Anda di halaman 1dari 61

PENDIDIKAN DAN PELATIHAN PEMBENTUKAN JAKSA 2019

MODUL

KEDOKTERAN FORENSIK

DISUSUN OLEH :

TIM PENYUSUN MODUL


BADAN DIKLAT KEJAKSAAN R.I.

BADAN PENDIDIKAN DAN PELATIHAN


KEJAKSAAN REPUBLIK INDONESIA
JAKARTA
2019
DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN JUDUL ……………………………………………………............................ i

TIM PENYUSUN MODUL…………………………………………………………………. ii

KATA PENGANTAR……………………………………………………………………….. iii

DAFTAR ISI ……………………………………………….............................................. iv

BAB I PENDAHULUAN......................................................................................... 1

A. Latar Belakang……………………………………............................ 1
B. Deskripsi Singkat ....................................................................................2

C. Tujuan Pembelajaran .…………………………………...............................3

D. Indikator Keberhasilan ............................................................................3

E. Materi Pokok dan Sub Materi Pokok ..........………….............................. 3

BAB II PENGENALAN KEDOKTERAN FORENSIK…………………………………….4

1. Definisi Ilmu Forensik................................................................................4


2. Definisi Ilmu Kedokteran Forensik.............................................................4
3. Sejarah Ilmu Kedokteran Forensik.............................................................5
4. Ruang Lingkup Ilmu Kedokteran Forensik.................................................5
5. Rangkuman……………………………………………………………………..6

BAB III PENGENALAN PROSEDUR MEDIKOLEGAL VISUM


ET REPERTUM…………………………………………………………………….7

1. Definisi Visum Et Repertum.......................................................................7


2. Jenis Visum Et Repertum...........................................................................8
3. Tata Cara Permintaan Visum Et Repertum Korban Mati............................8
4. Tata Cara Pencabutan Visum Et Repertum Korban Mati..........................10
5. Tata Cara Permintaan Visum Et Repertum Korban Hidup........................11
6. Rangkuman……………………………………………………………………..12
BAB IV OLAH TKP DARI ASPEK MEDIS………………………………13
1. Definisi Tempat Kejadian Perkara........................................................13
2. Definisi Penanganan Tempat Kejadian Perkara………………………..13
3. Definisi Tindakan Pertama Di Tempat Kejadian Perkara………………13
4. Definisi Pengelolaan Tempat Kejadian Perkara “Segitiga Pembuktian”….14
5. Penanganan Barang Bukti Kedokteran Forensik……………………………15
6. Thanatology……………………………………………………………………….15
7. Rangkuman………………………………………………………………………..17

BAB V PENGENALAN EKSUMASI/PENGGALIAN KUBUR……………………………...18

1. Definisi Eksumasi…………………………………………………………………..18
2. Tujuan Eksumasi………………………………………………...…………………18
3. Alasan Dilakukannya Eksumasi………………………………………..………...18
4. Pihak Yang Meminta Eksumasi…………………………………………………..18
5. Dasar Hukum Eksumasi Untuk Kasus Pidana…………………………….……19
6. Tata Cara Persiapan Eksumasi Dugaan Kasus Kriminal……………….……..20
7. Tata Cara Pelaksanaan Eksumasi……………………….………………………20
8. Rangkuman……………………………….………………………………………...22

BAB VI PENGENALAN FORENSIK KLINIK DAN PUSAT PELAYANAN TERPADU…..23

1. Pengenalan Forensik Klinik…………………………………………………….23

2. Pengenalan Pusat Pelayanan Terpadu (PPT)………………………………..23

BAB VII PENGENALAN ODONTOLOGI FORENSIK……………………………….35


1. Definisi Ontodologi………………………………………………………..35
2. Ruang Lingkup Ontodologi Forensik……………………………………36
3. Identifikasi Dengan Sarana Gigi Dan Mulut……………………………36
4. Peranan Ontodologi Forensik Di Dalam Proses Identifikasi………....37
5. Peranan Ontodologi Forensik Pada Olah TKP………………………..39
6. Rangkuman…………………………………………………………..……42
BAB VII PERLUKAAN………………………………………………………….……...43

1. Pengertian Perlukaan……………………………………………………43
2. Ruang Lingkup Perlukaan……………………………………………....43
3. Jenis Kekerasan………………………………………………………….44
4. Rangkuman…………………………………………………………….…46

BAB IX KEJAHATAN KESUSILAAN, ABORTUS, INFANTICIDE………………...47

1. Kejahatan Kesusilaan Perkosaan……………………………………...47


2. Abortus/ Keguguran……………………………………………….…….49
3. Infanticide/ Pembunuhan Anak………………………………………...51
4. Rangkuman……………………………………………………………....52

BAB X
PENUTUP……………………………………………………………………………..….53

DAFTAR PUSTAKA ..............................................................................................54


BAB I
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Ilmu kedokteran ndicato dapat dimanfaatkan dalam rangka proses


penyidikan dan penegakan ndic untuk kepentingan peradilan, agar dapat membantu
terangnya perkara pidana yang menimbulkan korban manusia, baik hidup maupun
mati. Pemeriksaan dalam ( ndicat) akan diperlukan apabila korban tersebut mati.
Dokter diharapakan dapat memberikan keterangan setidaknya mengenai luka atau
cedera yang dialami korban, penyebab kematian dan mekanismenya. Dalam
beberapa kasus dokter juga diharapkan dapat memperkirakan cara kematian dan
ndica lain yang berpengaruh terhadap kematian korban. (Sampurna, 2003)
Bedah mayat adalah pemeriksaan medis terhadap mayat dengan tujuan untuk
menemukan penyebab kematian. Pemeriksaan ini dilakukan dengan membuka
rongga kepala, leher, dada perut dan panggul serta bagian tubuh lain bila diperlukan,
serta dengan pemeriksaan jaringan dan organ tubuh didalamnya, baik secara fisik
maupun dengan dukungan pemeriksaan laboratorium (Afandi, 2009).
Di Indonesia, ndicat ndicato tidak merupakan keharusan bagi semua
kematian. Ketika diputuskan oleh penyidik perlunya dilakukan bedah mayat, maka
tidak ada lagi yang boleh menghalangi pelaksanaannya (Pasal 134 KUHAP dan pasal
22 KUHP) dan tidak membutuhkan persetujuan keluarga terdekatnya (Sampurna,
2003). Permintaan visum diajukan oleh penyidik dalam bentuk tertulis pada dokter
(Pasal 133 ayat 1 dan 2 KUHAP) dan merupakan salah satu alat bukti yang sah
(Pasal 133 ayat 3 KUHAP).
Penolakan oleh keluarga korban merupakan salah satu kendala yang paling
banyak ditemukan dalam pelaksanaan ndicat (Kadarmo, 2005) Terdapat beberapa
ndica yang mempengaruhi persepsi keluarga untuk memberikan persetujuan
dilakukannya bedah mayat pada seseorang, yaitu takut akan mutilasi, penundaan
pemakaman, permintaan korban saat sebelum meninggal dan usia korban yang
terlalu muda atau terlalu tua. Selain itu, ndicat agama dan kebudayaan juga
menjadi ndica yang berpengaruh. Juga terdapat kekhawatiran seperti organ tubuh
akan diambil.

1
Hasil dari bedah mayat tersebut diatas, dituangkan dalam Visum et Repertum.
Visum et Repertum adalah salah satu alat bukti yang sah di pengadilan yang
merupakan surat keterangan yang berisikan fakta dan pendapat dari dokter
forensik/dokter lainnya.
Visum et Repertum dapat dibagi berdasarkan korbannya yaitu Visum Et
Repertum Korban Mati, Visum et Tepertum Korban Hidup, yang terdiri atas Visum
et Repertum Kejahatan susila, Visum et Repertum Penganiyaan / Perlukaan, Visum
et Repertum Psikiatri.
Setiap pelaku tindak ndicato, akan dipengaruhi oleh ndica internal dan
eksternal. Faktor tersebut adalah motivasi ndicator, yang meliputi ndica
kebutuhan ekonomi yang mendesak, ndica ketenagakerjaan (penganguran atau
memiliki pekerjaan), dan ndica taraf kesejahteraan. Lalu ada motivasi ekstrinsik,
yang meliputi ndica pendidikan, dan ndica pergaulan atau pengaruh lingkungan
(Kansil, 1994).
Faktor lain yang mempengaruhi timbulnya kejahatan yaitu kepadatan
penduduk, jumlah ndica polisi, keadaan jalan dan lingkungan, frekuensi ronda
siskamling (Soekanto, 2001). Faktor-faktor ini dapat tercermin dari Indeks
Pembangunan Manusia (IPM) yang merupakan parameter utama yang digunakan
untuk mengukur perkembangan kualitas manusia di suatu wilayah. Nilai IPM ini
dihitung berdasarkan empat ndicator utama yaitu angka harapan hidup, angka
melek huruf, lama rata-rata sekolah dan pengeluaran perkapita.

B. DISKRIPSI SINGKAT
Kedokteran Kepolisian seperti yang tercantum di dalam Undang-Undang
Kepolisian Nomor 2 Tahun 2002 adalah merupakan upaya penerapan ilmu
pelaksanaan tugas kepolisian di bidang penegakkan hukum, mewujudkan keamanan
dan ketertiban masyarakat serta memberikan perlindungan, pengayoman serta
pelayanan kepada masyarakat, sehingga perlu dikembangkan secara optimal di dalam
rangka mengantisipasi kesadaran masyarakat yang semakin tinggi terhadap kepastian
hukum dan HAM.
Ilmu Kedokteran Forensik juga dikenal dengan nama Legal Medicine, adalah
salah satu cabang spesialistik Ilmu Kedokteran, yang mempelajari pemanfaatan ilmu
kedokteran untuk kepentingan penegakkan hukum dan keadilan.

2
Ilmu Kedokteran Forensik selain cabang spesialistik dari Ilmu kedokteran juga
merupakan bagian dari ilmu forensik untuk kepentingan penegakkan keadilan dan
kebenaran demi kesejahteraan manusia.

C. Tujuan Pembelajaran
Agar Peserta PPPJ memahami Kedokteran Kepolisian, sejarah dan dasar-
dasar ilmu forensik sehingga dapat diterapkan dalam melaksanakan tugas
penegakan hukum.

D. Indikator Keberhasilan
Agar Peserta PPPJ memahami dan mampu menjelaskan Kedokteran
Kepolisian, Ilmu Forensik, Ilmu Kedokteran Forensik, sejarah Ilmu kedokteran
Forensik, ruang lingkup Ilmu Kedokteran Forensik.

E. Materi Pokok dan Sub Materi Pokok

 Menjelaskan Kedokteran Kepolisian;


 menjelaskan yang dimaksud dengan Ilmu Forensik ;
 menjelaskan apa yang dimaksud dengan Ilmu Kedokteran Forensik ;
 menjelaskan sejarah Ilmu kedokteran Forensik;
 menjelaskan apa yang dimaksud dengan ruang lingkup Ilmu
Kedokteran Forensik.

3
BAB II

PENGENALAN KEDOKTERAN FORENSIK

1. Definisi Ilmu Forensik

Sebelum melangkah untuk mengetahui apa yang dimaksud dengan Ilmu


Kedokteran Forensik, maka seyogyanya perlu mengetahui apa yang dimaksud
dengan Ilmu Forensik secara umumnya. Ilmu Forensik (Forensic Science)
adalah Ilmu terapan yang dipergunakan untuk menegakan keadilan dan
kebenaran demi kesejahteraan umat manusia.
Contoh dari cabang-cabang yang masuk dalam Ilmu Forensik ini adalah
Ilmu Kimia Forensik, Ilmu Biologi Forensik, Ilmu Balistik, Ilmu Kriminalistik, Ilmu
Antropologi Forensik, Ilmu Kedokteran Forensik, Ilmu Fisika Forensik, Ilmu
Psikiatri Forensik, Ilmu Entomologi Forensik, Ilmu Dokumen Forensik, Ilmu
Sidik Jari Forensik, Ilmu Toksikologi Forensik, Ilmu Komputer Forensik, Biologi
Molekuler Forensik dan lain-lain.
Untuk dapat membuat terang suatu perkara tindak pidana yang terjadi di
masyarakat, mulai dari tingkat penyelidikan, penyidikan, penuntutan bahkan
sampai tingkat pengadilan, maka diperlukan dukungan dari berbagai ilmu
pengetahuan yang terkait dengan kasusnya.

2. Definisi Ilmu Kedokteran Forensik

Di masyarakat dengan semakin tingginya pelanggaran hukum yang


menyangkut tubuh dan nyawa manusia memerlukan bantuan ahli untuk
membuat jelas jalannya peristiwa serta keterkaitan antara tindakan yang satu
dengan yang lain dalam rangkaian peristiwa tersebut. Dalam hal terdapat
korban, baik korban hidup maupun korban mati, maka diperlukan seorang ahli
di bidang kedokteran untuk menjelaskan kepada para pihak yang terkait dalam
menangani kasus tersebut. Dokter yang berbekal ilmu kedokterannya
diharapkan membantu dalam proses peradilan ini, dan ilmu yang dipakainya
kemudian terhimpun di dalam khazanah Ilmu Kedokteran Forensik.
Ilmu Kedokteran Forensik juga dikenal dengan nama Legal Medicine,
adalah salah satu cabang spesialistik Ilmu Kedokteran, yang mempelajari
pemanfaatan ilmu kedokteran untuk kepentingan penegakkan hukum dan
keadilan.
Ilmu Kedokteran Forensik selain cabang spesialistik dari Ilmu kedokteran
juga merupakan bagian dari ilmu forensik untuk kepentingan penegakkan
keadilan dan kebenaran demi kesejahteraan manusia.

4
Dengan demikian Ilmu Kedokteran Forensik merupakan perwujudan dari
dua ilmu yaitu ilmu kedokteran yang menggunakan terapan ilmu kedokteran ini
dan ilmu forensik yang mempunyai kaidah kaidah forensik dasar dengan tujuan
yang sama yaitu demi keadilan.

3. Sejarah Ilmu Kedokteran Forensik

Dalam bentuknya yang masih sederhana, ilmu kedokteran forensik telah


dikenal sejak jaman Babilonia, yang mencatat bahwa seorang dokter
mempunyai kewajiban untuk memberi kesembuhan pada pasiennya bahkan
jika tidak tercapai tujuan penyembuhan tersebut, maka dokter dapat dituntut
ganti rugi.
Seorang dokter yang bernama Anthitius pada zaman Romawi kuno dalam
suatu ”Forum”, yaitu semacam intitusi peradilan pada waktu itu, memeriksa
sebanyak 21 luka pada tubuh terhadap rajanya yakni Julius Caesar. Pada
pemeriksaan terhadap lukanya tersebut, ia kemudian menyimpulkan bahwa
hanya ada satu luka saja di sela iga ke-2 sisi kiri depan yang menyebabkan
kematian.
Nama forensik dikatakan berasal dari kata Forum ini.

4. Ruang Lingkup Ilmu Kedokteran Forensik

Sejak dahulu dalam perkembanganya di dunia termasuk di Indonesia,


Ilmu Kedokteran Forensik hanya lebih dikenal sebagai ilmu bedah mayat saja,
sehingga masuk dalam ruang lingkup patologi forensik.
Namun dalam perkembangan lebih lanjut ilmu kedokteran forensik untuk
kepentingan peradilan tidak hanya membidangi masalah mayat atau korban
mati saja tetapi juga terhadap korban hidup. Bahkan kemudian tidak semata-
mata bermanfaat di dalam urusan penegakkan hukum dan peradilan saja, tetapi
juga bermanfaat dalam segi kehidupan bermasyarakat lain, misalnya dalam
membantu penyelesaian masalah klaim asuransi, pemecahan paternitas
(penentuan ke-ayaha-an), membantu upaya keselamatan kerja dalam bidang
industri dan otomotif maupun sarana transportasi lainnya.
Di dalam penggolongannya maka ruang lingkup ilmu kedokteran forensik
di Indonesia secara garis besar dapat digolongkan sebagai berikut pertama
adalah Forensik Patologi, yang mendalami pemeriksaan terhadap korban mati
dalam mencari sebab mati, mekanisme mati, perkiraan saat kematian dan lain-
lain yang berkaitan dengan kematian termasuk dalam pengawetan jenazah
serta Identifikasi forensik dan DVI. Kedua adalah Forensik Klinik, yaang
mendalami pemeriksaan terhadap korban hidup seperti pada kasus perkosaan,
penganiyaan, kekerasan dalam rumah tangga, kekerasan pada anak,
kedokteran lalu lintas, paternitas, dan lain-lain termasuk medikolegal atau

5
permasalahan di bidang medis seperti malpraktek dan sebagainya. Sedangkan
yang ketiga adalah Forensik Laboratorium, yang mendalami pemeriksaan
terhadap barang bukti biologis dari tubuh manusia seperti pemeriksaan racun,
keracunan, DNA, darah, sperma, rambut, juga terhadap barang bukti bologis di
benda fisik seperti bercak darah di pakaian dan lain-lain.
Seorang ahli kedokteran forensik di Indonesia harus menguasai ketiga
bidang dalam ruang lingkupnya. Hal ini memang agak berbeda dengan seorang
ahli kedokteran forensik di negara barat yang umumnya mereka hanya
menguasai pada ruang lingkup forensik patologi dan klinik saja.

5. RANGKUMAN

a. Kedokteran Forensik merupakan cabang spesialistik ilmu kedokteran yang


mempelajari pemanfaatan ilmu kedokteran untuk kepentingan
penegakkan hukum dan keadilan;

b. Ruang lingkup Kedokteran forensik yaitu menerapkan ilmunya untuk


melakukan pemeriksaan terhadap barang bukti biologis, manusia, bagian
tubuh dari manusia baik korban hidup maupun mati dan terbagi menjadi
forensik patologi, forensik klinik dan forensik laboratorium.

6
BAB III

PENGENALAN PROSEDUR MEDIKOLEGAL VISUM


ET REPERTUM

Dalam menghadapi setiap perkara pidana, seorang penyidik dihadapkan pada


bagaimana membuktikan bahwa memang benar telah terjadi suatu tindak pidana.
Upaya penyidikan tersebut adalah dalam rangka memenuhi ketentuan seperti yang
telah diatur dalam undang-undang sehingga dugaan tindak pidana tadi dapat
diajukan ke persidangan. Agar dapat diajukan ke pengadilan maka upaya
pembuktian tersebut harus dikemas dalam suatu bentuk alat bukti yang sah.
Di dalam pengadilan seorang hakim dalam menentukan putusan perkara
pidana setidak-tidaknya membutuhkan minimal dua alat bukti yang sah ditambah
dengan keyakinan hakim bahwa memang benar telah terjadi tindak pidana dan
bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya. Sebagaimana diatur pula dalam
undang-undang bahwa alat bukti yang sah adalah keterangan saksi, keterangan ahli,
surat, petunjuk dan keterangan terdakwa.
Seorang dokter mempunyai kewajiban membuat keterangan ahli yang diatur
dalam Pasal 133 KUHAP. Keterangan ahli ini kemudian dapat dijadikan sebagai alat
bukti yang sah di depan sidang pengadilan (Pasal 184 KUHAP).
Adapun pengertian keterangan ahli adalah sesuai dengan bunyi pasal 1 butir 28
KUHAP, yaitu ”Keterangan yang diberikan oleh seorang yang memiliki keahlian
khusus tentang hal yang diperlukan untuk membuat terang suatu perkara pidana
guna kepentingan pemeriksaan”.
Keterangan ahli ini dapat diberikan secara lisan di depan sidang pengadilan
(Pasal 186 KUHAP), atau dapat pula diberikan pada masa penyidikan dalam bentuk
laporan penyidik (Penjelasan Pasal 186 KUHAP), atau dapat juga diberikan dalam
bentuk keterangan tertulis di dalam suatu surat (Pasal 187 KUHAP).

Definisi Visum Et Repertum

Visum et Repertum adalah keterangan tertulis yang dibuat oleh dokter


atas permintaan tertulis resmi dari penyidik yang berwenang mengenai fakta
temuan hasil pemeriksaan medik dan pendapat terhadap manusia, baik korban
hidup atau korban mati ataupun bagian atau diduga bagian dari tubuh manusia,
berdasarkan keilmuannya dan di bawah sumpah, untuk kepentingan peradilan.

7
1. Jenis Visum Et Repertum

Jenis Visum et Repertum dapat dibagi berdasarkan korbannya adalah


sebagai berikut :
a. Visum Et Repertum Korban Mati
b. Visum et Tepertum Korban Hidup, yang terdiri atas :
1) Visum et Repertum Kejahatan susila ;
2) Visum et Repertum Penganiyaan / Perlukaan ;
3) Visum et Repertum Psikiatri

Sedangkan berdasarkan waktunya,maka Visum et Repertum dapat dibagi


menjadi Visum et Repertum Sementara dan Visum et Repertum Definitif.

2. Tata Cara Permintaan Visum Et Repertum Korban Mati

Korban mati yang dimintakan Visum et Repertum adalah korban yang


diduga akibat kematian tidak wajar. Adapun kematian tidak wajar merupakan
dugaan kematian akibat pembunuhan, bunuh diri, keracunan, kecelakaan lalu
lintas dan kematian di tempat yang tidak wajar.
Setiap kematian tidak wajar seharusnya dilakukan permintaan
pemeriksaan mayat sehingga mendapatkan kejelasan mengenai identitas
mayat, penyebab kematian, mekanisme kematian, perkiraan waktu kematian
dan pendapat tentang cara kematianya.

Adapun tata cara permintaan Visum et Repertum adalah sebagai berikut :

a. Dasar Hukum

Prosedur permintaan Visum et Repertum mayat (korban mati) telah


diatur dalam Pasal 133 dan 134 KUHAP. Dengan merujuk kedua pasal
dalam KUHAP tersebut dapat diartikan bahwa Permintaan Visum et
Repertum mayat berupa bedah jenazah, maka hukumnya ”mutlak” atau
tidak dapat ditolak.
Apabila diperlukan pemeriksaan bedah mayat dan keluarga
keberatan, maka penyidik wajib menjelaskan kepada keluarga korban
hingga keluarga korban dapat memahami tujuan dan kepentingan
pemeriksaan. Penyidik juga masih dapat menerapkan Pasal 222 KUHP
yang akan memberikan sangsi pidana apabila keluarga menghalang-
halangi guna pemeriksaan jenazah untuk keadilan ;

8
b. Beritahu Keluarga Korban Bukan Meminta Persetujuan

Berdasarkan Pasal 134 KUHAP maka seorang penyidik hanya


mempunyai kewajiban menerangkan sejelas-jelasnya tentang maksud dan
tujuan diadakannya pemeriksaan bedah mayat tersebut. Dapat
disimpulkan disini sekali lagi bahwa apabila penyidik sudah meminta untuk
dilakukan pemeriksaan bedah mayat maka bersifat ”mutlak” atau
obligatory dan tidak dapat ditolak.
Keluarga korban hanya diberitahu mengenai maksud dan tujuan
bedah mayat sehingga tidak meminta persetujuan dari keluarga korban ;

c. Buat Surat Permintaan Visum

1) surat Permintaan Visum (SPV) ini ditujukan kepada RS Bhayangkara


di daerah setempat atau RSUD atau RS Swasta jika tidak ada ;

2) SPV dituliskan dengan jelas jenis pemeriksaannya, apakah


pemeriksaan mayat atau bedah mayat. Pemeriksaan mayat saja
tidak dapat menentukan penyebab kematiannya, sehingga
seharusnya perihal isi surat adalah permintaan pemeriksaan bedah
mayat ;

3) SPV dituliskan jelas identitas mayat, atau jika belum diketahui


identitasnya maka dapat ditulis ”Mr.X” atau Mrs. X” ;

4) SPV dituliskan pula keterangan singkat mengenai kejadian, waktu


ditemukan, keterangan di TKP, cara kematian sementara dan lain-
lain. Namun apabila masih dalam penyidikan maka lebih baik kolom
keterangan singkat mengenai kejadian ini dikosongkan saja ;

5) SPV dicap dengan cap dinas dan pejabat yang menandatangani


Visum et Repertum adalah penyidik seperti diatur telah dalam
undang-undang (Pasal 2 dan 3 PP No. 27 Tahun 1983 tentang
Pelaksanaan KUHAP).

d. Kirim Mayat ke Rumah Sakit

1) pengiriman mayat ini harus sesegara mungkin, oleh karena semakin


lama maka proses pembusukan juga berlangsung dan hasil
pemeriksaan menjadi kurang optimal ;

2) pengirim mayat harus diantar oleh penyidik sendiri. Jangan lupa


menyertakan label mayat yang diikatkan pada ibu jari kaki kiri atau
jika tidak ada maka pada bagian dari tubuh ;

9
3) mengikuti pemeriksaan mayat oleh dokter. Dengan penyidik ikut
dalam mengantar mayat dan turut serta selama dalam pemeriksaan
akan memberikan keuntungan kepada penyidik oleh karena penyidik
dapat memberi keterangan terkait kasusnya dan mendapatkan
informasi yang terkini dari dokter pemeriksa. Hal tersebut juga sudah
tertuang di dalam Instruksi Kapolri No. 20/E/INS/IX/75.

e. Pemeriksaan oleh Dokter

Pemeriksaan bedah jenazah oleh dokter membutuhkan waktu


kurang lebih 1 – 3 jam tergantung kesulitan kasusnya. Seorang dokter
forensik akan melakukan pemeriksaan lebih teliti dan relatif lebih cepat
oleh karena lebih banyak memiliki pengalaman. Hasil dari pemeriksaan
dari seorang Dokter Forensik juga mempunyai nilai yang ”lebih” jika
dibandingkan dengan dokter lainnya, hal ini terkait dengan pendidikan,
pengalaman dan kompetensinya.
Selama dalam pemeriksaan seorang dokter akan menemukan
petunjuk-petunjuk berkaitan dengan pemeriksaannya. Apabila perlu ia
akan melakukan pemeriksaan penunjang dan atau mengambil beberapa
sampel dari mayat untuk pemeriksaan lebih lanjut, untuk itu kehadiran dari
penyidik memang diperlukan agar informasi terkini dapat diterima dan
dapat segera ditindaklanjuti.

f. Hasil Pemeriksaan Dokter

Hasil dari pemeriksaan dokter dapat seketika itu pula dikeluarkan


setelah pemeriksaan selesai dalam bentuk Visum et Repertum
Sementara. Namun umumnya oleh karena berkaitan dengan
pemeriksaan-pemeriksaan lanjutan lainnya maka Visum et Repertum
Definif memerlukan kisaran waktu antara 1-2 minggu tergantung rumit dan
banyaknya kasus.

3. Tata Cara Pencabutan Visum Et Repertum Korban Mati

Pencabutan permintaan Visum et Repertum bedah mayat pada prinsipnya


tidak dibenarkan, namun kadangkala dijumpai hambatan dari keluarga korban
yang keberatan untuk dilaksanakan bedah jenazah dengan alasan larangan
agama, adat dan lain-lain.

10
Menurut agama Islam maka bedah mayat untuk kepentingan peradilan
hukumnya ”mubah” berdasarkan Fatwa Majelis Kesehatan dan Syara No.
4/1955.
Bila timbul keberatan dari pihak keluarga, maka harus dijelaskan kembali
tentang maksud dan tujuan diadakannya bedah mayat (Pasal 134 KUHAP).
Dan apabila keluarga tetap menolak maka penyidik dapat menerapkan sangsi
pidana sesuai Pasal 222 KUHP.
Bilamana permintaan Visum et Repertum terpaksa harus dibatalkan, maka
pelaksanaan pencabutan / penarikan kembali Visum et Repertum tersebut
hanya diberikan oleh Komandan Kesatuan paling rendah tingkat Polsek dan
untuk kota besar hanya Polrestabes. Permintaan tersebut harus diajukan
tertulis resmi dengan menggunakan formulir pencabutan dan ditandatangani
oleh pejabat / petugas yang berhak dimana pangkatnya satu tingkat di atas
peminta setelah terlebih dahulu membahasnya secara mendalam.

4. Tata Cara Permintaan Visum Et Repertum Korban Hidup

Permintaan Visum et Repertum untuk korban hidup pada prinsipnya


hampir sama dengan tata cara permintaan Visum et Repertum terhadap korban
mati. Namun karena korban hidup juga statusnya sebagai pasien maka ada
beberapa hal yang harus diperhatikan antara lain:

a. korban hidup dengan luka-luka umumnya akan mencari pertolongan


terlebih dahulu ke dokter atau rumah sakit terlebih dahulu baru ke polisi.
Memang tidak ada peraturan yang menyebutkan korban luka harus
diantar oleh petugas kepolisian, namun sebaiknya polisi mengantarkan
korban oleh karena mengingat status korban tersebut sebagai barang
bukti sekaligus memastikan identitas dari korbannya ;

b. prinsipnya cara penulisan dari SPV hampir sama dengan cara penulisan
SPV terhadap korban mati. Di dalam SPV harus menyebutkan dugaan
tindak pidana yang dimaksud ;

c. oleh karena Visum et Repertum merupakan surat keterangan, maka dapat


dibuat berdasarkan catatan rekam medik yang telah menjadi bukti sejak
datangnya SPV ;

d. dalam pembuatan Visum et Repertum tidak memerlukan ijin dari pasien


oleh karena sudah diminta berdasarkan hukum. Hal demikian memang
berbeda dengan surat keterangan medis yang memang memerlukan ijin
dari pasien.

11
5. Rangkuman

a. Visum et Repertum adalah salah satu alat bukti yang sah di pengadilan
yang merupakan surat keterangan yang berisikan fakta dan pendapat dari
dokter forensik/dokter lainnya ;

b. tata cara permintaan Visum et Repertum telah diatur oleh undang-undang,


pejabat peminta umumnya penyidik polri, ditulis secara resmi dalam
bentuk Surat Permintaan Visum (SPV) dengan ketentuan-ketentuan
tertentu ;

c. otopsi bersifat mutlak dan tidak dapat ditolak oleh siapapun jika sekali
diminta oleh penyidik ;

d. keluarga yang menolak otopsi mempunyai beberapa konsekwensi antara


lain dikenakan Pasal 222 KUHP, Pasal 135 KUHAP dan tidak
mendapatkan Surat Keterangan Form-A dengan segala konsekwensinya
(tidak dapat dikubur, asuransi, warisan dan perdata lainnya) ;

e. perlakukan terhadap korban hidup selain sebagai barang bukti juga


sebagai pasien.

12
BAB IV

OLAH TKP DARI ASPEK MEDIS

1. Definisi Tempat Kejadian Perkara (TKP)

Seperti yang pernah diketahui bahwa definisi dari Tempat Kejadian


Perkara adalah tempat dimana suatu tindak pidana dilakukan/terjadi, atau
akibat yang ditimbulkannya. Tempat kejadian perkara merupakan juga tempat-
tempat lain dimana barang bukti yang berhubungan dengan tindak pidana
tersebut diketemukan.

2. Definisi Penanganan Tempat Kejadian Perkara

Penanganan Tempat Kejadian Perkara adalah tindakan penyelidik atau


penyidik yang dilakukan di tempat kejadian perkara yang menyelenggarakan
kegiatan dan tindakan kepolisian yang dilakukan di tempat kejadian perkara.
Tindakan kepolisian tersebut terdiri dari :
a. Tindakan Pertama di TKP (TP-TKP) ;
b. Pengolahan TKP (Crime Scene Processing).

3. Definisi Tindakan Pertama Di Tempat Kejadian Perkara (TP-TKP)

Tindakan Pertama di Tempat Kejadian Perkara adalah tindakan kepolisian


yang harus dilakukan segera setelah terjadinya tindakan pidana untuk
melakukan pertolongan/perlindungan kepada korban/anggota masyarakat serta
penutupan dan pengamanan Tempat Kejadian Perkara guna persiapan
penyidikan selanjutnya. Tindakan ini dimaksudkan agar TKP tetap dalam
keadaan ’status quo’, sehingga tindakan pertolongan/perlindungan terhadap
korban/anggota masyarakat jangan sampai merusak TKP dan barang bukti
yang ada di dalam TKP.
Harus dibedakan bahwa tindakan utama dari petugas di TP-TKP adalah
hanya mengamankan TKP agar tetap dalam kondisi status quo dan tidak
melakukan Olah TKP.

13
4. Definisi Pengolahan Tempat Kejadian Perkara ”Segitiga Pembuktian”

Pengolahan Tempat Kejadian Perkara adalah tindakan atau kegiatan-


kegiatan setelah tindakan pertama di tempat kejadian perkara dilakukan
dengan maksud untuk mencari, mengumpulkan, mendokumentasikan,
menganalisa, mengevaluasi petunjuk-petunjuk, keterangan dan bukti serta
identitas tersangka menurut teori ’pembuktian segitiga’ guna memberikan arah
penyidikan selanjutnya.

ALAT
KEJAHATAN/
BARANG
BUKTI

TK
P
PELAKU KORBAN

BUKTI SEGI TIGA

Dasar Teori Bukti Segi Tiga


Pada suatu tempat kejadian perkara (TKP) unsur Korban (K), Pelaku (P) dan
Alat (A) yang dipakai melakukan kejahatan bertemu sehingga terjadi kontak
satu dengan yang lainnya dan mengakibatkan adanya perpindahan material
dari unsur (K)(P)(A) satu dengan yang lainnya serta dari dan ke TKP.

Olah TKP dilakukan oleh petugas yang mengerti tentang bagaimana


melakukan olah TKP. Petugas Olah TKP harus diberikan perlindungan dan
kebebasan dalam melakukan Olah TKP berdasarkan prinsip-prinsip ilmu
forensik. Petugas Olah TKP idealnya terdiri dari Dokpol untuk barang bukti
biologis, Ident untuk dokumentasi, sidik jari, sketsa TKP dan Labfor untuk
barang bukti fisik.
Manajer TKP adalah petugas yang memimpin baik TP-TKP dan atau Olah
TKP yang umumnya mengatur bagaimana prosedur di TKP dilakukan namun
tidak melakukan Olah TKP. Seorang manajer TKP akan mengetahui segala

14
sesuatu yang terjadi di TKP berdasarkan laporan dari orang-orang yang terlibat
di TKP.
Seorang dokter ahli forensik dapat dimintakan untuk melakukan Olah TKP
dari aspek medik forensiknya. Keterangan yang disampaikan oleh dokter ahli
forensik tersebut setelah melakukan Olah TKP aspek Medik Forensik dapat
memberikan petunjuk yang penting seperti jenis kematiannya, perkiraan berapa
lama kematiannya, perkiraaan cara kematian dan mekanisme kematiannya dan
hal-hal lain yang terkait dengan keilmuannya.

5. Penanganan Barang Bukti Kedokteran Forensik

Penangan barang bukti kedokteran forensik guna pemeriksaan lanjutan


dan atau pemeriksaan DNA memperhatikan hal-hal sebagai berikut :

a. Barang bukti kedokteran forensik berupa :


1) Darah
2) Liur
3) Sperma
4) Rambut dengan akar rambut
5) Gigi
6) Tulang
7) Kulit
8) Otot
9) Semua yang berkaitan dengan tubuh manusia

b. perlu dipikirkan untuk mengamankan dan merawat barang bukti dari


kerusakan.

c. untuk darah segar disimpan dalam tabung darah dengan menambahkan


larutan EDTA 10% ( jangan menggunakan formalin ).

d. darah, sperma dan liur disimpan dalam kassa kering dan diangin anginkan
sampai kering lalu disimpan dalam amplop bukan kantong plastik.

e. rambut dengan akarnya, gigi, tulang, kulit, otot dan semua yang berkaitan
dengan tubuh manusia disimpan dalam amplop.

6. THANATOLOGY
Kematian adalah berhentinya tanda-tanda kehidupan secara permanen.

a. Secara garis besar kematian ada 2 macam yaitu :


1) Kematian yang wajar, meliputi kematian karena sakit, tua, dan lain-
lain.

15
2) Kematian tidak wajar meliputi pembunuhan, bunuh diri, kecelakaan,
dan lain-lain.

b. Tanda-tanda kematian
Tanda kematian ada 2 jenis :
1) Tanda kematian dini (awal) :
a) Pergerakan terhenti.
b) Denyut nadi dan pernafasan terhenti
c) Kulit pucat dan tonus otot menurun
Jika di TKP ditemukan korban dengan tanda-tanda tersebut maka
korban masih mungkin untuk dilakukan pertolongan, segera lekukan
PPGD (Resusitasi).

2) Tanda-tanda kematian lanjut


a) Penurunan Suhu Mayat (algor mortis).
Pada saat pertama kematian, suhu tubuh akan turun sangat
lambat. Bila orang yang sudah meninggal diraba masih hangat,
maka paling sedikit matinya sudah 2 jam, dan bila sudah dingin,
maka kematian sudah berlangsung paling sedikit 8 jam.

b) Lebam Mayat (livor mortis).


Lebam mayat timbul 20-30 menit setelah kematian sebagai
bercak-bercak kebiruan, setelah 6-8 jam lebam terbentuk
sempurna. Warna lebam menentukan penyebab kematian
seperti keracunan gas Co berwarna merah muda. Lebam mayat
juga bisa digunakan sebagai petunjuk saat kematian, posisi
korban dan sebab kematian.

c) Kaku Mayat (rigor mortis)


Kaku mayat terjadi setelah 2-3 jam kematian dimulai dari
bagian kepala berangsur-angsur turun ke bawah sampai kaki,
seluruh bagian kaku dalam waktu 9-12 jam. Kaku yang bersifat
khusus yaitu CADAVERIC SPASME ialah kekakuan pada
bagian tertentu yang disebabkan karena sebelum meninggal
korban mengalami ketegangan jiwa yang amat sangat,
misalnya mati terbakar, tenggelam atau bunuh diri dengan
senjata api terdapat kekakuan pada tangan yang tidak bisa
ditiru dan bersifat menetap. Pada kematian karena kebakaran
kaku mayat ini disebut Heat Stiffening.

d) Pembusukan
Pembusukan mulai terjadi setelah 24 jam kematian.
Pembusukan dimulai di daerah perut sebelah kanan bawah
berwarna kehijauan yang kemudian menjalar keseluruh perut

16
dan sela-sela iga. Setelah 2X24 jam terjadi penggembungan
akibat pembentukan gas hasil penguraian oleh kuman.

7. Rangkuman

a. penanganan korban di TKP berprinsip pada dasar-dasar forensik antara


lain pembuktian segitiga ;

b. TKP merupakan tempat dimana terjadi tindak pidana dan terdapat barang
bukti yang sangat penting untuk penyidikan sehingga TKP harus STERIL
dan tidak ada kontaminasi dari luar serta tidak ada perubahan di TKP ;

c. gunakan sarung tangan sebelum masuk TKP ;

d. korban hidup harus didahulukan pertologannya. Korban mati tidak perlu


tergesa-gesa ;

e. jangan melakukan perubahan, penambahan, pengurangan, pengambilan


terhadap korban mati di TKP. Pemeriksaan di TKP hanya pemeriksaan
seperlunya, pemeriksaan lebih detail dan lengkap dilakukan di intalasi
forensik RS Bhayangkara/RSUD/RS oleh dokter forensik/dokter.

17
BAB V

PENGENALAN EKSUMASI/PENGGALIAN KUBUR

1. Definisi Eksumasi

Exhumation (ex: keluar, humus: bumi) dari bahasa Latin artinya keluar dari
tanah atau pengangkatan jenazah dari dalam tanah setelah penguburan.
Arti kata eksumasi yang lain adalah melakukan penggalian peti mati atau
orang mati dan makamnya untuk mengetahui sebab kematian atau mencari
bukti lain seperti identitas korban.

2. Tujuan Eksumasi

Tujuan dilakukannya Eksumasi, adalah :

a. memindahkan jenazah ;
b. identifikasi ulang jenazah yang sudah dikuburkan ;
c. menentukan sebab kematian pada kasus asuransi dengan dua identitas
maupun penentuan atas harta warisan, Penentuan penyebab kematian
pada kasus pengadilan sipil seperti penyebab kematian yang salah duga,
penelantaran, kelalaian dalam malpraktek ;
d. penyelidikan kasus keracunan dengan tingkat kecurigaan yang tinggi,
kasus kriminal seperti pembunuhan, kecurigaan terhadap pembunuhan
yang disamarkan sebagai bunuh diri atau tipe jenis kematian lainnya.

3. Alasan dilakukannya Eksumasi


Alasan-alasan untuk dilakukannya eksumasi, yaitu:
a. Ilmu Pengetahuan ;
b. Masyarakat ;
c. Asuransi ;
d. Kriminal ;

4. Pihak yang Meminta Eksumasi


a. Pihak Asuransi
Pihak asuransi mempunyai hak untuk meminta dilaksanakannya eksumasi
atas dasar kecurigaan penyebab kematian terutama pada kematian yang
tidak wajar dan adanya pihak yang mendapat keuntungan dari kematian
korban ;
b. Pada Kasus Sipil
Pada kasus sipil, pihak pengacara keluarga dapat mengajukan surat

18
permohonan eksumasi atas nama pihak keluarga. Pada kasus ini pihak
patologi forensik tidak selalu diminta hadir kecuali bila dibutuhkan ;
c. Pada Kasus Kriminal
Pada penyelidikan yang didasarkan oleh investigasi kriminal, pihak negara
maupun penyidik mempunyai wewenang yang semu pada saat sebelum
pemakaman dan dapat membuat surat permintaan eksumasi dan otopsi
yang diatur dalam undang-undang.

5. Dasar Hukum Eksumasi untuk Kasus Pidana


Dasar hukum penggalian jenazah, peran dokter serta kaitannya dengan
kepentingan peradilan telah diatur dalam KUHAP, yaitu :

a. KUHAP Pasal 135


Dalam hal penyidik untuk kepentingan peradilan perlu melakukan
penggalian mayat, dilaksanakan menurut ketentuan sebagaimana dimana
dimaksud pasal 133 ayat (2) dan pasal 134 ayat (1) undang-undang ini.

b. KUHAP Pasal 133 ayat (2)


Permintaan keterangan ahli sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
dilakukan secara tertulis yang dalam surat disebutkan dengan tegas
untuk pemeriksaan luka atau pemeriksaan mayat dan atau pemeriksaan
bedah mayat.

c. KUHAP Pasal 134 ayat (1)


Dalam hal sangat diperlukan dimana untuk keperluan pembuktian bedah
mayat tidak mungkin lagi dihindari, penyidik wajib memberitahukan
terlebih dahulu kepada keluarga korban

d. KUHAP Pasal 136


Semua biaya yang dikeluarkan untuk kepentingan pemeriksaan
sebagaimana dimaksud dalam Bagian kedua Bab Xl ditanggung oleh
negara.

e. KUHP Pasal 222


Barang siapa dengan sengaja mencegah, menghalang-halangi atau
menggagalkan pemeriksaan mayat untuk pengadilan, diancam dengan
pidana penjara paling lama sembilan bulan atau pidana paling banyak
empat ribu lirna ratus rupiah.

f. KUHAP Pasal 180


1) Dalam hal diperlukan untuk menjernihkan duduknya persoalan yang
timbul di sidang pengadilan hakim ketua sidang dapat minta
keterangan ahli dan dapat minta agar diajukan bahan baru oleh yang

19
berkepentingan.
2) Dalam hal timbul keberatan yang beralasan dan terdakwa atau
penasehat hukum terhadap hasil keterangan ahli sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) hakim memerintahkan agar hal itu
dilakukan penelitian ulang.

3) Hakim karena jabatannya dapat memerintahkan uniuk dilakukan


penelitian ulang sebagaimana tersebut pada ayat (2).

4) Penelitian ulang sebagimana tersebut pada ayat (2) dan ayat (3)
dilakukan oleh instansi semula dengan komposisi personil yang
berbeda dan instansi lain yang mempunyai wewenang untuk itu.

6. Tata Cara Persiapan Eksumasi Dugaan Kasus Kriminal

Penyidik akan melakukan persiapan baik administrasi maupun koordinasi


dengan berbagai pihak antara lain:
a. Keluarga/ahli waris
Prinsipnya sama dengan permintaan Visum et Repertum, sehingga
tidak meminta persetujuan namun hanya melakukan pemberitahuan
kepada keluarga/ahli warisnya saja bahwa penggalian kubur tersebut
dilakukan demi keadilan ;
b. Petugas makam ;
c. Pemuka agama setempat ;
d. Kepala Desa/Ketua RT/Lurah setempat ;
e. Pihak yang menyiapkan meja otopsi, air bersih, generator, tenda tertutup
dan lain-lain ;
f. Samapta / Satuan Pengamanan untuk melakukan pengamanan ;
g. Dokter Spesialis Forensik ;

Apabila terdapat Dokter Forensik / Dokter umum di RS Bhayangkara


setempat maka dapat dihubungi dan dimintai keahliannya, namun apabila
tidak ada maka penyidik dapat meminta bantuan kepada Mabes Polri
yakni Kapusdokkes Polri dengan tembusan kepada Kabiddokkes Polda
dan Kabiddokpol Pusdokkes Polri.

7. Tata Cara Pelaksanaan Eksumasi


Prosedur eksumasi harus memperhatikan hal-hal tersebut di bawah ini,
yaitu:

a. Waktu
Biasanya dilaksanakan pada pagi hari, kecuali untuk menghindari massa
dan publisitas. Sebaiknya makam digali sehari sebelumnya sehingga pada

20
pagi hari, polisi, petugas patologi forensik dan yang lainnya dapat tiba
untuk melihat penggalian untuk menghindari rusaknya barang bukti,
namun apabila hal tersebut sulit dilakukan maka proses penggalian
dilakukan kira-kira 2-3 jam sebelum pemeriksaan ;

b. siapa saja yang terlibat dan hadir pada pelaksanaan eksumasi, antara
lain:
1) dokter forensik yang ditunjuk oleh penyidik ;
2) teknisi dokter forensik ;
3) dokter gigi atau ahli forensik odontologi ;
4) penyidik yang meminta dilaksanakannya eksumasi;
5) Jaksa ;
6) pencatat ;
7) fotografer forensik ;
8) ahli sidik jari ;
9) pihak keluarga atau ahli waris, jika pihak keluarga merupakan pihak
yang meminta dilaksanakannya eksumasi ;
10) pemuka masyarakat setempat ;
11) penggali makam.

c. Identifikasi Makam
Harus diidentifikasi secara tepat sesuai prosedur dengan bantuan kerabat
keluarga dekatnya dan atau pegawai yang bertanggung jawab pada
pemakaman tersebut.

d. Penutupan dan Pembatasan Area Eksumasi


Area makam tempat pelaksanaan eksumasi biasanya diberi pembatas
(Police Line) karena biasanya pelaksanaan eksumasi selalu mengundang
perhatian warga sekitar maupun media massa.
e. Pengumpulan Tanah Makam
Contoh tanah yang ada di permukaan makam, sekitar makam maupun di
bawah makam dikumpulkan Jika terdapat kecurigaan adanya dugaan
kematian akibat racun untuk diperiksa lebih lanjut.
Tanah dari seluruh peti mati dikumpulkan dan ditaruh dalam tempat yang
terbuat dari kaca secara terpisah

f. Pemeriksaan In Situ
Pemeriksaan di tempat sangat membantu, karena pada saat peti matinya
dibuka dapat langsung diperiksa keadaan mayatnya, dokumentasi juga
perlu dilakukan pada saat peti matinya dibuka. Sebelumnya dilakukan
pengukuran terhadap panjang, lebar dan kedalaman liang kubur, batas-
batas makam, arah makam, kondisi tanah dan lain-lain.
Pemeriksaan dan otopsi mayat idealnya langsung dilaksanakan di sekitar
makam. Namun dapat juga dilakukan di kamar jenazah untuk dilakukan

21
pemeriksaan post mortem.
Sampel dari organ umumnya diambil dan sampel tanah sekitar kuburan
juga turut diambil.
Setelah pemeriksaan dokter akan melakukan penjahitan kembali dan
selanjutnya petugas makam akan melakukan pembungkusan dengan kain
kafan/ pakaian, pemandian, pemetian dan penguburan kembali.

8. Rangkuman

a. Eksumasi adalah pengangkatan jenazah dari dalam tanah setelah


penguburan atau melakukan penggalian peti mati atau orang mati dan
makamnya untuk mengetahui sebab kematian atau mencari bukti lain
seperti identitas korban ;

b. pelaksanaan eksumasi harus memperhatikan persiapan dan mengikuti


tatacaranya ;

c. dokter yang melakukan eksumasi hendaknya dokter yang sudah


mempunyai pengalaman sehingga dapat bekerja secara profesional,
cepat dan akurat.

22
BAB VI

PENGENALAN FORENSIK KLINIK DAN PUSAT PELAYANAN


TERPADU

1. Pengenalan Forensik Klinik

Forensik klinik adalah cabang ilmu kedokteran forensik yang mempelajari


segala sesuatu yang berkaitan dengan pelayanan kedokteran dan kesehatan
serta pemberian jasa konsultasi medikolegal terhadap individu, praktisi hukum,
klien (termasuk Polisi) apabila ada unsur dugaan tindakan pidana dan
pengadilan.
Adapun ruang lingkup dari forensik klinik antara lain medikolegal,
penganiyaan fisik, kekerasan seksual, kelalaian medik, peracunan dan fitness
to be detained, interviewed and stand trial.

2. Pengenalan Pusat Pelayanan Terpadu (PPT)

a. Pendahuluan

Kekerasan terhadap perempuan telah terjadi sepanjang sejarah


peradaban dunia dan dianggap wajar karena dilegitimasi oleh budaya,
tradisi, adat bahkan agama dan berakibat melanggengkan konsep
patriaki.
Berbagai kekerasan yang dialami perempuan adalah bentuk
diskriminasi yang paling mendasar, diawali oleh diskriminasi, karena
perempuan dianggap berbeda dari laki-laki dalam arti lebih lemah dan
berada dibawah kekuasaan laki-laki.
Selain kekerasan terhadap perempuan, kekerasan terhadap anak
juga makin meningkat baik kekerasan fisik, seksual maupun psikis,
dimana pelaku kekerasan biasanya orang tua atau walinya sendiri.
Kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak merupakan
sebuah fenomena gunung es, dimana kasus yang muncul dipermukaan
hanya sedikit, padahal pada kenyataannya kasus-kasus yang terjadi dan
tidak dilaporkan lebih banyak dari dari yang dilaporkan.Tidak semua
korban kekerasan terhadap perempuan dan anak mau atau mampu
menyatakan keluhannya kepada orang lain, apalagi melapor pada pihak
yang berwajib.
Ada beberapa hal yang menyebabkan kaum perempuan dan anak
enggan melaporkan kekerasan yang telah dialaminya. Hal tersebut antara

23
lain mereka tidak tahu hendak melapor kemana, rasa takut untuk melapor
polisi, rasa malu apabila melapor maka semua orang akan tahu, takut
diancam pelaku bila akan melapor dan lain sebagainya. Terlebih lagi
korban kekerasan terhadap anak tidak mungkin dapat atau berani
melapor kepada pihak yang berwajib, karena pelakunya adalah biasanya
orang tuanya atau walinya sendiri.
Untuk itu dalam menangani kasus korban kekerasan terhadap
perempuan dan anak memerlukan perhatian yang serius dari pemerintah
sehingga untuk kedepan kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak
dapat ditekan.
Dalam penanganan korban kekerasan terhadap perempuan dan
anak hendaknya dilakukan dengan sistem penatalaksaan terpadu. Yang
dimaksud dengan sistem penatalaksanaan terpadu adalah penanganan
korban kekerasan yang komprehensif dan holistik serta sesegera mungkin
dengan pendekatan kerjasama multi disiplin yang profesional dan
berspektif jender dan anak serta dapat bekerja sebagai tim sehingga
bermanfaat bagi korban.
Pelayanan terpadu diperlukan agar korban kekerasan memperoleh
kemudahan dalam menerima seluruh layanan yang diperlukan dari
petugas dengan berbagai keahlian dengan hanya mendatangi satu
tempat, sehingga korban tidak mendapatkan pertanyaan yang berulang-
ulang, efisiensi waktu dan korban terlindungi dari ancaman pelaku.
Polri sebagai salah satu institusi yang bertanggung jawab terhadap
penanganan masalah ini telah membentuk Pusat Pelayanan Terpadu
(PPT) disetiap Rumah Sakit Bhayangkara Kewilayahan dan Rumkit
Bhayangkara Tingkat I R Said Soekanto, dimana apabila ada korban
kekerasan terhadap perempuan dan anak cukup datang ke Rumah Sakit
dan mendapatkan seluruh pelayanan baik pelayanan medis, mediko
legal, psikososial maupun bantuan hukum.

b. Pengertian jender dan kekerasan

1) Pengertian Jender

Untuk mengerti arti kata jender digunakan analisa jender yang


membedakan jender dengan seks. Seks adalah perbedaan jenis
kelamin laki-laki dan perempuan yang bersifat biologis, kodrati dan
karunia Tuhan Yang Maha Kuasa, tidak berubah sepanjang masa
dan tidak dapat dipertukarkan. Sedangkan jender adalah pembedaan
jenis kelamin laki-laki dan perempuan yang dikonstruksikan oleh
masyarakat yang telah berlangsung lama dapat berubah menurut
waktu dan tempat serta kondisi setempat. Jender akan memberikan
peran bagi masing-masing laki-laki dan perempuan sepanjang tidak

24
menimbulkan diskriminatif dan tidak timbul persoalan. Persoalan
timbul apabila terjadi sikap diskriminatif dan itulah pangkal terjadinya
kekerasan terhadap perempuan.
Untuk lebih jelasnya perbedaan seks dan jender dapat dilihat
pada tabel berikut :

SEKS JENDER
1. Tidak bisa berubah 1. Bisa berubah
2. Tidak bisa dipertukarkan 2. Bisa dipertukarkan
3. Berlaku sepanjang masa 3. Tergantung budayanya
4. Berlaku dimana saja 4. Tegantung perkembangan jaman
5. Ditentukan oleh Tuhan 5. Buatan manusia
6. Dialami oleh manusia suku 6. Berbeda antara satu suku
apa saja dengan suku lainnya
7. Dialami manusia agama apa 7. Berbeda antara satu kelas
saja dengan kelas lainnya

2) Pengertian Kekerasan
a) Kekerasan Terhadap Perempuan
Adalah setiap perbuatan berdasarkan pembedaan jenis kelamin
yang berakibat kesengsaraan dan penderitaan perempuan
secara fisik, seksual, psikologis termasuk ancaman tindakan
tertentu, pemaksaan atau perampasan kemerdekaan secara
sewenang-wenang baik yang terjadi di depan umum atau dalam
kehidupan pribadi ( Pasal 1 Deklarasi PBB tentang
Penghapusan Kekerasan terhadap Perempuan ) ;

b) Kekerasan Terhadap Anak


Kekerasan terhadap anak, dalam arti child abuse and neglect
adalah semua bentuk perlakuan menyakitkan secara fisik
ataupun emosional, penyalah gunaan seksual, pelalaian,
eksploitasi komersial atau eksploitasi lain, yang mengakibatkan
cedera / kerugian nyata ataupun potensial terhadap kesehatan
anak, kelangsungan hidup anak, tumbuh kembang anak, atau
martabat anak, yang dilakukan dalam konteks hubungan
tanggung jawab, kepercayaan atau kekuasaan (World Report
on Violence and Health, WHO, 1999) ;

c) Kekerasan Dalam Rumah Tangga


Kekerasan Dalam Rumah Tangga adalah setiap perbuatan
terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat
timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual,
psikologis, dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk

25
ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau
perampasan kemerdekan secara melawan hukum dalam
lingkup rumah tangga ( pasal 1 Undang-undang Republik
Indonesia Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan
Kekerasan Dalam Rumah tangga) ;

d) Perdagangan Manusia/Human Trafficking


perdagangan manusia adalah tindakan perekrutan,
pengangkutan, penampungan, pengiriman, pemindahan, atau
penerimaan seseorang dengan ancaman kekerasan,
penggunaan kekerasan, penculikan, penyekapan, pemalsuan,
penipuan, penyalahgunaan, kekerasan atau posisi rentan,
penjeratan utang atau memberi bayaran atau manfaat,
sehingga memperoleh persetujuan dari orang tua yang
memegang kendali atas orang lain tersebut, baik yang
dilakukan di dalam negara maupun antar negara, untuk tujuan
eksploitasi atau mengakibatkan orang lain tereksploitasi (UURI
no. 21 Tahun 2007 tentang Tindak Pidana Perdagangan
Orang).

c. Penanganan Korban Kekerasan terhadap Perempuan dan Anak


Kekerasan yang dialami oleh perempuan dan anak dapat
menimbulkan penderitaan baik fisik, psikis maupun sosial. Oleh karena itu
dalam penanganannya pun harus mencakup hal tersebut diatas, dimana
dalam pelaksanaannya tidak dapat dilakukan secara terpisah-pisah
melainkan secara bersama atau yang disebut sebagai sistem penata
laksanaan terpadu dan dalam penyelesaiannya diperlukan pendekatan
kerja sama multi disiplin yaitu disiplin medik, hukum dan psikososial.
Yang dimaksud dengan sistem penatalaksanaan terpadu adalah
penanganan korban kekerasan yang komprehensif dan holistik serta
sesegera mungkin dengan pendekatan kerjasama multi disiplin yang
profesional dan berperspektif jender dan anak.
Pelayanan yang terpadu diperlukan agar korban kekerasan
memperoleh kemudahan dalam menerima seluruh layanan yang
diperlukan dari petugas dengan berbagai keahlian dengan hanya
mendatangi suatu tempat, sehingga korban tidak mendapatkan
pertanyaan yang berulang-ulang, efisiensi waktu dan korban terlindungi
dari ancaman pelaku.
Untuk melaksanakan pelayanan terpadu yang ideal, korban
sebaiknya ditangani pada suatu tempat yang mudah di akses, dicari dan
ditemukan oleh anggota masyarakat namun masih dapat terjaga
kerahasiaannya. Di dalam tempat tersebut korban mendapatkan
pelayanan oleh petugas dari berbagai keahlian, dokter, psikolog, perawat,
pengacara, konselor dan polisi serta pekerja sosial. Para ahli ini sebaiknya

26
berjenis kelamin yang sama dengan korban, yaitu seorang perempuan.
Penggunaan tenaga ahli yang berjenis kelamin perempuan bukan
dimaksudkan untuk memberlakukan diskriminasi, melainkan guna
mengantisipasi kenyataan bahwa perempuan dan anak korban kekerasan
lebih mudah berkomunikasi dan mudah terbuka kepada petugas yang
berjenis kelamin sama.
Para ahli atau petugas tidak perlu harus berjaga disana setiap saat,
tetapi yang penting adalah bahwa pada saat ada kasus mereka dapat
dihadirkan dalam waktu relatif cepat. Model ini disebut One Stop Crisis
Centre yang memberikan kemudahan bagi korban untuk hanya datang
kesatu tempat guna menerima seluruh layanan yang diperlukan.

Tabel dibawah ini menunjukkan bidang, profesi dan institusi yang


seharusnya terlibat dalam layanan terpadu.

DISIPLIN PROFESI LEMBAGA

Dokter umum, dokter Rumah sakit, puskesmas,klinik


Medik
spesialis, perawat, bidan kesehatan

Lembaga bantuan hukum,


Polisi, pengacara, hakim,
Hukum kepolisian dan UPPA,
jaksa
kehakiman, kejaksaan

Psikolog, pekerja sosial, WCC, dinas sosial, pengelola


Psiko-
konselor (pendamping), rumah aman, rumah sakit, PPT,
sosial
psikiater LSM, biro PP

Tabel di bawah ini menunjukkan kekuatan dan tantangan layanan


satu atap.

27
KEKUATAN TANTANGAN

1. Korban
Layanan 1. Tidak selalu mudah
memperoleh
Korban terjangkau oleh korban yang
layanan terpadu
jauh dari tempat layanan
dalam waktu relatif
terpadu
singkat
2. In efisiensi layanan karena
2. Penanganan
Layanan terbentur birokrasi dalam
korban gawat
Korban penanganan korban
darurat lebih cepat

1. Potensi kuat 1. Hubungan kemitraan


untuk mempererat antar profesi dapat timpang
ja- ringan kerja karena posisi dominasi salah
Kelembagaan/ dengan beragam satu pihak
Institusi institusi multi 2. Harus ada SOP dan
disiplin mekanisme kerja yang
2. Langsung kuat/jelas dan terbuka
pada 3. Membutuhkan dana yang
pemprosesan cukup besar
lesson learned
untuk koordinansi
dan kerja sama
antar disiplin

Realisasi pelaksanan Tuntutan kerja sama sangat


Violence Against tinggi
Advokasi Women (VAW)
sebagai Public Health
Concern (kebutuhan
Advokasi)

d. Pusat Pelayanan Terpadu

Saat ini pemberian layanan terpadu sudah banyak dilakukan di


rumah sakit di Indonesia. Demikian juga halnya di rumah sakit Polri, yaitu
di Rumkit Bhayangkara Tingkat I R Said Soekanto dan juga di setiap
Rumah Sakit Bhayangkara dikewilayahan telah mempunyai layanan
terpadu yang disebut dengan Pusat Pelayanan Terpadu (PPT).
Pembentukkan PPT di Rumah Sakit Bhayangkara Tingkat I R Said
Sukanto didasari oleh Surat Keputusan Kapolri No. Pol. :
Skep/759/III/2003 tanggal 3 Maret 2003, sedangkan untuk Rumah Sakit

28
Bhayangkara dikewilayahan didasari oleh Surat Keputusan Kapolri No.
Pol. : Skep / 730 / X / 2003 tanggal 7 Oktober 2003.

1) Tujuan pembentukan PPT POLRI


PPT Polri dibentuk dengan tujuan sebagai berikut :
a) menyelenggarakan pelayanan medik ;
b) melaksanakan kegiatan medikolegal ;
c) melakukan pengobatan dengan pendekatan psikologi/sosial
agar korban kembali pada keadaan psikis yang stabil ;
d) melakukan bantuan hukum ;
e) melakukan proses penyelidikan dan penyidikan apabila ada
unsur pidana ;
f) mencarikan rumah aman / perlindungan apabila dibutuhkan.

2) Struktur Organisasi
Di dalam Rumah Sakit Bhayangkara sebagai pengendali
adalah Kepala Rumah Sakit, sedangkan di luar Rumah Sakit sebagai
pengendali adalah :
a) Kabiddokkes Polda ;
b) Dir Reskrim Polda.

PPT merupakan instalasi pada kompartemen pelayanan


kedokteran kepolisian yang terdiri dari:
a) Koordinator PPT ;
b) Paur Medis ;
c) Paur Keperawatan ;
d) Paur Administrasi ;
e) Paur Visum ;
f) Tim medikolegal yang terdiri dari :
(1) Dokter umum ;
(2) Dokter konsulen ;
(3) Perawat.
g) Jejaring
(1) Penyidik/penyidik pembantu ;
(2) Bantuan :
(a) Hukum ;
(b) Pendamping korban ;
(c) Psikologi ;
(d) Sosial.
3) Uraian Tugas
a) Koordinator PPT :
(1) mengatur pelaksanaan kerja dalam lingkungan PPT agar
tidak terjadi tumpang tindih pelaksanaan kerja dari
beberapa institusi terkait ;

29
(2) mengawasi pelaksanaan perawatan korban selama dalam
PPT ;
(3) membantu merencanakan dan menyusun kebutuhan
operasional PPT;
(4) mengevaluasi kegiatan PPT dan mengajukan saran pada
pimpinan.

b) Paur Medis:
melakukan koordinasi pelaksanaan pelayanan medis dan
medikolegal.

c) Paur Perawatan :
(1) melakukan koordinasi perawatan PPT ;
(2) melakukan pembagian tugas / jadwal perawat PPT.

d) Paur Administrasi:
(1) melakukan surat-menyurat dalam intern rumah sakit ;
(2) melakukan tata laksana dokumen, persiapan dan
penomoran surat ;
(3) melakukan tatalaksana rekam medis di PPT.

e) Paur Visum :
melakukan tatalaksana dokumen pengarsipan dan
penomoran Visum Et Repertum.

f) Dokter PPT:
(1) melakukan pemeriksaan, pengobatan dan perawatan
lanjutan terhadap korban ;
(2) melakukan pemeriksaan medikolegal meliputi
pengumpulan barang bukti pada korban dan pembuatan
VER ;
(3) melakukan pemeriksaan penunjang dan laboratorium
terhadap barang bukti ;
(4) membuat laporan kasus ;
(5) melakukan konsultasi kepada dokter ahli.

g) Dokter Konsulen:
(1) menjawab konsul yang diminta dokter PPT ;
(2) melakukan pemeriksaan / tindakan sesuai kondisi korban
di ruang pemeriksaan PPT.

30
h) Paramedik PPT:
(1) melakukan asuhan keperawatan dengan berwawasan
jender ;
(2) mendampingi dokter PPT / IGD pada saat melakukan
pemeriksaan korban ;
(3) melakukan pendampingan awal ;
(4) melakukan konseling awal.

4) Network / jejaring
Dalam melaksanakan tugasnya PPT bekerja sama dengan:

a) Instalasi Psikologi Polri


(1) bersama tim medik melakukan pemeriksaan terhadap
korban menentukan diagnosis dan melaksanakan terapi ;
(2) bersama tim medikolegal menentukan baik tidaknya
korban untuk dimulai proses penyelidikan dan penyidikan
(apabila korban menginginkan kasusnya diteruskan
melalui peradilan).

b) Kepolisian (Penyidik atau petugas UPPA)


(1) membuat laporan polisi dan surat permintaan VER ;
(2) melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap korban,
setelah berkoordinasi dengan tim medikolegal dan
psikologi ;
(3) Membuat berkas perkara yang ditemukan untuk
kepentingan peradilan.

c) Dinas Sosial / Pekerja Sosial


(1) melakukan pendampingan / konseling sosial ;
(2) membantu perawatan lebih lanjut pada rumah-rumah
perlindungan/ safe house ;
(3) melakukan “Home Visit” ;
(4) menyiapkan dan mengembalikan korban ke lingkungan
sosialnya.

d) LBH ( Lembaga Bantuan Hukum )


melakukan pendampingan hukum (dari proses pembuatan
Berita Acara Pemeriksaan (BAP) sampai proses peradilan).

e) LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat)


(1) melakukan pendampingan terhadap korban ;
(2) menyediakan rumah aman ;
(3) mengarahkan korban kekerasan perempuan dan anak
yang terjadi di masyarakat ke PPT.

31
5) Tatalaksana prosedur umum
a) korban kekerasan perempuan dan anak datang ke RS
Bhayangkara dengan cara datang sendiri, diantar oleh
keluarga, atau UPPA atau LSM ;

b) pelayanan yang diberikan kepada korban meliputi pelayanan


medis, medikolegal, psikososial dan bantuan hukum ;

c) korban kekerasan diperlakukan sebagai korban darurat dengan


tidak membedakan status perkawinan, status sosial/ekonomi
agama, ras dan suku bangsa ;

d) korban adalah pasien Instalasi Gawat Darurat (IGD) RS


Bhayangkara sehingga seluruh prosedur administrasi dan
medis di IGD berlaku pada dirinya ;

e) penanganan darurat medis didahulukan namun dengan tetap


tidak mengabaikan tindakan pendampingan (awal) psikis dan
upaya pengumpulan barang bukti. Penanganan di PPT
dilakukan setelah pelaksanaan darurat medis selesai dilakukan;

f) menghargai/menjunjung tinggi hak korban dalam hal :


(1) mendapat informasi mengenai layanan yang disediakan
PPT ;
(2) menerima atau menolak tindakan yang akan diberikan
kepadanya setelah memberi informasi mengenai tindakan
tersebut ;
(3) keputusan yang diambil/dilakukan oleh korban apakah
kasusnya akan diteruskan melalui proses hukum atau
tidak ;
(4) kerahasiaan identitas korban dan kerahasiaan hasil
pemeriksaan tetap dijaga.

g) jika perlu korban dapat dikonsultasikan dengan dokter


konsulen;

h) bila diperlukan petugas PPT dapat merujuk korban kekerasan


ke institusi : Kepolisian, LSM penyedia shelter perlindungan,
LBH, Dinas Sosial. Surat rujukan ditulis secara lengkap dan
jelas meliputi identitas korban, kronologis kejadian dan tindakan
yang telah diberikan. Surat rujukan dibuat rangkap dua,
pertama dikirim sedang lembar kedua untuk arsip ;

32
i) bila kondisi psikologis/psikis korban sudah membaik petugas
serse dapat memberi penyuluhan tentang proses hukum yang
akan di jalani, permintaan VER bagi korban, pembuatan BAP
selama korban mendapat pendampingan hukum.

KORBAN
DENGAN/TANPA
PENGANTAR

IGD
PENANGANAN LUKA
DAN KEDARURATAN

RUANG
LAB PELAKSANAAN DOKTER
FORENSIK MEDIKOLEGAL PPT

PSIKIATER/ ICU
PSIKOLOGI/ RAWAT
RUANG PSIKOSOSIAL INAP
RUMAH
PERLIN PERAWATAN
DUNGAN PPT

RUANG
PENYIDIKAN
PULANG

Tabel di atas ini adalah Alur Pelayanan Terpadu korban


3. Rangkuman
kekerasan terhadap perempuan dan anak.

a. Forensik Klinik adalah cabang ilmu kedokteran forensik yang mempelajari


segala sesuatu yang berkaitan dengan pelayanan kedokteran dan
kesehatan serta pemberian jasa konsultasi medikolegal terhadap individu,

33
praktisi hukum, klien (termasuk Polisi) apabila ada unsur dugaan tindakan
pidana dan pengadilan ;

b. Pusat Pelayanan Terpadu (PPT) adalah upaya pelayanan terpadu lintas


fungsi dan lintas sektoral kepada korban tindak kekerasan terhadap
perempuan dan anak yang merupakan salah satubagian pelayanan rumah
sakit kepolisian, sehingga dapat memberdayakan kembali secara utuh
perempuan dan anak korban kekerasan melaluipenanganan medis,
psikososial dan hukum.

34
BAB VII

PENGENALAN ODONTOLOGI FORENSIK

1. Definisi Odontologi Forensik

Odontologi Forensik atau Forensic dentistry tersusun dari paduan


bahasa Romawi dan Yunani, yaitu : Forensic berasal dari bahasa
Romawi yang berarti termasuk peradilan dan Odontology berasal dari
bahasa Yunani, yaitu odons berarti gigi dan logis berarti ilmu pengetahuan.
Sehingga Odontologi Forensik berarti ilmu pengetahuan tentang gigi geligi
untuk peradilan.Dalam arti luas Odontologi Forensik, meliputi semua upaya
pemanfaatan pemeriksaan gigi, komponen mulut dan wajah untuk kepentingan
peradilan dan identifikasi.
Untuk kepentingan penyidikan, maka Odontologi forensik sangat penting
terutama apabila di mana sarana identifikasi umum lain sudah tidak
memungkinkan lagi, sehingga melalui pemeriksaan Odontologi forensik
terhadap jenazah diharapkan dapat diperoleh data yang membantu proses
penyidikan.
Melakukan identifikasi manusia merupakan salah satu tugas Polri di dalam
peranannya sebagai penegak hukum dan pengayom masyarakat. Penentuan
identifikasi manusia merupakan berbagai upaya mengenal seseorang baik
hidup maupun mati dengan menggunakan berbagai sarana ilmu untuk
mengetahui siapa sebenarnya orang tersebut.
Dalam perkara pidana mengenali siapa korban merupakan hal yang
mutlak harus dilakukan. Dengan mengetahui siapa korban akan terbuka jalan
untuk mengenali siapa keluarga, teman, lawan atau saingan dalam usaha. Dari
informasi-informasi mereka sering dapat ditemukan siapa pelaku tindak pidana
yang dicari. Oleh karenanya identifikasi korban seringkali merupakan suatu titik
tolak penyidikan.
Dalam masalah non pidana seperti orang hilang karena melarikan diri,
tidak mengenal dirinya karena gangguan kejiwaan, hilang/mati karena bencana,
maka masyarakat akan meminta bantuan polisi untuk dilakukan identifikasi
guna kepentingan korban dan keluarganya.
Kebutuhan ini sering berkaitan dengan adat dan agama, pernikahan,
asuransi ataupun harta warisan. Bila identitas yang meninggal telah diketahui,
maka akan jelas pula siapa yang berhak menjadi ahli waris korban, bahkan
janda/duda korban mempunyai kedudukan hukum yang jelas sekiranya ingin
menikah kembali.

35
2. Ruang Lingkup Odontologi Forensik

a. Non pengadilan
1) Identifikasi dari sisa/fragmen tubuh manusia yang ditemukan ;
2) Identifikasi orang hidup karena hilang ingatan ;
3) Identifikasi kecelakaan/bencana massal (mass disaster) untuk
kepentingan keluarga dan asuransi.

b. Pengadilan
1) identifikasi dengan sarana gigi geligi di dalam menentukan korban
atau pelaku tindak pidana pada orang yang hidup/mati ;
2) identifikasi bekas gigitan pada makanan tersangka atau korban
(Analisa bekas gigitan).

c. Penelitian
1) menentukan golongan darah korban ;
2) menentukan umur korban ;
3) menentukan ras korban ;
4) perkiraan jenis kelamin ;
5) kebiasaan-kebiasaan tertentu.

3. Identifikasi Dengan Sarana Gigi Dan Mulut

a. Manfaat

Identifikasi dengan sarana gigi dan mulut adalah perbandingan


antara keterangan kedokteran gigi yang dibuat pada suatu saat dengan
data yang terdapat dikemudian hari dari hasil pemeriksaan gigi, mulut,
rahang dan gigi palsu korban. Dengan mempelajari sisa-sisa tulang
rahang dan gigi geligi korban yang ditemukan, maka odontologi forensik
dapat memberikan informasi mengenai :
1) Umur, ras, kebiasaan, golongan darah, perkiraan raut wajah korban
yang ditemukan.
2) Verifikasi yang memberi kepastian tentang identifikasi korban atau
membenarkan identitas korban.
3) Melakukan identifikasi terhadap korban itu sendiri.

b. Keunggulan dan kelemahan identifikasi dengan sarana gigi dan mulut

Gigi geligi adalah suatu sarana identifikasi yang dapat dipercaya,


khususnya apabila rekam data dan X ray foto gigi waktu hidup pernah
dibuat.
Keunggulan gigi geligi sebagai sarana identifikasi antara lain :

36
1) bentuk anatomi tiap gigi manusia yang khas menyebabkan ia mudah
dibedakan dari gigi makhluk lain dan letaknya di dalam mulut dapat
diketahui dengan pasti ;

2) menurut perhitungan Sims (1972, dengan komputer) kemungkinan 2


orang yang mempunyai gigi geligi identik ( baik posisi/oklusi gigi
maupun keadaannya seperti bentuk/letak karies/tambalan ) adalah 1
: 2 milyar ;

3) Gigi merupakan bagian tubuh manusia yang paling kuat/keras. Gigi


relatif tahan terhadap pembusukan, panas dan lain-lain serta
lapuk pada suhu 200°C dan menjadi abu pada suhu 450°C. Karena
sifat gigi ini, maka diharapkan masih dapat dianalisa meskipun
bagian tubuh yang lain sudah mengalami kerusakan yang
parah/hancur ;

4) restorasi gigi seperti tambalan, geligi tiruan dan lain-lain pada


umumnya juga memiliki daya tahan yang tinggi ;

5) adanya perubahan pada bentuk anatomi gigi akibat pertambahan


umur, perbedaan ras, jenis kelamin, kebiasaan dan lain-lain dapat
memberikan informasi berharga untuk kepentingan identifikasi ;

6) pada gigi ada 5 permukaan klinis yang tampak ini berarti dari 32 gigi
ada 160 permukaan dengan variasi letak, tambalan dan sebagainya.

Adapun kelemahan gigi-geligi sebagai suatu sarana identifikasi


yang terutama adalah berkaitan dengan masih rendahnya tingkat
kesadaran masyarakat untuk berobat ke dokter gigi dan belum
memasyarakatnya pembuatan rekam data gigi oleh dokter gigi, sehingga
makin menyulitkan untuk mendapatkan data banding berupa rekam medik
gigi.

4. Peranan Odontologi Forensik Di Dalam Proses Identifikasi

Sampai seberapa jauh odontologi forensik dapat membantu identifikasi


sisa-sisa tubuh korban tergantung dari sarana dan data-data yang ada, seperti:

a. Model gigi/mulut korban semasa hidup ;


b. Roentgen gigi/mulut korban ;
c. Data-data perawatan gigi korban/data-data lain yang diingat oleh kenalan
atau keluarganya ;
d. Foto korban semasa hidup.

37
Dengan membandingkan data-data sisa tubuh korban dengan data-
data dari dokter gigi yang merawat korban semasa hidupnya kita dapat
mencari kepastian tentang identifikasi dari masing-masing sisa tubuh korban
yang masih ada. Dalam hal ini catatan-catatan yang dibuat oleh para dokter gigi
tentang pasiennya akan sangat membantu di dalam odontologi forensik.
Suatu keberuntungan yang diperoleh dari data-data gigi dibandingkan
sidik jari adalah setiap dokter gigi pada umumnya selalu membuat catatan
tentang perawatan gigi yang dilakukan terhadap pasiennya untuk kepentingan
perawatan. Data-data tersebut selalu dapat dicari kembali meskipun pasien
telah meninggal. Kendala yang dihadapi saat ini adalah bahwa belum adanya
suatu pusat yang terpadu untuk mengumpulkan data-data gigi penduduk,
kecuali Pusdokkes Polri dan kesehatan TNI yang telah menyimpan data-data
gigi anggotanya.
Data-data gigi korban semasa hidup dari dokter gigi yang merawatnya
berupa keterangan tertulis, catatan atau gambar dalam kartu perawatan gigi
atau keterangan dari pihak keluarga atau orang yang terdekat korban disebut
dengan data gigi Ante Mortem.

Data-data ini biasanya berisi :

a. Nama penderita, umur, jenis kelamin dan pekerjaan ;


b. Tanggal perawatan, penambalan, pencabutan dan lain-lain ;
c. Pembuatan gigi tiruan, orthodonti dan lain-lain ;
d. Foto roentgen.

Sumber – sumber data gigi Ante Mortem dapat diperoleh pada:

a. Poliklinik gigi Rumah Sakit Pemerintah, TNI, Polri dan swasta ;


b. Lembaga-lembaga pendidikan yang menyelenggarakan pelayanan ;
c. Kesehatan baik Pemerintah, TNI, Polri dan swasta ;
d. Praktek pribadi dokter gigi.

Biasanya poliklinik maupun dokter gigi membuat catatan tentang


perawatan gigi tetapi tidak menyeluruh hanya ditujukan pada gigi yang dirawat
saja dan tidak melakukan pencatatan secara lengkap semua gigi
(Odontogram).
Bagi calon anggota Polri dan anggota Polri yang baru berdinas atau telah
lama berdinas selalu dibuatkan data gigi lengkap (odontogram) yang diwajibkan
bagi seluruh personil anggota Polri tanpa terkecuali dan datanya disimpan
secara terpadu pada pusat data gigi di Pusdokkes Polri dalam hal ini Bidang
Pelayanan Kesehatan dan Kesehatan Samapta Pusdokkes Polri.
Sedangkan data-data gigi yang diperoleh pada jenazah atau kerangka
yang pada umumnya tidak dikenal disebut dengan data gigi Post Mortem.

38
5. Peranan Odontologi Forensik Pada Olah TKP

a. Penanganan di TKP

Sehubungan dengan penemuan barang-barang bukti di TKP yang


berkaitan dengan gigi- geligi, maka masalah penanganannya dapat
dibedakan :
1) Penemuan bekas gigitan atau sidik bibir

adanya sisa makanan yang tertinggal di TKP dapat


memberikan kemungkinan adanya bekas-bekas gigitan pada
makanan tersebut yang kemungkinan oleh tersangka. Pada sisa
makanan berkonsistensi yang agak keras, namun tidak rapuh
seperti buah-buahan yang telah digigit umumnya akan meninggalkan
guratan bekas gigi yang cukup jelas.

Guratan bekas gigi ini dapat memberikan gambaran mengenai :


a) bentuk lengkung gigi depan ;
b) letak/posisi gigi depan ;
c) ompong/tidaknya gigi depan.

Mengingat bahwa gigi depan akan selalu terlihat apabila seseorang


berbicara/berhadapan dengan orang lain, maka diharapkan informasi
dapat diperoleh dari sisa makanan di TKP sekitar waktu kejadian.
Khusus untuk pencarian sidik bibir biasanya dapat ditemukan pada
pinggiran mulut gelas ;

2) Pembunuhan dengan kejahatan kesusilaan

Dalam kasus-kasus semacam ini bekas gigitan dapat ditemukan


pada bagian-bagian tubuh yang dianggap merangsang seperti leher,
pipi, buah dada, dinding perut bawah dan sisi paha bagian dalam.
Bila tersangka tertangkap, kadang-kadang dapat dicari tanda-tanda
bekas gigitan sebagai usaha perlawanan korban. Untuk itu maka
pada kasus-kasus pembunuhan/kejahatan kesusilaan perlu diteliti
kemungkinan adanya bekas gigitan ini baik pada tubuh korban
maupun pada tubuh tersangka pelaku kejahatan.
Seperti halnya bekas gigitan pada makanan, antara lain dapat
diperoleh gambaran mengenai :

a) bentuk lengkung gigi depan ;


b) posisi letak gigi depan ;
c) ompong/tidaknya gigi depan.

39
Selain itu dapat pula diketahui jenis golongan darah pelaku yang
menggigit melalui pemeriksaan sisa air liur yang terdapat disekeliling
bekas gigitan dengan bantuan pemeriksaan serologis/pemeriksaan
DNA ;

3) Penemuan jenazah/kerangka

Biasanya pada penemuan jenazah / kerangka sifat gigi geligi yang


dapat tahan lama menyebabkan gigi dapat memberikan bantuan
guna keperluan identifikasi. Dengan melakukan pemeriksaan
keadaan gigi geligi dalam rongga mulut jenazah/kerangka dapat
diperoleh informasi antara lain:
a) umur ;
b) kebiasaan/profesi ;
c) ras ;
d) golongan darah ;
e) ciri-ciri khas (terutama pada gigi depan) ;
f) perkiraan raut muka.

Data-data gigi akan jauh lebih bermanfaat apabila korban


pernah berobat / mendapatkan perawatan dari dokter gigi, sehingga
dapat dilakukan perbandingan data jenazah dengan data yang ada
pada dokter gigi.

b. Langkah-langkah penanganan di TKP oleh petugas bukan ahli kedokteran


gigi forensik.

Seringkali barang bukti dalam bidang kedokteran gigi forensik agak


sulit dikenali oleh petugas yang awam, maka bila dimungkinkan pada
kasus yang memerlukan identifikasi dengan sarana gigi dan mulut
diupayakan agar petugas/dokter gigi forensik dapat dihadirkan di TKP.
Namun apabila petugas/dokter gigi forensik tidak mungkin dihadirkan di
TKP, maka penanganan pertama di TKP dapat dilakukan secara terbatas
oleh petugas penyidik di bawah pengawasan perwira penyidik di TKP
tersebut.
Tujuan dari tindakan ini adalah untuk menyelamatkan bukti-bukti
kedokteran gigi forensik sejauh mungkin agar tidak hilang/rusak/berubah
yang dapat mempersulit pemeriksaan lebih lanjut di laboratorium/tempat
pemeriksaan jenazah.
Untuk itu, maka tindakan yang perlu dilakukan adalah :
1) Bekas gigitan pada sisa makanan yang tertinggal
Guna keperluan pemeriksaan yang teliti, tindakan yang dilakukan
adalah :

40
a) buat foto close up dengan menggunakan ukuran-ukuran dari
bekas gigitan pada sisa makanan tersebut ;
b) masukkan sisa makanan tersebut ke dalam kantung plastik
yang bersih dan kering, perhatikan agar tidak merusak bekas
gigitannya. Agar sisa makanan / buah-buahan tersebut tidak
tercemar saat dimasukkan ke dalam kantung plastik, maka
petugas harus menggunakan sarung tangan yang bersih.
Jangan membersihkan / mencuci makanan / buah-buahan
tersebut karena diperlukan untuk mencari sisa-sisa air liur yang
mungkin ada ;
c) kirimkan segera untuk dilakukan pemeriksaan kedokteran gigi
forensik.

2) Penemuan jenazah
a) Melakukan pemotretan
lakukan pemotretan letak korban di TKP. Pemotretan harus
dapat memberi gambaran yang jelas hubungan antara posisi
korban dengan benda-benda disekitarnya, meliputi:

(1) pandangan TKP secara umum ;


(2) close up wajah/kepala jenazah dari samping ;
(3) close up luka-luka/bekas gigitan yang terlihat (pemotretan;
(4) dilakukan dengan menggunakan ukuran yang sama).

Pemotretan ini diperlukan untuk merekam tanda-tanda


disekitar mulut jika ada yang mungkin dapat memberikan
informasi. Dahulukan pemotretan yang mungkin dapat
memberikan informasi serta pemotretan yang dapat dilakukan
tanpa merubah posisi asli korban pada saat ditemukan,
kemudian setelah selesai baru dilakukan pemotretan yang perlu
merubah posisi asli korban.

b) buat sketsa TKP ;

c) setelah sketsa dan pemotretan selesai baru korban dapat


diangkat untuk dibawa ke tempat pemeriksaan jenazah ;

d) setelah korban diangkat, dilakukan inspeksi kembali di TKP


apakah terdapat bagian-bagian tubuh / gigi yang tertinggal di
TKP. Hal ini seringkali terjadi apabila korban sudah menjadi
kerangka. Jika hal-hal ini ditemukan segera potret dan catat
dalam sketsa, posisi penemuan itu sangat penting di dalam
hubungannya dengan posisi jenazah semula. Semua barang

41
bukti yang ditemukan harus dimasukkan ke dalam kantung
plastik yang bersih dan kering, kemudian ditutup dan diberi
label dan nomor sesuai dengan sketsa TKP ;

e) semua barang bukti dikirimkan bersama jenazah ke tempat


pemeriksaan jenazah untuk pemeriksaan kedokteran gigi
forensik lebih lanjut. Dalam membawa jenazah perlu
diperhatikan agar tidak merusak bekas-bekas/tanda-tanda yang
terdapat pada jenazah ;

f) bila terdapat bekas gigitan, buatlah usapan/hapusan disekitar


luka dengan kapas bersih/baru yang telah dibasahi larutan
saline untuk kemudian dilakukan pemeriksaan serologis.

3) Penemuan kerangka

Khusus untuk penemuan kerangka, TKP perlu diperiksa dengan


teliti. Oleh karena kemungkinan tulang-tulang sudah
terlepas/terpisah dari kerangkanya, begitu pula dengan gigi
geliginya. Hilang/tertinggalnya gigi geligi dapat mempersulit
pemeriksaan yang akan dilakukan.

6. Rangkuman

Odontologi Forensik upaya pemanfaatan pemeriksaan gigi, komponen


mulut dan wajah untuk kepentingan peradilan dan identifikasi, baik untuk
korban hidup maupun mati.

42
BAB VIII

PERLUKAAN

1. Pengertian Perlukaan

Perlukaan pada jaringan tubuh dapat terjadi karena kekerasan mekanis,


fisik dan kimiawi atau bentuk gabungan. Luka terjadi bila kekuatan kekerasan
yang sampai pada tubuh melampaui batas ambang ketahanan jaringan tubuh.

2. Ruang Lingkup Perlukaan


Informasi yang didapat dari pola perlukaan dapat digunakan untuk
mengetahui / memperkirakan :

a. Jenis kekerasan
Wujud luka menggambarkan persesuaian antara alat dengan
penyebabnya, misalnya benda tajam, runcing, permukaan kasar.
b. Arah kekerasan
Lokasi dan distribusi perlukaan di bagian belakang tubuh menunjukkan
bahwa arah kekerasan lebih mungkin dari belakang. Bentuk luka dan
saluran luka terutama pada luka tembak menunjukkan arah kekerasan
yang telah terjadi.
c. Jarak
Pada luka tembak, luka kelim yang terdapat pada tubuh korban
menunjukkan perkiraan dekat atau jauhnya jarak tembak.
d. Kebiasaan pelaku
Distribusi perlukaan yang lebih banyak didapatkan pada bagian kanan
korban dapat dicurigai bahwa pelakunya kidal.
e. Profesi / pekerjaan
Korban kekerasan asam keras dapat diduga bahwa pelaku mungkin
pekerjaannya adalah pedagang aki mobil.
f. Keadaan kejiwaan
Pelaku pada kasus dimana tubuh korban terpotong-potong mencerminkan
keadaan kejiwaan pelakunya, contoh kasus mayat terpotong menjadi 13
menunjukkan bermacam-macam kekerasan sering merupakan
perwujudan dendam, kejiwaan yang sadis pada pelaku.
g. Cara kematian
Pembunuhan, kecelakaan dan bunuh diri kadang-kadang dapat
diperkirakan dari pola perlukaan tubuh, mialnya luka iris pada pergelangan
tangan atau leher yang sejajar lebih berorientasi pada suatu bunuh diri.
Adanya beberapa luka sejajar dengan sebuah luka yang fatal disebut luka

43
percobaan (Tentative wounds). Dari informasi tersebut diatas dapat
dilakukan rekonstruksi yang mendekati kejadian sesungguhnya.

3. Jenis Kekerasan
Sesuai dengan jenis kekerasan penyebabnya perlukaan dapat dibagi
menjadi luka akibat :
a. Kekerasan mekanis
1) Kekerasan tumpul
a) Luka Memar : Pada tempat luka terlihat pembengkakan
berwarna kebiru-biruan, hal ini disebabkan karena pengumpulan
darah di bawah kulit akibat pecahnya pembuluh darah halus.
b) Luka Lecet : Hilangnya sebagian atau seluruh lapisan kulit ari
yang disebabkan karena terjadinya pergeseran dengan benda
tumpul pada permukaan tubuh, banyak pada kasus lalu lintas.
c) Luka Robek : Robekan pada kulit meliputi seluruh lapisan kulit,
dapat sampai ke otot bahkan sampai tulang, Merupakan luka
terbuka dengan tepi tidak rata, dinding dalam yang tidak teratur
dan kadang-kadang dijumpai jembatan jaringan yaitu serat-serat
jaringan yang masih utuh.

2) Kekerasan tajam
a) Luka Tusuk : Luka ini disebabkan benda tajam atau benda
runcing, yang mengenai tubuh dengan arah tegak lurus atau
kurang lebih tegak lurus. Luka tusuk merupakan luka terbuka
dengan dalam luka yang lebih besar daripada lebar luka, tepi
luka biasanya rata dengan sudut luka yang runcing pada sisi
tajam benda penyebab luka tusuk.
Luka tusuk memnpunyai sifat bahwa dalam luka menunjukan
ukuran minimal panjang senjata dan lebar luka menunjukan
ukuran maksimal lebar senjata.
b) Luka Iris : Diakibatkan benda tajam yang mengenai tubuh
dengan arah kurang lebih sejajarj dengan permukaan tubuh.
Panjang luka biasanya lebih besar daripada dalamnya luka. Akar
rambut pada tepi luka biasanya ikut terpotong dan tidak dijumpai
jembatan jaringan.
c) Luka Bacok : Semacam luka iris yang terjadi akibat benda tajam
yang lebih besar dengan mengerahkan tenaga yang lebih besar
pula.

3) Kekerasan akibat tembakan senjata api.


Menurut jarak tembak luka akibat tembakan dapat dibedakan
menjadi :
a) Luka tembak masuk jarak jauh.
b) Luka tembak masuk jarak dekat.

44
c) Luka tembak jarang sangat dekat.
d) Luka tembak masuk tempel
e) Luka tembak keluar.

b. Kekerasan fisis / fisik.


1) Luka akibat Suhu Tinggi ( Panas)
Disebut juga luka bakar, terdiri dari 4 tingkatan / derajat :
a) Tingkat 1 : Berupa kulit kemerahan, tidak ada gelembung.
b) Tingkat 2 : Terdapat gelembung cairan dengan warna jernih.
c) Tingkat 3 : Gelembung cairan berwarna merah kecoklatan
d) Tingkat 4 : Berwarna hangus/hitam.

Pada derajat 1 dan 2 bila sembuh tidak menimbulkan cacat,


sedangkan derajat 3 dan 4 meninggalkan cacat berupa jaringan
parut.
Ciri-ciri dari korban mati terbakar :
a) Warna jaringan merah cerah (Chery Red), hal ini karena
pengaruh keracunan gas Co yang masuk bersama udara
pernafasan.
b) Didapatakan jelaga pada saluran nafas bagian atas.
c) Pada korban laki-laki posisi kaku mayat seperti pada posisi
petinju (boxer), sedangkan korban wanita kaku mayat seperti
posisi orang senggama. Kaku mayat ini sifatnya tetap.

2) Luka akibat Suhu Rendah (Dingin)


Disebut juga Frostbite yang mengakibatkan kematian jaringan
karena rusaknya sistem peredaran darah dan pernafasan.

3) Luka akibat Sengatan Listrik


a) Mempunyai gambaran yang khas. Pada tempat kontak, kulit
menunjukan luka bakar dengan tepi luka sedikit meninggi.
b) Sekitaer luka tampak daerah pucat (halo) dan luarnya lagi
terdapat daerah kemerahan.
c) Pada tempat keluarnya arus listrik terdapat luka lecet atau luka
robek.
c. Kekerasan kimiawi
1) Luka akibat Asam Kuat (Pekat).
Luka tampak sebagai bagian yang kering dan teraba keras, jarang
menyebabkan kematian dan biasanya karena kecelakaan.
2) Luka akibat Basa Kuat.
a) Basa kuat akan memasuki cairan dalam sel dan terjadi reaksi
penyabunan, hal ini menyebabkan sel menggembung dan
basah.

45
b) Pada perabaan luka akan teraba basah dan licin seperti kena
sabun.
Jarang menyebabkan kematian, biasanya karena kecelakaan

4. Rangkuman
a. Perlukaan terjadi bila kekuatan kekerasan melebihi ambang ketahanan
jaringan tubuh.

b. Perlukaan dapat disebabkan oleh kekerasan mekanis, fisik, kimiawi, dan


bentuk gabungan.

46
BAB IX

KEJAHATAN KESUSILAAN, ABORTUS, INFANTICIDE

1. Kejahatan Kesusilaan Perkosaan

Adalah suatu kejahatan tanpa saksi, korbannya wanita dan anak – anak
bila korban hidup, dialah satu-satunya yang dapat memberikan keterangan
tentang apa yang telah terjadi terhadap dirinya, atau suatu perbuatan tanpa
persetujuan korban.

a. Dasar – dasar hukum

1) Pasal 284 KUHP


a) Ayat 1
(1) Orang lelaki yang beristri yang melakukan zinah sedang
diketahui bahwa pasal 27 KUHP perdata berlaku baginya.
(2) Orang perempuan bersuami yang melakukan zinah
b) Pasal 2
(1) Orang lelaki yang turut melakukan perbuatan itu
sedangkan diketahuinya bahwa yang bersalah turut
bersalah itu bersuami.
(2) Orang perempuan yang tidak bersuami yang turut
melakukan perbuatan itu sedangkan diketahuinya bahwa
yang turut bersalah itu beristri dan pasal 27 KUHP perdata
berlaku bagi yang bersalah itu.

2) Pasal 285 KUHP


Barang siapa dengan kekerasan atau dengan ancaman kekerasan
memaksa seorang perempuan melakukan persetubuhan diluar
perkawinan dengannya, karena bersalah melakukan perkosaan,
dihukum dengan hukuman penjara selama-lamanya 12 tahun.

3) Pasal 286 KUHP


Barang siapa melakukan persetubuhan di luar perkawinan dengan
seorang perempuan yang diketahuinya bahwa orang perempuan
yang diketahui bahwa orang perempuan itu dalam kedaan pingsan
atau tidak berdaya, dihukum dengan hukuman penjara selama-
lamanya 9 tahun.

47
4) Pasal 287 KUHP
a) Barang siapa melakukan persetubuhan di luar perkawinan
dengan seorang perempuan yang diketahuinya atau patut
disangkanya bahwa umur orang perempuan itu belum cukup 15
tahun atau jika tidak nyata berapa umurnya bahwa orang
perempuan itu belum pantas untuk dikawinkan, dihukum
dengan hukuman penjara selama-lamanya 9 tahun
b) Penuntutan tidak dilakukan melainkan atas pengaduan kecuali
jika umur orang perempuan itu belum cukup 12 tahun atau jika
ada salah satu hal yang tersebut dalam pasal 291 dan pasal
294.

5) Pasal 288 KUHP


a) Barang siapa melakukan persetubuhan dalam perkawinan
dengan seorang perempuan yang diketahuinya atau patut
disangkanya bahwa orang perempuan itu belum pantas untuk
dikawin, dihukum dengan hukuman penjara selama-lamanya 4
tahun, jika perbuatan itu berakibat orang perempuan itu
mendapat luka.
b) Jika perbuatan itu berakibat luka berat, dijatuhkan hukuman
penjara selama-lamanya 8 tahun.
c) Jika perbuatan itu berakibat kematian dijatuhkan hukuman
penjara selama-lamanya 12 tahun.

b. Pemeriksaan terhadap korban hidup


Perlakukan korban dengan manusiawi dan degarkan keterangannya perlu
diperhatikan:
1) Keadaan pakaiannya
2) Sikap dan kejiwaan
3) Tanda – tanda kekerasan (terlihat dari luar)
4) Beri pertanyaan yang berhubungan dengan kasus tersebut (
misalnya korban mengenal / tidak dengan pelaku, korban
mengadakan perlawan / tidak)

c. Pemeriksaan terhadap korban mati


1) Korban di TKP pikirkan kemungkinan terjadi perkosaan
2) Tindakan perkosaan jarang mengakibatkan kematian
3) Korban mati akibat tindakan kekerasan karena melakukan
perlawanan
4) Korban mati disebabkan mati lemas akibat pencekikan,penjeratan,
pembekapan, kadang –kadang akibat luka tusuk / syarat.
5) Evakuasi korban ke Rumah Sakit.

48
2. Abortus / Keguguran

Adalah keadaan dimana terjadi pengakhiran atau ancaman pengakhiran


kehamilan tanpa melihat umur/ waktu kehamilan.

a. Pembagian Abortus :
1) Abortus spontan : terjadi dengan sendirinya, tanpa usaha dari luar
2) Abortus Provocatus : terjadi karena diusahakan, misalnya :
a) Abortus Provocatus Medicinalis (menggunakan obat-obatan
dengan tujuan pengobatan).
b) Abortus Provocatus criminalis ( menggunakan obat-obatan /
alat-alat yang diusahakan tanpa alasan dan bertentangan
dengan Undang-Undang).

b. Dasar-dasar hukum
1) KUHP pasal 346
Perempuan dengan sengaja menyebabkan gugur atau mati
kandungannya atau menyuruh orang lain menyebabkan itu, dihukum
dengan hukuman penjara selama-lamanya 4 tahun.

2) KUHP pasal 347


a) Barang siapa dengan sengaja menyebabkan gugur atau mati
kandungan orang perempuan tidak dengan ijin perempuan itu,
dihukum dengan hukuman penjara selama –lamanya 12 tahun.
b) Jika perbuatan itu berakibat perempuan itu mati, ia dihumkum
penjara selama-lamanya15 tahun

3) KUHP pasal 348


a) Barang siapa dengan sengaja menyebabkan gugur atau mati
kandungan orang perempuan dengan seijin perempuan itu,
dihukum dengan hukuma penjara selama-lamanya 5 tahun 6
bulan.
b) Jika perbuatannya itu berakibat perempuan itu mati, ia dihukum
dengan hukuman selam-lamanya 7 tahun.
4) KUHP pasal 349
Jika seorang dokter, bidan atau tukang obat membantu kejahatan
tersebut dalam pasal 346 atau bersalah melakukan atau membantu
salah satunya kejahatan diterangkan dalam pasal 347 dan 348, maka
hukuman yang ditentukan dalam pasal itu oleh ditambah sepertiganya
dan boleh dicabut haknya menjalankan pekerjaannya yang dalamnya
melakukan kejahatan itu.

49
5) KUHP pasal 299
a) Barang siapa dengan sengaja mengobati seorang perempuan
atau menyuruh seorang perempuan supaya diobati dengan
memberitahu atau menerbitkan pengharapan, bahwa oleh karena
pengobatan itu dapat gugur kandungannya, dihukum dengan
hukuman penjara selama-lamanya emapt tahun atau denda
sebanyak-banyaknya tiga ribu rupiah
b) Kalau yang bersalah berbuat karena mencari keuntungan, kalau
melakukan kejahatan itu dijadikan pekerjaan atau kebiasaan atau
kalau seorang dokter, bidan atau tukang membuat obat, hukuman
boleh ditambah sepertiganya.

6) UU No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan,


a) Pasal 75 :
(1) Setiap orang dilarang melakukan aborsi.
(2) Larangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat
dikecualikan berdasarkan:
(a) indikasi kedaruratan medis yang dideteksi sejak usia dini
kehamilan, baik yang mengancam nyawa ibu dan/atau
janin, yang menderita penyakit genetik berat dan/atau
cacat bawaan, maupun yang tidak dapat diperbaiki
sehingga menyulitkan bayi tersebut hidup di luar
kandungan; atau
(b) kehamilan akibat perkosaan yang dapat menyebabkan
trauma psikologis bagi korban perkosaan.
(3) Tindakan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) hanya dapat
dilakukan setelah melalui konseling dan/atau penasehatan pra
tindakan dan diakhiri dengan konseling pasca tindakan yang
dilakukan oleh konselor yang kompeten dan berwenang.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai indikasi kedaruratan medis
dan perkosaan, sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan
ayat (3) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

b) Pasal 76
Aborsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 75 hanya dapat
dilakukan:
(1) sebelum kehamilan berumur 6 (enam) minggu dihitung dari hari
pertama haid terakhir, kecuali dalam hal kedaruratan medis;
(2) oleh tenaga kesehatan yang memiliki keterampilan dan
kewenangan yang memiliki sertifikat yang ditetapkan oleh
menteri;
(3) dengan persetujuan ibu hamil yang bersangkutan;
(4) dengan izin suami, kecuali korban perkosaan; dan

50
(5) penyedia layanan kesehatan yang memenuhi syarat yang
ditetapkan oleh Menteri.

c) Pasal 77
Pemerintah wajib melindungi dan mencegah perempuan dari aborsi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 75 ayat (2) dan ayat (3) yang
tidak bermutu, tidak aman, dan tidak bertanggung jawab serta
bertentangan dengan norma agama dan ketentuan peraturan
perundang-undangan

d) Pasal 194
Setiap orang yang dengan sengaja melakukan aborsi tidak sesuai
dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 75 ayat (2)
dipidana dengan pidana penjara paling lama 10
(sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp1.000.000.000,00
(satu miliar rupiah).

c. Pemeriksaan terhadap korban (Kasus Abortus Provocatus criminalis)


1) Alat –alat bukti yang dipakai.
2) Umur kehamilan (koordinasi dengan dokter)
3) Apakah ada niat / motif untuk menggugurkan
4) Apakah ada hubungan antara saat pengguguran dan saat
kehamilan.
5) Adakah hubungan sebab akibat antara kematian dan pengguran
yang terjadi.

3. INFANTICIDE/ Pembunuhan Anak

a. Pengertian
Adalah suatu tindak pidana pembunuhan anak dengan ketentuan :
1) Si pelaku harus ibu kandung anak tersebut
2) Alasan Psikologis (perbuatan yang tercela takut diketahui orang lain)
3) Anak tersebut dibunuh sesaat setelah dilahirkan (belum di rawat /
disusukan)

b. Dasar-dasar hukum

1) KUHP pasal 341


Seorang ibu yang karena takut diketahui bahwa ia telah melahirkan
anak, pada waktu itu dilahirkan atau tidak berapa lama kemudian,
dengan sengaja menghilangkan nyawa anak itu, karena bersalah
melakukan pembunuhan anak, dihukum dengan hukuman penjara
selama-lamanya 7 tahun.

51
2) KUHP pasal 342
Seorang ibu yang untuk menjalankan keputusan yang diambilnya,
karena takut diketahui bahwa tidak lama lagi ia akan melahirkan anak,
pada waktu anak itu dilahirkan atau tidak berapa lama kemudian
dengan sengaja menghilangkan nyawa anak itu, karena bersalah
melakukan pembunuhan anak berencana, dihukum dengan hukuman
penjara selam-lamanya 9 tahun.

3) KUHP pasal 343


Bagi orang lain yang turut serta melakukan kejahatan yang
diterangkan dalam pasal 341 dan 342, diartikan sebagai pembunuhan
atau pembunuhan berencana.

c. Pemeriksaan terhadap ibu


1) Harus dibuktikan bahwa ibu tersebut baru melahirkan (koordinasi
dengan dokter)
2) Wanita tersebut adalah ibu kandung anak yang mati diakibatkan
tindakan kekerasan.

d. Pemeriksaan terhadap bayi


1) Berapa umur bayi (koordinasi dengan dokter)
2) Bayi sudah mendapat perawatan / belum
3) Tanda-tanda kekerasan pada bayi (ditutup hidung / mulutnya, mencekik
/ menjeratnya memasukan ke dalam kopor (tas besar),
menenggelamkan kedalam air).

4. Rangkuman

1. Kejahatan kesusilaan merupakan kejahatan tanpa saksi dengan korban


wanita dan anak-anak.

2. Abortus, suatu kegagalan alamiah dalam proses kehamilan tetapi dapat


juga menjadi suatu tindakan suatu kriminal apabila bayi yang dikandung
tidak dikehendaki keberadaannya.

3. Infanticide, suatu tindakan kriminal yang diakibatkan kehadiran anak yang


tidak dikehendaki kehadirannya oleh ibu kandungnya.

52
BAB X

PENUTUP

 Kedokteran Forensik merupakan cabang spesialistik ilmu kedokteran yang


mempelajari pemanfaatan ilmu kedokteran untuk kepentingan penegakkan
hukum dan keadilan;

 Ruang lingkup Kedokteran forensik yaitu menerapkan ilmunya untuk


melakukan pemeriksaan terhadap barang bukti biologis, manusia, bagian
tubuh dari manusia baik korban hidup maupun mati dan terbagi menjadi
forensik patologi, forensik klinik dan forensik laboratorium.

 Visum et Repertum adalah salah satu alat bukti yang sah di pengadilan yang
merupakan surat keterangan yang berisikan fakta dan pendapat dari dokter
forensik/dokter lainnya ;

 otopsi bersifat mutlak dan tidak dapat ditolak oleh siapapun jika sekali diminta
oleh penyidik ;
 Hal-hal yang harus diperhatikan di TKP, jangan melakukan perubahan,
penambahan, pengurangan, pengambilan terhadap korban mati di TKP.
Pemeriksaan di TKP hanya pemeriksaan seperlunya, pemeriksaan lebih detail
dan lengkap dilakukan di intalasi forensik RS Bhayangkara/RSUD/RS oleh
dokter forensik/dokter.

53
DAFTAR PUSTAKA

a. Undang-Undang Nomor 8 tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum


Acara Pidana (Lembaran Negara Tahun 1981 Nomor 36, Tambahan Lembaran
Negara Nomor 3209) ;

b. Undang-Undang Nomor 2 tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik


Indonesia (Lembaran Negara Tahun 2002 Nomor 2, Tambahan Lembaran Negara
Nomor 4168) ;

c. Undang-Undang No. 36 tahun 2009 tentang Kesehatan ;

d. Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 52 Tahun 2010 tanggal 4 Agustus


2010 tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja Kepolisian Negara Republik
Indonesia ;

e. Surat keputusan Kapusdokkes Polri Nomor : Kep/06/II/2010 tanggal 1 Pebruari


2010 tentang Rencana Strategis Kedokteran dan Kesehatan Polri tahun 2010 –
2014.

f. Atlas Kedokteran Forensik tentang Perlukaan Bagi Personil Polri, Pusat


Kedokteran dan Kesehatan Polri, Jakarta, Agusutus 2003.

g. Buku Panduan Teknis Penatalaksanaan DVI Polri, Pusat Kedokteran dan Kesehatan Polri,
Jakarta, 2005.

h. Buku Pegangan Ilmu Kedokteran Forensik untuk Anggota Polri, revisi 5, Pusat
Kedokteran dan Kesehatan Polri, Jakarta, Juli 2009.

i. Panduan Teknis Pemeriksaan Kedokteran Gigi Forensik Guna Kepentingan


Identifikasi, Pusat Kedokteran dan Kesehatan Polri, Jakarta, September 2006.

j. Panduan Teknis Pusat Pelayanan Terpadu (PPT), Pusat Kedokteran dan Kesehatan
Polri, Jakarta, Juli 2008.

k. Panduan Teknis tentang Penilaian Kesehatan Tahanan, Edisi Revisi, Pusat


Kedokteran dan Kesehatan Polri, Jakarta, Juni 2010.

l. Pedoman Pemeriksaan Laboratorium Kedokteran Forensik Sederhana, Pusat


Kedokteran dan Kesehatan Polri, Jakarta, Juli 2008.

54
m. Pedoman tentang Penatalaksanaan Disaster Victim Identification (DVI) Bagi Polri,
Edisi Revisi, Pusat Kedokteran dan Kesehatan Polri, Jakarta, Juni 2010.

n. Pola Dukungan TKP Kumpulan Makalah tentang Penangan TKP dan


Dukungannya, Pusat Kedokteran dan Kesehatan Polri, Jakarta, Juli 2009.

v. Tata Cara Permintaan Visum Et Revertum Penggalian Mayat/Kubur (Exhumasi),


Pusat Kedokteran dan Kesehatan Polri, Jakarta, 2009.

55

Anda mungkin juga menyukai