Anda di halaman 1dari 7

Hal-Hal Yang Merusak Alam

1. Global Warming

Apa itu Global Warming (Pemanasan Global) ?

Secara singkat pemanasan global adalah peningkatan suhu rata-rata permukaan bumi.
Pertanyaannya adalah: mengapa suhu permukaan bumi bisa meningkat? Penyebab
Pemanasan Global Penelitian yang telah dilakukan para ahli selama beberapa dekade terakhir
ini menunjukkan bahwa ternyata makin panasnya planet bumi terkait langsung dengan gas-
gas rumah kaca yang dihasilkan oleh aktifitas manusia.

Musim panas yang berkepanjangan yang semestinya musim hujan ?


Kenyataannya saat ini menunjukkan planet bumi terus mengalami peningkatan suhu yang
mengkhawatirkan dari tahun ke tahun. Selain makin panasnya cuaca di sekitar kita, Anda
tentu juga menyadari makin banyaknya bencana alam dan fenomena-fenomena alam yang
cenderung semakin tidak
terkendali belakangan ini. Mulai dari banjir, puting beliung, semburan gas, hingga curah
hujan yang tidak menentu dari tahun ke tahun. Sadarilah bahwa semua ini adalah tanda-tanda
alam yang menunjukkan bahwa planet kita tercinta ini sedang mengalami proses kerusakan
yang menuju pada kehancuran! Hal ini terkait langsung dengan isu global yang belakangan
ini makin marak dibicarakan oleh masyarakat dunia yaitu Global Warming (Pemanasan
Global).

2. Greenhouse Effect  

Pernahkan anda mendengar Greenhouse Effect atau Efek rumah kaca ?

7
Salah satu hal pertama yang mereka temukan adalah bahwa
beberapa jenis gas rumah kaca bertanggung jawab langsung terhadap pemanasan yang kita
alami, dan manusialah kontributor terbesar dari terciptanya gas-gas rumah kaca tersebut.
Kebanyakan dari gas rumah kaca ini dihasilkan oleh pembakaran bahan bakar fosil pada
kendaraan bermotor, pabrik-pabrik modern, peternakan, serta pembangkit tenaga listrik.
Sumber Energi Bumi yang biasa kita perlukan untuk kegiatan sehari hari adalah Minyak
Bumi.

Apa itu Gas Rumah Kaca?


Atmosfer bumi terdiri dari bermacam-macam gas dengan fungsi yang berbeda-beda.
Kelompok gas yang menjaga suhu permukaan bumi agar tetap hangat dikenal dengan istilah
“gas rumah kaca”. Disebut gas rumah kaca karena sistem kerja gas-gas tersebut di atmosfer
bumi mirip dengan cara kerja rumah kaca yang berfungsi menahan panas matahari di
dalamnya agar suhu di dalam rumah kaca tetap hangat,dengan begitu tanaman di dalamnya
pun akan dapat tumbuh dengan baik karena memiliki panas matahari yang
cukup. Lihat Gambar 1 untuk melihat cara kerja gas rumah kaca.

Planet kita pada dasarnya membutuhkan gas-gas tesebut untuk menjaga kehidupan di
dalamnya. Tanpa
keberadaan gas rumah kaca, bumi akan menjadi terlalu dingin untuk ditinggali karena tidak
adanya lapisan yang mengisolasi panas matahari. Sebagai perbandingan, planet mars yang
memiliki lapisan atmosfer tipis dan tidak memiliki efek rumah kaca memiliki temperatur rata-
rata -32o Celcius.
Kontributor terbesar pemanasan global saat ini adalah Karbon Dioksida (CO2), metana
(CH4) yang dihasilkan agrikultur dan peternakan (terutama dari sistem pencernaan hewan-
hewan ternak), Nitrogen Oksida (NO) dari pupuk, dan gas-gas yang digunakan untuk kulkas
dan pendingin ruangan (CFC). Gas rumah kaca bersifat tidak reaktif (inert) dan memiliki
waktu tinggal yang sangat lama di atmosfer (dapat mencapai ratusan tahun). Oleh karena itu,
gas ini dapat bertahan sangat lama di atmosfer dan bersifat akumulatif sehingga efek rumah
kaca yang diakibatkan akan sangat berbahaya jika emisinya tidak terkendali.
Rusaknya hutan-hutan yang seharusnya berfungsi sebagai penyimpan CO2 juga makin
memperparah keadaan ini karena pohon-pohon yang mati akan melepaskan CO2 yang
tersimpan di dalam jaringannya ke atmosfer.

Setiap gas rumah kaca memiliki efek pemanasan global yang berbeda-beda. Beberapa gas
menghasilkan efek pemanasan lebih parah dari CO2. Sebagai contoh sebuah molekul metan
menghasilkan efek pemanasan 23 kali dari molekul CO2. Molekul NO bahkan menghasilkan

7
efek pemanasan sampai 300 kali dari molekul CO2. Gas-gas lain seperti chlorofluorocarbons
(CFC) ada yang menghasilkan efek pemanasan hingga ribuan kali dari CO2. Tetapi
untungnya pemakaian CFC telah dilarang di banyak negara karena CFC telah lama dituding
sebagai penyebab rusaknya lapisan ozon.

3. Carbon Footprint 

 Apa itu Carbon Footprint (Jejak Karbon) ?

Semakin sulitnya kita menemukan sumber daya alam seperti energi minyak
bumi
yang semakin lama ternyata kian tipis. Kenyataan ini terbukti untuk Indonesia,
yang telah empat puluh tahun menjadi eksportir minyak, kemudian menjadi
importer, karena produksi minyak Indonesia di bawah 1 juta barel per hari.

Ketika terjadi penipisan sumber daya minyak bumi, sementara kebutuhan tetap
tinggi, kelangkaan akan terjadi sehingga hukum ekonomi tentang pasokan (supply)
dan permintaan (demand) berlaku dalam hal ini. Secara global, selain sumber daya
minyak) yang semakin tipis, pertumbuhan ekonomi dan populasi penduduk bumi yang
semakin pesat juga akan memicu krisis energi dunia. Sebab, fakta yang berlaku,
ketika pertumbuhan ekonomi maju, hal ini akan segera mengubah perilaku manusia 
dalam peningkatan konsumsi energi dan gaya hidup.

Pada masa sekarang, sesuai dengan life style kebanyakan semua orang cenderung ingin
hidup lebih nyaman: mereka membeli mobil, kendaraan bermotor, memasak menggunakan 
minyak tanah dan gas, menggunakan AC (pendingin) atau pemanas udara yang semuanya
menggunakan energi minyak bumi yang notabene tidak dapat tergantikan, karena minyak
bumi yang diambil dari fosil seperti bahan bakar minyak mentah.

Efek negatif dari energi ini akan menghasilkan pencemaran lingkungan berupa emisi
karbon  dioksida (CO2), yang memicu perubahan iklim dan pemanasan global.

Di Indonesia, tren pemakaian mobil tidak berkurang. Ketika harga minyak naik,
masyarakat kelas menengah berlomba-lomba membeli mobil, karena khawatir harga mobil
pun akan melonjak. Jadi, perilaku manusia modern yang cenderung ingin bergaya hidup
"lebih baik" semakin melaju pesat.

7
Peningkatan ekonomi berdampak pada kemampuan daya beli dan tren konsumen modern
untuk mengikuti jejak negara-negara maju.Perilaku yang tidak berubah ini akan terus
menjebak kita semua pada persoalan krisis energi dan lingkungan yang berkelanjutan. Jadi,
krisis energi dan lingkungan adalah dua sisi dari satu mata uang. Di lain pihak, perubahan
perilaku tecermin dari gaya hidup: bahwa setiap individu manusia di muka bumi ikut
berkontribusi mencemari bumi dan membuat penipisan sumber daya alam.

Salah satu tolok ukur yang dapat memberikan penyadaran pada kita (secara individu),
keluarga, maupun kolektif adalah mengukur Carbon Footprint. Kita bisa pula menghitung
Carbon Footprint dengan mengkalkulasi perjalanan sebuah produk yang awalnya datang dari
pabrik yang mengolahnya dengan energi (mengeluarkan emisi karbon) hingga produk
tersebut
sampai di toko.

Carbon Footprint biasanya dihitung dalam jumlah ton karbon atau ton karbon dioksida
yang dikeluarkan dalam satu tahun. Banyak versi cara menghitung jejak karbon ini.
Yang jelas, cara ini akan memberikan gambaran berapa sesungguhnya jumlah  sumber
daya alam yang langsung digunakan, mengkonversinya dengan emisi karbon yang terlepas,
dan dengan demikian diharapkan manusia bisa membatasi diri untuk tidak berperilaku
boros dan konsumtif.

4.Merusak Hutan

Kini cuaca ekstrem melanda Indonesia, termasuk Kota Medan, Sumatera Utara di mana
setelah 35 tahun lamanya sejak tahun 1977, suhu di Kota Medan bisa menembus angka 37
derajat celcius, sedang sebelumnya maksimal di kisaran angka 35 derajat celcius. Demikian
berita Harian Analisa Rabu (13/6) berjudul, "Suhu di Medan Capai 37 Derajat Celcius" yang
bersumber dari Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) Wilayah I Medan.

Ini bisa terjadi karena adanya aktivitas angin monsoon barat daya yang mengganggu proses
pembentukan awan di langit sehingga sulit terbentuk awan. Akibatnya sinar matahari
langsung menembus bumi sebab tidak ada awan yang menghalangi. Semua ini berkaitan
dengan hutan alam yang telah rusak.

Berdasarkan data dari Kementrian Kehutanan, kerusakan hutan hingga 2009 di Indonesia
mencapai lebih dari 1,08 juta hektar per tahun. Laju kerusakan hutan mencapai 1,87 juta
hektar dalam kurun waktu hanya lima tahun, yakni dari tahun 2000 sampai 2005. Laju
kerusakan hutan Indonesia ini menempatkan Indonesia pada peringkat ke-2 dari sepuluh
negara yang laju kerusakan hutannya tertinggi dunia.

Seharusnya kita tidak perlu heran apa lagi berkeluh kesah terhadap kondisi alam yang tidak

7
menentu. Sebab organisasi pemerhati lingkungan Greenpeace telah mencatat bahwa selama
30 tahun terakhir, laju tingkat kerusakan hutan (deforestasi) di Indonesia cukup tinggi karena
negara ini melakukan eksploitasi sektor kehutanan untuk bisnis kertas dan bubur kertas
(pulp), pertambangan, perkebunan kelapa sawit, pemukiman dan lain-lain.

Ternyata catatan Greenpeace ini tepat dan sesuai dengan kondisi yang ada, yakni setelah 35
tahun lamanya suhu tertinggi di kota Medan bertahan maksimal pada suhu 35 derajat celcius,
tetapi kini suhu maksimal itu menembus angka 37 derajat celcius. Dari fenomena ini terlihat
korelasi yang kuat dari pengamatan Greenpeace tentang laju kerusakan hutan Indonesia,
khususnya di Sumatera Utara selama 30 tahun terakhir ini yang membuat suhu udara berubah
dari 35 menjadi maksimal 37 derajat celcius.

"Laju deforestasi telah menurun dari 3,5 juta hektar per tahun, menjadi kurang dari setengah
juta hektar per tahun dalam periode dekade," kata Presiden Susilo Bambang Yudhoyono
(SBY) dalam pidatonya mengenai Sustainable Gworth with Equity pada acara di kampus
Center for International Forestry Research (CIFOR), Situ Gede Bogor, Rabu 13 Juni 2012
(Berita harian Analisa Kamis 14 Juni 2012 halaman13 dengan judul, Penggundulan Hutan
Indonesia Tinggal 0,5 juta Hektar/Tahun)

Mudah-mudahan saja pidato SBY bukan hanya retorika atau hanya kata-kata tanpa
kenyataan. Kita berharap demikian. Namun, dari fakta yang ada, manusia masih terus
merusak alam, menggunduli hutan, membuang limbah hingga merusak lingkungan dan
akhirnya mengeluh kepada alam, karena menilai alam tidak bersahabat lagi kepada manusia. 

5. Pertambangan

Apa sih yang telah dilakukan manusia dengan tambang? Wah, ternyata sangat
mengkhawatirkan dan berbahaya buat kelangsungan hidup kita.

Untuk mengejar kemajuan peradaban, manusia memerlukan sumber-sumber energi dan


sejumlah bahan tambang. Yang paling banyak dieksplor adalah minyak bumi, batubara, gas
alam, emas, tembaga, perak dan nikel.

Tambang-tambang itu adalah bahan yang tidak bisa diperbarui. Begitu habis, ya habislah.
Tak ada lagi yang tersisa di dalam perut Bumi. Kita tidak bisa memproduksinya lagi.
Seandainya pun bisa, butuh waktu jutaan tahun sebagaimana telah terjadi secara alamiah.

Kegiatan penambangan itu semakin hari semakin besar dan mengkhawatirkan. Ini seiring
dengan laju perkembangan peradaban manusia. Agar tetap bisa eksis bahkan lebih maju,
manusia membutuhkan sumber energi untuk aktifitasnya. Terutama Minyak, batubara dan gas
alam.

Tahukah anda berapa besar kebutuhan minyak di seluruh dunia setiap tahunnya? Menurut
catatan Energy Information Administration .USA, setiap harinya penduduk bumi

7
menghabiskan minyak sekitar 80 juta barel. Alias hampir 30 miliar barel per tahun. Kalau
kita jumlahkan dalam kurun waktu seabad, maka manusia telah menghabiskan minyak
sebanyak sekitar 3 triliun barel. Setara dengan 450 triliun liter. Atau lebih dari 300 triliun ton.
Artinya, dalam 100 tahun terakhir ini isi perut Bumi telah kehilangan cairan minyak sebanyak
300 triliun ton. Atau, bervolume 450 triliun liter. Kalau sebuah kapal tangker isinya 100.000
liter, maka ini sama dengan 4,5 miliar kapal tanker.

Bisa anda bayangkan betapa besarnya volume tersebut. Tentu, ini jumlah yang bukan main
besarnya. Yang bisa menyebabkan problem di dalam perut Bumi. Sebab, jumlah sedemikian
banyak itu betul-betul hilang dari perut Bumi. Kemudian dibakar untuk membangkitkan
energi.

Berbeda dengan air tanah yang disedot misalnya, volume yang hilang itu masih bisa kembali
lewat sirkulasi air hujan. Meskipun tentu tidak sama persis. Karena itu, penyedotan air tanah
yang berlebihan juga bisa menimbulkan masalah pada struktur tanah.

Yang terjadi pada penambangan minyak Bumi lebih serius lagi. Isi perut Bumi benar-benar
hilang, dan strukturnya menjadi lebih keropos. Meskipun boleh jadi, lantas disuntik dengan
cairan pengisi. Tapi tentu tidak sebesar yang telah hilang disedot. Kalau ini diterus-teruskan
ke masa depan tanpa ada kepedulian, bisa dipastikan Bumi kita akan mengalami masalah
besar dengan struktur dalam perutnya. 100 tahun lagi, kondisinya akan semakin memburuk.
Dan dampaknya pasti akan kembali kepada kita semua sebagai bencana…

Belum lagi batubara. Bahan bakar fosil padat ini menempati urutan ke dua dibandingkan
dengan minyak Bumi. Sumber data yang sama menginformasikan bahwa manusia di muka
Bumi telah menghabiskan rata-rata 5,5 miliar ton batubara setiap tahunnya. Atau 550 miliar
ton dalam 100 tahun terakhir. Bahan bakar ini pun kemudian dibakar dan tidak kembali ke
dalam tanah. Kecuali abu yang sudah jauh lebih kecil bobotnya. Lantas bisa anda bayangkan
bagaimana kondisi struktur tanah yang ditinggalkannya?

Keadaan ini ditambah lagi dengan volume gas alam yang semakin hari juga semakin besar
disedot dari perut Bumi. Tak kurang dari 75 triliun cub feet setiap tahunnya gas disedot dari
dalam perut Bumi. Berarti seabad terakhir Bumi telah kehilangan gas sebesar 7.500 triliun
cub feet.

Dari ketiga jenis bahan tambang ini saja kita sudah bisa membayangkan betapa isi perut
Bumi telah mengalami masalah besar. Terjadi kerusakan yang bukan main parahnya di dalam
struktur Bumi. Yang pada gilirannya nanti menjadi bencana buat manusia sendiri.

6. Revolusi Industri

Kerusakan lingkungan hidup semakin besar dengan melesatnya kemajuan dunia industri.
Asap-asap hitam berhamburan dari cerobong pabrik. Limbah-limbah kimia begitu saja
dibuang ke sungai ke laut atau ke dalam tanah. Jumlah kendaraan bermotor yang semakin
berjubel dan mengotori udara perkotaan. Mesin-mesin pembangkit listrik, mesin produksi dan

7
berbagai air conditioning yang menebar hawa panas ke lingkungan, dan sebagainya, dan
sebagainya. Semua itu memberikan andil merusak lingkungan hidup kita. Dan memberi
beban yang semakin besar kepada planet Bumi…

Gejala paling mengkhawatirkan dari revolusi industri itu adalah meningkatnya suhu
permukaan bumi. Idealnya, rata-rata suhu udara di Bumi adalah sekitar 16′C. Akan tetapi,
abad lalu tercatat suhu atmosfer Bumi mengalami kenaikan 0,6′C. Diperkirakan kalau kita
tidak segera mengantisipasi gejala ini, Bumi akan mengalami peningkatan lebih serius,
sebesar 0,8′C – 3′C. Bahkan, jika kita bisa mengurangi gas-gas polutan itu pun planet Bumi
masih mengalami pemanasan 0,5 – 2′C.

Anda mungkin juga menyukai