Anda di halaman 1dari 35

BAB I

PENDAHULUAN

Diabetes melitus (DM) merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dengan


karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin
atau kedua-duanya. Hiperglikemia kronik pada diabetes berhubungan dengan
kerusakan jangka panjang, disfungsi atau kegagalan beberapa organ tubuh, teruama
mata, ginjal, saraf , jantung dan pembuluh darah.
Di antara penyakit degeneratif, diabetes adalah salah satu di antara penyakit
tidak menular yang akan meningkat jumlahnya di masa datang. World Health
Organization (WHO) membuat perkiraan bahwa pada tahun 2000 jumlah pengidap
diabetes diatas umur 20 tahun berjumlah 150 juta orang dalam kurun waktu 25 tahun
kemudian, pada tahun 2025, jumlah akan membengkak menjadi 300 juta orang.
Pengelolaan penyakit ini memerlukan peran serta dokter, perawat, ahli gizi
dan tenaga kesehatan lain. Pasien dan keluarga juga mempunyai peran yang penting,
sehingga perlu mendapatkan edukasi untuk memberikan pemahaman mengenai
perjalanan penyakit, pencegahan , penyulit dan penatalaksanaan DM. Pemahaman
yang baik akan sangat membantu meningkatkan keikutsertaan keluarga dalam upaya
penatalaksaanaan DM guna mencapai hasil yang lebih baik.

1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi dan Fisiologi Pankreas


Pankreas adalah sebuah kelenjar memanjang yang terletak di belakang dan di bawah
lambung, diatas lengkung pertama duodenum (Gambar 1). Kelenjar campuran ini
mengandung jaringan eksokrin dan endokrin. Bagian eksokrin yang predominan
terdiri dari kelompok-kelompok sel sekretorik mirip anggur yang membentuk kantung
yang dikenal sebagai asinus, yang berhubungan dengan duktus yang akhirnya
bermuara di duodenum. Bagian endokrin yang lebih kecil terdiri dari pulau-pulau
jaringan endokrin terisolasi, pulau-pulau Langerhans yang tersebar di seluruh
pankreas. Hormon-hormon terpenting yang disekresikan oleh sel pulau-pulau
Langerhans adalah insulin dan glukagon.

Gambar 1. Anatomi dan Fisiologi Pankreas

2
Pankreas eksokrin mengeluarkan getah pankreas yang terdiri dari dua
komponen : (1) enzim pankreas yang secara aktif disekresikan oleh sel asinus yang
membentuk asinus dan (2) larutan cair basa yang secara aktif disekkresikan oleh sel
duktus yang melapisi duktus pankreatikus. Komponen encer alkalis banyak
mengandung natrium bikarbonat (NaHCO3). Sel-sel asinus mengeluarkan tiga jenis
enzim pankreas yang mampu mencerna ketiga kategori makanan :
 Enzim proteolitik untuk pencernaan protein
 Amilase pankreas untuk pencernaan karbohidrat dan
 Lipase pankreas untuk mencerna lemak
2.2 Insulin
Insulin merupakan hormon yang terdiri dari rangkaian asam amino, dihasilkan oleh
sel beta kelenjar pankreas. Dalam keadaan normal, bila ada rangsangan pada sel beta,
insulin disintesis dan kemudian disekresikan ke dalam darah sesuai kebutuhan tubuh
untuk keperluan regulasi glukosa darah.
Dalam keadaan fisiologis, insulin disekresikan sesuai dengan kebutuhan tubuh
normal oleh sel beta dalam dua fase, sehingga berbentuk biphasic ini akan terjadi
setelah adanya rangsangan seperti glukosa yang berasal dari makanan atau minuman.
Insulin yang dihasilkan ini, berfungsi menjaga regulasi glukosa darah agar selalu
dalam batas-batas fisiologis, baik saat puasa maupun setelah mendapat beban. Dengan
demikian kedua fase sekresi insulin yang berlangsung secara sinkron tersebut,
menjaga kadar glukosa darah normal.
Sekresi fase 1 (acute insulin sevretion response = AIR) adalah sekresi insulin
yang terjadi segera setelah ada rangsangan terhadap sel beta, muncul cepat dan
berakhir cepat. Sekresi fase 1 biasanya mempunyai puncak yang relatif tinggi, karena
hal itu memang diperlukan untuk mengantisipasi kadar glukosa darah yang biasanya
meningkat tajam, segera setelah makan. AIR yang berlangsung normal bermanfaat
dalam mencegah terjadinya hiperglikemia akut setelah makan atau lonjakan glukosa
darah postprandial dengan segala akibat yang ditimbulkan termasuk hiperinsulinemia
kompensatif.
Selanjutnya, setelah sekresi fase 1 berakhir, muncul sekresi fase 2 (sustained
phase, latent phase), dimana sekresi insulin kembali meningkat secara perlahan dan
bertahan dalam waktu relatif lebih lama. Setelah berakhirnya fase 1, tugas pengaturan
glukosa darah selanjutnya diambil alih oleh sekresi fase 2. Sekresi insulin fase 2 yang

3
berlangsung relatif lebih lama, seberapa tinggi puncaknya (secara kuantitatif) akan
ditentukan oleh seberapa besar kadar glukosa darah diakhir fase 1, disamping faktor
resistensi insulin. Jadi semacam mekanisme penyesuaian dari sekresi fase 2 terhadap
kinerja fase 1 sebelumnya. Pada gambar dibawah ini (Gambar 2) diperlihatkan
dinamika sekresi insulin pada keadaan normal, toleransi glukosa terganggu dan
diabetes melitus tipe 2.

Gambar 2. Dinamika sekresi insulin

2.3 Diabetes Melitus


2.3.1 Definisi Diabetes Melitus

Diabetes Melitus (DM) merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dengan


karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin
atau kedua-duanya. Insulin merupakan hormon yang meregulasi gula darah.
Gangguan pada hormon insulin, akan menyebabkan abnormalitas dari metabolisme
tubuh, terutama zat-zat makronutrien. Apabila tidak terkontrol dengan baik, penyakit
ini dapat menyebabkan kerusakan pada organ-organ tubuh terutama pembuluh darah
dan saraf.

4
2.3.2 Etiologi dan Klasifikasi

Klasifikasi DM menurut Konsensus Pengelolaan dan Pencegahan Diabtes Melitus


Tipe 2 adalah sebagai berikut :

 Diabetes melitus tipe 1 : destruksi sel beta, umumnya menjurus ke defisiensi


insulin absolut

 Autoimun

 Idiopatik

 Diabetes melitus tipe 2 : bervariasi, mulai yang dominan resistensi insulin


disertai defisiensi insulin relatif sampai yang dominan defek sekresi insulin di
sertai resistensi insulin

 Tipe lain :

 Defek genetik fungsi sel beta

 Defek genetik kerja insulin

 Penyakit eksokrin pankreas

 Endokrinopati

 Karena obat atau zat kimia

 Infeksi

 Sebab imunologi yang jarang

 Sindrom genetik lain yang berkaitan dengan DM

 Diabetes melitus gestasional

2.3.3 Patogenesis

5
Resistensi insulin pada otot dan liver serta kegagalan sel beta pankreas telah dikenal
sebagai patofisiologi kerusakan sentral dari DM tipe-2 Belakangan diketahui bahwa
kegagalan sel beta terjadi lebih dini dan lebih berat daripada yang diperkirakan
sebelumnya. Selain otot, liver dan sel beta, organ lain seperti: jaringan lemak
(meningkatnya lipolisis), gastrointestinal (defisiensi incretin), sel alpha pancreas
(hiperglukagonemia), ginjal (peningkatan absorpsi glukosa), dan otak (resistensi
insulin), kesemuanya ikut berperan dalam menimbulkan terjadinya gangguan toleransi
glukosa pada DM tipe-2. Delapan organ penting dalam gangguan toleransi glukosa ini
(ominous octet) penting dipahami karena dasar patofisiologi ini memberikan konsep
tentang:

1. Pengobatan harus ditujukan guna memperbaiki gangguan patogenesis, bukan


hanya untuk menurunkan HbA1c saja

2. Pengobatan kombinasi yang diperlukan harus didasari atas kinerja obat pada
gangguan multipel dari patofisiologi DM tipe 2.

3. Pengobatan harus dimulai sedini mungkin untuk mencegah atau


memperlambat progresivitas kegagalan sel beta yang sudah terjadi pada
penyandang gangguan toleransi glukosa.

DeFronzo pada tahun 2009 menyampaikan, bahwa tidak hanya otot, liver dan sel beta
pankreas saja yang berperan sentral dalam patogenesis penderita DM tipe-2 tetapi
terdapat organ lain yang berperan yang disebutnya sebagai the ominous octet
(Gambar 3 )

6
Gambar 3. The Omnious octet, delapan organ yang berperan dalam patogenesis
hiperglikemia pada DM tipe 2

Secara garis besar patogenesis DM Tipe-2 disebabkan oleh delapan hal (omnious
octet) berikut :

1. Kegagalan sel beta pancreas

Pada saat diagnosis DM tipe-2 ditegakkan, fungsi sel beta sudah sangat
berkurang. Obat anti diabetik yang bekerja melalui jalur ini adalah
sulfonilurea, meglitinid, GLP-1 agonis dan DPP-4 inhibitor.

2. Liver

Pada penderita DM tipe-2 terjadi resistensi insulin yang berat dan memicu
gluconeogenesis sehingga produksi glukosa dalam keadaan basal oleh liver
(HPG = hepatic glucose production) meningkat. Obat yang bekerja melalui
jalur ini adalah metformin, yang menekan proses gluconeogenesis.

3. Otot

Pada penderita DM tipe-2 didapatkan gangguan kinerja insulin yang multiple


di intramioselular, akibat gangguan fosforilasi tirosin sehingga timbul
gangguan transport glukosa dalam sel otot, penurunan sintesis glikogen, dan
penurunan oksidasi glukosa. Obat yang bekerja di jalur ini adalah metformin
dan tiazolidindion.

4. Sel lemak

Sel lemak yang resisten terhadap efek antilipolisis dari insulin, menyebabkan
peningkatan proses lipolisis dan kadar asam lemak bebas (FFA = free fatty
acid) dalam plasma. Peningkatan FFA akan merangsang proses
glukoneogenesis, dan mencetuskan resistensi insulin di liver dan otot. FFA

7
juga akan mengganggu sekresi insulin. Gangguan yang disebabkan oleh FFA
ini disebut sebagai lipotoxocity. Obat yang bekerja dijalur ini adalah
tiazolidindion.

5. Usus

Glukosa yang ditelan memicu respon insulin jauh lebih besar dibanding kalau
diberikan secara intravena. Efek yang dikenal sebagai efek incretin ini
diperankan oleh 2 hormon GLP-1 (glucagon-like polypeptide-1) dan GIP
(glucose-dependent insulinotrophic polypeptide atau disebut juga gastric
inhibitory polypeptide). Pada penderita DM tipe 2 didapatkan defisiensi GLP-
1 dan resistensi terhadap GIP. Disamping hal tersebut incretin segera dipecah
oleh keberadaan enzim DPP-4, sehingga hanya bekerja dalam beberapa menit.
Obat yang bekerja menghambat kinerja DPP-4 adalah kelompok DPP-4
inhibitor.

Saluran pencernaan juga mempunyai peran dalam penyerapan karbohidrat


melalui kinerja enzim alfa-glukosidase yang memecah polisakarida menjadi
monosakarida yang kemudian diserap oleh usus dan berakibat meningkatkan
glukosa darah setelah makan. Obat yang bekerja untuk menghambat kinerja
enzim alfa-glukosidase adalah akarbosa.

6. Sel alpha pankreas

Sel alpha pancreas merupakan organ ke-6 yang berperan dalam hiperglikemia.
Sel Alpha berfungsi dalam sintesis glukagon yang dalam keadaan puasa
kadarnya di dalam plasma akan meningkat. Peningkatan ini akan
menyebabkan HGP dalam keadaan basak meningkat secara signifikan
dibanding individu yang normal. Obat yang menghambat sekresi glukagin atau
menghambat reseptor glukagon meliputi GLP-1 agonis, DPP-4 Inhibitor dan
amylin.

8
7. Ginjal

Ginjal merupakan organ yang diketahui berperan dalam patogenesis DM tipe-


2. Ginjal memfiltrasi sekitar 163 gram glukosa sehari. Sembilan puluh persen
dari glukosa terfiltrasi ini akan diserap kembali melalui peran SGLT-2
(Sodium Glucose co-Transporter) pada bagian convulated tubulus proksimal.
Sedangkan 10% sisanya akan diabsorbsi melalui peran SGLT-1 pada tubulus
desenden dan asenden, sehungga akhirnya tidak ada glukosa dalam urin. Pada
penderita DM terjadi peningkatan ekspresi gen SGLT-2. Obat yang
menghambat kinerja SGLT-2 ini akan menghambat penyerapan kembali
glukosa di tubulus ginjal sehingga glukosa akan dikeluarkan lewat urine. Obat
yang bekerja di jalur ini adalah SGLT-2 inhibitor. Dapaglifozin adalah salah
satu contoh obatnya.

8. Otak

Insulin merupakan penekan nafsu makan yang kuat. Pada individu yang obes
baik yang DM maupun non-DM, didapatkan hiperinsulinemia yang
merupakan mekanisme kompensasi dari resistensi insulin. Pada golongan ini
asupan makan justru meningkat akibat adanya resistensi insulin yang juga
terjadi di otak. Obat yang bekerja di jalur ini adalah GLP-1 agonis, amylin dan
bromokriptin.

2.3.4 Diagnosis

Diagnosis DM ditegakkan atas dasar pemeriksaan kadar glukosa darah. Pemeriksaan


glukosa darah yang dianjurkan adalah pemeriksaan glukosa secara enzimatik dengan
bahan plasma darah vena. Pemantauan hasil pengobatan dapat dilakukan denngan
menggunakan pemeriksaan glukosa darah kapiler dengan glukometer. Diagnosis tidak
dapat ditegakkan atas dasar adanya glukosuria

Berbagai keluhan dapat ditemukan pada penyandang DM. kecurigaan adanya


DM perlu dipikirkan apabila terdapat keluhan seperti :

a Kriteria klasik DM : poliuria, polidipsia, polifagia dan penurunan berat badan


yang tidak dapat dijelaskan sebabnya.

9
b Keluhann lain : lemah badan, kesemutan, gatal, mata kabur, dan disfungsi
ereksi pada pria serta pruritus vulva pada wanita.

Tabel 1 . Diagnosis Diabetes Melitus

Pemeriksaan glukosa plasma 126 mg/dl. Puasa adalah kondisi tidak ada asupan
kalori minimal 8 jam
Atau
Pemeriksaan glukosa plasma  200 mg/dl 2-jam setelah tes toleransi glukosa oral
(TTGO) dengan beban glukosa 75 gram.
Atau
Pemeriksaan glukosa plasma sewaktu 200 mg/dl dengan keluhan klasik
Atau
Pemeriksaan HbA1c  6,5% dengan menggunakan metode yang terstandarisasi oleh
National Glycohaemoglobin Standarization Program.

Hasil pemeriksaan yang tidak memenuhi kriteria normal atau kriteria DM


digolongkan ke dalam kelompok prediabetes yang meliputi : toleransi glukosa
terganggu (TGT) dan glukosa darah puasa terganggu (GDPT).

 Glukosa Darah Puasa Terganggu (GDPT) : Hasil pemeriksaan glukosa plasma


puasa antara 100-125 mg/dl dan pemeriksaan TTGO glukosa plasma 2 jam
<140 mg/dl

 Toleransi Glukosa Terganggu (TGT) : Hasil pemeriksaan glukosa plasma 2-


jam setelah TTGO antara 140-199 mg/dl dan glukosa plasma puasa
<100mg/dl

 Bersama-sama didapatkan GDPT dan TGT

 Diagnosis prediabetes dapat juga ditegakkan berdasarkan hasil pemeriksaan


HbA1c yang menunjukkan angka 5,7-6,4%.

Tabel 2 Kadar tes laboratorium darah untuk diagnosis diabetes dan prediabetes

10
HbA1c (%) Glukosa darah Glukosa plasma 2
puasa (mg/dl) jam setelah TTGO
(mg/dl)
Diabetes 6,4 126 200
Prediabetes 5,7-6,4 100-125 140-199
Normal <5,7 <100 <140

2.3.5 Faktor Risiko

1. Kelompok dengan berat badan lebih (Indeks Massa Tubuh  23 kg/m2)


yang disertai dengan satu atau lenih faktor risiko sebagai berikut :

 Aktivitas fisik yang kurang

 First-degree relative DM (terdapat faktor keturunan DM dengan keluarga)

 Kelompok ras/etnis tertentu

 Perempuan yang memiliki riwayat melahirkan bayi dengan BBL >4kg atau
mempunyai riwayat diabetes melitus gestasional.

 Hipertensi (140/90 mmHg atau sedang mendapat terapi untuk hipertensi )

 HDL<35 mg/dl dan atau trigliserida >250 mg/dl

 Wanita dengan sindrom polikistik ovarium.

 Riwayat prediabetes

 Obesitas berat, akantosis nigrikans

 Riwayat penyakit kardiovaskular

2.3.6 Tatalaksana
Penatalaksanaan DM memiliki tujuan jangka panjang dan tujuan jangka
pendek. Tujuan jangka pendek adalah untuk menghilangkan keluhan, memperbaiki
kualitas hidup, dan mengurangi risiko terjadinya komplikasi akut. Sedangkan tujuan
jangka panjangnya adalah mencegah dan menghambat progesivitas penyulit DM.

11
Penatalaksanaan yang dilakukan meliputi penatalaksanaan umum dan khusus.
Penatalaksanaan umum meliputi evaluasi medis lengkap pada pertemuan pertama,
meliputi anamnesis (riwayat penyakit), pemeriksaan fisik, pemeriksaan penunjang,
dan skrining komplikasi DM. Penatalaksanaan khusus DM meliputi 4 pilar utama,
yakni edukasi, terapi nutrisi medis, latihan jasmani,dan farmakoterapi.
1. Edukasi
Pilar pertama yakni edukasi harus selalu diberikan agar penanganan DM dapat
bersifat holistik dan pasien dapat paham dan dapat bekerja sama dalam berjalannya
penanganan penyakit DM ini. Materi edukasi yang dapat diberikan antara lain,
perjalanan penyakit DM, perlunya pengendalian dan pemantauan DM secara berkala,
penyulit-penyulit DM dan risikonya, tatalaksana yang dapat diberikan baik
farmakologis maupun non-farmakologis serta targetnya, interaksi antara tatalaksana
dengan asupan makanan dan latihan jasmani, serta obat-obatan lain, cara pemantauan
glukosa darah dan interpretasi hasilnya, gejala dan penanganan awal hipoglikemia,
latihan jasmani yang teratur, perawatan kaki, dan cara mempergunakan pelayanan
fasilitas kesehatan. Metode-metode yang dapat dilakukan sangat bervariasi, dari
menggunakan peraga visual, diskusi, sampai melakukan simulasi, dengan tujuan yang
sama yakni pemahaman dari pasien yang maksimal tentang penyakit DM ini.

2. Terapi nutrisi medis


Pilar kedua adalah terapi nutrisi medis, Hal yang perlu diperhatikan adalah 3J,
yakni jumlah, jadwal, dan jenis makanan. Untuk jumlah, kebutuhan kalori basal yang
diperlukan 25-30 kal/kgBB ideal, selain itu penambahan dari jenis kelamin, usia,
aktivitas, berat badan, dll. Berat badan ideal dapat diperoleh dari rumus Broca yang
dimodifikasi, yakni 90% x (TB-100) x 1 kg. Sedangkan untuk jenis kelamin,
kebutuhan kalori untuk perempuan sebesar 25 kal/kgBB/hari dan untuk pria 30
kal/kgBB/hari. Untuk usia, jika di atas 40 tahun, makan kebutuhan dikurangi 5% tiap
dekade antara 40-59 tahun, dikurangi 10% pada usia 60-69 tahun, dan dikurangi 20%
pada usia 70 tahun ke atas. Penambahan menurut aktivitas fisik juga sangat
bergantung bagaimana intensitas aktivitas fisik. Penambahan 10% dari kebutuhan
basal diberikan pada keadaan istirahat, penambahan 20% pada aktivitas ringan,
penambahan 30 % pada aktivitas sedang, penambahan 40% pada aktivitas berat, dan
penambahan 50% pada aktivitas sangat berat. Faktor lain adalah stres metabolik,
dengan penambahan 10-30% dan sangat bergantung pada beratnya stres metabolik

12
(sepsis, trauma, post operast). Faktor lain adalah berat badan, dimana dibedakan pada
penyandang DM yang gemuk dan kurus. Apabila penyandang DM gemuk, maka
kalori dapat dikurangi 20-30% sedangkan apabila penyandang DM kurus, maka kalori
dapat ditambah 20-30% untuk meningkatkan berat badan. Penghitungan dapat
dilakukan dengan perhitungan Indeks Massa Tubuh.
Untuk jenis dan komposisi makanan, dari karbohidrat yang dianjurkan sebesar
45-65% total asupan dan berserat tinggi, untuk lemak sekitar 20-25% kebutuhan
dengan komposisi lemak jenuh <7% dan lemak tidak jenuh ganda <10%. Bahan-
bahan yang mengandung lemak trans pun juga harus dibatasi seperti daging berlemak
dan susu full cream. Untuk protein dianjurkan 10-20% total asupan energi. Namun
penyesuaian dapat dilakukan pada pasien dengan gangguan fungsi ginjal, yakni
menjadi 0,8 g/kgBB/hari. Untuk kadar natrium yang diperlukan, sama seperti orang
sehat yakni <2300 mg/hari, kecuali pada penyandang hipertensi yang perlu dilakukan
restriksi natrium. Untuk serat, anjuran yang diberikan adalah 20-25 g/hari, dari
kacang-kacangan, buah, sayuran, dan karbohidrat berserat tinggi.
Pemanis alternatif pun juga perlu diperhitungkan, terdiri dari pemanis
berkalori (glukosa alkohol dan fruktosa) dan tidak berkalori (aspartam, sakarin, dll.).
Bila penderita DM ingin menggunakan pemanis tambahan, FDA merekomendasikan
pemanis alami yang diekstrak dari daun Stevia bernama Rebaudioside A, yang
sekarang sudah dipasarkan dan aman untuk penderita DM. Makanan yang kaya
chromium seperti merica, apel, brokoli, udang, dan kacang-kacangan dianjurkan
untuk para penderita DM karena dapat memperbaiki sensitivitas insulin. Selain itu,
makanan yang tinggi kadar antioksidan juga sangat dianjurkan oleh karena adanya
proses pembentukan oksidan dalam patogenensis DM. Sedangkan untuk jadwal,
makan besar dibagi menjadi 3x sehari dengan perhitungan makan pagi 20%, makan
siang 30%, dan makan malam 25% serta diselingi makanan ringan 2-3 porsi dan
pemberian masing-masing tiap 3 jam selang-seling.
3. Latihan jasmani
Latihan jasmani merupakan salah satu pilar penatalaksanaan DM karena selain
dapat memperbaiki sensitivitas insulin, latihan jasmani juga dapat menjaga kebugaran
tubuh. Banyak hal yang dapat dicapai dari latihan jasmani yang rutin. Pemasukan
glukosa ke dalam sel dapat tanpa melalui insulin dengan latihan jasmani yang rutin,
selain itu penurunan berat badan juga dapat dicapai. Jenis-jenis latihan jasmani juga
sangat bervariasi, mulai dari yang sederhana yakni mengubah kebiasaan hidup yang

13
sedentary menjadi aktuf, seperti berjalan kaki atau bersepeda ke tempat tujuan
daripada menggunakan kendaraan bermotor, menggunakan tangga daripada lift,
menemui rekan kerja dibandingkan percakapan via telepon, dll. Yang dianjurkan
adalah latihan jasmani secara teratur 3-5x seminggu dengan waktu 30-45 menit setiap
sesi (minimal 150 menit seminggu) dengan jeda antar latihan tidak lebih dari 2 hari
berturut-turut. Olahraga yang dianjurkan adalah olahraga aerobik dengan intensitas
sedang (50-70% denyut jantung maksimal), seperti jogging, jalan cepat, berenang, dll.
Sebelum melakukan latihan jasmani dianjurkan untuk memeriksa kadar glukosa darah
terlebih dahulu. Bila kadar glukosa darah <100 mg/dL, pasien harus mengkonsumsi
karbohidrat terlebih dahulu agar tidak terjadi hipoglikemi, sedangkan apabila kadar
glukosa darah >250 mg/dL, dianjurkan untuk menunda latihan jasmani terlebih
dahulu.

4. Terapi farmakologis
Terapi farmakologis terdiri dari terapi oral dan injeksi. Terapi oral terdiri dari
beberapa golongan obat dengan mekanisme kerja yang berbeda-beda. Golongan-
golongan obat tersebut antara lain:

a. Sulfonilurea
Mekanisme kerja golongan ini adalah merangsang sekresi insulin dengan
menutup kanal K+ ATP-dependent. Hal tersebut akan menyebabkan
depolarisasi membran dan akan membuka kanal Ca2+ yang nantinya akan
merangsang sekresi insulin. Sulfonilurea lebih efektif bila diminum 30 menit
sebelum makan karena masa paruhnya pendek dan 90-99% akan terikat oleh
protein plasma, terutama albumin. Sulfonilurea terdiri dari 2 generasi, generasi
1 contohnya adalah tolbutamid, tolazamid, asetoheksimid, dan klorpropamid.
Generasi 2 contohnya, glibenklamid, glipizid, gliklazid, dan glimepirid.
Generasi 2 memiliki potensi hipoglikemik 100x lebih besar dari generasi 1.
Seringkali generasi 2 cukup diberikan sekali sehari karena efek
hipoglikemiknya dapat bertahan sampai 12-24 jam, sedangkan masa paruhnya
pendek, hanya 3-5 jam. Sulfonilurea di metabolisme di hepar dan di ekskresi
di ginjal sehingga tidak boleh diberikan pada orang-orang dengan gangguan
fungsi hepar atau ginjal yang berat. Efek samping yang dapat timbul adalah
hipoglikemia, reaksi alergi, gangguan saluran cerna, gejala susunan saraf

14
pusat, peningkatan berat badan dan gejala hematologik. Sulfonilurea
berinteraksi dengan insulin, alkohol, fenformin, sulfonamid, salisilat dosis
besar, fenilbutazon, oksifenbutazon, probenesid, kloramfenikol, dikumarol,
penghambat MAO, guanetidin, anabolik steroid, fenfluramin, dan klofibrat
yang dapat membuat risiko hipoglikemia meningkat. Penggunaan sulfonilurea
kerja pendek seperti gliklazid lebih direkomendasikan pada pasien-pasien
lanjut usia daripada kerja panjang seperti gibenklamid.

b. Metiglinid
Golongan ini memiliki mekanisme kerja yang mirip dengan golongan
sulfonilurea, namun struktur kimianya berbeda. Mekanisme kerjanya adalah
merangsang sekresi insulin dengan menutup kanal K+ ATP-dependent pada sel
beta pankreas. Kadar puncaknya dicapai dalam waktu 1 jam. Pemberian
sebaiknya sebelum makan, dengan efek samping hipoglikemia, peningkatan
berat badan dan gangguan saluran cerna. Metabolisme utamanya pada hepar
dan 10% dimetabolisme di ginjal. Repaglinid dan nateglinid adalah contoh
obat golongan ini. Penggunaan golongan ini cukup direkomendasikan pada
lanjut usia karena risiko hipoglikemia yang lebih kecil, efektif menurunkan
glukosa darah postprandial, dan penggunaannya aman untuk ginjal.

c. Biguanid
Biguanid merupakan obat antihiperglikemik, efeknya tidak menyebabkan
rangsangan sekresi insulin sehingga tidak menyebabkan hipoglikemia, namun
akan menurunkan produksi glukosa hepar dan akan meningkatkan sensitivitas
jaringan otot dan lemak terhadap insulin. Efek ini terjadi karena adanya
aktivasi kinase dalam sel (AMP-activated kinase). Obat golongan ini tidak
terikat protein plasma, ekskresinya melalui urine dalam keadaan utuh, dan
masa paruhnya 2 jam. Efek samping yang dilaporkan adalah gangguan saluran
cerna dan rasa kecap logam, selain itu asidosis laktat juga pernah dilaporkan
terutama akibat fenformin yang telah ditarik dari pasaran. Dosis metformin 1-
3 g perhari dibagi dalam 2-3 kali pemberian. Biguanid dikontraindikasikan
pada pasien-pasien hamil, penyakit hepar berat, penyakit ginjal dengan

15
uremia, penyakit jantung kongestif, dan penyakit paru dengan hipoksia kronik.
Pada pasien yang akan diberi zat kontras, hendaknya pemberian biguanid
dihentikan dahulu untuk mencegah terbentuknya laktat yang berlebihan.
Contoh obat golongan ini adalah fenformin, metformin, dan buformin.
Metformin merupakan lini pertama terapi farmakologi oral pada DM tipe 2,
namun tetap harus memperhatikan GFR, jika nilainya diantara 30-45
mL/min/1.73 m2 maka dipertimbangkan pengurangan dosis, jika nilainya <30
mL/min/1.73 m2 maka direkomendasikan untuk stop.

d. Tiazolidinedion
Obat golongan ini merupakan agonis poten dan selektif PPAR-γ yang akan
mengaktivasi reseptor tersebut di inti sel dan akan membentuk kompleks
PPARγ-RXR dan akan terbentuk GLUT baru. Obat golongan ini juga
menurunkan produksi glukosa di hepar dan menurunkan asam lemak bebas
plamsa serta remodelling jaringan lemak, selain itu dilaporkan bahwa kadar
HDL dapat ditingkatkan dengan pemberian golongan ini. Absorpsinya tidak
dipengaruhi makanan, metabolismenya di hepar oleh sitokrom P-450, dan
ekskresinya melalui ginjal. Dosis awal rosiglitazon adalah 4 mg/hari, bila
dalam 3-4 minggu belum adekuat, dapat ditingkatkan menjadi 8 mg/hari,
sedangkan pioglitazon dosis awalnya 15-30 mg/hari, bila belum adekuat, dapat
ditingkatkan menjadi 45 mg/hari. Efek samping yang dilaporkan adalah
peningkatan berat badan, edema karena retensi cairan, dan perburukan gagal
jantung kongestif. Pada pasien-pasien lanjut usia yang memiliki risiko jatuh,
obat golongan ini tidak direkomendasikan karena akan meningkatkan risiko
non-osteoporotic bone fracture.

e. Penghambat enzim α-glikosidase


Obat golongan ini akan memperlambat absorpsi polisakarida, dekstrin, dan
disakarida dalam intestinal dengan cara menghambat kerja enzim α-
glikosidase pada brush border intestinal. Obat golongan ini tidak
meningkatkan sekresi insulin, sehingga tidak menyebabkan hipoglikemia.
Obat golongan ini diberikan bersama suapan pertama saat makan. Sering
digunakan pada kasus DM dengan kadar glukosa postprandial yang tinggi.

16
Obat golongan ini adalah akarbose. Paling efektif diberikan dengan makanan
yang berserat, mengandung polisakarida, dan sedikir kandungan glukosa dan
sukrosa. Efek sampingnya bergantung pada dosis, malabsorpsi, diare, flatulen,
dan perdarahan abdominal. Dosis awal 25 mg selama 4-8 minggu, lalu secara
bertahap ditingkatkan setiap 4-8 minggu sampai 75 mg (dosis maksimal).

f. Incretin mimetic dan penghambat DPP-IV


Hormon incretin diproduksi oleh usus sebagai respon peningkatan kadar
glukosa setelah makan. Incretin sendiri akan memacu produksi insulin yang
lebih untuk mengatasi kondisi tersebut. Incretin terdiri dari 2 jenis hormon,
yakni GLP-1 dan GIP. GLP-1 diproduksi di bagian distal usus halus dan
bagian proksimal kolon, sedangkan GIP diproduksi di duodenum. Kedua
hormon ini waktu paruhnya singkat dan akan dipecah oleh enzim DPP-IV .
Obat-obatan incretin mimetic seperti liraglutide dan eksenatid harus diberikan
melalui injeksi karena tidak diansorpsi dalam saluran cerna. Obat-obatan
incretin mimetic dikontraindikasikan untuk DM tipe 1 dan ketoasidosis
diabetik. Dosis awal liraglutide adalah 0,6 mg SC per hari dan dapat
ditingkatkan menjadi 1,2 mg per hari setelah satu minggu dengan dosis
maksimal 1,8 mg per hari. Efek samping obat-obat ini adalah mual dengan
intensitas ringan jika pemakaian dalam jangka waktu yang panjang.
Sedangkan obat-obatan DPP-IV inhibitor contohnya adalah sitagliptin,
vildagliptin, saxagliptin, alogliptin, dan linagliptin. Obat-obatan ini
menghambat kerja enzim DPP-IV sehingga mencegah degradasi hormon
incretin. Obat-obatan ini tidak menimbulkan hipoglikemia dan tidak
mempengaruhi berat badan dan efeknya berlangsung sekitar 12 jam.
Absorpsinya tidak dipengaruhi makanan, metabolisme berlangsung di hepar
oleh enzim CYP3A4 dan CYP2C8, serta ekskresinya melalui urine. Dosis
sitagliptin adalah 100 mg/hari, bila ada gangguan ginjal maka diturunkan
menjadi 50 mg/hari. Obat-obatan golongan ini memiliki efek samping ringan
berupa mual dan gangguan saluran cerna lain. Kontraindikasi obat golongan
ini adalah DM tipe 1, ketoasidosis, gangguan fungsi ginjal, dan gangguan
fungsi hati yang berat, selain itu tidak direkomendasikan bagi wanita hamil
dan menyusui. Penggunaanya cukup direkomendasikan pada lanjut usia

17
karena tidak berefek pada peningkatan berat badan dan juga tidak
menyebabkan hipoglikemia.

g. Penghambat SGLT-2
Merupakan antidiabetes oral tipe baru yang akan menghambat reabsorpsi
glukosa pada tubulus proksimal ginjal sehingga glukosa akan lebih banyak
dibuang melalui urine dengan cara menghambat kinerja SGLT-2, yaitu
transporter glukosa pada tubulus proksimal ginjal. Penggunaanya dapat
bermanfaat untuk menurunkan berat badan dan tekanan darah. Contoh-contoh
obatnya anatara lain, canagliflozin, empagliflozin, dapagliflozin, dan
ipragliflozin. Efek samping dari golongan ini adalah meninngkatnya risiko
terjadinya ISK karena lebih banyak glukosa yang akan dibuang melalui urine,
risiko hipoglikemia dan ketoasidosis juga dapat terjadi pada penggunaannya.
Penggunaannya pada lanjut usia harus sangat berhati-hati karena akan
meningkatkan risiko terjadinya infeksi genital, dehidrasi, hipotensi ortostatik,
dan jatuh.
Pengelolaan DM diawali dengan modifikasi gaya hidup. Jika HbA1C <7,5% maka
dilakukan monitor selama 3 bulan, jika masih >7% dianjuran untuk intervensi
farmakologis dengan monoterapi. Jika HbA1C >7,5% maka langsung diberi
monoterapi dan monitor dalam 3 bulan, jika HbA1C >7% maka kombinasi 2 obat
dengan mekanisme berbeda. Jika HbA1C >9% apabila tidak bergejala maka
dianjurkan kombinasi 3 obat dengan mekanisme berbeda dan monitor selama 3 bulan,
jika masih belum memenuhi target maka dipertimbangkan terapi insulin. Apabila
bergejala maka terapi insulin direkomendasikan bersama antidiabetik oral.
Terapi injeksi terdiri dari insulin dan incretin mimetic (telah dibahas diatas).
Pemberian insulin dapat dilakukan dengan berbagai cara, seperti SC, IV, dan CSII,
namun penggunaan SC lebih disukai, karena insulin akan langsung berdifusi ke
sirkulasi perifer. Indikasi insulin adalah pada pasien-pasien DM tipe 1, DM tipe 2
yang tidak dapat dikontrol obat ataupun diet, DM pascapankreatektomi, DM
gestasional, DM dengan ketoasidosis. Tujuan dari terapi ini adalah mencapai glukosa
darah puasa 90-120 mg/dL, glukosa darah 2 jam postprandial <150 mg/dL, dan
HbA1C <7%. Sekresi insulin sehari-hari adalah 0,2-0,5 U/kgBB (18-40 U) per hari,
50% disekresi dalam keadaan basal, 50% setelah asupan makanan. Pada populasi
dengan DM tipe 1, kebutuhan insulin meningkat 0,6-0,7 U/kgBB/hari, sedangkan

18
orang dengan obesitas membutuhkan sampai 2 U/kgBB/hari. Dosis awal insulin yang
diberikan adalah 0,7-1,5U/kgBB/hari, namun penyesuaian dosis perlu dilakukan
pengecekan glukosa darah puasa, dan 2 jam sesudah makan dengan kontrol glukosa
darah mandiri. Efek samping yang pernah dilaporkan adalah hipoglikemia, reaksi
alergi dan resistensi, lipoatrofi, lipohipertrofi, edema, dan rasa kembung. Antagonis
insulin adalah GH, kortikotropin, glukokortikoid, tiroid, estrogen, progestin, dan
glukagon, sedangkan yang memicu efek dari insulin adalah salisilat, pengahambat
MAO, fenfluramin, dan steroid anabolik. Beta blocker cenderung menimbulkan
hipoglikemia karena penghambatan efek katekolamin pada glukoneogenesis dan
glikogenolisis. Penyuntikan dapat dilakukan pada daerah perut sekitar pusat, kedua
lengan atas, dan kedua paha bagian luar. Satu unit insulin dapat menurunkan glukosa
darah hingga 45 mg/dL pada hewan coba.
Penggolongan insulin didasarkan atas lama kerjanya ataupun asal spesiesnya (human
atau porcine). Penggolongan atas lama kerja dibagi menjadi:

1. Insulin kerja cepat


Contohnya adalah insulin Lispro (Humalog), Aspart (Novorapid), dan Glulisin
(Apidra), onset kerjanya 5-15 menit, puncaknya 1-2 jam, lama kerjanya 4-6
jam.
2. Insulin kerja pendek
Contohnya adalah Humulin dan Actrapid, onset kerjanya 30-60 menit,
puncaknya 2-4 jam, dengan lama kerja 6-8 jam.
3. Insulin kerja menengah
Contohnya adalah Humulin N, Insulatard, dan Insuman basal, onset kerjanya
1,5-4 jam, puncaknya 4-10 jam, dengan lama kerja 8-12 jam.
4. Insulin kerja penjang
Contohnya adalah Glargine (Lantus) dan Detemir (Levermir), onset kerjanya
1-3 jam, hampir tanpa puncak, dan lama kerjanya 12-24 jam.
5. Insulin kerja ultra panjang
Contohnya adalah Degludec (Tresiba), onset kerjanya 30-60 menit, hampir
tanpa puncak, dan lama kerjanya sampai 48 jam.
6. Insulin campuran
Terdiri dari insulin manusia campuran (70/30 Humulin, 70/30 Mixtard) dan
analog campuran (75/25 Humalogmix, 70/30 Novomix, 50/50 Premix)

19
2.3.7 Kelainan komorbid
Kelainan komorbid yang dapat menyertai DM adalah dislipidemia, hipertensi,
obesitas, dan gangguan koagulasi. Pada dislipidemia, target utama adalah penurunan
LDL dengan target <100 mg/dL, jika terdapat penyakit kardiovaskular, target LDL
<70 mg/dL, trigliserida <150 mg/dL, HDL >50 mg/dL. Terapi yang dapat digunakan
adalah statin, jika trigliserida tinggi, maka fibrat dapat menjadi pilihan. Pada
hipertensi, indikasi pengobatan apabila TD sistolik >140 mmHg dan/atau TD diastolik
>90 mmHg dengan sasaran tekanan darah dibawah angka tersebut. Pengelolaan dapat
dilakukan dengan perubahan gaya hidup dan dengan intervensi farmakologis.
Pengobatan hipertensi harus terus dilanjutkan meskipun sasaran telah tercapai. Pada
obesitas, penurunan berat badan 5-10% akan memberikan hasil yang baik karena
obesitas terutama obesitas sentral akan berhubungan erat dengan resistensi insulin.
Pada gangguan koagulasi, terapi aspirin 75-162 mg/hari merupakan pencegahan
primer sekaligus sekunder, pada pasien-pasien DM dengan faktor risiko
kardiovaskular dan dengan penyakit kardiovaskular. Clopidogrel 75 mg/hari dapat
menjadi alternatif bila ada kontraindikasi terhadap aspirin, seperti usia <21 tahun
(Sindrom Reye), alergi, dll.

2.3.8 Komplikasi pada DM dan pengobatannya


2.3.8.1 Komplikasi akut
Komplikasi terdiri dari akut dan menahun. Komplikasi akut terdiri dari krisis
hiperglikemia dan hipoglikemia. Pada hipoglikemia, ditandai dengan menurunnya
kadar glukosa darah <70 mg/dL. Whipple’s triad, yakni terdapat tanda-tanda
hipoglikemia, kadar glukosa darah yang rendah, dan gejala yang berkurang dengan
pengobatan menjadi karakteristik dari hipoglikemia. Hipoglikemia dapat digolongkan
menjadi hipoglikemia berat (perlu bantuan orang lain), simtomatik, asimtomatik,
relatif, dan probable. Tanda dan gejala hipoglikemia dapat dibedakan menjadi
autonomik dan neuroglikopenik. Tanda autonomik antara lain, rasa lapar, berkeringat,
gelisah, parestesia, dan palpitasi. Tanda neuroglikopenik antara lain, lemah, lesu,
pusing, perubahan sikap, gangguan kognitif, pandangan kabur, dan diplopia. Gejala
autonomik antara lain, pucat dan takikardia, sedangkan gejala neuroglikopenik antara
lain, hipotermia, kejang, sampai koma. Penanganan hipoglikemia ringan yakni
konsumsi makanan tinggi glukosa, terutama karbohidrat sederhana, biasanya

20
diberikan glukosa 15-20 g (2-3 sendok makan) yang dilarutkan dalam air, lalu pantau
glukosa darah setiap 15 menit. Pada hipoglikemia berat, terapi parenteral dengan
dekstrose 20% sebanyak 50 cc / 40% sebanyak 25 cc diikuti infus dekstose 5% atau
10%. Pantau kadar glukosa darah setelah 15 menit, jika belum mencapai target, dapat
diulang, setelah itu pantau kadar glukosa darah tiap 1-2 jam. Hindari pemberian
makanan yang berlemak karena dapat memperlambat kenaikan kadar glukosa darah.

2.3.8.2 Komplikasi kronik


Komplikasi kronik DM dibagi menjadi mikroangiopati dan makroangiopati.
Ada beberapa mekanisme terjadinya komplikasi kronik ini meliputi proses-proses
biokimiawi, diantaranya jalur reduktase aldosa, jalur pembentukan produk akhir
glikasi lanjut, jalur protein kinase, jalur stres oksidatif, inflamasi, peptida vasoaktif,
prokoagulan, dan PPAR.
Yang termasuk dalam makroangiopati antara lain, pembuluh darah jantung
(peyakit jantung koroner), pembuluh darah tepi (claudicatio intermitten, ulkus
diabetikum), pembuluh darah otak (stroke iskemik atau stroke hemoragik). Kaki
diabetes juga sering ditemukan pada penderita DM, edukasi yang adekuat sangat
memegang peranan penting.
Yang termasuk dalam mikroangiopati antara lain, retinopati diabetik, nefropati
diabetik, neuropati perifer (gejala yang sering dirasakan adalah rasa nyeri seperti
terbakar serta bergetar dan sering terjadi pada malam hari). Pada retinopati diabetik
didapatkan hilangnya sel perisit, dan pembentukan mikroaneurisma, selain itu terjadi
penyumbatan pembuluh darah sehingga hipoksia lokal akan terjadi, sel retina akan
mengkompensasi dengan ekspresi VEGF yang memicu neovaskularisasi pembuluh
darah. Pada nefropati, terjadi peningkatan tekanan glomerolus disertai peningkatan
matriks ekstraseluler yang akan menyebabkan penebalan membran basal, ekspansi sel
mesangial, dan hipertrofi glomerular yang menyebabkan filtrasi akan semakin
berkurang. Pemeriksaan skrining yang dapat dilakukan adalah pemeriksaan retina
mata menggunakan oftalmoskop atau fotografi retina, pemeriksaan laju filtrasi
glomerolus dan urinalisis, dan pemeriksaan EKG.

21
2.3.9 Prognosis
Pada penderita DM tipe 2, karena perjalanan penyakit ini bersifat progresif, maka saat
penyakit ini terdiagnosa, 50% penderita DM tipe 2 sudah menunjukkan tanda-tanda
komplikasi. Saat DM tipe 2 terdiagnosa pada usia 40 tahun ke atas, angka hidup pada
pria akan berkurang rata-rata 5,8 tahun dan pada wanita 6,8 tahun. Penyakit jantung
dan pembuluh darah menjadi penyebab kematian terbanyak dengan angka 52%.
Namun hal tersebut juga dapat dihindari apabila kontrol glukosa darah dilakukan
dengan baik dan kontrol faktor-faktor risiko telah dilakukan dengan tepat.

2.3.10 Pencegahan
Pencegahan penyakit DM sangatlah penting untuk dilakukan karena selain mencakup
aspek klinis, aspek sosioekonomi pun juga akan sangat dipengaruhi apabila seseorang
telah terdiagnosa DM. Pencegahan untuk penyakit DM dibagi menjadi 3 jenis, yakni
pencegahan primer, pencegahan sekunder, dan pencegahan tersier.
1. Pencegahan primer: sasaran dari pencegahan primer ini ditujukan pada
kelompok yang memiliki faktor-faktor risiko dan berpotensi besar mendapat
DM dan kelompok intoleransi glukosa. Pencegahan primer dilakukan dengan
melakukan penyuluhan dan pengelolaan masyarakat yang memiliki risiko
tinggi dan intoleransi glukosa. Ada 4 materi pokok dalam penyuluhan yang
penting untuk disampaikan, diantaranya program penurunan berat badan (diet
sehat, menghitung jumlah kalori untuk mencapai berat badan ideal, pemilihan
karbohidrat kompleks, komposisi makanan mengandung sedikit lemak jenuh
dan tinggi serat larut), latihan jasmani (dilakukan 3-4x seminggu secara rutin,
minimal 150 menit/minggu dengan latihan aerobik intensitas sedang),
menghentikan kebiasaan merokok, dan intervensi farmakologis.
2. Pencegahan sekunder: sasaran pencegahan sekunder ini adalah pasien-pasien
yang telah terdiagnosa DM. Tujuannya adalah untuk menghambat timbulnya
penyulit penyakit DM. Cara yang dapat dilakukan adalah pengendalian kadar
glukosa sesuai target terapi dan pengendalian faktor-faktor penyulit lain
dengan pengobatan optimal. Penyuluhan juga merupakan pilar penting yang
harus selalu dilakukan dari sejak awal pertama pasien datang untuk berobat
dan terus diulang setiap kontrol. Pemeriksaan kadar glukosa darah mandiri
merupakan salah satu standar dalam manajemen DM dan dapat dilakukan oleh

22
pasien sendiri kapanpun. Pemeriksaan glukosa darah mandiri memerlukan
sedikit darah kapiler (3-10 µL) dan dapat dengan mudah dideteksi
menggunakan reaksi enzimatik. Pada pasien-pasien DM yang menggunakan
terapi insulin setiap hari, monitor kadar glukosa darah sangatlah penting
sebanyak 3x atau lebih per hari untuk mengestimasi berapa kebutuhan insulin
pada saat itu. Untuk pemeriksaan jangka panjang, dapat dilakukan
pemeriksaan kadar HbA1C setiap 2-3 bulan sekali. Jangka waktu tersebut
diperlukan karena masa hidup eritrosit rata-rata adalah 120 hari. Reaksi
glikosilasi enzimatik pada hemoglobin akan meningkat apabila kadar glukosa
darah dalam tubuh meningkat dan hali ini dapat menjadi indikator evaluasi
dan penentuan jenis pengobatan yang akan diberikan. Selain hemoglobin,
protein lain seperti albumin juga dapat menjadi indikator bila HbA1C tidak
akurat karena penyakit seperti hemoglobinopati dan anemia hemolitik.
Pemeriksaan albumin terglikosilasi menggunakan fructosamine assay dan
merefleksikan status glikemik untuk 2 minggu terakhir.
3. Pencegahan tersier: sasaran pencegahan tersier adalah kelompok penyandang
DM yang telah mengalami penyulit. Tujuannya adalah untuk menghindari
terjadinya kecacatan lebih lanjut dan meningkatkan kualitas hidup. Pada
pencegahan ini, upaya penyuluhan tetap wajib dilakukan pada pasien dan
keluarga. Upaya rehabilitasi juga dilakukan sedini meungkin sebelum
kecacatan bertambah parah dan menetap. Hal tersebut memerlukan kerja sama
yang baik pada berbagai ahli yang akan terlibat serta penyedia fasilitas
pelayanan kesehatan dan juga pasien serta keluarga yang terkait sehingga
dapat tercapai tujuan dari pencegahan tersier ini.

2.4 Krisis Hiperglikemik

2.4.1 Definisi Ketoasidosis Diabetik


Ketoasidosis diabetik (KAD) adalah fenomena unik pada seorang pengidap diabetes
akibat defisiensi insulin absolut atau relatif dan peningkatan hormon kontra regulator,
yang mengakibatkan lipolisis berlebihan dengan akibat terbentuknya benda-benda
keton dengan segala konsekuensinya.

2.4.2 Patogenesis

23
Kombinasi dari defisiensi insulin absolut atau relatif dan peningkatan kadar hormon
kontra regulator (glukagon, katekolamin, kortisol, hormon pertumbuhan dan
somatostatin) akan mengakibatkan akselerasi kondisi katabolik dan inflamasi berat
dengan akibat peningkatan produksi glukosa oleh hati dan ginjal (via glikogenolisis
dan glukoneogenesis) dan gangguan utilisasi glukosa di perifer yang berakibat
hiperglikemia dam hiperosmolaritas.
Defisiensi insulin dan peningkatan hormon kontra regulator terutama
epinefrin juga mengaktivasi hormon lipase sensitif pada jaringan lemak yang
mengakibatkan peningkatan lipolisis. Peningkatan lipolisis dan ketogenesis akan
memicu ketonemia dan asidosis metabolik. Populasi benda keton utama terdiri dari 3-
beta-hidroksibutirat, asetoasetat dan aseton. Sekitar 75-85% benda keton terutama
adalah 3-beta-hidroksibutirat, sementara aseton sendiri sebenarnya tidak terlalu
penting. Walaupun sudah dibentuk banyak benda keton untuk sumber energi, sel-sel
tubuh tetap masih lapar dan terus membentuk glukosa.
Hiperglikemi dan hiperketonemia mengakibatkan diuresis osmotik, dehidrasi
dan kehilangan elektrolit. Perubahan tersebut akan memicu lebih lanjut hormon stres
sehingga akan terjadi perburukan hiperglikemia dan hiperketonemia. Jika lingkaran
setan tersebut tidak diinterupsi dengan pemberian insulin dan cairan, maka akan
terjadi dehidrasi berat dan asidosis metabolik yang fatal. Ketoasidosis akan
diperburuk oleh asidosis laktat akibat perfusi jaringan yang buruk.
Defisiensi insulin relatif yang terjadi akibat konsentrasi hormon kontra
reglator yang meningkat sebagai respon terhadap kondisi stres seperti sepsis, trauma,
penyakit gastrountestinal yang berat, infark miokard akut, stroke dan lain-lain.
Dengan adanya kondisi stres metabolik tertentu, keberadaan insulin yang biasanya
cukup untuk menekan lipolisis menjadi tidak cukup secara relatif karena dibutuhkan
lebih banyak insulin untuk metabolisme dan untuk menekan lipolisis.

Gambar 4. Patogenesis Ketoasidosis Diabetik

Pencetus
Pencetus tersering terjadinya KAD adalah infeksi. Pencetus lain diantaranya adalah
menghentikan atau mengurangi insulin, infark miokard, stroke akut, pankreatitis dan
obat-obatan. Awitan baru atay penghentian pemakaian insulin seringkali menjadi
sebab DM tipe 1 jatuh pada keadaan KAD. Pada beberapa pasien yang dianggap DM

24
tipe 2, kadang-kadang tidak ditemukan pencetus yang jelas dan setelah diberikan
insulin dalam periode pendek keadaanya cepat membaik, bahkan tidak membutuhkan
medikasi sama sekali.

2.4.3 Diagnosis
Dari anamnesis bisa ditemukan riwayat seorang pengidap diabetes atau bukan dengan
keluhan poliuria, polidipsi, rasa lelah, kram otot, mual muntah dan nyeri perut. Pada
keadaan yang berat dapat ditemukan keadaan penurunan kesadaran sampai koma.
Pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan tanda-tanda dehidrasi, nafas
Kussmaul jika asidosis berat, takikardi, hipotensi atau syok, flushing, penurunan berat
badan dan tentunya adalah tanda dari masing masing penyakit penyerta.
Trias biokimiawi pada KAD adalah hiperglikemia, ketonemia dan atau
ketonuria, serta asidosis metabolik dengan beragam derajat. Pada awal evaluasi tentu
kebutuhan pemeriksaan penunjang disesuaikan dengan keadaan klinis, umumnya
dibutuhkan pemeriksaan dasar gula darah, elektrolit, analisa gas darah, keton darah
dan urin, osmolalitas serum, darah perifer lengkap dengan hitung jenis, anion gap,
EKG dan foto polos dada.
Kunci diagnosis pada KAD adalah adanya peningkatan total benda keton di
sirkulasi. Metode lama untuk mendeteksi adanya benda keton di darah dan urin adalah
dengan menggunakan reaksi nitropruside yang mengestimasi kadar asetoasetat dan
aseton secara semikuantitatif. Walaupun sensitif tetapi metode tersebut tidak dapat
mengukur keberadaan beta hidroksibutirat, benda keton utama sebagai produk
ketogenesis. Peningkatan benda-benda keton tersebut akan mengakibatkan
peningkatan anion gap.
Gula darah lebih dari 250 mg/dl dianggap sebagai kriteria diagnosis utama
KAD, walaupun ada istilah KAD euglikemik, dengan demikian setiap pengidap
diabetes yang gula darahnya lebih dari 250 mg/dl harus dipikirkan kemungkinan
ketosis atau KAD jika disertai dengan keadaan klinis yang sesuai. Derajat keasaman
darah (pH) yang kurang dari 7,35 dianggap sebagai ambang adanya asidosis, hanya
saja pada keadaan yang terkompensasi seringkali pH menunjukkan angka normal.
Pada keadaan seperti itu jika angka HCO3 kurang dari 18 mEq/l ditambah dengan
keadaan klinis lain yang sesuai, maka sudah cukup untuk menegakkan KAD.

25
2.4.4 Diagnosis Banding
Ketoasidosis harus dibedakan dengan status hiperglikemi hiperosmolar (SSH),
walaupun pengelolaannya hampir sama tetapi prognosisnya sangat berbeda. Pada SSH
hiperglikemia biasanya lebih berat, dehidrasi juga berat, selalu disertai gangguan
kesadaran tanpa ketoasidosis yang berat.

Tabel 3. Perbedaan KAD dan HHS


KAD ringan KAD sedang KAD berat HHS
Glukosa plasma >250 >250 >250 >600
(mg/dl)
pH arteri 7.25-7.30 7.00-7.24 <7.00 <7.30
Serum Bikarbonat 15-18 10-15 <10 <15
(mEq/l)
Keton urin Positif Positif Positif Rendah
Keton serum Positif Positif Positif Rendah
Beta- Tinggi Tinggi Tinggi Normal/Tin
Hidroksibutirat ggi
Osmolalitas Serum Variasi Variasi Variasi >320
(mOsm/kg)
Anion Gap >10 >12 >12 Variasi
Kesadaran Sadar Sadar/Ngantuk Sopor/Koma Sopor/Koma

2.4.5 Penatalaksanaan
Kesuksesan pengelolaan KAD membutuhkan koreksi terhadap dehidrasi,
hiperglikemia, gangguan elektrolit, komorbiditas dan monitoring selama perawatan.
Secara umum pemberian cairan adalah langkah awal penatalaksanaan KAD setelah
resusitasi kardiorespirasi. Terapi cairan ditujukan untuk ekspansi cairan intraselular,
intravaskular, interstisial dan restorasi perfusi ginjal kronik berat, cairan salin isotonik
(NaCl 0,9%) diberikan dengan dosis 15-20cc/kgBB/jam pertama atau satu sampai
satu setengah liter pada jam pertama. Tindak lanjut cairan pada jam-jam berikutnya
tergantung pada keadaan hemodinamik, status hidrasi, elektrolit dan produksi urin.
Penggantian cairan dapat dilakukan sampai dengan 24 jam dan penggantian cairan
sangat mempengaruhi pencapaian target gula darah, hilangnya benda keton dan
perbaikan asidosis.

26
a Insulin
Pemberian insulin intravena kontinyu lebih disukai karena waktu paruhnya
pedek dan mudah dititrasi. Jika dosis insulin intravena yang diberikan sekitar
0,1-1,15 unit/jam, maka sebenarnya tidak diperlukan insulin bolus (priming
dose) di awal. Dengan pemberian insulin intravena dosis rendah diharapkan
terjadi penurunan glukosa plasma dengan kecepatan 50-100 mg/dl setiap jam
sampai glukosa turun ke sekitar 200 mg/dl, lalu kecepatan insulin diturunkan
menjadi 0,02-0,05 unit/kgBB/jam. Jjika glukosa sudah berada di sekitar 150-
200 mg/dl maka pemberian infus dekstrose dianjurkan untuk mencegah
hipoglikemi
b Kalium
Selanjurnya pasien KAD akan mengalami hiperkalemia melalu mekanisme
asidemia, defisiensi insulin dan hipertonisitas. Jika saat masuk kalium pasien
normal atau rendah maka sesungguhnya terdapat defisiensi kalium yang berat
di tubuh pasien sehingga butuh pemberian kalium yang adekuat karena terapi
insulin akan menurunkan kalium lebih lanjut. Monitor jantung perlu dilakukan
pada keadaan tersebut agar jangan terjadi aritmia.
c Bikarbonat
Jika asidosis memang murni karena KAD, maka koreksi bikarbonat tidak
direkomendasikan diberikan rutin, kecuali jika pH darah kurang dari 6,9.
Hanya saja pada keadaang dengan gangguan fungsi ginjal yang signifikan,
seringkali sulit membedakan apakah asidosisnya karena KAD atau karena
gagal ginjalnya. Efek buruk dari koreksi bikarbonat yang tidak pada tempatnya
adalah meningkatnya risiko hipokalemia, menurunnya asupan oksigen
jaringan, edema serebri dan asidosis susunan saraf pusat paradoksal.
d Fosfat
Meskipun terjadi hipoposfatemia pada KAD, serum fosfat seringkali
ditemukan dalam keadaan normal atau meningkat saat awal. Kadar fosfat akan
turun dengan pemberian insulin. Pemberian fosfat yang berlebihan akan
mencetuskan hipokalsmeia berat. Pada keadaan konsentrasi serum fosfat
kurang dari 1mg/dl dan disertai dengan disfungsi kardiak, anemia, atau depresi
nafas akibat kelemahan otot, maka koreksi fosfat menjadi pertimbangan
penting.
e Transisi ke Insulin Subkutan

27
Setelah krisis hiperglikemia teratasi dengan pemberian insulin intravena dosis
rendah, maka langkah selanjutnya adalah memastikan bahwa KAD sudah
memasuki fase resolusi dengan kriteria gula darah <200mg/dl dan dua dari
keadaan berikut: serum bikarbonat lebih atau sama dengan 15 mEq/l, pH vena
>7,3 dan angion gap hitung kurang atau sama dengan 12 mEq/l
Agar tidak terjadi hiperglikemia atau KAD berulang maka sebaiknya
penghentian insulin intravena intravena dilakukan 2 jam setelah suntikan
subkutan pertama. Asupan nutrisi merupakan pertimbangan penting saat
transisi ke subkutan, jika pasien masih puasa karena sesuatu hal atau asupan
masih sangat kurang maka lebih baik insulin intravena di teruskan.

Gambar 5. Protokol manajemen KAD


2.4.6 Komplikasi
Komplikasi tersering adalah hipoglikemia, hipokalemia , dan hiperglikemia berulang.
Agar tidak terjadi komplikasi tersebut maka diperlukan monitoring yang ketat (gula di
periksa tiap 1-2jam) dan penggunaan insulin dosis rendah.

28
Komplikasi lain yang juga harus menjadi perhatian adalah kelebihan cairan,
termasuk edema paru, sehingga pada pasien dengan gangguan fungsi ginjal dan gagal
jantung, pemberian cairan dimodifikasi sesuai dengan risiko terjadinya kelebihan
cairan.

2.4.7 Prognosis
Umumnya pasien membaik setelah diberikan insulin dan terapi standar lainnya, jika
komorbid tidak terlalu berat. Biasanya kematian KAD adalah karena penyakit
penyerta berat yang datang pada fase lanjut.

2.5 Hiperosmolar Hiperglikemik non Ketotik (HHNK)


2.5.1 Definisi
Hiperosmolar hiperglikemik non ketotik (HHNK) merupakan komplikasi akut /
emergensi Diabetes Melitus (DM). Sindrom HHNK ditandai oleh hiperglikemia,
hiperosmolar tanpa disertai adanya ketosis. Gejala klinis utama adalah dehidrasi berat,
hiperglikemia berat dan seringkali disertai gangguan neurologis dengan atau tanpa
adanya ketosis.

2.5.2 Faktor Pencetus


HHNK biasanya terjadi pada orang tua dengan DM, yang mempunyai penyakit
penyerta yang mengakibatkan menurunnya asupan makanan. Faktor pencetus dapat
dibagi menjadi enam kategori : infeksi, pengobatan, noncompliance, DM tidak
terdiagnosis, penyalahgunaan obat dan penyakit penyerta.

2.5.3 Patofisiologi
Faktor yang memulai timbulnya HHNK adalah diuresis glukosuria. Glukosuria
mengakibatkan kegagalan pada kemampuan ginjal dalam mengkonsentrasikan urin,
yang akan semakin memperberat derajat kehilangan air. Pada keadaan normal, ginjal
berfungsi mengeliminasi glukosa di atas ambang batas tertentu. Namun demikian,
penurunan volume intravaskular atau penyakit ginjal yang telah ada sebelumnya akan
menurunkan laju filtrasi glomerular, menyebabkan konsentrasi glukosa meningkat.
Hilangnya air yang lebih banyak dibanding natrium menyebabkan keadaan
hiperosmolar. Insulin yang ada tidak cukp untuk menurunkan konsentrasi glukosa
darah, terutama jika terdapat resistensi insulin.

29
Adanya keadaan hiperglikemia dan hiperosmolar ini jika kehilangan cairan
tidak di dekompensasi dengan masukan cairan oral maka akan timbul dehidrasi dan
kemudian hipovolemia. Hipovolemia akan mengakibatkan hipotensi dan nantinya
akan menyebabkan gangguan pada perfusi jaringan.

2.5.4 Gejala Klinis


Pasien dengan HHNK, umumnya berusia lanjut, belum diketahui mempunyai DM dan
pasien DM tipe-2 yang mendapat pengaturan diet dan atau obat hipoglikemik oral.
Seringkali dijumpai penggunaan obat yang semakin memperberat masalah, misalnya
diuretik.
Keluhan pasien HHNK ialah : rasa lemah, gangguan penglihatan atau kaki
kejang. Dapat pula ditemukan keluhan mual, muntah, namun jarang dibandingkan
KAD. Kadang pasien datang dengan disertai keluhan saraf seperti letargi, disorientasi,
hemiparesis, kejang atau koma.
Pada pemeriksaan fisik ditemukan tanda-tanda dehidrasi berat seperti turgor
yang buruk, mukosa pipi yang kering, mata cekung, perabaan ekstremitas yang dingin
dan denyut nadi yang cepat dan lemah. Dapat pula ditemukan peningkatan suhu tubuh
yang tak terlalu tinggi.
Perubahan pada status mental dapat berkisar dari disorientasi sampai koma.
Derajat gangguan neurollogis yang timbul berhubungan secara langsung dengan
osmolariras efektif serum. Koma terjadi saat osmolaritas serum mencapai lebih dari
350 mOsm per kg (350 mmol per kg). Kejang ditemukan pada 25% pasien, dapat
berupa kejang umum, lokal maupun mioklonik. Dapat juga terjadi hemiparesis yang
bersifat reversibel dengan koreksi defisit cairan.

2.5.5 Pemeriksaan Laboratorium


Temuan laboratorium pada pasien dengan HHNK adalah konsentrasi glukosa darah
yang sangat tinggi (>600 mg per dL) dan osmolaritas serum yang tinggi (>320 mOsm
per kg (normal =295)), dengan pH lebih besar dari 7.30 dan disertai ketonemia
ringan atau tidak. Separu pasien akan menunjukkan asidosis metabolik dengan anion
gap yang ringan (10-12). Jika anion gapnya berat (>12), harus dipikirkan diagnosis
diferensial asidosis laktat atau penyebab lain. Muntah dan penggunaan diuretik tiazid
dapat menyebabkan alkalosis metabolik yang dapat menutupi tingkat keparahan

30
asidosis. Konsentrasi kalium dapat meningkat atau normal. Konsentrasi kreatinin,
blood urin nitrogen (BUN) dan hematokrit hampir selalu meningkat.
Konsentrasi natrium harus dikoreksi jika konsentrasi glukosa darah pasien
sangat meningkat. Jenis cairan yang sudah diberikan tergantung dari konsentrasi
natrium yang sudah di koreksi, yang dapat dihitung dengan rumus :

sodium+165 x ¿ ¿

2.5.6 Penatalaksanaan
Penatalaksanaan serupa dengan KAD, hanya cairan yang diberikan adalah cairan
hipotonis (1/2 N, 2A). Pemantauan konsentrasi glukosa darah harus lebih ketat dan
pemberian insulin harus lebih cermat dan hati-hati.
Penatalaksanaan HHNK meliputi lima pendekatan : 1) Rehidrasi intravena
agresif; 2) Penggantian elektrolit ; 3) Pemberian insulin intravena; 4) Diagnosis dan
manajemen faktor pencetus dan penyakit penyerta; 5) Pencegahan.
a. Cairan
Langkah pertama dan terpenting dalam penatalaksanaan HHNK adalah
penggantian cairan yang agresif, dimana sebaiknya dimulai dengan
mempertimbangkan perkiraan defisit cairan (biasanya 100 sampai 200 mL per
kg atau total rata-rata 9 L). Penggunaan cairan isotonik akan dapat
menyebabkan overload cairan dan cairan hipotonik mungkin dapat
mengkoreksi defisit cairan terlalu cepat dan potensial menyebabkan kematian
dan lisis mielin difus. Sehingga pada awalnya sebaiknya diberikan 1L normal
saline per jam. Jika pasiennya mengalami syik hipovolemik, mungkin
dibutuhkan plasma expanders. Jika pasien dalam keadaan syok kardiogenik,
maka diperlukan monitor hemodinamik.
Pada orang dewasa, risiko edema serebri rendah sedangkan
konsekuensi dari terapi yang tidak memadai meliputi oklusi vaskular dan
peningkatan mortalitas.
Pada awal terapi, konsentrasi glukosa darah akan menurun, bahkan
sebelum insulin diberikan, dan hal ini dapat menjadi indikator yang baik akan
cukupnya terapi cairan yang diberikan. Jika konsentrasi glukosa darah tidak
bisa diturunkan sebesar 75-100 mg per dL per jam, hal ini biasanya
menunjukkan penggantian cairan yang kurang atau gangguan ginjal.

31
b. Elektrolit
Kehilangan kalium tubuh total seringkali tidak diketahui pasti, karena
konsentrasi kalium dalam tubuh dapat normal atau tinggi. Konsentrasi kalium
yang sebenarnya akan terlihat ketika diberikan insulin, karena ini akan
mengakibatkan kalium serum masuk ke dalam sel. Konsentrasi elektrolit harus
di pantau terus-menerus dan irama pasien juga harus di monitor.
Jika konsentrasi awal <3.3 mEq per L pemberian insulin ditunda dan
diberikan kalium (2/3 kalium klorida dan 1/3 kalium fosfat sampai tercapai
konsentrasi kalium setidaknya 3.3 mEq per L). Jika konsentrasi kalium lebih
besar dari 5 mEq per L, konsentrasi kalium harus diturunkan sampai dibawah
5 mEq per L, namun sebaiknya konsentrasi kalium ini dimonitor tiap 2 jam.
Jika konsentrasi awal kalium antara 3.3-5.0 mEq per L, maka 20-30 mEq
kalium harus diberikan dalam tiap liter cairan intravena yang diberikan (2/3
kalium klorida dan 1/3 kalium fosfat) untuk mempertahankan konsentrasi
kalium antara 4.0 mEq per L dan 5 mEq per L.
c. Insulin
Ha lyang terpenting dalam pemberian isulin adalah perlunya pemberian cairan
yang adekuat terlebih dahulu. Jika insulin diberikan sebelum pemberian cairan,
maka cairan akan berpindah ke intrasel dan berpotensi menyebabkan perburukan
hipotensi, kolaps vaskular atau kematian.
Insulin sebaiknya diberikan dengan bolus awal 0,15 U/kgBB secara intravena
dan diikuti dengan drip 0,1 U/kgBB per jam sampai konsentrasi glukosa darah
turun antara 250 mg per dL sampai 300 mg per dL. Jika konsentrasi glukosa
dalam darah tidak turun 50-70 mg/dL per jam, dosis yang diberikan dapat
ditingkatkan. Ketika konsentrasi glukosa darah sudah mencapai di bawah 300
mg /dl , sebaiknya diberikan dekstrosa secara intravena dan dosis insulin dititrasi
secara sliding scale sampai pulihnya kesadaran dan keadaan hiperosmolar.

2.5.7 Komplikasi Terapi


Komplikasi dari terapi yang tidak adekuat meliputi oklusi vaskular, infark
miokard, low-flow syndrome, disseminated intravascular coagulopathy dan
rabdomiolisis. Overhidrasi dapat menyebabkan adult respiratory distress
syndrome dan edema serebri, yang jarang ditemukan namun fatal pada anak-anak

32
dewasa muda. Edema serebri di tatalaksana dengan infus manitol dengan dosis 1-
2g/kgBB selama 30 menit dan pemberian deksametason intravena.

2.5.8 Pencegahan
Hal yang harus diperhatikan dalam pencegahan adalah perlunya penyuluhan
mengenai pentinnya pemantauan konsentrasi glukosa darah dan compliance yang
tinggi terhadap pengobatan yang diberikan. Hal lain yang juga perlu diperhatikan
adalah adanya akses terhadap persediaan air. Jika pasien tinggal sendiri, teman
atau anggota keluarga terdekat sebaiknya secara rutin menengok pasien untuk
memperhatikan adanya perubahan status mental dan kemudian menghubungi
dokter jika hal tersebut ditemui.

2.5.9 Prognosis
Biasanya buruk, tetapi sebenarnya kematian pasien bukan disebabkan oleh
sindrom hiperosmolar sendiri tetapi oleh penyakit yang mendasari atau
menyertainya. Angka kemarian berkisar antara 30-50%.

33
BAB III
KESIMPULAN

Diabetes Mellitus merupakan salah satu bagian dari kelainan metabolik yang
ditandai dengan hiperglikemia. Organ yang paling berperan dalam patogenesis
penyakit ini adalah pankreas. Sel beta pankreas sebagai penghasil insulin yang
merupakan regulator kadar glukosa darah di dalam tubuh. Etiologi dari DM sangat
bervariasi dan melibatkan interaksi genetik dengan faktor lingkungan. Gejala klasik
DM terdiri dari polifagia, poliuria, polidipsia, dan penurunan berat badan tanpa sebab
yang jelas. Diagnosa yang dilakukan sedini mungkin dapat menurunkan risiko
terjadinya komplikasi DM. Tatalaksana DM meliputi 4 pilar utama, yakni edukasi,
latihan jasmani, asupan makanan, dan terapi farmakologi. Tatalaksana DM meliputi
obat-obatan oral dan injeksi yang pemberiannya sangat bergantung dari kondisi
masing-masing pasien. Pada pasien-pasien DM pun diperlukan pemantauan yang
ketat terhadap komplikasi-komplikasi yang dapat timbul. Diperlukan pencegahan-
pencegahan yang meliputi pencegahan primer, sekunder, dan tersier yang masing-
masing memiliki tujuan utama mencegah penyakit DM dan juga komplikasi-
komplikasinya.

34
DAFTAR PUSTAKA

1. Chentli F, Azzoug S, Mahgoun S. Diabetes mellitus in elderly. Indian J Endocrinol


Metab. 2015 Nov 1;19(6):744.
2. Organization WH. Definition, diagnosis and classification of diabetes mellitus and
its complications : report of a WHO consultation. Part 1, Diagnosis and
classification of diabetes mellitus. 1999 [cited 2019 Sep 3]; Available from:
https://apps.who.int/iris/handle/10665/66040
3. LJ Jameson. Harrison’s endocrinology. 3rd ed. New York: McGraw Hill
Education; 2013.
4. Sherwood, LZ. Fisiologi Manusia dari Sel ke Sistem. Edisi 8. Jakarta: EGC;
2014.
5. Setiadi S, Alwi I, Sudoyo AW, Simadibrata M, Setiyohadi B, et al. editor. Buku
ajar penyakit dalam jilid II. Edisi ke-6. Jakarta: Interna Publishing; 2014.
6. Kharroubi AT, Darwish HM. Diabetes mellitus: The epidemic of the century.
World J Diabetes. 2015 Jun 25;6(6):850–67.
7. RISKESDAS. Riset kesehatan dasar. Jakarta: Kementerian Kesehatan RI; 2018.
8. Perkumpulan Endokrinologi Indonesia. Konsensus pengendalian dan pencegahan
diabetes mellitus tipe 2 di Indonesia. Jakarta: PB. PERKENI; 2015.
9. Mahan LK, Escott-Stump S, Raymond JL. Krause’s food and the nutrition care
process. 13th ed. Missouri: Elsevier; 2012.
10.Suherman SK, Nafrialdi. Insulin dan antidiabetik oral. Dalam: Departemen
Farmakologi dan Terapi. Farmakologi dan Terapi. Edisi ke-5. Jakarta: Balai
Penerbit FKUI; 2007.
11. Huang ES. Management of diabetes mellitus in older people with comorbidities.
BMJ. 2016 15;353:i2200.

35

Anda mungkin juga menyukai