terinfeksi di saluran pencernaan akan mengalami gejala diare
swasirna dan intermiten di tahap ringan hingga berat. Protozoa yang
menyerang saluran pencernaan ini umumnya adalah
cryptosporidium, isispora belli dan microsporidium.
Kasus lain penderita AIDS yang mengalami infeksi fungus,
meliputi kriptkokosis, kandiasis, dan histoplasmosis. Infeksi fungus
umumnya disertai dengan kekeringan dan iritasi mulut. Sementara itu
klien yang mengalami infeksi Cryptococcus neoformans terjadi pada
klien AIDS kurang lebih 7% yang mengalami meningitis. Biasanya
klien diberikan terapi flukonazol, terapi ini menghasilkan profilaksis
terbatas untukinfeksi. Penderita AIDS yang terinfeksi khusus di
histoplasma capsulatum nonspesifik dan variasi menunjukkan gejala,
seperti pneumonitis, menggigil, demam, penurunan BB, diare,
depresi sumsum tulang dan mengalami lesi kulit. Adapun
penanganan yang digunakan adalah terapi induksi dan menggunakan
dosis yang rendah.

30
Bentuk virus lain yang terinfeksi oleh HIV/AIDS adalah virus
sitomegalo virus (CMV). Umumnya virus ini disertai dengan herpes
zoster (shingles) sebagai indikator perkembangan penyakit. CMV
juga salah satu virus yang menyebabkan kemunculan diseminata
dengan 4 penyakit, seperti korioretintis, elektrokolitis, pneumonia,
dan adrenalitis. Sementara itu klien yang mengalami pneumoni
datang secara simultan dengan pathogen pneumocystis carinii. Ada
juga infeksi yang sampai dapat mengubah kepribadian klien dan
menyebabkan beberapa gejala seperti tremor, gangguan koordinasi,
nyeri kepala, mengalami disfungsi serebulum dan secara klinis klien
mengalami defisit motorik dan sensoriknya adalah jenis penyakit
leukoensofalopati multifokus progresif.
Tabel 2.4 Infeksi Oportunistik pada AIDS

Penyebab Infeksi Oportunistik


Infeksi
Protozoa dan 1. Kriptosporidiosis atau isosporiasis (enteritis)
cacing 2. Pneumositosis (pneumonia)
3. Taksoplasmosis (penumonia atau infeksi SPP)
Jamur 1. Kandidiasis (mulut, esofagus, trakea,
pulmoner)
2. Kriptokokosis
3. Hiptoplasmsis
Bakteri 1. Mikrobateriosis (M. Avium, M.TB)
2. Nocardis (pneumonia, meningitis)
3. Salmonela
Virus 1. Citomegalovirus; indeksi paru, usus, retina,
CNS
2. Herpes virus simpleks (lokal atau desiminata)
3. Progressive multifocal leukoencephalopati

8. Komplikasi
Infeksi HIV memperlemah sistem kekebalan tubuh, membuatnya
sangat rentang terhadap banyak infeksi dan jenis kanker tertentu. Infeksi
umum terjadi pada HIV atau AIDS antara lain:
a. Tuberculosis (TB)
Di negara berkembang, TB adalah infeksi ovortunistik
paling umum yang terkait dengan HIV dan penyebab utama
kematian antara orang orang dengan AIDS.
b. Sitomegalovirus.

31
Virus herpes umum ini ditularkan ke cairan seperti air
liur, darah, air seni, air mani, dan ASI, sistem kekebalan tubuh
yang sehat menonaktifkan virus jika sistem kekebalan tubuh
melemah maka virus akan muncul kembali, menyebabkan
kerusakan pada mata saluran pencernaan, paru paru, atau organ
tubuh lainnya.
c. Kandiasis.
Infeksi yang berhubungan dengan HIV. Ia
menyebabkan radang dan lapisan putih tebal di selaput lender
mulut, lidah, kerongkongan atau vagina.
d. Meningitis kriptokal.
Meningitis adalah pembengkakan selaput dan ciran
yang mengelilingi otak dan sumsadaum tulang belakang
(meninges). Meningitis kriptokokus adalah infeksi sistem saraf
pusat yang umum yang terkait dengan HIV disebabkan oleh
jamur.
e. Toksoplasma.
Infeksi berpotensi mematikan ini disebabkan oleh
Toksoplasma gondii, parasit yang menyebar terutama dari
kucing. Kucing yang terinfeksi melewati parasit ditinja
mereka dan parasit kemudian menyebar ke hewan dan
manusia lainnya.
f. Kristosporidiosis.
Infeksi ini disebebkan oleh parasit usus yang biasa
ditemukan pada hewan. Kristosporidiosis bisa masuk
kedalam tubuh ketika seseorang menelan maknan atau air
yang terkontaminasi. Pararasit itu tumbuh diusus dan saluran
empedu, yang meneyebabkan diare kronis yang parah pada
orang dengan AIDS .

g. Kanker yang umun terjadi pada HIV atau AIDS


1) Tumor sarcoma Kaposi dinding pembuluh darah, kanker
ini jarang terjadi pada orang yang tidak terinfeksi HIV,
namuan umun pada orang HIV positif.
2) Sakroma Kaposi biasanya muncul sebagai lesi merah
muda, merah, ungu pada kulit atau mulut. Pada orang
dengan kulit gelap lesi terlihat coklat tua atau hitam.
Sarcoma Kaposi dapat mempengahruhi organ dalam
termasuk saluran pencernaan dan paru-paru.

32
3) Limfoma. Jenis kanker ini berasal dari sel darah putih
dan biasnya pertama kali muncul di kelenjar getah
bening. Tanda awal paling umum adalah pembengakakn
kelenjar getah bening yang tidak menyakitkan leher,
ketiak, atau pangkal paha.
4) Sindroma wasting. Regimen pengobatan agresif telah
mengurangi jumlah kahsus sindrom wasting, namuan
masih mempengahruhi banyak orang penderita AIDS.
Sindroma ini didefinisikan sebagai kehilangan setidakya
10% berat badan, sering disertai diare, kelemahan kronis
dan demam.
5) Komplikasi neurologis meskipun AIDS tampak tidak
menginfeksi sel-sel saraf, hal itu dapat menyebabkan
gejala neurologis seperti kebinggungan, kelupaan,
depresi, kegelisahan dan sulit berjalan. Salah satu
komplikasi neuorologis yang paling umun adalah
kompleks demensia AIDS, yang menyebabkan
perubahan prilaku dan berkurangnya fungsi mental.
6) Penyakit ginjal. HIV terkait nefropati (HIVAN) adalah
radang filter kecil di ginjal yang menghilangkan
kelebihan cairan dan limbah dari aliran darah, serta
meneruskannya ke urin. Akibat predisposisi genetic,
resiko pengembangan HIVAN jauh lebih tinggi pada
orang kulit hitam.

9. Pemeriksaan Diagnostik
Uji pemeriksaan laboratirum untuk mengetahui antibody yang terinfeksi
HIV dilakukan dengan pemeriksaan antibodi. Pemeriksaan antibody
dimaksudkan untuk mengetahui imunopatogenesis yang dapat dijadikan
sebagai penanda penyakit. Pemeriksaan antibodi juga dapat dijadikan sebagai
deteksi dini infeksi. Pemeriksaan antibodi juga dapat dilakukan untuk
pemeriksaan pada bayi yang lahir dari ibu yang terkena HIV. Prosedur
pemeriksaan antibodi dilakukan dengan cara membiakan virus, dan dilakukan
serangkaian pemeriksaan lain, seperti pengukuran antigen p24 dan
pengukuran DNA dan RNA HIV yang menggunakan reaksi berantai
polymerase (PCR) dan RNA HIV-1 plasma.
Pemeriksa laboratium yang lain ada pemeriksaan enzyme linked
immunosorbent assay (ELISA) dan uji Western blot. Pada pemeriksaan ini
dapat dilihat apakah terdeteksi virus dalam jumlah besar. Jika hasilnya
positif, klien akan melakukan pemeriksaan lebih lanjut, yaitu western blot.

33
Uji laboratorium western blot dilakukan sebanyak dua kali, jika dihasilnya
menujukkan positif-palsu dapat terjadi hasil uji yang tidak konklusif.
Pemeriksaan positif-palsu umumnya terjadi pada penderita yang masih tahao
awal infeksi HIV.

10. Penatalaksanaan
Tidak ada obat untuk HIV/AIDS, namun berbagai obat dapat digunakan
dalam kombinasi untuk mengendalikan virus. Setiap kelas anti-HIV
memblokir virus dengan cara yang berbeda. Sebaiknya kombinasikan
setidaknya tiga obat dari dua kelas untuk menghindari terciptanya stran HIV
yang kebal terhadap obat tunggal. Kelas obat anti-HIV meliputi;
a. Inhibitor reverse transcriptase non-nukleosida (NNRTI). NNRTI
menonaktifkan protein yang dibutuhkan oleh HIV untuk membuat
salinan dirinya sendiri. Contohnya efavirenz (Sustiva), etravirine
(intelence) dan nevirapine (nevirapine).
b. Nukleosida atau nucleotide reverse transcriptase inhibitor (NRTI).
NRTI adalah versi yang salah dari blok bangunan yang HIV perlu
membuat salinan dirinya sendiri. Contohnya abacavir (Ziagen), dan
kombinasi obat emtricitabine-tenofovir (Truvada), dan lamivudine-
zidovudine (Combivir).
c. Protease inhibitor (PI). PI menonaktifkan protease, protein lain yang
HIV perlu membuat salinan dirinya sendiri. Contohnya atazanavir
(Reyataz), darunavir, (Prezista), fosamprenavir (Lexiva) dan
indinavir (Crixivan)>
d. Penghambatan fusi. Obat-obatan ini menghambat masuknya HIV ke
dala CD4. Contohnya enfuvirtide (Fuzeon) dan maraviroc
(Selzentry).
e. Integrase inhibitor. Obat-obatan ini bekerja dengan menonaktifkan
integrase, protein yang digunakan HIV untuk memasukksan bahan
genetiknya ke dalam sel CD4. Contohnya raltegravir (Isentress),
elvitegravir (Vitekta), dan dolutegravir.

C. LIMFOMA NON-HODGKIN
1. Definisi
Limfoma Non Hodgkin (LNH) merupakan sekumpulan besar
keganasan primer kelenjar getah bening dan jaringan limfoid ekstra
nodal, yang dapat berasal dari limfosit B, limfosit T, dan sel NK

34
”natural killer”. Saat ini terdapat 36 entitas penyakit yang
dikategorikan sebagai LNH dalam klasifikasi WHO.
Limfoma non-Hodgkin (LNH) atau non-Hodgkin Lymphomas
merupakan penyakit yang sangat heterogen dilihat dari segi patologi dan
klinisnya penyebarannya juga tidak seteratr penyakit Hodgkin serta
bentuk ekstra-nodal jauh lebih sering dijumpa.

2. Etiologi
a. Abnormalitas sitogenetik, seperti translokasi kromosom.
b. Infeksi virus
1) Virus Epstein-barr yang berhubungan dengan limfoma burkitt,
sebuah penyakit yang bisa ditemukan di afrika.
2) Infeksi HTLV-1 ( Human T Lymphotropic virus tipe 1 ).

35
3)
3. Patofisiologi Limfoma

Faktor Keturunan Kelainan sistem Infeksi Virus faktor predispoosisi

kekebalan ( usia, pekerjaan )

sel red stenberg dalam kelenjar getah bening

proliferasi abnormal tumor

penyumbatan/penekanan

Dikelenjar getah bening ( leher ) KGB


menghasilkan
sel darah
putih
Agen cidera biologis Mengenai nodus limfe
Antibodi
menurun
penekanan pada esofagus Limfoma maligna Virus masuk ke tubuh

Hambatan saat menelan Rasa sakit ditenggorokan


nyeri
Nafsu makan menurun MK: INFEKSI
BB menurun

MK: NYERI MK : NUTRISI KURANG DARI

AKUT KEBUTUHAN TUBUH


Perlawanan kelenjar
limfa dengan virus

Infamasi

Demam,suhu meningkat, berkeringat malam

MK:HIPERTENSI

4. Faktor resiko
Penyakit ini terjadi ketika tubuh membuat terlalu banyak limfosit.
Limfosit yang berlebihan menumpuk di kelenjar getah bening kemudian
membengkak dan membentuk tumor. Tumor ini dapat terus tumbuh dan
mempengaruhi sel-sel di sekitarnya.
Saat ini para ilmuwan masih belum mengetahui penyebab pembelahan
sel-sel yang tidak normal terutama sel darah putih. Namun, mereka
berpendapat bahwa limfoma dapat berkembang pada orang dengan sistem
kekebalan tubuh yang lemah seperti mereka yang memiliki organ
transplantasi atau yang memiliki HIV.

36
Faktor-faktor tertentu yang meningkatkan risiko Anda mengalami
limfoma non Hodgkin adalah:
a. Obat-obatan
menekan sistem kekebalan tubuh, terlebih jika Anda
melakukan transplantasi organ, Anda rentan terhadap risiko
limfoma non Hodgkin. Hal ini karena terapi imunosupresif
mengurangi kemampuan untuk melawan penyakit pada
tubuh.
b. Infeksi beberapa virus dan bakteri
Limfoma non-Hodgkin berhubungan dengan virus
HIV, virus Epstein-Barr dan bakteri Helicobacter pylori
(bakteri yang menyebabkan tukak lambung).
c. Bahan kimia
Paparan berlebihan terhadap bahan kimia seperti
herbisida dan pestisida meningkatkan risiko limfoma non-
Hodgkin.
d. Usia
Orang tua (di atas 60 tahun) sering berisiko terinfeksi
karena sistem kekebalan tubuh mereka mulai melemah.

5. Klasifikasi
Penggolongan histologik Limfoma Non Hodgkin merupakan
masalah yang rumit. Perkembangan terkhir klasifikasi yang
banyak digunakan dan diterima oleh pusat-pusat kesehatan adalah
berdasarkan /WHO terbaru (2008).
B Cell Neoplasm
1. Precursor B-cell neoplasm : Precursor B-Acute Lymphoblastic
Leukemia/lymphoblastic lymphoma.
2. Peripheral B-cell neoplasms.
a. B-cell chronic lymphocytic leukemia/small lymphocytic
lymphoma.
b. Lymphoplasmacytic lymphoma.
c. Mantle cell lymphoma.
d. Follicular lymphoma.
e. Extranodal marginal zone B-cell lymphoma or MALT type.
f. Nodal marginal zone B-cell lymphoma.
g. Splenic marginal zone lymphoma.
h. Plasmacytoma/ plasma cell myeloma.
i. Diffuse large B-cell lymphoma, NOS.
j. Diffuse large B cell lymphoma variants.

37
k. Burkitt’s lymphoma.
l. B cell lymphoma inclassifiable with features intermediate
between DLBCL and Burkitt lymphoma.
m. B cell lymphoma inclassifiable with features
intermediate between DLBCL and classical Hodgkin
lymphoma.
Limfoma non-Hodgkin terbagi menjadi 4 stadium dan ditentukan
berdasarkan penyebaran sel kanker, yaitu:

Stadium 1 kanker menyerang salah satu


kelompok kelenjar getah bening,
misalnya hanya kelompok kelenjar
getah bening pada lipat paha atau
leher.
Stadium 2 kanker menyerang dua kelompok
kelenjar getah bening atau lebih,
namun masih satu bagian tubuh.
Bagian tubuh dalam stadium
limfoma dipisahkan oleh diafragma,
yaitu di atas atau di bawah
diafragma. Diafragma adalah otot
yang membatasi rongga perut dan
rongga dada.
Stadium 3 kanker sudah berada di kelompok
kelenjar getah bening di atas dan di
bawah diafragma.
Stadium 4 kanker sudah menyebar keluar dari
sistem limfatik dan masuk ke
sumsum tulang atau organ lain,
seperti hati atau paru-paru.

38
6. Pemeriksaan Diagnostik
Pemeriksaan Diagnostik A. Biopsi eksisional atau core biopsy6,71.
Biopsi KGB dilakukan cukup pada 1 kelenjar yang paling representatif,
superfisial, dan perifer. Jika terdapat kelenjarsuperfisial/perifer
yang paling representatif, maka tidak perlu biopsi intraabdominal atau
intratorakal. Kelenjar getah bening yang disarankan adalah dari
leher dan supraclavicular, pilihan kedua adalah aksila dan pilihan
terakhir adalah inguinal.Spesimen kelenjar diperiksa:
a. RutinHistopatologi: sesuai klasifikasi WHO terbaru.
b. KhususImmunohistokimiaMolekuler (hibridisasi insitu) EBV.

7. Penatalaksanaan
Pilihan terapi bergantung pada beberapa hal, antara lain: tipe
limfoma (jenis histologi), stadium, sifat tumor (indolen/agresif), usia,
dan keadaan umum pasien.I.LNH INDOLEN / Low grade: (Ki-67 <
30%) Yang termasuk dalam kelompok ini adalah:SLL/small
lymphocytic lymphoma/CLL =chronic lymphocytic lymphoma MZL
(marginal zone lymphoma), nodal, ekstranodal dan splenic)
Lymphoplasmacytic lymphomaFollicular lymphoma gr 1-2Mycosis
FungoidesPrimary cutaneous anaplastic large cell lymphoma A. LNH
INDOL.

39
BAB III
STUDI KASUS
A. KASUS

Seorang laki-laki usia 43 tahun, mengeluhkan 2 bulan SMRS penderita


mengeluh tumbuh benjolan di leher sebelah kiri, Mula mula benjolan sebesar
telur ayam, makin lama makin membesar, 2 SMRS benjolan semakin besar,
sehingga penderita sulit memalingkan lehernya. Demam (+) , sejak 2 bulan,
hilang timbul,batuk (-) , sesak nafas (-), nyeri menelan (-),penurunan berat
badan (+) , turun 5 kg dalam 1 bulan ( 60 kg → 55 kg),sariawan (-). Bak (+),
volume cukup, warna kuning,nyeri sewaktu bak (-), bak berdarah (-), bab (+)
1x/hari, warna kuning, riwayat mencret lama (-). Tattoo (-),Riwayat minum
alcohol (-),Riwayat seks berganti ganti pasangan sejenis(+), riwayat keluarga:
Batuk lama (-), tidak ada anggota keluarga yang mendapat obat yang
membuat kencing warna merah,Sakit ginjal (-), kencing manis (-), darah
tinggi (-). Penderita bekerja sbg penata rias, belum bekeluarga, biaya berobat
ditanggung jamkesmas, kesan social ekonomi kurang. Pemeriksaan
diagnostic. Di leher ditemukan: Benjolan 1 buah, ukuran 8x4x2 cm, warna
lebih merah dibandingkan kulit sekitar,teraba hangat, kenyal, permukaan
rata, nyeri tekan (+). Pembesaran nnll -. Test HIV (+) reaktif

B. DATA KLINIS

Nama : Tn. X

Umur : 43 tahun

Jenis kelamin : Laki-laki

Pekerjaan : Penata rias

Status perkawinan : Belum menikah

Agama : Islam

Alasan masuk rumah sakit : mengeluhkan 2 bulan SMRS penderita


mengeluh tumbuh benjolan di leher sebelah kiri.

C. PEMERIKSAAN KEPERAWATAN
1. Riwayat kesehatan
a. Riwayat kesehatan sekarang
Tn. X (43 tahun) masuk rumah sakit dengan keluhan Demam yang
hilang timbul. Bak (+), Bab (+). Hasil Pemeriksaan diagnostik di leher
ditemukan: Benjolan 1 buah, ukuran 8x4x2 cm, warna lebih merah
dibandingkan kulit sekitar, teraba hangat, kenyal, permukaan rata,
nyeri tekan (+). Pembesaran nnll (-). Test HIV (+) reaktif.

40
b. Riwayat pemeriksaan dahulu
Sebelumnya Tn. X, 2 bulan sebelum masuk rumah sakit penderita
mengeluh tumbuh benjolan di leher sebelah kiri, mula mula benjolan
sebesar telur ayam, makin lama makin membesar, sehingga penderita
sulit memalingkan lehernya. Penderita mengalami demam hilang
timbul sejak 2 bulan yang lalu. Penderita juga mengalami penurunan
berat badan (60 kg → 55 kg) dalam kurun waktu satu bulan.

2. Pemeriksaan fisik

1. Pemeriksaan Kepala
Inspeksi : Rambut berketombe , kulit kepala ,bentuk kesimetrisan
alis mata bulu mata bola mata dan warna terdapat anemia atau
tidak.
Palpasi : Bentuk kepala simetris , benjolan berada di area ,
sehingga tidak bisa menoleh kekiri, nyeri tekan pada dahi dan
edema ,pipi dan rahang .

2. Mulut dan Leher


Inspeksi : Terdapat sariawan di bibir , Kemerahan pada daerah
benjolan.
Palpasi : Terdapat benjolan dileher bagian sebelah kiri ,Nyeri
tekan dibenjolan dan sulit menengok .
3. Thoraks
Inspeksi : tidak tampak efusi pleura kanan-kiri,jantung tidak
membesar ,mediastiunum baik
Palpasi : terdapat massa isodensi, solid pada area mediastinum
anterior kanan ,sedikit mendesak trakea

4. Abdomen
Inspeksi : Abdomen, kulit, umbilicus, bentuk gelombang peristaltik
Auskultasi : Bising usus, bruit, friction rub

5. Genetalia
Inspeksi : Perkembangan penis, prepusium, glens, meatus uretra,
Kontur skrotum, kulit skrotum, testis, epididimis, korda
spermatikus, nyeritekan, benjolan , dan Area inguinal dan femoral
ktikaa pasien megejan
Palpasi : Adanya lesi, korpus penis, Lingkar inguinal eksternal,
kulit scrotal.
6. Anus
Inspeksi : Area sakrokoksigius, area perineal
Palpasi : Kanal anus dan rektum dengan jari bersarung tangan dan
pelumas. Raba dinding rektum, kelenjar prostat.
7. Pengkajian Nyeri

41
P : Bertambah nyeri saat menoleh, saat menelan, dan di tekan.
Q : Nyeri seperti menyebar ke daerah sekitar benjolan.
R : Nyeri ditemukan disekitar leher sinistra.
S : Skala nyeri 4 (nyeri sedang).
T : Nyeri dirasakan saat ingin menoleh, di tekan, dan menelan.
Nyeri sering dirasakan dan terjadi secara mendadak sejak dua bulan
sebelum masuk RS.

3. Pengkajian pola gordon


A. Pemeriksaan Antropometri dan TTV di dapatkan :
Tinggi badan : 170 cm
Berat badan : 55 kg
Suhu : 39 ℃
TD : 120/80
RR : 20x/mnt
Nadi : 80x/ menit
B. Pola persepsi kesehatan
Saat Tn. X masuk Rs, Tn.X memiliki ketidaktahuan tentang informasi
dari penyakit yang dideritanya. Tn. X 2 bulan merasakan sakit diare
dan demam dan Tn.X menggunakan obat warung untuk meredakan
rasa sakit. setelah Tn.X memeriksakan kondisinya ke RS, karena sulit
menoleh akibat benjolan yang semakin membesar.
C. Pola nutrisi metabolik
Sebulan sebelum masuk RS, Tn. X mengatakan berat badannya 60 kg,
namun setelah ada benjolan membuat nafsu makan Tn.X menurun,
awalnya Tn. X makan sehari 3x, namun setelah sakit, Tn.X makan
sehari 1x, sehingga Tn. X mengalami kehilangan berat badan sebanyak
5% dan menjadi 55 kg.
1. Antopometri : 5% berat badan menurun kekurangan gizi.
2. Biokimia : nafsu makan yang menurun.
3. Klinikal : membutuhkan waktu dalam penyembuhannya.
4. Diet : Membutuhkan asupan serat tinggi.

D. Pola eliminasi
Tn. X tidak mengalami gangguan pada eliminasi urine dengan hasil
pemeriksaan urine normal, volume cukup dan berwarna kuning, tidak
ada perubahan feses.tidak nampak tanda-tanda ISK hasil negative
tidak ada nyeri BAK dan warna urin tidak berubah.
E. Pola aktivitas – Latihan
Sebelum sakit, Tn. X pernah bekerja sebagai penata rias, namun
setelah sakit, Tn. X mengalami nyeri di bagian leher, sulit menoleh,

42
serta mengalami kelelahan akibat demam yang hilang timbul sehingga
membuat Tn. X berhenti bekerja.
F. Pola istirahat dan tidur
Sebelum sakit, Tn. X tidur selama 8 jam. Setelah sakit, Tn. X
mengalami ganggguan pola tidur sehingga Tn. X tidur selama 4 jam
akibat demam yang hilang timbul dan nyeri di bagian lehernya.
G. Pola Kognitif Perseptual
Tn. X memiliki kekhawatiran karena demam yang tak kunjung
sembuh dan benjolan yang semakin membesar.
H. Pola Persepsi diri
Setelah Tn. X sakit, Ia merasa malu akibat benjolan yang semakin
membesar dan mengganggua penampilannya yang bekerja sebagai
penata rias.
I. Pola Peran – Hubungan
Hubungan Tn.X dengan keluarganya kurang baik karena Tn. X tidak
kunjung menikah dan penyuka sesama jenis, yang dianggap aib oleh
keluarganya sehingga Tn.X merasa dikucilkan dan tak dianggap di
keluarganya.
J. Pola Seksualitas- Reproduksi
Sebelum Tn.X masuk RS dan didignosa HIV (+), Tn. X melakukan
hubungan seksual sesama jenis melalui anal. Sesudah masuk RS dan
didiagnosa HIV (+), Tn. X ditinggalkan oleh pasangannya.
K. Pola Koping- Toleransi stres
Sesudah Tn. X sakit, Ia merasa sedih dan sendiri, sehingga Tn. X
meminta temannya untuk mendampingi dia untuk berkonsultasi ke RS.
L. Pola Nilai Kepercayaan
Tn. X menganut agama Islam. Sebelum sakit Tn. X jarang mengikuti
kegiatan ibadah, setelah sakit Tn. X mulai mendekatkan diri kepada
sang Pencipta agar mendapat hidayah untuk kesebuhannya.

4. Pemeriksaan laboratorium
A. Pemeriksaan darah :
1. Leukosit : 3000/ mm3
2. Eritrosit : 4,5 juta/mm3
3. Trombosit : 140.000 / mm3
4. Hemoglobin : 13±2 g/dl
5. Hematokrit : 43 ± 5 g/dl
6. Limfosit : 15%

43
7. Netrofil : 52%
8. CD4 : 190 sel/mm3
B. Tes Serologi
1. Tes cepat (rapid test)
Hasil dari rapid test dapat ditunggu dalam waktu 5-40
menit.. Meskipun cepat, sensitivitas tes ini mencapai 99%.
Namun, hasil tes yang positif perlu dikonfirmasi dengan tes
yang lainnya. Jika hasilnya negatif, dapat dikatakan kecil
kemungkinan tertular. Bila ragu, tes dapat diulang diwaktu lain
dan diobservasi pada 6 minggu, 12 minggu atau 24 minggu
kemudian. Bahan tes dapat diambil dari darah hasil tusukan
jarum atau air liur.
2. Tes Enzyme Immunoassay (ELISA)
Tes ELISA dilakukan dengan mengambil sampel darah dari
permukaan kulit. Setelah mengambil darah, sampel darah
dikirim ke laboratorium untuk dianalisis. Pada tes ELISA,
sampel darah akan dimasukkan ke cawan petri yang berisi
antigen HIV.
Jika darah mengandung antibodi terhadap HIV, maka darah
akan mengikat antigen. Kemudian dilanjutkan dengan
menambahkan enzim ke cawan petri, untuk membantu
mempercepat reaksi kimia.
Setelah itu reaksi darah dan antigen terlihat. Jika isi cawan
petri berubah warna, maka terinfeksi HIV. Hasil dari tes HIV
dengan ELISA dapat memakan waktu 1-3 hari, namun ini
bervariasi, tergantung pada tes, laboratorium atau tes kesehatan
di rumah.
Dalam tes ELISA, ada kemungkinan kecil bahwa antibodi
seseorang akan salah menempel pada protein non-HIV,
sehingga selama tes berlangsung diperlukan tes kedua yang
lebih spesifik. Namun, tes kedua ini akan dilakukan jika tes
yang awalnya positif. Tes ini disebut Western blot.
3. Tes Western Blot
Tes Western Blot hanya dilakukan untuk menindaklanjuti
tes skrining pada tes ELISA yang awalnya positif. Jika tes HIV
menujukkan positif pada tes ELISA, maka kemungkinan
terkena HIV. Namun, terkadang terdapat false positive pada tes
ELISA yang berarti hasil tes menunjukkan bahwa Anda
memiliki HIV, padahal sebenarnya tidak.

44
Maka dari itu, diperlukan tes lanjutan yaitu tes Western
blot untuk memastikan apakah terinfeksi virus HIV. Ini terjadi
jika pasien memiliki kondisi seperti penyakit sifilis, lupus, dan
Lyme. Pada tes Western blot hanya membutuhkan satu hari
untuk dilakukan, namun ada laboratorium mungkin tidak
melakukan tes ini setiap hari.
Terkadang HIV tidak muncul dalam tes ELISA meski
pasien terinfeksi. Ini dapat terjadi jika seseorang berada pada
tahap awal infeksi, dan tubuh mereka belum menghasilkan
cukup antibodi untuk tes yang dideteksi yaitu pada tahap awal
infeksi HIV ini, di mana seseorang yang terinfeksi HIV, tapi
hasil tes menunjukkan hasil negatif yang dikenal sebagai
“periode jendela”.
Menurut Centers for Disease Control and Prevention
(CDC), periode jendela seseorang biasanya terjadi antara 3-12
minggu. Namun dalam kasus yang jarang terjadi, beberapa
orang dapat memakan waktu 6 bulan untuk mengembangkan
antibodi.
5. Analisa data
DATA ETIOLOGI MASALAH
DS Nyeri akibat benjolan Nyeri akut
 Mengeluh nyeri
saat menoleh

DO
 Terlihat benjolan
berukuran 8x4x2
cm
 Warna lebih
merah
dibandingkan
kulit sekitar
 Teraba hangat,
kenyal,
permukaan rata
 Nyeri saat di
tekan
DS Immunocompromised Resiko infeksi
 Demam hilang
timbul.

45
DO
Suhu tubuh tinggi
karena perbesaran
benjolan. Suhu
39℃
DS 1. Z1Intake yang tidak Perubahan nutrisi
 Penurunan berat adekuat kurang dari
badan 2. Peningkatan kebutuhan tubuh
 Nyeri saat penggunaan energi
menelan
 Tidak nafsu
makan
 Kurang nya
asupan makan
 Ketidakmampuan
mencerna
menelan makanan
DO
 Berat badan turun
5 kg dalam 1
bulan (60 kg –
55kg)
 Terdapat sariawan
mulut
 Adanya luka pada
bagian lidah
 Otot menelan
lemah
 Memberan
mukosa pucat

DS berkaitan dengan Hipertermia


Mengalami demam demam yang dialami
hilang timbul klien

DO
 Suhu tubuh 39

46
6. Intervensi keperawatan
NO SDKI SLKI SIKI
1. Nyeri akut Setelah dilakukan Pemberian analgesik
(intervensi utama)
berhubungan intervensi selama 24 jam
1. Observasi
dengan agen nyeri akut ( menurun)
- Identifikasi
pencedera Kriteria hasil :
karakteristik nyeri
fisiologis (mis. 1. Keluhan nyeri
(mis. pencetus,
inflamasi, iskemia, menurun (5)
pereda, kualitas,
neoplasma) 2. Meringis
lokasi, intensif,
ditandai dengan menurun (5)
frekuensi, durasi)
DS 3. Gelisah menurun
- Identifikasi riwayat
 Nyeri saat (5)
alergi obat
menoleh 4. Kesulitan tidur
- Identifikasi
 Sulit tidur menurun (5)
kesesuaian jenis
DO 5. Menarik diri
analgesik (mis.
 Terlihat menurun (5)
narkotika, non-
benjolan narkotika, atau
berukuran NSAID) dengan
8x4x2 cm tingkat keparahan
 Warna lebih nyeri
merah - Monitor tanda-
dibandingkan tanda vital sebelum
kulit sekitar dan sesudah
 Teraba hangat, pemberian
kenyal, analgesik
permukaan - Monitor efektifitas
rata analgesik
 Nyeri saat di 2. Trapeutik
tekan - Diskusikan jenis
 Menarik diri analgesik yang
 Tampak disukai untuk
meringis mencapai analgesia
 Gelisah optimal, jika perlu
- Pertimbangkan
penggunaan infus
kontinu, atau bolus
opioid untuk
mempertahankan
kadar dalam serum
- Tertapkan target

47
efektifitas
analgesik untuk
mengoptimalkan
respon pasien
- Dokumentasi
respons terhadap
efek analgesik dan
efek yang tidak
diinginkan
3. Edukasi
- Jelaskan efek
terapi dan efek
samping obat
4. Kolaborasi
- Kolaborasi
pemberian dosis
dan jenis
analgesik, sesuai
indikasi.

2. Resiko infeksi Setelah dilakukan Pencegahan infeksi


ditandai dengan intervensi selama 24 jam (intervensi utama)
penyakit kronis resiko infeksi (menurun) 1. Observasi
(mis. diabetes Kriteria hasil : - Monitor tanda dan
melitus) 1. Demam menurun gejala infeksi lokal
(5) dan sistemik.
2. Kemerahan 2. Trapeutik
menurun (5) - Batasi jumlah
3. Nyeri menurun pengunjung
(5) - Berikan perawatan
4. Bengkak kulit pada area
menurun (5) edema
5. periode malaise - Cuci tangan
menurun (5) sebelum dan
sesudah kontak
dengan pasien dan
lingkungan pasien
- Pertahankan teknik
aseptik pada pasien
berisiko tinggi
3. Edukasi

48
- Jelaskan tanda dan
gejala infeksi
- Ajarkan cara
mencuci tangan
dengan benar
- Ajarkan etika
batuk
- Ajarkan cara
memeriksa kondisi
luka atau luka
operasi
- Anjurkan
meningkatkan
asupan nutrisi
- Anjurkan
meningkatkan
asupan cairan
4. Kolaborasi
- Kolaborasi
pemberian
imunisasi,jika
perlu
3. Resiko defisit Setelah dilakukan Manajemen nutrisi
nutrisi ditandai intervensi selama 24 jam (intervensi utama)
dengan ketidak resiko defisit nutrisi 1. Observasi
mampuan menelan ( membaik) - Identifikasi status
makanan Kriteria hasil : nutrisi
1. Porsi makan yang - Identifikasi alergi
di habiskan dan intoleransi
membaik (5) makanan
2. Kekuatan otot - Identifikasi
menelan makanan yang
membaik (5) disukai
3. Verbalisasi - Identifikasi
keinginan untuk kebutuhan kalori
meningkatkan dan jenis nutrien
nutrisi membaik - Identifikasi
(5) perlunya
4. Berat badan penggunan selang
membaik (5) nasogastrik
5. Nafsu makan - Monitor asupan

49
membaik (5) makanan
- Monitor berat
badan
- Monitor hasil
pemeriksaan
laboratorium
2. Trapeutik
- Lakukan oral
hygine sebelum
makan, jika perlu
- Fasilitasi
menentukan
pedoman diet (mis.
piramida makanan)
- Berikan makanan
tinggi serat untuk
mencegah
konstipasi
- Berikan makanan
tinggi serat untuk
mencegah
konstipasi
- Berikan makanan
tinggi kalori dan
tinggi protein
- Berikan suplemen
makanan, jika
perlu
- Hentikan
pemberian
makanan melalui
selang nasogastrik
jika asupan oral
dapat ditoleransi
3. Edukasi
- Anjurkan posisi
duduk, jika perlu
- Ajarkan diet yang
diprogram
4. Kolaborasi

50
- Kolaborasi
pemberian
medikasi sebelum
makan (mis.
pereda nyeri,
antimetik), jika
perlu
- Kolaborasi dengan
ahli gizi untuk
menentukan
jumlah kalori dan
jenis nutrien yang
dibutuhkan, jika
perlu
4. Gangguan rasa Setelah dilakukan Trapis Relaksasi
nyaman intervensi selama 24 jam (intervensi utama)
berhubungan status kenyamanan 1. Observasi
dengan efek (membaik) - Identifikasi
samping terapi Kriteria hasil : penuruanan tingkat
DS 1. Keluhan susah energi,ketidakmam
 Mengeluh sulit tidur (5) puan
tidur 2. Keluhan berkonsentrasi,
 Mengeluh kedinginan/ atau gejala lain
kedinginan/ kepanasan (5) yang mengganggu
kepanasan 3. mual(5) kemampuan
 Mualdan 4. Lelah (5) kongnitif
mudah lelah 5. Gatal (5) - Identifikasi
 Merasa gatal 6. Rileks (5) kesendian,
 Tidak mampu 7. Merintih dan kemampuan, dan
rileks menangis (5) penggunaan teknik
8. Postur tubuh (5) sebelumnya
DO - Identifikasi teknik
 Tampak relaksasi yang
menangis pernah efektif
dan digunakan
merintih - Periksa ketegangan
 Postur otot,frekuensi nadi,
tubuh tekanan darah, dan
berubah suhu sebelum dan
 Menunjukn sesudah latihan
- Monitor respons

51
gejala terhadap terapi
distres relaksasi
2. Trapeutik
- Ciptakan
lingkungan tenang
dan tanpa
gangguan dengan
pencahayaan dan
suhu ruangan
nyaman, jika
memungkinkan
- Berikan informasi
tertulis tenang
persiapan dan
prosedur teknik
relaksasi
- Gunakan pakaian
longgar
- Gunakan nada
suara lembut
dengan irama
lambat dan
berirama
- Gunakan relaksasi
sebagai strategi
penunjangan
dengan analgenik
atau tindakan
medis lain, jika
sesuai
3. Edukasi
- Jelaska tujuan,
manfaat, batasan
dan jenis relaksasi
yang tersedia
- Jelaskan secara
rinci intervensi
relaksasi yang
dipilih
- Anjurkan

52
mengambil posisi
nyaman
- Anjurkan relaksasi
dan merasakan
sensai relaksasi

BAB IV
PEMBAHASAN KASUS

A. WOC ( Perjalanan Penyakit ) Limfoma


Woc LGBT HIV / AIDS

LGBT

Lesbian Gay Bioseksal Transgender


Berhubungan seksual
PMS

Sek anal Tanpa alat kontrasepsi Tidak memeriksakan diri


Anus tidak memproduksi Stigma social
lubirkal alami Terjadinya penundaan pengobatan dan perawatan
Menyebabkan Luka/ lecet Resiko tinggi gay terkena HIV

HIV Merusak seluler


Menginfeksi sel yang mempunyai

53
molekul CD4 ( limfosit T )
Sel limfosit T hancur
Imunitas tubuh menurun
Infeksi opurtunistik
Sistem pencernaan

Peristaltik Infeksi jamur


Diare kronis Peradangan mulut
Cairan autput Terjadinya penumpukan limfosit
Bibir, turgor kulit kering pembengkaan kelenjar getah bening limfoma non - hodgkin
Tubuh retan terhadap infeksi
Rangsangan imunologik

Demam poliferasi jaringan limfoid tidak terkendali


Berkeringat malam
BB menurun ancaman perubahan gangguan saraf metebolisme
pada status kesehatan tubuh

Fungsi peran penekanan saraf anoreksia

Pola interkasi oleh tumor iritasi lambung


rasa mual

B. Manefstasi klinis

No PROSES YANG BERHUBUNGAN DENGAN


MANIFESTASI KLINIS
PENYAKIT

1
Berhubungan dengan perbesaran
nodus/kelenjar limfe yang diakibatkan karena
adanya peradangan yang disebabkan karena
terjadinaya penyumbatan atau terjadinya
penumpukan limfosit dileher. Dan benjolan juga
berhubungan denagn terjadinya pembengkakan
Gambar 3.1 : Benjolan kelenjar getah bening yang disebabkan oleh
pertumbuhan sel kanker
Sumber:
https://www.kompasiana.com/

2 Demam berhubungan dengan akibat infeksi


yang dikarenakan adanya rangsangan
imanlogik sehingga menyebabkan
demam,berkeringat malam

Gambar 3.2 : Demam

Sumber:

54
https://www.alodokter.com/demam

Berhubungan dengan pembengkakan kelenjar


getah bening dan adanya peradagan yang
terjadi.
Gambar 3.3 : Nyeri tekan

Sumber:http://www.medanbisnisdaily.
com/

4
Penurunan berat badan Berhubungan dengan
infeksi virus HIV. adanya luka pada mulut
(sariawan) dan rasa mual membuat nafsu
makan berkurang, diare dan berbagai
gangguan pencernaan lainnya dapat membuat
tubuh lebih sulit menyerap nutrisi dari
Gambar 3.4 : Penurunan berat badan makanan

Sumber :
https://www.timesindonesia.co.id/

Berhubungan dengan prilaku hubungan seksual


yang tanpa menggunakan alat kontasepsi yang
dapat menyebabkan luka dan lecet karena anus
tidak memproduksi lumbirkal sehingga
mempermudah meninfeksi virus.

6.
Gambar 3.6 : Anus corong

Sumber:
https://kabarterbaik.wordpress.com/

7.

Keringat malam Berhubungan dengan penyakit


lain yang menyerang setelah kekebalan tubuh
melemah akibat HIV  salah satunya limfoma
inilah yang menimbulkan gejala gampang
berkeringat, khususnya di malam hari. Keringat
malam juga berhubungan pada orang dengan
Gambar 3.7 : Keringat berlebihan di HIV  sering terjadi ketika sel T (CD4) tubuh
malam hari orang yang terkena gejala HIV awal berada di
bawah angka 200 sel/mL.
Sumber :
http://lampung.tribunnews.com/

8.
Kandidiasis oral Berhubungan dengan
adanya penurunan mekanisme pertahanan
lokal dan sistemik, antara lain penurunan
jumlah sekresi saliva, penurunan imunitas
seluler dan humoral, penyakit mukosa
Gambar 3.8 Kandidiasis oral lokal atau penggunaan antibiotik spektrum
luas dan agen imunosupresif
Sumber: https://www.dictio.id/

55
C. Intervensi keperawatan

Ketidakseimbangan nutrisi: kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan


kesulitan mengunyah, kehilangan nafsu makan, lesi oral dan esofagus,
malabsorbsi gastro intestinal, infeksi oportunistik (kandidiasis, herpes).
Tujuan yang diharapkan:
1. Terjadi peningkatan berat badan sesuai batasan waktu
2. Peningkatan status nutrisi

Intervensi Rasional
Kaji status nutrisi pasienmeliputi
ABCD, tanda-tanda vital, Membantu mengkajikeadaan pasien
sensori, dan bising usus.
Sajikan makanan yangmudah
dicerna, dalamkeadaan hangat,
Meningkatkan seleramakan dan intake makan
tertutup,dan berikan sedikit-
sedikittapi sering
Bantu pasien makan jikatidak
Membantu pasien makan
mampu
Ukur intake makanan dantimbang
Observasi kebutuhannutrisi
berat badan
Anjurkan pasien untukmakan
sedikit-sedikit tapisering
Meningkatkan nafsumakan

Anjurkan pasien untuk
menghindari makanan
Mengurangi rasa nyaman
yang banyak mengandung gas

Kolaborasi dengan ahli giziuntuk


menentukan dietyang tepat Diet sesuai dengankebutuhan nutrisi pasien
bagi pasien

Monitor hasil lab, sepertiglukosa,


elektrolit,albumin,
Monitor status nutrisi
hemoglobin,kolaborasi dengan
dokter

Hipertermi berhubungan dengan tak efektifnya termoregulasi sekunder terhadap


inflamasi

Tujuan : suhu badan dalam batas normal ( 36 – 37,5ºC )

56
intervensi Rasional

Dengan memantau suhu diharapkan diketahui


keadaan sehingga dapat mengambil tindakan
yang tepat.
Anjurkan dan berikan banyak minum (sesuai
kebutuhan cairan anak menurut umur)
Dengan banyak minum diharapkan dapat membantu
menjaga keseimbangan cairan dalam tubuh.
Berikan kompres hangat pada dahi, aksila, perut
dan lipatan paha.
Observasi suhu tubuh pasien Kompres dapat membantu menurunkan suhu tubuh
pasien secara konduksi. Anjurkan untuk
memakaikan pasien pakaian tipis, longgar dan
mudah menyerap keringat
Dengan pakaian tersebut diharapkan dapat
mencegah evaporasi sehingga cairan tubuh
menjadi seimbang.
Kolaborasi dalam pemberian antipiretik.
Antipiretik akan menghambat pelepasan panas oleh
hipotalamus.
Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b/d menurunnya nafsu
makandan mual muntah,
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan 3x24 jamdiharapkan Ketidakseimbangan nutrisi
terpenuhi
kreteria hasil :
1. TTV dalam batas normal-
2. BB meningkat
3. Pasien mengatakan nafsu makan meningkat
4. Mual muntah berkuarang

Intervensi Rasional

Kaji keadaan umum Pasien Memantao kondisi Pasien


Menyesuaikan kebutuhankalori yang dibutuhkan
Monitor Input dan Output nutrisi
Anjurkan makan sedikit tapi Memenuhi kebutuhan nutrisi Pasien
sering
Kolaborasi dengan ahli gizi Menjaga keseimbangan Pasien
Nyeri akut yang berhubungan dengan kompresi saraf perifer, pembesaran
kelenjar limfe,b efek sekunder pemberian agen antileukemia, peningkatan
produksi asam laktat jaringan lokal
Tujuan : dalam waktu 3×24 jam terdapat penurunan respon nyeri
kriteria : secara subjektif kalian menyatakan penurunan rasa nyeri secara objektif
didapatkan tanda-tanda vital dalam batas normal, wajah rileks, tidak terjadi
penurunan perfusi perifer.
Intervensi Rasional
catat kkarakteristik nyeri, lokasi, variasi penampilan dan perilaku klien karena nyeri
intensitas, serta lama dan terjadi sebagai temuan pengkajian
penyebarannya
melakukan manajemen nyeri posisi fisiologis akan meningkatkan asupan O2 ke
keperawatan: atur posisi jaringan yang mengalami nyeri sekunder dari
fisiologis iskemia

57
istirahat akan menurunkan kebutuhan O2 jaringan
istirahat klien
perifer sehingga akan menurunkan kebutuhan
oksigen jaringan
manajemen lingkungan : lingkungan tenang akan menurunkan stimulus nyeri
lingkungan tenang dan batas eksternal dan pembatasan pengunjung akan
pengunjung membantu meningkatkan kondisi O2 ruangan
yang akan berkurang apabila banyak
pengunjung yang berada di ruangan
Ajarkan teknik relaksasi meningkatkan asupan O2 sehingga akan
pernapasan dalam. menurunkan nyeri sekunder dari iskemia
jaringan
Ajarkan teknik distraksi pada saat distraksi ( pengalihan perhatian ) dapat menurunkan
nyeri stimulus internal dengan mekanisme
peningkatan produksi endorfin dan enkevalin
yang dapat memblok reseptor nyeri untuk tidak
dikirim ke korteks serabi sehingga menurunkan
persepsi nyeri
manajemen sentuhan pada saat nyeri berupa
sentuhan dukungan psikologis dapat membantu
melakukan manajemen sentuhan menurunkan nyeri. Masase ringan dapat
meningkatkan aliran darah dan dengan otomatis
membantu suplai darah dan oksigen ke arah
nyeri dan menurunkan sensasi nyeri
Digunakan untuk mengurangi nyeri sehubungan
kolaborasi pemberian terapi dengan hematoma otot yang besar dan
analgetik perdarahan sendi. Analgetika oral non oploid
diberikan menghindari ketergantungan terhadap
narkotika pada nyeri kronis
kemoterapi Pemberian disesuaikan dengan derajat penyakit

Terapi terpilih untuk penderita dengan penyakit


ekstranodal yang terbatas adalah radiasi.
radiasi. Radioterapi lokal atau radioterapi dengan
lapangan yang luas, terutama pada kasus
limfoma histiositik difus, penderita
Resiko infeksi berhubungan dengan ketidakadekuatan sistem imunitas tubuh dan
terapi imunosupresif ( supresi tulang belakang
Tujuan : dalam waktu 3×24 jam tidak terjadi infeksi
kriteria : klien dengan keluarga mampu mengidentifikasi faktor risiko yang dapat
dikurangi serta menyebutkan tanda dan gejala dini
Intervensi Rasional
adanya infeksi dan bermanifestasi pada perubahan
TTV .
Demam atau hipoksemia mungkin mengindikasikan
monitor TTV
munculnya infeksi pada klien granulasipenik

Kaji dan catat faktor yang Menjadi data dasar dan meminimalkan resiko
meningkatkan resiko infeksi. infeksi

 Lakukan tindakan untuk


mencegah pemanjanan pada
sumber yang diketahui atau
Kewaspadaan meminimalkan pemajanan klien
potensial terhadap infeksi. terhadap bakteri virus dan patogen jamur baik
 Pertahankan isolasi protektif eksogen ataupun endogen
sesuai kebijakan institusional.

58
 Pertahankan teknik mencuci
tangan dengan cermat.
 Beri hygiene yang baik.
 Batasi pengunjung yang
sedang demam, flu atau
infeksi.
 Berikan hygiene parineal 2
kali sehari setiap BAB.
 Batasi bunga segar dan sayur
segar.
 Gunakan protokol perawatan
muut
laporkan bila ada perubahan tanda Perubahan tanda-tanda vital merupakan tanda
vital. terjadinya sepsis terutama bila terjadi peningkatan
suhu tubuh.

Jelaskan alasan kewaspadaan dan Pengertian klien dapat memperbaiki kepatuhan dan
pantangan mengurangi faktor resiko

Yakinkan klien dengan keluarganya Granulositopenia dapat menetap 6 sampai 12


bahwa peningkatan kerentanan minggu. Pengertian tentang sifat sementara
pada infeksi hanya sementara granulositopenia dapat membantu mencegah
kecemasan klien dengan keluarganya

Meminimalkan prosedur invasif Prosedur tertentu dapat menyebabkan trauma


jaringan meningkatkan kerentanan infeksi

Kolaborasi pemberian antibiotik Menurunkan kehadiran organisme endogen

Mengonfirmasikan keterlibatan sel darah putih


Pantau laboratorium sel darah putih terhadap infeksi.

59
DAFTAR PUSTAKA

Setioyohadi. B. 2012. Limfana Non-Hodglin. Buku Ajar llmu Penyakit Dalam


Jilid ll. Edisi V. Jakarta. Penerbitan : llmu Penyakit Dalam

Sutrisno. H. 20l0. Gambaran Kuu/ims Hidup Pasien Kanker Limfoma Non-


hodgkin Yang Dirawat Di Rsud Sanglah Denpasar. Jurnal Penyakit
Dalam volume 2; 96-102 .

Bakta lM. 2013. Limfoma maligna. Hematologi klinik ringkas. Cetakan 1.


Jakarta.Penerbit: Kedokteran EGC

Lemone priscila,dkk.2016. Buku Ajar Medikal Bedah.Jakarta:Penerbit Buku


Kedokteran EGC

Black,J.dkk.(2014).Keperawatan Medikal Bedah : Manajemen Klinis Untuk


Hasil Yang Diharapkan (8tn ed).Jakarta:Salemba Medika

Barbara C. Long. 1996 Perawatan Medikal Bedah. Pedjajaran


BandungDoenges, Marylyn E. 2000. Rencana Asuhan
Keperawatan. Edisi 4.Penerbit Buku Kedokteran EGC.
JakartaPadila. S.Kep.NS.2012. Keperawatan Medikal Bedah.
Numed. YogyakartaSmeltzer , Bare, 2001. Buku Ajar Keperawatan
Medikal Bedah , Brunnerdan suddart, Edisi 8, Jakarta, EGC

Zahraoh, Roihatul., Istiroha.2019.Asuhan keperawatan pada kasus


hematologi.Surabaya.Penerbit:CV.Jakad publishing

PPNI 2016 Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia.Jakarta

PPNI 2017 Standar Intervensi Keperawatan Indonesia.Jakarta

PPNI 2018 Standar Luaran Kperawatan Indonesia.Jakarta

60

Anda mungkin juga menyukai