Anda di halaman 1dari 15

BAB I

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang

Penyakit kanker merupakan salah satu penyebab utama kematian penduduk di


dunia selain penyakit kardiovaskuler. Data World Health Organization (WHO)
tahun 2004, penyakit kanker telah menyebabkan 7,1 juta jwa pada tahun 2003.
Data WHO (2007) menunjukkan sebanyak 7,6 juta jiwa meninggal pada tahun
2005 akibat penyakit kanker (Umbas, 2007).

Kanker leher rahim merupakan jenis penyakit kanker paling banyak di sunia
yang diderita wanita selain kanker payudara. Pada tahun 1998, sebanyak 12.800
wanita di Amerika didiagnosa menderita kanker leher rahim dan sekitar 4.800
diantaranya meninggal dinuia (Wikipedia, 2006). Pada tahun 2002, kanker leher
rahim menjadi penyebab kematian utama di Mexico, yakni sebanyak 2.958 jiwa
pada kelompok usia 15-64 tahun (Villafuerte, Gomez, Betancourt, Cervantes,
2007). Di tahun yang sama, kanker leher rahim juga menjadi penyebab kematian
utama pensusuk wanita di Afrika Selatan (Monesa, 2003). Sekitar 90% kasus
kanker leher rahim menjadi masalah kesehatan terbesar di negara berkembang
akibat terbatasnya akses screening dan pengobatan yang merupakan penyebab
kematian ke-2 pada penduduk wanita di dunia (Andy, 2007). WHO mencatat
selama tahun 2005 lebih dari 250.000 penduduk wanita di dunia meninggal akibat
kanker leher rahim (Wikipedia, 2006).

Berdasarkan Survei Kesehatan Rumah Tangga tahun 2001, penyakit kanker


merupakan penyebab kematian ke-5 di Indonesia. Dalam 20 tahun terakhir,
jumlah penderita kanker bertambah dari 3,6% pada tahun 1981 menjadi 6% pada
tahun 2001 (Aya, 2008 ; Indarini, 2008).

Untuk kasus kanker leher rahim, data dari Badan Registrasi Kanker Ikatan
Dokter Ahli Patologi indonesia (IAPI) tahun 1998 di 13 rumah sakit di Indonesia,
kanker leher rahim menduduki peringkat pertama dari seluruh kasus kanker
sebesar 17,2% (Hardiman, Noviani, Wahidin, 2007). Berdasarkan data Globocan,
International Agency for research on Cancer (IARC) tahun 2002, Indonesia
menempati urutan ke2 tertinnggi di dunia setelah negara China untuk kasus
kanker leher rahim (Andrijono, 2007).

Berdasarkan data dari Instalasi Patologi Anatomi Fakultas Kedokteran


Universitas Sriwijaya / Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) Dr. Mohammad
Hoesin Palembang dalam periode 1997-2001, kanker leher rahim masih
menduduki peringkat pertama untuk kasus kanker pada wanita, yaitu sebanyak
23,85% dan terjadi pada wanita dengan usia produktif (35-54 tahun) yaitu
sebanyak 42,46% (Sanif, 2002). Data penderita kanker leher rahim yang diperoleh
dari instalasi rekam medik RSUP Dr. Mohammad Hosein Palebang pada tahun
2005 berjumlah 132 penderita, tahun 2006 berjumlah 170 penderita, pada tahun
2007 berjumlah 153 penderita. Data tersebut menunjukkan masih banyaknya
kasus kanker leher rahim yang diderita oleh wanita di Sumatera Selatan. Hasil
observasi yang dilakukan terhadap pasien kanker leher rahim di ruangan Onkologi
Instalasi Kebidanan dan Penyakit kandungan pada bulan Maret 2008, didapatan
RSUP Dr. Mohammad Hosein Palembang, didapatkan informasi bahwa sebagian
besar pasien kanker leher rahim cenderung menyendiri daripada berinteraksi
dengan pasien lain dan juga ada gangguan pada pola makan (porsi makan tidak
dihabiskan).

Dalam menangani pasien dengan penyakit keganasan, peran tenaga kesehatan


adalah melakukan pengkajian secara menyeluruh baik itu aspek fisik maupun
psikis dan menentukan prioritas pengobatan untuk mengatasi kondisi pasien dan
menyusun program pemulihan dan optimalisasi kualitas hidup untuk dilaksanakan
di Rumah sakit dan dilanjutkan untuk dirawat di rumah (home care)
(Probosuseno, 2007). Perawat sebagai salah satu bagian dari tenaga kesehatan,
dapat berperan menjadi pendidik (educator) bagi anggota keluarga untuk ikut
berperan serta dalam memberikan perawatan pada pasien. Menurut Hudak &
Gallo (1997) sebagai advocat keluarga, implisit (tertutup), biasanya tidak tampak
ke permukaan dan dijalankan hanya untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan
emosional individual serta menjaga keseimbangan dalam keluarga.

Menurut International Association for Study of Pain (IASP), Nyeri adalah


sensori subyektif dan emosional yang tidak menyenangkan yang didapat terkait
dengan kerusakan jaringan aktual maupun potensial, atau menggambarkan kondisi
terjadinya kerusakan. Teori Specificity “suggest” menyatakan bahwa nyeri adalah
sensori spesifik yang muncul karena adanya injury, dan informasi ini didapat
melalui sistem saraf perifer dan sentral melalui reseptor nyeri di saraf nyeri perifer
dan spesifik di spinal cord. Secara umum Keperawatan mendefinisikan Nyeri
sebagai apapun yang menyakitkan tubuh, yang dikatakan individu yang
mengalaminya, dan yang ada kapanpun individu mengatakannya.

Nyeri merupakan suatu kondisi yang lebih dari sekedar sensasi tunggal yang
disebabkan oleh stimulus tertentu. Nyeri memiliki beberapa sifat, antara lain
(Mahon, 1994; dalam Potter & Perry, 2005) yaitu subjektif, sangat individual,
stimulus nyeri dapat berupa stimulus yang bersifat fisik dan/atau mental,
sedangkan kerusakan dapat terjadi pada jaringan aktual atau pada fungsi ego
seorang individual, tidak menyenangkan, merupakan suatu kekuatan yang
mendominasi, tidak berkesudahan, melelahkan dan menuntut energi seseorang,
dapat menggangu hubungan personal dan mempengaruhi makna kehidupan, tidak
dapat diukur secara subjektif, dan mengarah pada ketidakmampuan. Teori nyeri
yang diterima saat ini salah satunya adalah teori Gate Control. Menurut teori ini,
sensasi nyeri dihantar sepanjang saraf sensoris menuju ke otak dan hanya
sejumlah sensasi atau pesan tertentu dapat dihantar melalui jalur saraf ini pada
saat bersamaan (Mander, 2003).

Nyeri yang dirasakan oleh pasien penderita kanker serviks biasanya


disebabkan oleh sel kanker yang telah bermetastase, nyeri juga bisa disebabkan
karena efek dari pengobatan kemoterapi dan radiasi.

1.2 Tujuan
Tujuan dibedakan menjadi tujuan umum dan tujuan khusus, yaitu:
1.2.1 Tujuan Umum
Untuk mengetahui macam-macam intervensi yang dapat digunakan
untuk mengurangi rasa nyari pada pasien kanker serviks.
1.2.2 Tujuan Khusus
a. Untuk mengetahui tingkat keberhasilan intervensi akupuntur
dalam mengurangi nyeri pada pasien kanker serviks
b. Untuk mengetahui tingkat keberhasilan intervensi terapi musik
dalam mengurangi nyeri pada pasien kanker serviks
c. Untuk mengetahui tingkat keberhasilan intervensi aroma terapi
dalam mengurangi nyeri pada pasien kanker serviks

1.3 Manfaat

a. Bagi tenaga kesehatan, khususnya perawat dapat dijadikan sebagai


referensi yang untuk mengatasi rasa nyeri pada pasien kanker serviks.
b. Bagi institusi pendidikan dapat menjadi dasar pengembangan ateri asuhan
keperawatan pada pasien kanker serviks.
BAB II
TINJAUAN TEORI
2.1 Konsep Kanker Serviks

A. Pengertian Kanker Leher Rahim

Kanker merupakan suatu penyakit yang disebabkan oleh pertumbuhan sel-


sel jaringan tubuh yang tidak normal dan tak terkontrol. Sel-sel tersebut terbentuk
karena terjadinya mutasi gen sehingga mengalami perubahan baik bentuk, ukuran,
maupun fungsi dari sel tubuh yang asli. Mutasi gen ini dipicu oleh keberadaan
suatu bahan asing yang masuk kedalam tubuh diantaranya zat bahan tambahan
makanan, radioaktif, oksidan, atau karsinogonik yang dihasilkan oleh tubuh
sendiri secara alamiah (Herba, 2003 ; Griffiths et al, 1993, dalam Novalina, 2003).
Secara umum kanker sering timbul pada usia 40 tahun ke atas, karena
ketidakseimbangan hormon dan proses menua atau kemunduran pertumbuhan sel
(Budiwati, 2006). Selain itu, kurangnya kesadaran masyarakat untuk melakukan
deteksi sejak dini, pergesaran gaya hidup, pola makan yang menyebabkan
kegemukan, polusi udara, radiasi bahan kimia, konsumsi alkohol dan kafein serta
pemakaian hormon turut menjadi penyebab penyakit kanker ini sulit diatasi
(Andy, 2007 ; Andra, 2006 ; kesrepro, 2005).

Kanker leher/ mulut rahim (serviks) adalah kanker yang menyerang bagian
ujung bawah rahim yang menonjol ke vagina (liang senggama) (Mardiana, 2004
dalam Rahayu, 2006). Menurut Yohanes (2002) dalam Rahayu (2006), kanker
leher rahim atau kanker serviks adalah kanker yang terjadi pada serviks uterus,
suatu daerah pada organ reproduksi wanita yang merupakan pintu masuk ke arah
rahim yang terletak antara rahim (uterus) dengan liang senggama (vagina).
Kanker leher rahim bukan penyakit keturunan dan bukan penyakit menular
(Mangan, 2003). Penyakit kanker leher rahim yang merupakan penyebab
kematian terbesar pada wanita di Indonesia, juga bisa menyebabkan
ketidaksuburan pada wanita, keguguran, kehamialn di luar rahim, kembung perut,
nyeri, dan kejang perut bawah, sering lelah, alergi serta disfungsi tubuh terkait
dengan kekebalan tubuh lainnya (Suroso, 2007 ; pdpersi, 2006). Kanker leher
rahim cenderung muncul pada wanita yang berusia lebih muda, yaitu pada usia
18-28 tahun (Andrijono, 2007).

B. Etiologi/ Penyebab Kanker Leher Rahim

Penyebab langsung kanker leher rahim belum diketahui. Namun, menurut


para ahli kanker bahwa 80-85% kanker leher rahim disebabkan karena
faktorekstrinsik berupa smegma, infeksi Human Papiloma Virus (HPV), penyakit
menular seksual yang ditularkan lewat spermatozoa yang membawa HPV,
makanan yang mengandung karsinogen, dan polusi udara (Mangan, 2003;
Mansjoer, Trianti, Savitri, Wardhani, Setyowulan, 2000). Sekitar 10-15%
disebabkan karena faktor intrinsikberupa faktor keturunan dan kesalahan replikasi
sel (Mangan, 2003).

C. Faktor Resiko Kanker Leher Rahim

Menurut mangan (2003) dan Mansjoer, Trianti, Savitri, Wardhani,


Setyowulan (2000), beberapa faktor resiko terkena kanker leher rahim yaitu
melakukan hubungan seksual sejak usia muda (di bawah usia 20 tahun), sering
berganti-ganti pasangan dalam berhubungan seksual, sering mengalami infeksi di
daerah kelamin, melahirkan banyak anak (multiparitas), sering terkena asap rokok
(terutama wanita perokok aktif), dan faktor nutrisi.

D. Stadium Kanker Leher Rahim

Penentuan stadium kanker leher rahim menurut WHO yang bekerja sama
The International Union Against Cancer, menggunakan stadium TNM (Tumor,
Node/Nodul, Metastase) dan menurut The International Federation of Gynecology
and Obstetrics (FIGO) 1978 dalam Garcia (2007), secara lengkap terdapat pada
tabel 2.1.

Tabel 2.1 Stadium kanker leher rahim menurut WHO, The International Union
Against Cncer, dan FIGO.

Stadium Stadium Menurut


Kriteria
TNM FIGO
Tx - Tumor tidak dapat ditemukan
T0 - Tidak ada kasus tumor
Tis Satadium 0 Karsinoma in situ atau karsinoma intraepitel
TI Stadium I Proses terbatas pada serviks
TIaI Stadium I AI Stromal Invasif kedalamnnya < 3 mm dan
penyebaran lateral , 7 mm
TIb Stadium I B Lesi dapat dilihat secara klinis pada serviks atau
besar lesi secara mikroskopik lebih dari I A2
Tib 1 Stadium I B1 Lesi dapat dilihatsecara klinis , 4cm
- Stadium I B2 Lesi dapat dilihat secara klinis > 4 cm
T2 Stadium II Proses keganasan telah keluar dari serviks
danmenjalar ke 2/3 bagian atas vagina dan atau
ke parametrium tetapi tidak sampai dinding
panggul
T2a Stadium II A Penyebaran hanya ke vagina, parametrium
masih bebas dari infitrat tumor
T2b Stadium II B Penyebaran ke parametrium, uni atau bilateral,
tetapi belum sampai dinding panggul.
T3 Stadium III Penyebaran sampai 1/3 distal vagina atau atau
ke parametrium sampai dinding panggul.
T3a Stadium III A Penyebaran 1/3 distal vagina, namun tidak
sampai dinding panggul.
T3b Stadium III B Penyebaran sampai dinding panggul, tidak
ditemukan daerah bebas infiltrasi antara tumor
dengan dinding panggul atau proses pada tingkat
I atau II, tetapi sudah ada gangguan faal
ginjal/hidrofrosis.
- Stadium IV Proses keganasan telah keluar dari panrektum
dan atau vesika urinaria (dibuktikan secara
histologi) atau telah bermetastasis keluar
panggul atau ke tempat yang jauh.
T4 Stadium IV A Telah bermetastasis ke organ sekitar.
M1 Stadium IV B Telah bermetastasis jauh.

E. Penatalaksanaan Kanker Leher Rahim

Pemilihan pengobatan tergantung kepada ukuran tumor, stadium,


pengaruh horman terhadap pertumbuhan tumor dan kecepatan pertumbuhan tumor
serta usia dan keadaan umum penderita (Fibrianasari,2007).

Metode pengobatan kanker leher rahim stadium awal menurut Riono (2002)
dan Padzur (2003) dalam Fibrianasari (2007):

1. Pemanasan, yaitu dengan diathermy atau dengan sinar laser.


2. Cone biopsy, yaitu mengambil sedikit dari sel-sel leher rahim, termasuk
sel yang mengalami perubahan. Tindakan ini memungkinkan pemeriksaan
yang lebih teliti untuk memastikan adanya sel-sel yang mengalami
perubahan.

Metode pengobatan pada kanker stadium lanjut menurut Padzur (2003) dan
Cannistra (1996) dalam Fibrianasari (2007):

1. Pembedahan (Histerektomi), yaitu tindakan pengangkatan rahim, ovarium


dan tuba falopii bisa juga diangkat tergantung tingkat penyebaran kanker
tersebut.
2. Terapi penyirnaan. Terapi penyinaran merupakan terapi ikal, hanya
menyerang sel-sel kanker pada daerah yang terkena. Pada stadium I, II,
dan III dilakukan terapi penyinaran dan pembedahan. Penyinaran dapat
dilakukan sebelum pembedahan (untuk memperkecil ukuran tumor) atau
setelah pembedahan (untuk membunuh sel-sel kanker yang tersisa).
3. Kemoterapi (terapi hormonal). Pada terapi hormonal digunakan zat yang
mampu mencegah sampainya hormon ke sel kanker dan mencegah
pemakaian hormon oleh sel kanker. Hormon dapat melekat pada reseptor
hormon dan menyebabkan perubahan di dalam jaringan rahim.

Penatalaksanaan kanker leher rahim dari berbagai stadium menurut Mansjoer,


Trianti, Savitri, Wardhani, Setyowulan (2000) dapat dilihat pada tabel 2.2 berikut:

Tabel 2.2 Penatalaksanaan kanker leher rahim berbagai stadium

Stadium Penatalaksanaan
0 Biopsi kerucut, Histeroktomi transvaginal
Ia Biopsi kerucut, Histeroktomi transvaginal
Ib, IIa Histeroktomi radikal dengan limfadenoktomi panggul dan
evaluasi kelenjar limfa para aorta (bila terdapat metastasis
dilakukan radioterapi pasca pembedahan)
Iib, III, dan IV Histeroktomi transvaginal
Iva dan IVb Radioterapi, radiasi paliatif, kemoterapi

Richardson dan rekannya (dalam Cohen, Menter dan Hale, 2005)


membagikan kuisioner kepada 453 pasien kanker dan didapatkan 83,3%
diantaranya menggunakan sedikitnya satu jenis pengobatan komplementer dan
alternatif (CAM) untuk mengurangi nyeri, mengatasi efek samping kemoterapi
dan radioterapi serta untuk meningkatkan kualitas hidup. Salah satu jenis
pengobatan komplementer yang telah menjadi populer di kalangan pasien kanker
adalah akupuntur. Terapi akupuntur dapat berperan dalam meningkatkan imunitas
tubuh, memperpanjang waktu harapan hidup pasien dan mengatasi efek samping
dari radioterapi dan kemoterapi seperti nyeri, mual, kehilangan nafsu makan,
konstipasi atau diare, insomnia, kadar Hb yang menurun, kecemasan sampai
depresi serta ketakutan akan hidup selanjutnya (Jin, Jin, and Jin, 2006).

2.2 Konsep Nyeri

A. Pengertian Nyeri
Pada penderita kanker serviks masalah atau keluhan utama pasien yaitu
Nyeri. Nyeri merupakan suatu kondisi berupa perasaan yang tidak
menyenangkan, bersifat sangat subjektif . Perasaan nyeri pada setiap orang
berbeda – beda dalam hal skala ataupun tigkatannya , dan hanya orang
tersebutlah yang dapat menjelaskan atau evaluasi rasa nyeri yang dialaminya
( Tetty, 2015 ) .
Nyeri sering sekali dijelaskan dan istilah destruktif jaringan seperti
ditusuk-tusuk, panas terbakar, melilit, seperti emosi, pada perasaan takut, mual
dan mabuk.Terlebih, setiap perasaan nyeri dengan intensitas sedang sampai
kuat disertai oleh rasa cemas dan keinginan kuat untuk melepaskan diri dari
atau meniadakan perasaan itu. Rasa nyeri merupakan mekanisme pertahanan
tubuh, timbul bila ada jaringan rusak dan hal ini akan menyebabkan individu
bereaksi dengan memindahkan stimulus nyeri (Guyton & Hall, 1997).

B. Jenis- jenis Nyeri


Secara umum nyeri dibagi menjadi dua yaitu :
1. Nyeri Akut
Nyeri Akut merupakan nyeri yang berlangsung dari beberapa detik
hingga kurang dari 6 bulan biasanya dengan awitan tiba-tiba dan
umumnya berkaitan dengan cidera fisik.Nyeri akut mengindikasikan
bahwa kerusakan atau cidera telah terjadi.Jika kerusakan tidak lama terjadi
dan tidak ada penyakit sistemik, nyeri akut biasanya menurun sejalan
dengan terjadinya penyembuhan.Nyeri ini umumnya terjadi kurang dari
enam bulan dan biasanya kurang dari satu bulan.Salah satu nyeri akut yang
terjadi adalah nyeri pasca pembedahan (Meliala & Suryamiharja, 2007).
2. Nyeri Kronik
Nyeri kronik merupakan nyeri konstan atau intermitern yang menetap
sepanjang suatu periode waktu. Nyeri ini berlangsung di luar waktu
penyembuhan yang diperkirakan dan sering tidak dapat dikaitakan dengan
penyebab atau cidera fisik.
Nyeri kronis dapat tidak memiliki awitan yang ditetapkan dengan tepat
dan sering sulit untuk diobati karena biasanya nyeri ini sering tidak
memberikan respon terhadap pengobatan yang diarahkan pada
penyebabnya (Strong, Unruh, Wright & Baxter, 2002). Nyeri kronik ini
juga sering di definisikan sebagai nyeri yang berlangsung selama enam
bulan atau lebih, meskipun enam bulan 18 merupakan suatu periode yang
dapat berubah untuk membedakan nyeri akut dan nyeri kronis (Potter &
Perry, 2005).

C. Meinhart & McCaffery Mendiskripsikan 3 Fase Pengalaman Nyeri:


1. Fase antisipasi terjadi sebelum nyeri diterima.
Fase ini mungkin bukan merupakan fase yg paling penting, karena fase
ini bisa mempengaruhi dua fase lain. Pada fase ini memungkinnkan
seseorang belajar tentang nyeri dan upaya untuk menghilangkan nyeri
tersebut. Peran perawat dalam fase ini sangat penting, terutama dalam
memberikan informasi pada klien.

2. Fase sensasi terjadi saat nyeri terasa.


Fase ini terjadi ketika klien merasakan nyeri. karena nyeri itu bersifat
subyektif, maka tiap orang dalam menyikapi nyeri juga berbeda-beda.
Toleraransi terhadap nyeri juga akan berbeda antara satu orang dengan
orang lain.
Orang yang mempunyai tingkat toleransi tinggi terhadap nyeri tidak
akan mengeluh nyeri dengan stimulus kecil, sebaliknya orang yang
toleransi terhadap nyerinya rendah akan mudah merasa nyeri dengan
stimulus nyeri kecil.Klien dengan tingkat toleransi tinggi terhadap nyeri
mampu menahan nyeri tanpa bantuan, sebaliknya orang yang toleransi
terhadap nyerinya rendah sudah mencari upay pencegah nyeri, sebelum
nyeri datang.Keberadaan enkefalin dan endorfin membantu menjelaskan
bagaimana orang yang berbeda merasakan tingkat nyeri dari stimulus yang
sama. Kadar endorfin berbeda tiap individu, individu dengan endorfin
tinggi sedikit merasakan nyeri dan individu dengan sedikit endorfin
merasakan nyeri lebih besar.
Klien bisa mengungkapkan nyerinya dengan berbagai jalan, mulai dari
ekspresi wajah, vokalisasi dan gerakan tubuh. Ekspresi yang ditunjukan
klien itulah yang digunakan perawat untuk mengenali pola perilaku yang
menunjukkan nyeri.

Perawat harus melakukan pengkajian secara teliti apabila klien sedikit


mengekspresikan nyerinya, karena belum tentu orang yang tidak
mengekspresikan nyeri itu tidak mengalami nyeri. Kasus-kasus seperti itu
tentunya membutuhkan bantuan perawat untuk membantu klien
mengkomunikasikan nyeri secara efektif

3. Fase akibat (aftermath) terjadi ketika nyeri berkurang atau berhenti


Fase ini terjadi saat nyeri sudah berkurang atau hilang. Pada fase ini
klien masih membutuhkan kontrol dari perawat, karena nyeri bersifat
krisis, sehingga dimungkinkan klien mengalami gejala sisa pasca nyeri.
Apabila klien mengalami episode nyeri berulang, maka respon akibat
((aftermath) dapat menjadi masalah kesehatan yang berat. Perawat
berperan dalam membantu memperoleh kontrol diri untuk meminimalkan
rasa takut akan kemungkinan nyeri berulang
D. Mengkaji Intensitas Nyeri
1. Skala Deskriptif Verbal (VDS)
Skala deskriptif verbal (VDS) merupakan sebuah garis yang terdiri
dari tiga sampai lima kata pendeskripsian yang tersusun dengan jarak yang
sama di sepanjang garis. Pendeskripsian ini dirangking dari “tidak nyeri”
sampai “nyeri tidak tertahankan”. Perawat menunjukan klien skala tersebut
dan meminta klien untuk memilih intensitas nyeri terbaru yang ia rasakan
(Potter & Perry, 2006).

2. Skala Penilaian Numerik (NRS)


Skala penilaian numerik atau numeric rating scale (NRS) lebih digunakan
sebagai pengganti alat pendeskripsi kata.Klien menilai nyeri dengan
menggunakan skala 0-10 (Meliala & Suryamiharja, 2007).

Gambar 2 Numerical Rating Scale (Potter & Perry, 2006)

3. Skala Analog Visual (VAS)


VAS adalah suatu garis lurus yang mewakili intensitas nyeri yang terus
menerus dan memiliki alat pendeskripsi verbal pada ujungnya.Skala ini
memberi klien kebebasan penuh untuk mengidentifikasi keparahan nyeri
(Potter & Perry, 2006).
Gambar 2.2 Visual Analogue Scale (VAS)
(Sumber :www.painedu.org/NIPC/painassessmentscale.html)

4. Skala Nyeri Wajah


Skala wajah terdiri atas enam wajah dengan profil kartun yang
menggambarkan wajah yang sedang tersenyum (tidak merasa nyeri),
kemudian secara bertahap meningkat menjadi wajah kurang bahagia,
wajah yang sangat sedih sampai wajah yang sangat ketakutan (nyeri yang
sangat) (Potter & Perry, 2006).

Gambar 2.4 Wong-Baker Faces Rating Scale


(Sumber : www.painedu.org/NIPC/painassessmentscale.html)

E. Manajemen Nyeri
Dapat dilakukan dengan 2 cara yaitu :
1. Pendekatan farmakologi
a. Teknik farmakologi adalah cara yang paling efektif untuk
menghilangkan nyeri dengan pemberian obat-obatan pereda nyeri
terutama untuk nyeri yang sangat hebat yang berlangsung selama
berjam-jam atau bahkan berhari-hari. Metode yang paling umum
digunakan untuk mengatasi nyeri adalah analgesic (Strong, Unruh,
Wright & Baxter, 2002). Menurut Smeltzer & Bare (2002), ada tiga
jenis analgesik yakni:
b. Non-narkotik dan anti inflamasi nonsteroid (NSAID): menghilangkan
nyeri ringan dan sedang. NSAID dapat sangat berguna bagi pasien
yang rentan terhadap efek pendepresi pernafasan.
c. Analgesik narkotik atau opiad: analgesik ini umumnya diresepkan
untuk nyeri yang sedang sampai berat, seperti nyeri pasca operasi.
Efek samping dari opiad ini dapat menyebabkan depresi pernafasan,
sedasi, konstipasi, mual muntah.
d. Obat tambahan atau ajuvant (koanalgesik): ajuvant seperti sedative,
anti cemas, dan relaksan otot meningkatkan control nyeri atau
menghilangkan gejala lain terkait dengan nyeri seperti depresi dan
mual (Potter & Perry, 2006).
2. Intervensi Keperawatan Mandiri (Non farmakologi)
Intervensi keperawatan mandiri menurut Bangun & Nur’aeni
(2013), merupakan tindakan pereda nyeri yang dapat dilakukan
perawat secara mandiri tanpa tergantung pada petugas medis lain
dimana dalam pelaksanaanya perawat dengan pertimbangan dan
keputusannya sendiri. Banyak pasien dan anggota tim kesehatan
cenderung untuk memandang obat sebagai satu-satunya metode untuk
menghilangkan nyeri.
Namun banyak aktifitas keperawatan nonfarmakologi yang dapat
membantu menghilangkan nyeri, metode pereda nyeri nonfarmakologi
memiliki resiko yang sangat rendah. Meskipun tidakan tersebut bukan
merupakan pengganti obat-obatan (Smeltzer & Bare, 2002).
1) Masase dan Stimulasi Kutaneus
2) Efflurage Massage
3) Distraksi
4) GIM (Guided Imagery Music)
5) Terapi Musik Klasik (Mozart)
6) Terapi Musik Klasik (Mozart)
7) Hidroterapi Rendam Kaki Air Hangat
8) Teknik Relaksasi Nafas Dalam
9) Imajinasi Terbimbing (Guided Imagery)
10) Kompres Dingin
11) Kompres hangat
12) Dzikir Khafi

Pada pasien kanker serviks , dari hasil jurnal yang telah kami cari dan
yang di analisis , kami memilih tindakan untuk mengurangi nyeri pada orang yang
mengalami kanker serviks yaitu dengan cara :
1. Terapi Akuplesur dan Akupunktur
Akhir-akhir ini terapi non farmakologi banyak menjadi pilihan
masyarakat terutama ibu bersalin untuk mengatasi nyeri persalinan. Terapi
non farmakologi yang juga sering disebut sebagai terapi komplementer,
salah satunya adalah teknik akupresur titik pada tangan, memiliki banyak
kelebihan antara lain mudah diterapkan dan cukup aman (tidak
menimbulkan resiko) dibanding terapi farmakologi. Akupresur disebut
juga akupunktur tanpa jarum, atau pijat akupunktur.Teknik ini
menggunakan tenik penekanan, pemijatan, dan pengurutan sepanjang
meridian tubuh atau garis aliran energi.Teknik akupresur ini dapat
menurunkan nyeri.Sedangkan teknik akupresur titik pada tangan yaitu
dilakukan pada titik yang terletak sepanjang lipatan tangan ketika jari-jari
menyatu pada telapak tangan. Sedangkan Akupunur adalah suatu tindakan
penusukan jarum – jarum kecil ke titik akupoin ( Pustaka Populer,2009).
Cara kerja akupunktur mencakup dua teori, yang pertama adalah
teori gerbang yaitu adanya mekanisme refleks pada jalur saraf yang dapat
menutup rasa sakit, hal ini mengurangi rasa sakit yang dialami
seseorang.Yang kedua yaitu teori endorfin, endorfin mempunyai efek
pembunuh nyeri yang mirip obat, akupunktur menyebabkan endorfin
dilepaskan tubuh, berjalan ke otak dan di otak endorfin memblokir nyeri,
jadi akupunktur mampu menimbulkan relaksasi dan perasaan sehat
(Pustaka Kesehatan Populer, 2009).
Ada beberapa cara pemijatan akupresur yang dapat dilakukan
(Depkes dalam Triastuti, 2013):
1. Menggunakan alat pijat berupa jari tangan (jempol, telunjuk, atau jari
lainnya).
2. Pijatan dapat dilakukan dengan ditekan-tekan dan di putar-putar atau
diurut sepanjang meridian. Untuk bayi di bawah umur 1 tahun,
sebaiknya dilakukan pengobatan dengan mengeulus elus (meraba)
perjalanan meridian saja dan jangan dipijat seperti orang dewasa.
3. Pijatan bisa dimulai setelah menemukan titik pijatan yang tepat, yaitu
timbulnya reaksi pada titik pijat yang berupa rasa nyeri atau pegal.
4. Reaksi pijatan, setiap pemberian rangsangan terhadap titik pijat akan
memberikan reaksi, oleh karena itu untuk perangsangan atau pemijatan
yang akan dilakukan harus diperhitungkan secara cermat, reaksi apa
yang ditimbulkan, reaksi penguatan (yang) atau reaksi(yin). Bila
pijatan yang bereaksi yang maka dapat dilakukan selama 30 kali
tekanan atau putaran, sedangkan reaksi yin dilakukan pemijatan lebih
dari 40 kali. Menurut Hartono dalam Triastuti (2013), dalam pemijatan
sebaiknya jangan terlalu keras dan pemijatan yang benar harus dapat
menciptakan sensasi rasa (nyaman, pegal, panas, gatal, perih,
kesemutan dan sebagainya) sehingga dapat merangsang keluarnya
hormone endorphrin (hormone sejenis morfin yang dihasilkan tubuh
untuk memberikan rasa tenang).
5. Arah pijatan mengikuti arah putaran jarum jam atau searah dengan
jalannya meridian dan arah pemijatan dapat juga disesuaikan dengan
sifat penyakit yang di derita.

2. Terapi Musik
Terapi musik jugamerupakan suatucara yang efektif usaha untuk
meningkatkan kualitas fisik dan mental dengan rangsangan suara yang
terdiri dari melodi, ritme, harmoni, bentuk dan gaya yang diorganisir
sedemikian rupa hingga tercipta musik yang bermanfaat untuk kesehatan
fisik dan mental (Eka, 2011).
Perawat dapat menggunakan musik dengan kreatif di berbagai
situasi klinik, pasien umumnya lebih menyukai melakukan suatu kegiatan
memainkan alat musik, menyanyikan lagu atau mendengarkan
musik.Musik yang sejak awal sesuai dengan suasana hati individu,
merupakan pilihan yang paling baik (Elsevier dalam Karendehi,
2015).Musik menghasilkan perubahan status kesadaran melalui bunyi,
kesunyian, ruang dan waktu.
Musik harus didengarkan minimal 15 menit supaya dapat memberikan
efek terapiutik. Dalam keadaan perawatan akut, mendengarkan musik
dapat memberikan hasil yang sangat efektif dalam upaya mengurangi nyeri
(Potter & Perry, 2005).

3. Aromaterapi
Aromaterapi merupakan penggunaan ekstrak minyak esensial
tumbuhan yang digunakan untuk memperbaiki mood dan kesehatan
(Primadiati, 2002).Aromaterapimenggunakanminyak esensial untuk
meningkatkan hasilkesehatan yang positif termasuk perbaikan alam
perasaan, edema,jerawat, alergi, memar, dan stres (Kozier,
2010).Mekanisme kerja perawatan aromaterapi dalam tubuh manusia
berlangsung melalui dua sistem fisiologis, yaitu sirkulasi tubuh dan sistem
penciuman. Wewangian dapat mempengaruhi kondisi psikis, daya ingat,
dan emosi seseorang.Beberapa jenis aromaterapi yang digunakan dalam
menurunkan intensitas nyeri adalah aromaterapi lemon dan aromaterpi
lavender.Aromaterapi lemon merupakan jenis aroma terapi yang dapat
digunakan untuk mengatasi nyeri dan cemas. Zat yang terkandung dalam
lemon salah satunya adalah linalool yang berguna untuk menstabilkan
sistem saraf sehingga dapat menimbulkan efek tenang bagi siapapun yang
menghirupnya (Wong dalam Purwandari, 2014).
Aromaterapi selain lemon untuk pereda nyeri lainnya adalah
aromaterapi lavender.Aromaterapi lavender bermanfaat untuk relaksasi,
kecemasan, mood, dan pada pasca pembedahan menunjukkan terjadinya
penurunan kecemasan, perbaikan mood, dan terjadi peningkatan kekuatan
gelombang alpha dan beta yang menunjukkan peningkatan relaksasi.
Gelombang alpha sangat bermanfaat dalam kondisi relaks mendorong
aliran energi kreativitas dan perasaan segar dan sehat (Bangun, 2013).
Kondisi gelombang alpha ideal untuk perenungan, memecahkan
masalah, dan visualisasi, bertindak sebagai gerbang kreativitas
seseorang.Minyak lavender adalah salah satu aromaterapi yang terkenal
memiliki efek menenangkan. Menurut penelitian yang dilakukan terhadap
tikus, minyak lavender memiliki efek sedasi yang cukup baik dan dapat
menurunkan aktivitas motorik mencapai 78%,sehingga sering digunakan
untuk manajemen stres. Beberapa tetes minyak lavender dapat membantu
menanggulangi insomnia, memperbaiki mood seseorang, dan memberikan
efek relaksasi (Bangun, 2013).

Anda mungkin juga menyukai