Anda di halaman 1dari 5

Nama : Dwi Noviandini

Nim : 18.11.401.01.0761

Persyaratan pelayanan KB yg bermutu

Pelayanan Keluarga Berencana Pelayanan KB merupakan salah satu strategi untuk mendukung
percepatan penurunan Angka Kematian Ibu melalui:

1. Mengatur waktu, jarak dan jumlah kehamilan

2. Mencegah atau memperkecil kemungkinan seorang perempuan hamil mengalami komplikasi yang
membahayakan jiwa atau janin selama kehamilan, persalinan dan nifas.

3. Mencegah atau memperkecil terjadinya kematian pada seorang perempuan yang mengalami
komplikasi selama kehamilan, persalinan dan nifas. Peranan KB sangat diperlukan untuk mencegah
kehamilan yang tidak diinginkan, unsafe abortion dan komplikasi yang pada akhirnya dapat mencegah
kematian ibu.Selain itu, Keluarga Berencana merupakan hal yang sangat strategis untuk mencegah
kehamilan “Empat Terlalu” (terlalu muda, terlalu tua, terlalu sering dan terlalu banyak).Mengacu pada
Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 75 tahun 2014 tentang Pusat Kesehatan Masyarakat, upaya
yang diselengggarakan di Puskesmas terdiri dari upaya kesehatan masyarakat esensial dan upaya
kesehatan masyarakat pengembangan. Pelayanan Keluarga Berencana merupakan salah satu dari 5
Upaya Kesehatan Masyarakat Esensial yaitu pelayanan promosi kesehatan; pelayanan kesehatan
lingkungan; pelayanan kesehatan ibu, anak, dan keluarga berencana;pelayanan gizi; dan pelayanan
pencegahan dan pengendalian penyakit. Begitu pula untuk di Rumah Sakit,menurut Peraturan Menteri
Kesehatan Nomor 56 Tahun 2014 Tentang Klasifikasi dan Perijinan Rumah Sakit, pelayanan KB
merupakan pelayanan medik umum yang harus ada di RS. Dapat disimpulkan, pelayanan KB merupakan:

1. Upaya kesehatan masyarakat esensial Puskesmas dan pelayanan medik umum di Rumah Sakit

2. Upaya pengaturan kehamilan bagi pasangan usia subur untuk membentuk generasi penerus yang
sehat dan cerdas

3. Upaya pencegahan kehamilan yang tidak diinginkan

4. Memenuhi hak reproduksi klien.

Pelayanan keberlanjutan (Continuum of Care) dalam pelayanan KB, meliputi pendidikan kesehatan
reproduksi pada remaja, konseling WUS/ calon pengantin, konseling KB pada ibu hamil/ promosi KB
pasca persalinan, pelayanan KB pasca persalinan, dan pelayanan KB interval.

Sesuai dengan Rencana Aksi Nasional Pelayanan KB 2014-2015, salah satu strateginya adalah
peningkatan ketersediaan, keterjangkauan, dan kualitas pelayanan KB melalui pelayanan Komunikasi,
Informasi dan Edukasi (KIE) dan konseling secara sistematis dengan salah satu program utama adalah
memastikan seluruh penduduk mampu menjangkau dan mendapatkan pelayanan KB. Komunikasi,
Informasi dan Edukasi adalah proses yang sangat penting dalam pelayanan KB. Pengertian komunikasi
adalah penyampaian pesan secara langsung/tidak langsung melalui saluran komunikasi kepada
penerima pesan untukmendapatkan suatu efek. Dalam bidang kesehatan kita mengenal
komunikasikesehatan yaitu usaha sistematis untuk mempengaruhi perilaku positif masyarakat, dengan
menggunakan prinsip dan metode komunikasi baik menggunakan komunikasi individu maupun
komunikasi massa. Sementara informasi adalah keterangan, gagasan maupun kenyataan yang perlu
diketahui masyarakat (pesan yang disampaikan) danedukasi adalah proses perubahan perilaku ke arah
yang positif.Sesuai dengan Peraturan Menteri Kesehatan 1464/PER/X/ 2010 tentang ijin dan
penyelenggaraan praktik bidan, maka bidan dalam menjalankan praktik, berwenang untuk memberikan
pelayanan kesehatan ibu, anak dan kesehatan reproduski perempuan dan keluarga berencana meliputi :

- Memberikan penyuluhan dan konseling kesehatan reproduksi perempuan dan keluarga berencana;

- Memberikan alat kontrasepsi oral dan kondom.

Selain kewenangan tersebut, terdapat juga kewenangan bidan yang menjalankan program Pemerintah
yaitu :

- Pemberian alat kontrasepsi suntikan, AKDR/ IUD, dan memberikan pelayanan AKBK /implan

- Pelayanan AKDR dan AKBK dilakukan oleh bidan terlatih Bagi bidan yang menjalankan praktik di daerah
yang tidak memiliki dokter, dapat melakukan kewenangan pelayanan kesehatan dengan syarat:

- Daerah yang tidak memiliki dokter ditetapkan oleh Kadinkes Kab/ Kota

- Bidan dengan pendidikan D3 Kebidanan atau Bidan yang telah terlatih Bidan Praktek Mandiri yang
menjadi jejaring Puskesmas harus terdaftar di Dinas Kesehatan dan di BKKBN melalui SKPD KB/ BKKBD
agar mendapat distribusi alat dan obat kontrasepsi. Penyelenggaraan pelayanan KB dalam JKN tetap
memperhatikan mutu pelayanan dan berorientasi pada aspek keamanan pasien, efektifitas tindakan,
kesesuaian dengan kebutuhan pasien serta efisiensi biaya. Pengaturan pembiayaanpelayanan KB sudah
diatur dengan Permenkes Nomor 59 tahun 2014 tentang standar tarif pelayanan kesehatan dalam
Penyelenggaraan Jaminan Kesehatan. Namun untuk prosedur pembiayaan untuk klien diluar peserta
JKN, mengacu pada Peraturan Daerah masing-masing.

Pencegahan resiko infeksi Hep. B Hiv/aids

Hepatitis B Dalam Kehamilan Dua miliar orang terinfeksi virus hepatitis B di seluruh dunia, dan 350-400
juta orang akan mengalami infeksi kronis. Hepatitis B Kronis menjadi penyebab utama penyakit liver di
seluruh dunia, dan 20% darinya akan berisiko mengalami sirosis hepatis atau hepatocarcinoma.
Virus Hepatitis B menginfeksi liver dan diekresikan pada cairan tubuh. Kebanyakan carriernya
bersifat asimptomatik, selama bertahun-tahun. Virus Hepatitis B disebarkan melalui inokulasi melalui
kulit yang mengalami lesi, atau kontak mukosa dengan darah atau cairan tubuh lainnya (cairan vagina
atau semen) dari penderita. Pada kondisi hamil, infeksi hepatitis B pada ibu menjadi sangat penting
karena ada risiko transmisi pada bayi baru lahir (Mother to Child Transmission). Kurang lebih 25.000 bayi
berisiko tertular Hepatitis B oleh ibunya saat kehamilan dan persalinan. Infeksi hepatitis B akut
memiliki risiko transmisi perinatal sebesar 10% pada trimester satu dan dua, dan meningkat
sampai sebesar 75% pada trimester ketiga. Risiko transmisi akan menjadi lebih besar jika kadar virus
tinggi di dalam darah ibu. Risiko berkembangnya infeksi Hepatitis B ini berbanding terbalik dengan usia
anak saat paparan. Paparan Hepatitis B pada saat bayi akan berkembang menjadi hepatitis kronis pada
90% kasus, sedangkan pada balita dan anak-anak hanya sebesar 50%.

HIV Dalam Kehamilan Lebih dari 90% bayi terinfeksi HIV tertular dari ibu yang menderita HIV positif
selama kehamilan. Penularan tersebut dapat terjadi pada masa kehamilan, saat persalinan dan
selama menyusui, dimana penularan terbesar terjadi pada saat persalinan. Tanpa pengobatan yang
tepat dan dini, risiko transmisi vertikal dari ibu ke bayi mencapai 25-30 %, dan separuh dari anak yang
terinfeksi HIV akan meninggal sebelum ulang tahun kedua. Pencegahan penularan HIV dari ibu ke
anak (PPIA) atau Prevention of Mother to Child HIV Transmission (PMTCT) merupakan intervensi yang
sangat efektif untuk mencegah penularan tersebut. Skrining universal dan deteksi dini ibu hamil,
konseling, terapi dengan obat antiretroviral (ARV), persalinan elektif dengan operasi sesar, dan
tidak menyusui bayi adalah beberapa metode komprehensif PPIA. Dengan upaya PPIA maka risiko
penularan HIV dari ibu ke bayi dapat diturunkan menjadi < 1-2 % (Peterson AT. dkk, 2017; WHO,
2016; Kementerian Kesehatan RI, 2015

erdapat tiga fase perjalanan alamiah infeksi HIV sebagai berikut: 1) Fase I: masa jendela (window
period) – tubuh sudah terinfeksi HIV, namun pada pemeriksaan darahnya masih belum ditemukan
antibodi anti-HIV. Pada masa jendela yang biasanya berlangsung sekitar dua minggu sampai tiga bulan
sejak infeksi awal ini, penderita sangat mudah menularkan HIV kepada orang lain. Sekitar 30-50%
orang mengalami gejala infeksi akut berupa demam, nyeri tenggorokan, pembesaran kelenjar getah
bening, ruam kulit, nyeri sendi, sakit kepala, bisa disertai batuk seperti gejala flu pada umumnya yang
akan mereda dan sembuh dengan atau tanpa pengobatan. Fase “flu-like syndrome” ini terjadi akibat
serokonversi dalam darah, saat replikasi virus terjadi sangat hebat pada infeksi primer HIV. 2) Fase II:
masa laten yang bisa tanpa gejala/tanda (asimtomatik) hingga gejala ringan. Tes darah terhadap HIV
menunjukkan hasil yang positif, walaupun gejala penyakit belum timbul. Penderita pada fase ini
penderita tetap dapat menularkan HIV kepada

orang lain. Masa tanpa gejala rata-rata berlangsung selama 2-3 tahun; sedangkan masa dengan
gejala ringan dapat berlangsung selama 5-8 tahun, ditandai oleh berbagai radang kulit seperti
ketombe, folikulitis yang hilang timbul walaupun diobati. 3) Fase III: masa AIDS merupakan fase terminal
infeksi HIV dengan kekebalan tubuh yang telah menurun drastis sehingga mengakibatkan timbulnya
berbagai infeksi oportunistik, berupa peradangan berbagai mukosa, misalnya infeksi jamur di mulut,
kerongkongan dan paru-paru. Infeksi TB banyak ditemukan di paru-paru dan organ lain di luar
paru-paru. Sering ditemukan diare kronis dan penurunan berat badan sampai lebih dari 10% dari
berat awal. Penularan HIV Cara penularan HIV melalui alur sebagai berikut. 1) Cairan genital: cairan
sperma dan cairan vagina pengidap HIV memiliki jumlah virus yang tinggi dan cukup banyak untuk
memungkinkan penularan, terlebih jika disertai IMS lainnya. Karena itu semua hubungan seksual
yang berisiko dapat menularkan HIV, baik genital, oral maupun anal. 2) Kontaminasi darah atau
jaringan: penularan HIV dapat terjadi melalui kontaminasi darah seperti transfusi darah dan
produknya (plasma, trombosit) dan transplantasi organ yang tercemar virus HIV atau melalui
penggunaan peralatan medis yang tidak steril, seperti suntikan yang tidak aman, misalnya penggunaan
alat suntik bersama pada penasun, tatto dan tindik tidak steril 3) Perinatal: penularan dari ibu ke
janin/bayi – penularan ke janin terjadi selama kehamilan melalui plasenta yang terinfeksi; sedangkan
ke bayi melalui darah atau cairan genital saat persalinan dan melalui ASI pada masa laktasi. Faktor
Resiko Risiko penularan HIV dari ibu ke anak tanpa upaya pencegahan atau intervensi berkisar antara
20-50% (Tabel 4.1). Dengan pelayanan pencegahan penularan HIV dari ibu ke anak yang baik, risiko
penularan dapat diturunkan menjadi kurang dari 2%. Pada masa kehamilan, plasenta melindungi janin
dari infeksi HIV; namun bila terjadi peradangan, infeksi atau kerusakan

barier plasenta, HIV bisa menembus plasenta, sehingga terjadi penularan dari ibu ke anak. Penularan
HIV dari ibu ke anak lebih sering terjadi pada saat persalinan dan masa menyusui (Kementrian
Kesehatan, 2015). Tabel 4. Risiko Penularan HIV dari Ibu ke Anak Selama kehamilan 5-10 % Saat
persalinan 10-20 % Selama menyusui (rata-rata 15%) 5-20 % Risiko penularan keseluruhan 20 - 50%
Ada tiga faktor risiko penularan HIV dari ibu ke anak, yaitu sebagai berikut. 1) Faktor ibu a. Kadar HIV
dalam darah ibu (viral load): merupakan faktor yang paling utama terjadinya penularan HIV dari ibu ke
anak: semakin tinggi kadarnya, semakin besar kemungkinan penularannya, khususnya pada
saat/menjelang persalinan dan masa menyusui bayi. b. Kadar CD4: ibu dengan kadar CD4 yang rendah,
khususnya bila jumlah sel CD4 di bawah 350 sel/mm3, menunjukkan daya tahan tubuh yang rendah
karena banyak sel limfosit yang pecah/rusak. Kadar CD4 tidak selalu berbanding terbalik dengan
viral load. Pada fase awal keduanya bisa tinggi, sedangkan pada fase lanjut keduanya bisa rendah
kalau penderitanya mendapat terapi anti-retrovirus (ARV). c. Status gizi selama kehamilan: berat badan
yang rendah serta kekurangan zat gizi terutama protein, vitamin dan mineral selama kehamilan
meningkatkan risiko ibu untuk mengalami penyakit infeksi yang dapat meningkatkan kadar HIV dalam
darah ibu, sehingga menambah risiko penularan ke bayi. d. Penyakit infeksi selama kehamilan: IMS,
misalnya sifilis; infeksi organ reproduksi, malaria dan tuberkulosis berisiko meningkatkan kadar HIV
pada darah ibu, sehingga risiko penularan HIV kepada bayi semakin besar. e. Masalah pada payudara:
misalnya puting lecet, mastitis dan abses pada payudara akan meningkatkan risiko penularan HIV
melalui pemberian ASI.

2) Faktor bayi. a. Usia kehamilan dan berat badan bayi saat lahir: bayi prematur atau bayi dengan
berat lahir rendah lebih rentan tertular HIV karena sistem organ dan kekebalan tubuh belum
berkembang baik. b. Periode pemberian ASI: risiko penularan melalui pemberian ASI bila tanpa
pengobatan berkisar antara 5-20%. c. Adanya luka di mulut bayi: risiko penularan lebih besar ketika bayi
diberi ASI. 3) Faktor tindakan obstetrik. Risiko terbesar penularan HIV dari ibu ke anak terjadi pada
saat persalinan, karena tekanan pada plasenta meningkat sehingga bisa menyebabkan terjadinya
hubungan antara darah ibu dan darah bayi. Selain itu, bayi terpapar darah dan lendir ibu di jalan lahir.
Faktor-faktor yang dapat meningkatkan risiko penularan HIV dari ibu ke anak selama persalinan
adalah sebagai berikut. a. Jenis persalinan: risiko penularan pada persalinan per vaginam lebih
besar daripada persalinan seksio sesaria; namun, seksio sesaria memberikan banyak risiko lainnya untuk
ibu. b. Lama persalinan: semakin lama proses persalinan, risiko penularan HIV dari ibu ke anak juga
semakin tinggi, karena kontak antara bayi dengan darah/ lendir ibu semakin lama. c. Ketuban pecah
lebih dari empat jam sebelum persalinan meningkatkan risiko penularan hingga dua kali dibandingkan
jika ketuban pecah kurang dari empat jam. d. Tindakan episiotomi, ekstraksi vakum dan forsep
meningkatkan risiko penularan HIV

Anda mungkin juga menyukai