Anda di halaman 1dari 18

KARYA TULIS ILMIAH

BIOGRAFI Ernest François Eugène Douwes Dekker

DISUSUN OLEH :

NAMA : RISKA FITRIANI


KELAS : X MIPA 2

SMA N 1 RANGKASBITUNG
Jalan R.T. Hardiwinangun 24 Rangkasbitung (0252)201647
KABUPATEN LEBAK PROVINSI BANTEN
2020
KATA PENGANTAR

Dengan memanjatkan puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas karunia dan rahmat-
Nya, saya dapat menyusun karya tulis ilmiah yang berjudul “BIOGRAFI Ernest François
Eugène Douwes Dekker” dengan lancar.

Adapun maksud penyusunan karya tulis ini untuk memenuhi tugas sejarah Indonesia. Rasa
terima kasih saya tidak terkirakan kepada yang terhormat bapak hendriyana S.Pd,M.Pd selaku
pembimbing materi dalam pembuatan karya tulis ini, serta semua pihak yang telah
mendukung dalam penyusunan karya tulis ini yang tidak bisa saya sebutkan satu persatu.

Harapan kami bahwa karya tulis ini dapat bermanfaat bagi para pembaca untuk menambah
wawasan dan pengetahuan tentang biografi Ernest François Eugène Douwes Dekker.

Kami menyadari bahwa karya tulis ini masih jauh dari sempurna dengan keterbatasan yang
saya miliki. Tegur sapa dari pembaca akan saya terima dengan tangan terbuka demi
perbaikan danpenyempurnaankarya tulis ini.

Rangkasbitung, 23 April 2020

Penulis

RISKA FITRIANI

ii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL.................................................................................................................i

KATA PENGANTAR...............................................................................................................ii

DAFTAR ISI.............................................................................................................................iii

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar belakang................................................................................................................1


1.2 Rumusan masalah...........................................................................................................3

1.3 Tujuan.............................................................................................................................3

1.4 Manfaat...........................................................................................................................4

BAB 2

PEMBAHASAN

2.1 BIOGRAFI Douwes Dekker..........................................................................................5


2.2 Pendidikan Douwes Dekker...........................................................................................5
2.3 Pengalaman Douwes Dekker Saat Bekerja Di Indonesia...............................................6
2.4 Kesusahan Rakyat Lebak...............................................................................................7
2.5 Douwes Dekker Membela Kemerdekaan Indonesia....................................................10

BAB 3

PENUTUP

3.1 Kesimpulan..................................................................................................................14

DAFTAR PUSTAKA..............................................................................................................15

iii
BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG

Tepatnya 3 April 1857, Dekker kembali ke Eropa melalui Surabaya sebagai


penganggur. Istrinya, Everdine Huberte van Wijnbergen atau Tine, yang sedang
mengandung, ditinggalkan sementara di Rembang, Jawa Tengah. Dekker tinggal di sebuah
losmen kecil murah di Brussel, Belgia, dalam keadaan melarat karena tak kunjung mendapat
pekerjaan. Hanya bakat menulis yang tersisa padanya. Seluruh kejengkelannya di Lebak dia
tumpahkan pada novel yang ditulisnya dalam waktu tiga minggu saja, dari 17 September
hingga 3 November 1859.

Dekker memberi judul Max Havelaar untuk novelnya itu. Havelaar merupakan tokoh
utama dalam novel sekaligus representasi dirinya. Namun ia sendiri menulis dengan nama pena
Multatuli, yang memiliki arti “aku telah banyak menderita”. Sejarawan Harry Poeze
mengatakan, di Belanda Multatuli dinilai sebagai sastrawan ternama, sementara novelnya
dipandang sebagai karya sastra Belanda terbesar. Pernah ada pemilihan untuk menentukan
buku apa yang paling penting dalam sastra dan sejarah Belanda, dan pilihan jatuh pada buku
Multatuli itu, seusai simposium bertema "Para Pembongkar Kejahatan Kolonial: Dari Multatuli
sampai Sukarno” di Museum Nasional, Jakarta, Sabtu, 17 September 2016.

Karya Multatuli itu pun menjadi bacaan wajib di sekolah-sekolah Belanda. Hal itu,
membawa pengaruh besar bagi pandangan generasi muda dan kaum progresif di Belanda.
Kaum muda Belanda yang ditugaskan ke Hindia Belanda banyak yang terinspirasi tulisan
Multatuli.Kisah Multatuli seharusnya bukan sekadar jadi pelajaran sejarah singkat di
pendidikan dasar. Para pemimpin negeri dan anggota DPR pun harus disegarkan ingatannya
melalui novel Max Havelaar.

Eduard Douwes Dekker dilahirkan pada 2 Maret 1820 di Amsterdam sebagai anak
seorang nakhoda kapal dagang. Saat usianya 18 tahun, ia ikut kapal ayahnya berlayar ke Hindia
Belanda dan tiba di Batavia pada 4 Januari 1839. Dekker mendapat pekerjaan sebagai juru tulis
pada Algemene Rekenkamer. Setahun kemudian dipromosikan ke Sumatera Barat untuk
menjadi kontrolir atau pengawas, yang setingkat di bawah asisten residen. Ia sempat berpindah-
pindah tugas dari Karawang, Jawa Barat; Purworejo, Jawa Tengah; Manado, Sulawesi Utara;
sampai Ambon, Maluku; kemudian di Lebak pada Januari 1856.

1
Dekker masuk Lebak dalam kondisi masyarakat Lebak sangat melarat. Penderitaan
mereka semakin berat dengan peraturan rodi dan tanam paksa. Pembesar pribumi dengan
leluasa merampas ternak penduduk dan mempekerjakan mereka tanpa upah. Cendekiawan
ilmu sosial-politik Daniel Dhakidae menyatakan pemikiran Multatuli atau Dekker yang
tertuang dalam novelnya masih sangat relevan dengan kondisi kekinian Indonesia. Pertama
dalam hal korupsi. Koruptor itu tidak mempedulikan asal kekayaannya dari mana. Persis
dengan sosok pembesar yang digambarkan dalam novel itu, saat memaparkan pemikirannya
terkait Multatuli dalam simposium "Para Pembongkar Kejahatan Kolonial".

Salah satu tokoh penting dalam pergerakan nasional Indonesia adalah seorang dari
keturunan bangsawan berdarah Belanda-Indonesia, yaitu Dr. Ernest François Eugène Douwes
Dekker yang lahir pada tanggal 18 Oktober 1879 di Kota Pasuruan. Douwes Dekker adalah
tokoh penting yang membantu pergerakan Budi Utomo.

Pendidikan Douwes Dekker pertama kali dimulai kota Pasuruan, lalu berlanjut ke HBS
di Surabaya. Tak lama, ia pindah kemudian pindah ke Batavia. Selepas lulus d sekolah elit di
Batavia yang bernama Gymnasium Koning Willem III School, ia bekerja di kebun kopi di
wilayah Malang, Jawa Timur. Dari kebun kopi inilah, seorang Danudirja Setiabudi melihat
penderitaan rakyat akibat dijajah. Inilah awal kepedulian dan gerakannya membela rakyat,
bahkan ia sampai dipecat dari pekerjaannya.

Seperti jatuh dan tertimpa tangga, setelah dipecat, Douwes Dekker harus kehilangan
ibunya. Ia pun menjadi depresi saat itu. Ia kemudian meninggalkan Hindia Belanda dan
kemudian ke Afrika Selatan. Ia kemudian berkenalan dengan sastrawan India yang kemudian
membuka pandangan Douwes Dekker mengenai perlakuan semena-mena pemerintahan
kolonial Belanda pada masa itu.

Douwes Dekker memutuskan untuk kembali ke Hindia Belanda (Indonesia) tahun


1902. Ia kemudian bekerja sebagai seorang wartawan di koran bernama De Locomotief. Ia
banyak menulis mengenai kasus kelaparan di wilayah Indramayu. Tulisan-tulisannya sebagai
jurnalis banyak mengkritik kebijakan-kebijakan pemerintah kolonial Belanda.

Berbagai tulisan kritikan dari Douwes Dekker membuatnya menjadi target dari inteljen
pemerintah kolonial Belanda. Namun, hal itu tak membuatnya takut. Bahkan, Douwes Dekker
juga menjadikan tempat tinggalnya saat itu sebagai tempat untuk berkumpulnya para kaum
pergerakan, seperti Sutomo dan Cipto Mangunkusumo. Banyak yang mengatakan bahwa

2
bantuan Douwes Dekker ini begitu berperan dalam berdirinya Budi Utomo, organisasi
pergerakan nasional modern pertama di Indonesia.

Pada tanggal 25 Desember 1912, bersama Suwardi Suryaningrat dan dr. Cipto
Mangunkusumo (tiga serangkai) mendirikan Indische Partij, sebuah partai yang mampu
menghimpun anggota hingga mencapai 5000 orang dan sangat populer.

Pada tanggal 28 Agustus 1950, Douwes Dekker akhirnya menghembuskan nafas


terakhirnya. Nama 'Setiabudi' diabadikan sebagai nama jalan di Bandung dan kemudian nama
tempat di wilayah Jakarta. Beliau juga ditetapkan sebagai Pahlawan

Nasional.

1.2 RUMUSAN MASALAH

Berdasarkan latar belakang di atas , maka terbentuklah rumusan masalah sebagai berikut.

1. Siapakah Douwes Dekker?

2. Bagaimanakah pendidikan Douwes Dekker?

3. Bagaimanakah pengalaman Douwes Dekker saat bekerja di Indonesia?

4. Bagaimana cara Douwes Dekker menceritakan kesusahan rakyat Lebak pada masa itu?

5. Apakah Douwes Dekker ikut membela kemerdekaan Indonesia?

1.3 TUJUAN

Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka tujuan karya tulis ilmiah ini yaitu:

1. Menjelaskan siapakah Douwes Dekker

2. Menjelaskan bagaimanakah pendidikan Douwes Dekker

3. Menjelaskan bagaimanakah pengalaman Douwes Dekker saat bekerja di Indonesia

4. Menjelaskan bagaimana cara Douwes Dekker menceritakan kesusahan rakyat Lebak


pada masa itu

5. Menjelaskan apakah Douwes Dekker ikut membela kemerdekaan Indonesia

3
1.4 MANFAAT

Adapun manfaat yang diharapkan dari karya tulis ilmiah ini yaitu :

1. Menambah pengetahuan dan wawasan tentang sejarah Indonesia

2. Termotivasi untuk selalu mempertahankan NKRI

3. Terinspirasi untuk menegakkan keadilan dan pantang menyerah

4
BAB 2

PEMBAHASAN

2.1 BIOGRAFI Douwes Dekker

Eduard Douwes Dekker (lahir di Amsterdam, Belanda, 2 Maret 1820 – meninggal di


Ingelheim am Rhein, Jerman, 19 Februari 1887 pada umur 66 tahun), atau yang dikenal pula
dengan nama pena Multatuli (dari bahasa Latin multa tuli "banyak yang aku sudah derita"),
adalah penulis Belanda yang terkenal dengan Max Havelaar (1860), novel satirisnya yang
berisi kritik atas perlakuan buruk para penjajah terhadap orang-orang pribumi di Hindia
Belanda.

Eduard memiliki saudara bernama Jan yang adalah kakek dari tokoh pergerakan
kemerdekaan Indonesia, Ernest Douwes Dekker yang dikenal pula dengan nama Danudirja
Setiabudi. Pada bulan April 1846, Eduard yang saat itu telah menjabat sebagai ambtenaar
sementara di kantor asisten residen Purwakarta, menikah dengan Everdine.

2.2 Pendidikan Dowes Dekker

Eduard dilahirkan di Amsterdam. Ayahnya adalah seorang kapten kapal yang cukup
besar dengan penghasilan cukup sehingga keluarganya termasuk keluarga mapan dan
berpendidikan. Eduard kemudian disekolahkan di sekolah Latin yang nantinya bisa
meneruskan jenjang pendidikan ke universitas. Pada awalnya Eduard menempuh pendidikan
dengan lancar karena Eduard merupakan murid yang berprestasi dan cukup pandai. Namun
lama kelamaan Eduard merasa bosan sehingga prestasinya merosot. Hal ini membuat ayahnya
langsung mengeluarkannya dari sekolah dan ia ditempatkan di sebuah kantor dagang. Bagi
Eduard, penempatannya di sebuah kantor dagang membuatnya merasa dijauhkan dari
pergaulan dengan kawan-kawannya sesama keluarga berkecukupan; ia bahkan ditempatkan di
posisi yang dianggapnya hina sebagai pembantu di sebuah kantor kecil perusahaan tekstil. Di
sanalah dirinya merasa bagaimana menjadi seorang miskin dan berada di kalangan bawah
masyarakat. Pekerjaan ini dilakukannya selama empat tahun dan meninggalkan kesan yang
tidak terlupakan selama hidupnya. "Dari hidup di kalangan yang memiliki pengaruh kemudian
hidup di kalangan bawah masyarakat membuatnya mengetahui bahwa banyak kalangan
masyarakat yang tidak memiliki pengaruh dan perlindungan apa-apa", seperti yang diucapkan
Paul van 't Veer dalam biografi Multatuli.

5
2.3 Pengalaman Dowes Dekker Saat Bekerja Di INDONESIA

Ketika ayahnya pulang dari perjalanan, dilihatnya perubahan kehidupan dan keadaan
dalam diri Eduard. Hal ini memunculkan niat pada ayahnya untuk membawanya dalam sebuah
perjalanan. Pada saat itu, di Hindia Belanda terdapat kesempatan untuk mencari kekayaan dan
jabatan, juga bagi kalangan orang-orang Belanda yang tidak berpendidikan atau berpendidikan
rendah. Karena itu, pada tahun 1838 Eduard pergi ke pulau Jawa dan pada 1839 tiba di Batavia
sebagai seorang kelasi yang belum berpengalaman di kapal ayahnya. Dengan bantuan dari
relasi-relasi ayahnya, tidak berapa lama Eduard memiliki pekerjaan sebagai pegawai negeri
(ambtenaar) di kantor Pengawasan Keuangan Batavia. Tiga tahun kemudian dia melamar
pekerjaan sebagai ambtenaar pamong praja di Sumatra Barat dan oleh Gubernur Jendral
Andreas Victor Michiels ia dikirim ke kota Natal yang saat itu terpencil sebagai seorang
kontrolir.

Kehidupan di kota yang terpencil tersebut, bagi Eduard justru lebih menyenangkan.
Sebagai ambtenaar pemerintahan sipil yang cukup tinggi di sana, ditambah usianya yang masih
cukup muda, ia merasa memiliki kekuasaan yang tinggi. Dalam jabatannya ia mengemban
tugas pemerintahan dan pengadilan, dan juga memiliki tugas keuangan dan administrasi.
Namun ternyata ia tidak menyukai tugas-tugasnya sehingga kemudian ia meninggalkannya.
Atasannya yang kemudian mengadakan pemeriksaan, menemukan kerugian yang besar dalam
kas pemerintahannya.

Karena sikapnya yang mengabaikan peringatan-peringatan dari atasannya, serta adanya


kerugian kas pemerintahan Eduard pun diberhentikan sementara dari jabatannya oleh Gubernur
Sumatra Barat Jendral Michiels. Setahun lamanya ia tinggal di Padang tanpa penghasilan apa-
apa. Baru pada September 1844 ia mendapatkan izin untuk pulang ke Batavia. Di sana ia
direhabilitasi oleh pemerintah dan mendapatkan "uang tunggu".

Belajar dari pengalamannya yang buruk saat bertugas sebelumnya di Natal, Eduard
bekerja cukup baik sebagai ambtenaar pemerintah, sehingga pada 1846 ia diangkat menjadi
pegawai tetap. Pangkatnya kemudian dinaikkan menjadi komis di kantor residen Purworejo.
Prestasinya membuatnya diangkat oleh residen Johan George Otto Stuart von Schmidt auf
Altenstadt menjadi sekretaris residen menggantikan pejabat sebelumnya. Namun karena
Eduard tidak memiliki diploma sebagai syarat ditempatkannya sebagai pejabat tinggi
pemerintahan, Eduard tidak mendapatkan kenaikan pangkat yang sesungguhnya. Namun
Gubernur Jenderal dapat memberikan pengakuan diploma dalam hal-hal yang dianggap

6
istimewa dengan syarat mampu melaksanakan tugas-tugas pemerintahan. Eduard mengajukan
permohonan kepada Gubernur Jenderal dan akhirnya berhasil memperolehnya karena prestasi
kerjanya. Keputusan ini diterima dari atasannya, Residen Purworejo. Kegagalan saat bertugas
di Natal dianggap sebagai kesalahan pegawai muda yang dapat dimaafkan.

Dalam perjalanan karier selanjutnya, Eduard diangkat menjadi sekretaris residen di


Manado akhir April 1849 yang merupakan masa-masa karier terbaiknya. Eduard merasa cocok
dengan residen Scherius yang menjadi atasannya sehingga ia mendapat perhatian para pejabat
di Bogor, di antaranya karena pendapatnya yang progresif mengenai rancangan peraturan guna
perubahan dalam sistem hukum kolonial. Kariernya meningkat menjadi asisten residen, yang
merupakan karier nomor dua paling tinggi di kalangan ambtenaar Hindia Belanda saat itu.
Eduard menerima jabatan ini dan ditugaskan di Ambon pada Februari 1851.

Namun, meskipun telah mendapatkan jabatan yang cukup tinggi di kalangan ambtenaar
Hindia Belanda, Eduard merasa tidak cocok dengan Gubernur Maluku yang memiliki
kekuasaan tersendiri sehingga membuat ambtenaar-ambtenaar bawahannya tidak dapat
menunjukkan inisiatifnya. Eduard akhirnya mengajukan cuti dengan alasan kesehatan sehingga
mendapatkan izin cuti ke Belanda. Dan pada hari Natal 1852, dia bersama istrinya tiba di
pelabuhan Hellevoetsluis dekat Rotterdam.

Selama cuti di Belanda, Eduard ternyata tidak dapat mengatur keuangannya dengan
baik; hutang menumpuk di sana-sini bahkan ia sering mengalami kekalahan di meja judi.
Meskipun telah mengajukan perpanjangan cuti di Belanda, dia dan istrinya akhirnya kembali
ke Batavia pada tanggal 10 September 1855. Tidak lama kemudian, Eduard diangkat menjadi
asisten residen Lebak di sebelah selatan karesidenan Banten yang bertempat di Rangkasbitung
pada Januari 1856. Eduard melaksanakan tugasnya dengan cukup baik dan bertanggung jawab.
Namun ternyata, dia menjumpai keadaan di Lebak yang sesungguhnya sangat buruk bahkan
lebih buruk daripada berita-berita yang didapatnya.

2.4 Kesusahan Rakyat Lebak

Bupati Lebak yang pada saat itu menurut sistem kolonial Hindia Belanda diangkat
menjadi kepala pemerintahan bumiputra dengan sistem hak waris telah memegang kekuasaan
selama 30 tahun. Ternyata dalam keadaaan kesulitan keuangan yang cukup parah lantaran
pengeluaran rumah tangganya lebih besar dari penghasilan yang diperoleh dari jabatannya.
Dengan demikian, bupati Lebak hanya bisa mengandalkan pemasukan dari kerja rodi yang
diwajibkan kepada penduduk distriknya berdasarkan kebiasaan.

7
Eduard Douwes Dekker menemukan fakta bahwa kerja rodi yang dibebankan pada
rakyat distrik telah melampaui batas bahkan menjumpai praktik-praktik pemerasan yang
dilakukan oleh Bupati Lebak dan para pejabatnya dengan meminta hasil bumi dan ternak
kepada rakyatnya. Kalaupun membelinya, itupun dengan harga yang sangat murah.

Belum satu bulan Eduard Douwes Dekker ditempatkan di Lebak, dia menulis surat
kepada atasannya, residen C.P. Brest van Kempen dengan penuh emosi atas kejadian-kejadian
di wilayahnya. Eduard meminta agar bupati dan putra-putranya ditahan serta situasi yang tidak
beres tersebut diselidiki. Dengan adanya desakan dari Eduard tersebut, timbullah desas-desus
bahwa pejabat sebelumnya yang digantikannya meninggal karena diracun. Hal ini membuat
Eduard merasa dirinya dan keluarganya terancam. Sebab lainnya adalah adanya berita
kunjungan bupati Cianjur ke Lebak, yang ternyata masih keponakan bupati Lebak, yang
kemudian membuat Eduard mengambil kesimpulan akan menimbulkan banyak pemerasan
kepada rakyat.

Atasannya, Brest van Kempen sangat terkejut dengan berita yang dikirimkan Eduard
sehingga mengadakan pemeriksaan di tempat, tetapi menolak permintaan Eduard. Dengan
demikian Eduard meminta agar perkara tersebut diteruskan kepada Gubernur Jendral A.J.
Duymaer van Twist yang terkenal beraliran liberal. Namun, meskipun maksudnya terlaksana,
Eduard justru mendapatkan peringatan yang cukup keras. Karena kecewa, Eduard mengajukan
permintaan pengunduran diri dan permohonannya dikabulkan oleh atasannya.

Sekali lagi, Eduard kehilangan pekerjaan akibat bentrok dengan atasannya. Usahanya
untuk mencari pekerjaan yang lain menemui kegagalan. Bahkan saudaranya yang sukses
berbisnis tembakau malah meminjamkan uang untuk pulang ke Eropa dan bekerja di sana. Istri
dan anaknya sementara ditinggalkan di Batavia.

Di Eropa, Eduard bekerja sebagai redaktur sebuah surat kabar di Brusel, Belgia namun
tidak lama kemudian dia keluar. Kemudian usahanya untuk mendapatkan pekerjaan sebagai
juru bahasa di Konsulat Prancis di Nagasaki juga menemui kegagalan. Usahanya untuk menjadi
kaya di meja judi justru membuatnya menjadi semakin melarat.

Sampul cetakan pertama Max Havelaar tahun 1860.Namun cita-cita Eduard yang lain,
yaitu menjadi pengarang, berhasil diwujudkannya. Ketika kembali dari Hindia Belanda, dia
membawa berbagai manuskrip diantaranya sebuah tulisan naskah sandiwara dan salinan surat-
surat ketika dia menjabat sebagai asisten residen di Lebak. Pada bulan September 1859, ketika

8
istrinya didesak untuk mengajukan cerai, Eduard mengurung diri di sebuah kamar hotel di
Brussel dan menulis buku Max Havelaar yang kemudian menjadi terkenal.

Buku tersebut diterbitkan pada tahun 1860 dalam versi yang diedit oleh penerbit tanpa
sepengetahuannya namun tetap menimbulkan kegemparan di kalangan masyarakat khususnya
di kawasan negerinya sendiri. Pada tahun 1875, terbit kembali dengan teks hasil revisinya.
Namanya sebagai pengarang telah mendapatkan pengakuan, yang berarti lambat laun Eduard
dapat mengharapkan penghasilan dari penerbitan karyanya.

Ketika menerbitkan novel Max Havelaar, ia menggunakan nama samaran 'Multatuli'.


Nama ini berasal dari bahasa Latin dan berarti "'Aku sudah menderita cukup banyak'" atau
"'Aku sudah banyak menderita'"; di sini, "aku" dapat berarti Eduard Douwes Dekker sendiri
atau rakyat yang terjajah. Setelah buku ini terjual di seluruh Eropa, terbukalah semua kenyataan
kelam di Hindia Belanda, walaupun beberapa kalangan menyebut penggambaran Dekker
diberlebih-lebihkan.

Antara tahun 1862 dan 1877, Eduard menerbitkan Ideën (Gagasan-gagasan) yang
isinya berupa kumpulan uraian pendapat-pendapatnya mengenai politik, etika dan filsafat,
karangan-karangan satir dan impian-impiannya. Sandiwara yang ditulisnya, di antaranya
Vorstenschool (Sekolah para Raja), dipentaskan dengan sukses.

Walaupun kualitas literatur Multatuli diperdebatkan, ia disukai oleh Carel Vosmaer,


penyair terkenal Belanda. Ia terus menulis dan menerbitkan buku-buku berjudul Ideen yang
terdiri dari tujuh bagian antara tahun 1862 dan 1877, dan juga mengandung novelnya Woutertje
Pieterse serta Minnebrieven pada tahun 1861 yang walaupun judulnya tampak tidak berbahaya,
isinya adalah satir keras.

Akhirnya Eduard Douwes Dekker merasa bosan tinggal di Belanda. Pada akhir
hayatnya, dia tinggal di Jerman bersama seorang anak Jerman yang sudah dianggap seperti
anaknya sendiri. Eduard Douwes Dekker tinggal di Wiesbaden, Jerman, di mana ia mencoba
untuk menulis naskah drama. Salah satu dramanya, Vorstenschool (diterbitkan di 1875 dalam
volume Ideën keempat) menyatakan sikapnya yang tidak berpegang pada satu aliran politik,
masyarakat atau agama. Selama dua belas tahun akhir hidupnya, Eduard tidaklah mengarang
melainkan hanya menulis berbagai surat- surat. Eduard Douwes Dekker kemudian pindah ke
Ingelheim am Rhein dekat Sungai Rhein sampai akhirnya meninggal 19 Februari 1887.

9
Multatuli telah mengilhami bukan saja karya sastra di Indonesia, misalnya kelompok
Angkatan Pujangga Baru, tetapi ia telah menggubah semangat kebangsaan di Indonesia.
Semangat kebangsaan ini bukan saja pemberontakan terhadap sistem kolonialisme dan
eksploitasi ekonomi Hindia Belanda (misal tanam paksa) melainkan juga kepada adat,
kekuasaan dan feodalisme yang tak ada habisnya menghisap rakyat jelata. Bila Multatuli dalam
Max Havelaar dapat dikatakan telah mempersonifikasikan dirinya sebagai Max yang idealis
dan akhirnya frustrasi, Muhammad Yamin lebih berfokus pada si kaum terjajah, misalnya
dalam puisinya yang berjudul Hikajat Saidjah dan Adinda Dalam sisi filosofis frustrasi yang
dihadapi Max serta Saidjah dan Adinda adalah sama pada hakikatnya; keduanya putus asa dan
terbelenggu dalam rantai sistem yang hanya bisa terputuskan melalui revolusi.

2.5 Dowes Dekker Membela Kemerdekaan Indonesia

Banyak yang menganggap bahwa berkat bantuan Douwes Dekker, organisasi Budi
Utomo sebagai organisasi nasional pertama ketika itu dapat berdiri.

Melihat adanya diskriminasi oleh pemerintahan kolonial Belanda ketika itu terhadap kaum
pribumi terutama di bidang pemerintahan. Faktanya banyak posisi-posisi penting di
pemerintahan di jabat oleh orang Belanda dan untuk kaum pribumi sendiri hanya dijadikan
sebagai pegawai rendahan karena faktor pendidikan.

Melihat hal tersebut, Douwes Dekker kemudian memberikan sebuah ide mengenai
sebuah pemerintahan Hindia Belanda yang dijalankan oleh para penduduk pribumi asli.

Idenya tersebut ia sampaikan kepada partai Indische Bond dan Insulinde yang ketika itu
anggota berasal dari kaum pribumi. Di samping itu ia juga berharap dari idenya tersebut kedua
partai tersebut dapat bergabung. Ide Douwes Dekker tersebut kemudian disambut hangat
namun hanya segelintir orang saja yang menyambut idenya tersebut.

Dalam biografi Douwes Dekker diketahui bahwa pada tanggal 25 Desember 1912,
Douwes Dekker bersama Suwardi Suryaningrat dan dr. Cipto Mangunkusumo kemudian
mendirikan sebuah partai politik yang berhaluan nasionalis pertama yang bernama Indische
Partij. Dalam waktu yang tidak terlalu lama, partai ini dapat menghimpun anggota hingga
mencapai 5000 orang dan sangat populer di kalangan pribumi Indonesia. Berkembang pesatnya
Indische Partij sebagai partai politik nasional pertama membuat pemerintah Belanda kemudian
mencurigai gerak-gerik dari partai ini.

10
Ada yang menuduh partai ini anti-kolonial dan bertujuan agar Indonesia dapat merdeka
dari tangan Belanda sehingga di tahun 1913, Partai Indische Partij akhirnya dibubarkan oleh
pemerintah kolonial Belanda.

Para pendirinya yaitu Douwes Dekker, Suwardi Suryaningrat dan dr. Cipto
Mangunkusumo yang kemudian dikenal sebagai Tiga Serangkai akhirnya diasingkan. Douwes
Dekker kemudian diasingkan ke Eropa. Selama di Eropa, ia tinggal bersama keluarganya dan
melanjutkan pendidikannya dengan mengambil program doktor di Universitas Zurich, Swiss
dalam bidang ekonomi. Di Swiss, ia sempat terlibat konspirasi dengan kaum revolusi India dan
hingga kemudian ia diangkat di Hongkong dan kemudian diadili di sana. Di Singapura, pada
tahun 1918, ia juga sempat di tahan dan kemudian dipenjara selama dua tahun.

Setelah bebas, ia kemudian kembali ke Hindia Belanda (Indonesia). Di Indonesia,


Douwes Dekker kemudian kembali aktif di dunia jurnalistik. Tulisan-tulisannya kemudian
banyak menyindir kaum kolonial. Di saat itu juga, Douwes Dekker kemudian mendirikan partai
baru penerus Indische Partij yang bernama National Indische Partij namun partai tersebut tidak
mendapat izin dari pemerintahan kolonial Belanda.

Di tahun 1919, Douwes Dekker dituduh terlibat dalam peristiwa kerusuhan petani
perkebunan tembakau Polanharjo, Klaten. Namun di pengadilan, ia kemudian dibebaskan
karena tidak terbukti bersalah.

Namun tuduhan baru kemudian menimpanya, Ia dituduh menulis hasutan dan


melindungi seorang redaktur surat kabar yang menulis komentar tajam terhadap pemerintah
kolonial Belanda. Namun setelah di pengadilan kemudian dinyatakan tidak bersalah dan
dibebaskan dari segala tuduhan. Di tahun yang sama juga, ia memilih bercerai dengan istrinya
yaitu Clara Charlotte Deije.

Banyaknya tuduhan-tuduhan tentang tulisan dan aktivitasnya dibidang jurnalistik


membuat Douwes Dekker kemudian meninggalkan dunianya tersebut dan kemudian aktif
dalam melakukan penulisan buku-bumi semi ilmiah. Dan atas masukan dari sahabatnya yaitu
Suwardi Suryaningrat (Ki Hadjar Dewantara), Douwes Dekker kemudian terjun di dunia
pendidikan dan mendirikan Ksatrian Instituut di Bandung.

Sekolah yang didirikan oleh Douwes Dekker ini lebih banyak mengajarkan tentang
sejarah dari Indonesia dan juga sejarah dunia yang ditulis oleh Douwes Dekker sendiri.

11
Dalam mengelola Ksatrian Institut, ia banyak dibantu oleh Johanna Petronella Mossel yang
bekerja sebagai seorang guru. Dan pada akhirnya Douwes Dekker kemudian menikah lagi
dengan Johanna Petronella Mossel namun dari pernikahannya, mereka tidak dikarunia anak.

Pelajaran yang ada di Ksatrian Instituut ini dituduh sebagai anti kolonial dan pro
terhadap Jepang. Akhirnya tahun 1933, buku-buku karangan Douwes Dekker banyak disita dan
kemudian dibakar oleh pemerintahan kolonial Belanda. Ia juga dilarang mengajar dan
memasuki masa penjajahan Jepang, ia tetap dilarang mengajar. Serangan Jerman ke Eropa
membuat banyak orang-orang Eropa yang ditangkap termasuk Douwes Dekker yang dituduh
sebagai Komunis.

Douwes Dekker kemudian dibuang ke Suriname di tahun 1941 yang juga menyebabkan
ia kemudian berpisah dengan istrinya Johanna Petronella Mossel yang memilih untuk menikah
lagi dengan seorang pribumi bernama Djafar Kartodiredjo. Di Suriname, Douwes Dekker
tinggal di kamp ‘Jodensavanne’ yang sempat menjadi kamp orang Yahudi. Di kamp tersebut,
kehidupan Douwes Dekker sangat memprihatinkan bahkan ketika ia berumur 60 tahun, ia
sempat kehilangan penglihatan dan hidupnya sangat tertekan.

Usainya perang dunia II, membuat Douwes Dekker kemudian dikirim ke Belanda tahun
1946. Disana ia bertemu dengan seorang perawat bernama Nelly Albertina Gertzema nee
Kruymel yang kemudian menemaninya ke Indonesia. Ia tiba pada tanggal 2 januari 1947 di
Yogyakarta dan sempat mengganti namanya untuk menghindari intelijen. Di tahun itu juga ia
menikah dengan Nelly Albertina Gertzema nee Kruymel yang kemudian dikenal dengan nama
Haroemi Wanasita setelah mengetahui bahwa istrinya sebelumnya telah menikah lagi. Setelah
Indonesia mengumumkan kemerdekaan, Douwes Dekker kemudian mengisi posisi penting
sebagai menteri negara di kabinet Sjahrir III meskipun hanya 9 bulan saja. Douwes Dekker
juga sempat menjadi delegasi negosiasi dengan Belanda dan pengajar di Akademi Ilmu Politik
dan kepala seksi penulisan sejarah yang berada di bawah Kementerian Penerangan ketika itu.

Tanggal 21 Desember 1948 ketika agresi militer Belanda terhadap Indonesia, Douwes
Dekker ditangkap oleh Belanda dan kemudian di interogasi dan dikirim ke Jakarta. Namun
karena kondisi fisiknya yang sudah renta dan berjanji tidak akan terjun lagi ke dunia politik,
Douwes Dekker kemudian dibebaskan dan ia kemudian tinggal di Bandung di wilayah bernama
Lembangweg. Ia kemudian aktif kembali di dunia pendidikan di Ksatriaan Instituut yang
pernah ia dirikan dan kegiatannya adalah menyusun autobiografi dirinya dan juga ia banyak
merevisi buku-buku sejarah yang pernah ia tulis.

12
Pada tanggal 28 agustus 1950, Douwes Dekker akhirnya menghembuskan nafas
terakhirnya, namun di batu nisan makamnya tertulis ia wafat pada tanggal 29 agustus 1950.
Beliau kemudian dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Cikutra, Bandung.

Untuk menghormati jasa-jasanya, namanya yang lebih dikenal sebagai ‘Setiabudi’


diabadikan sebagai nama jalan di Bandung dan kemudian nama tempat di wilayah Jakarta. Dan
pemerintah Indonesia melalui presiden Soekarno pada tanggal 9 november 1961 mengeluarkan
Kepres No. 590 tahun 1961 mengenai penetapan Douwes Dekker atau Danudirja Setiabudi
sebagai Pahlawan Nasional.

13
BAB 3

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Pria yang lahir di Pasuruan 8 Oktober 1979 ini mulai sadar dengan nasionalisme dan
kemanusiaan sejak mendapatkan pengalaman dalam bertugas sebagai asisten residen di Lebak
yang saat itu keadaannya sangat buruk dan rakyat lebak dilakukan secara tidak adil oleh
pemerintah Hindia Belanda. Ia menceritakan kepedihan rakyat lebak melalui novelnya yaitu
Max Havelaar. Novel tersebut memberi pengaruh besar terhadap Hindia Belanda dan novel
tersebut dianggap anti kolonial. Sehingga ia pun memberi nama samaran “Multatuli”.

14
DAFTAR PUSTAKA

Sumber internet:

https://www.biografiku.com/biografi-douwes-dekker-tokoh-pejuang/

https://news.detik.com/x/detail/intermeso/20160919/Multatuli-dan-Indonesia-Pasca-
Reformasi/

https://id.wikipedia.org/wiki/Eduard_Douwes_Dekker

15

Anda mungkin juga menyukai