Oleh :
Kelompok 4
1
KATA PENGANTAR
Segala puji bagi Tuhan yang Maha Esa, atas berkat rahmat dan hidayahnya kami
dapat menyelesaikan makalah ini dengan baik dan tepat pada waktunya. Makalah Asuhan
Keperawatan Meningitis pada Anak inimembahas tentang pengertian meningitis, etiologi,
penatalaksanaan dan asuhan keperawatan pada anak yang mengalami meningitis. Dengan
membaca makalah ini diharapkan dapat menambah wawasan kita semua mengenai penyakit
meningitis terutama pada anak.
Terselesaikannya makalah ini tidak luput dari bantuan beberapa pihak terutama Ibu
Firnaliza Rizona,S.Kep.,Ns.,M.Kep selaku pembimbing dari mata kuliah Blok Keperawatan
Anak II dan kerja sama dari kelompok 4. Makalah ini tidak luput dari kesalahan, maka kritik
dan saran yang membangun sangat dibutuhkan.
Penulis
2
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR 1
DAFTAR ISI
BAB I : PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang 3
1.2 Rumusan Masalah 3
1.3 Tujuan 4
1.4 Manfaat Penulisan 4
BAB II : TINJAUAN TEORI
2.1 Pengertian 5
2.2 Etiologi 5
2.3 Klasifikasi 6
2.4 Patofisiologi 8
2.5 Manifestasi Klinis 9
2.6 Pemeriksaan Diagnostik 11
2.7 Komplikasi 11
2.8 Penatalaksanaan 12
2.9 Pencegahan 14
BAB III : ASUHAN KEPERAWATAN MENINGITIS 15
BAB IV : PEMBAHASAN JURNAL PENDUKUNG 25
BAB V : PENUTUP
4.1 Kesimpulan 27
DAFTAR PUSTAKA 28
BAB I
3
PENDAHULUAN
1.1 . Latar Belakang
Meningitis tergolong penyakit serius dan bisa mengakibatkan kematian. Penderita
meningitis yang bertahan hidup akan menderita kerusakan otak sehingga lumpuh, tuli,
epilepsi, retardasi mental.
Penyakit meningitis telah membunuh jutaan balita di seluruh dunia. Data WHO
(2009) menunjukkan bahwa dari sekitar 1,8 juta kematian anak balita di seluruh dunia setiap
tahun, lebih dari 700.000 kematian anak terjadi di negara kawasan Asia Tenggara dan Pasifik
Barat.
Ada tiga bakteri penyebab meningitis, yaitu Streptococcus pneumoniae, Haemophilus
influenzae tipe b, dan Niesseria meningitides. Dari ketiga bakteri itu, Streptococcus
pneumoniae (pneumokokus) adalah bakteri yang paling sering menyerang bayi di bawah usia
2 tahun. Masa inkubasi (waktu yang diperlukan untuk menimbulkan gejala penyakit) kuman
tersebut sangat pendek yakni sekitar 24 jam. Bakteri pneumokokus adalah salah satu
penyebab meningitis terparah. Penelitian yang diungkapkan konsultan penyakit menular dari
Leicester Royal Infirmary, Inggris, Dr Martin Wiselka, menunjukkan bahwa 20-30 persen
pasien meninggal dunia akibat penyakit tersebut, hanya dalam waktu 48 jam. Angka
kematian terbanyak pada bayi dan orang lanjut usia. Pasien yang terlanjur koma ketika
dibawa ke rumah sakit, sulit untuk bisa bertahan hidup. Infeksi pneumokokus lebih sering
terjadi pada anak dibanding orang dewasa karena tubuh anak belum bisa memproduksi
antibodi yang dapat melawan bakteri tersebut.
Sebanyak 50 persen pasien meningitis yang berhasil sembuh biasanya menderita
kerusakan otak permanen yang berdampak pada kehilangan pendengaran, kelumpuhan, atau
keterbelakangan mental. Komplikasi penyakit tersebut akan timbul secara perlahan dan
semakin parah setelah beberapa bulan.
4
H. Bagaimanakah penatalaksanaan penyakit meningitis pada anak ?
I. Bagaimanakah pencegahan penyakit meningitis pada anak ?
J. Bagaimana asuhan keperawatan meningitispada anak ?
1.3. Tujuan
A. Dapat memahami pengertian meningitis.
B. Dapat memahami etiologi meningitis.
C. Dapat memahami klasifikasi meningitis.
D. Dapat memahami patofisioogi meningitis.
E. Dapat memahami manifestasi klinis meningitis pada anak.
F. Dapat memahami komplikasi meningitis.
G. Dapat memahami pemeriksaan yang dilakukan untuk mengetahui penyakit
meningitis.
H. Dapat memahami penatalaksanaan penyakit meningitis pada anak.
I. Dapat memahami pencegahan penyakit meningitis pada anak.
J. Dapat memahami asuhan keperawatan penyakit meningitis pada anak.
5
BAB II
TINJAUAN TEORI
2.1. Pengertian
Meningitis adalah peradangan yang terjadi pada meningen, yaitu membran atau
selaput yang melapisi otak dan medulla spinalis, dapat disebabkan berbagai organisme seperti
virus, bakteri ataupun jamur yang menyebar masuk ke dalam darah dan berpindah ke dalam
cairan otak (Black & Hawk, 2005).
Meningitis adalah peradangan pada selaput meningen, cairan serebrospinal dan spinal
column yang menyebabkan proses infeksi pada sistem saraf pusat. (Suriadi, dkk. Asuhan
Keperawatan pada Anak, ed.2, 2006).
Meningitis bakterialis adalah suatu infeksi purulen lapisan otak yang pada orang
dewasa biasanya hanya terbataspada lapisan subaraknoid, namun pada bayi cenderung
meluas sampai kerongga subdural sebagai suatu efusi atau empiema sebdural
(leptomeningitis),atau bahkan kedalam otak (meningoensefalitis). (Satyanegara, 2010)
2.2. Etiologi
6
4. Faktor maternal : ruptur membran fetal, infeksi maternal pada minggu terakhir
kehamilan.
5. Faktor imunologi : defisiensi mekanisme imun, defisiensi imunoglobulin.
6. Kelainan sistem saraf pusat, pembedahan atau injury yang berhubungan dengan
sistem persarafan.
2.3. Klasifikasi
7
infeksi pernafasan bagian atas, telinga bagian dalam dan sinusitis.Pemberian vaksin (Hib
vaksin) telah membuktikan terjadinya angka penurunan pada kasus meningitis yang
disebabkan bakteri jenis ini.Staphylococcus aureus, Mycobakterium tuberculosis jenis
hominis.
Prognosis pada meningitis bakteri : Prognosis buruk pada usia yang lebih muda,
infeksi berat yang disertai DIC. Mortalitas bergantung pada virulensi kuman penyebab,
daya tahan tubuh pasien, cepat atau lambatnya mendapat pengobatan yang tepat dan
pada cara pengobatan dan perawatan yang diberikan. Perawatan, akan dibicarakan
bersama – sama dengan meningitis tuberkolosa.
2. Meningitis virus
Meningitis virus biasanya disebut meningitis aseptik.Sering terjadi akibat lanjutan
dari bermacam-macam penyakit akibat virus, meliputi; measles, mumps, herpes simplek,
dan herpes zoster.(Wilkinson, 1999).
Meningitis virus adalah suatu sindrom infeksi virus susunan saraf pusat yang akut
dengan gejala rangsang meningeal,pleiositosis dalam likuor serebrospinalis dengan
deferensiasi terutama limfosit,perjalanan penyakit tidak lama dan selflimited tanpa
komplikasi.(Ngastiyah:2005)
Virus penyebab meningitis dapat dibagi dalam dua kelompok, yaitu virus RNA
(ribonuclear acid) dan virus DNA (deoxyribo nucleid acid). Contoh virus RNA adalah
enterovirus (polio), arbovirus (rubella), flavivirus (dengue), mixovirus (influenza,
parotitis, morbili). Sedangkan contoh virus DNA antara lain virus herpes, dan retrovirus
(AIDS) (PERDOSSI, 2005)
Meningitis virus biasanya dapat sembuh sendiri dan kembali seperti semula
(penyembuhan secara komplit) (Ignatavicius & Wrokman,2006).
Pada kasus infeksi virus akut, gambaran klinik seperti meningitis akut, meningo-
ensepalitis akut atau ensepalitis akut.
Prognosis pada meningitis virus : Penyakit ini self limited dan penyembuhan
sempurna dijumpai setelah 3-4 hari pada kasus ringan dan setelah 7-14 hari pada keadaan
yang berat.
3. Meningitis jamur
Infeksi jamur dan parasit pada susunan saraf pusat merupakan penyakit oportunistik
yang pada beberapa keadaan tidak terdiagnosa sehingga penanganannya juga sulit.
8
Manifestasi infeksi jamur dan parasit pada susunan saraf pusat dapat berupa
meningitis (paling sering) dan proses desak ruang (abses atau kista).
Angka kematian akibat penyakit ini cukup tinggi yaitu 30% -40% dan insidensinya
meningkat seiring dengan pemakaian obat imunosupresif dan penurunan daya tahan
tubuh (Martz, 1990 dalam Depkes RI, 1998).
Meningitis kriptokokus neoformans biasa disebut meningitis jamur, disebabkan oleh
infeksi jamur pada sistem saraf pusat yang sering terjadi pada pasien acquired
immunodeficiency syndrome (AIDS). (Ignatavicius & Wrokman, 2006; Wilkinson,
1999).
2.4. Patofisiologi
Meningitis bakteri dimulai sebagai infeksi dari orofaring dan diikuti dengan
septikemia, yang menyebar ke meningen otak dan medula spinalis bagian atas.
Faktor predisposisi mencakup infeksi jalan nafas bagian atas, otitis media, mastoiditis,
anemia sel sabit dan hemoglobinopatis lain, prosedur bedah saraf baru, trauma kepala dan
pengaruh imunologis. Saluran vena yang melalui nasofaring posterior, telinga bagian tengah
dan saluran mastoid menuju otak dan dekat saluran vena-vena meningen; semuanya ini
penghubung yang menyokong perkembangan bakteri.
Organisme masuk ke dalam aliran darah dan menyebabkan reaksi radang di dalam
meningen dan di bawah korteks, yang dapat menyebabkan trombus dan penurunan aliran
darah serebral. Jaringan serebral mengalami gangguan metabolisme akibat eksudat meningen,
vaskulitis dan hipoperfusi. Eksudat purulen dapat menyebar sampai dasar otak dan medula
spinalis. Radang juga menyebar ke dinding membran ventrikel serebral. Meningitis bakteri
dihubungkan dengan perubahan fisiologis intrakranial, yang terdiri dari peningkatan
permeabilitas pada darah, daerah pertahanan otak (barier oak), edema serebral dan
peningkatan TIK.
Efek peradangan akan menyebabkan peningkatan cairan cerebro spinalis yang dapat
menyebabkan obstruksi dan selanjutnya terjadi hidrosefalus dan peningkatan TIK. Efek
patologi dari peradangan tersebut adalah hiperemi pada meningen. Edem dan eksudasi yang
kesemuanya menyebabkan peningkatan intrakranial. (Ngastiyah. Perawatan Anak Sakit, ed.2,
2005)
Pada infeksi akut pasien meninggal akibat toksin bakteri sebelum terjadi meningitis.
Infeksi terbanyak dari pasien ini dengan kerusakan adrenal, kolaps sirkulasi dan dihubungkan
9
dengan meluasnya hemoragi (pada sindromWaterhouse-Friderichssen) sebagai akibat
terjadinya kerusakan endotel dan nekrosis pembuluh darah yang disebabkan oleh
meningokokus.
Trias klasik gejala meningitis adalah demam, sakit kepala, dan kaku kuduk. Namun
pada anak di bawah usia dua tahun, kaku kuduk atau tanda iritasi meningen lain mungkin
tidak ditemui. Perubahan tingkat kesadaran lazim terjadi dan ditemukan pada hingga 90%
pasien. (Jay Tureen. Buku Ajar Pediatri Rudolph,vol.1, 2006 ) Pada bukunya, Wong
menjabarkan manifestasi dari meningitis berdasarkan golongan usia sebagai berikut:
10
2. Bayi dan Anak Kecil
Gambaran klasik jarang terlihat pada anak-anak antara usia 3 bulan hingga 2 tahun :
Muntah
Peka rangsangan yang nyata
Sering kejang (seringkali disertai dengan menangis nada tinggi)
Fontanel menonjol
Kaku kuduk dapat terjadi dapat juga tidak
Tanda Brudzinski dan Kernig bersifat tidak membantu dalam diagnosa
Sulit untuk dimunculkan dan dievaluasi dalam kelompok usia
Empihema subdural (infeksi Haemophilus influenza)
3. Neonatus
Tanda-tanda Spesifik :
Secara khusus sulit untuk didiagnosa
Manifestasi tidak jelas dan tidak spesifik
Baik pada saat lahir tetapi mulai terlihat menyedihkan dan berperilaku buruk dalam
beberapa hari
Menolak untuk makan
Kemampuan menghisap buruk
Muntah atau diare
Tonus buruk
Kurang gerakan
Menangis buruk
Fontanel penuh, tegang, dan menonjol dapat terlihat pada akhir perjalanan penyakit
Leher biasanya lemas
11
Ketidakteraturan pernapasan atau apnea
Sianosis
Penurunan berat badan (Donna L. Wong. Pedoman Keperawatan Pediatrik,ed.4,2003)
Cairan serebrospinal normal adalah 99 persen air. Karena itulah cairan ini memiliki
warna yang jernih atau bening dan mengandung berbagai zat, seperti protein (15-45
mg/dl), gula/glukosa (50-75 ml/dl), beberapa sel (0-5 sel mononuclear), elektrolit,
enzim, faktor antibakteri, dan beberapa sel darah putih (leukosit).
12
3. LDH serum : meningkat (meningitis bakteri)
Nilai normal :
4. Sel darah putih : sedikit meningkat dengan peningkatan neutrofil (infeksi bakteri).
Normal pada bayi baru lahir 12-24 gr/dl, anak : 10-16 gr/dl
5. Elektrolit darah : Abnormal. [ Normal BBL : 12-24gr/dL, Anak 10-16 gr/dL]
6. Kultur darah/ hidung/ tenggorokan/ urine : dapat mengindikasikan daerah pusat
infeksi atau mengindikasikan tipe penyebab infeksi.
7. MRI/ skan CT : dapat membantu dalam melokalisasi lesi, melihat ukuran/letak
ventrikel; hematom daerah serebral, hemoragik atau tumor.
8. Rontgen dada/kepala/ sinus ; mungkin ada indikasi sumber infeksi intra kranial.
B. Pemeriksaan Fisik
Setelah melakukan anamneesis yang mengarah pada keluhan-keluhan klien,
pemeriksaan fisik sangat berguna untuk mendukung data dari pengkajian anamnesis.
Pemeriksaan fisik sebaiknya dilakukan secara per system B3 (brain) yang terarah dan
dihubungkan dengan keluhan-keluha dari klien.
Pemeriksaan fisik dimulai dengan memeriksa TTV. Pada klien meningitis biasanya
didapatkan peningkatan suhu tubuh lebih daru normal, yaitu 38-410 C, dimulai dari fase
sistemik. Kemerahan, panas, kulit kering, berkeringat. Keadaan ini biasanya dihubungkan
dengan proses inflamasi dan iritasi meningen yang sudah mengganggu pusat pengatur suhu
tubuh. Penurunan denyut nadi terjadi berhubungan dengan tanda-tanda peningkatan TIK.
Apabila disertai peningkatan frekuensi pernafasan sering berrhubungan dengan peningkatan
laju metabolism umum dan adanya infeksi pada system pernafasan sebelum mengalami
meningitis. Tekanan darah biasanya normal atau meningkat karena tanda-tanda peningkatan
TIK.
1. B1 (BREATHING)
13
Inspeksi apakah klien batuk, produksi sputum, sesak nafas, penggunaan otot
bantu nafas, dan peningkatan prekuensi pernapasan yang sering didapatkan pada klien
meningitis yang disertai adanya gangguan pada system pernapasan. Palpasi thoraks
hanya dilakukan apabila terdapat deformitas pada tulang dada pada klien dengan efusi
fpeura massif (jarang terjadi pada klien dengan meningitis). Auskultasi bunyi nafas
tambahan sepetti ronkhi pada kien dengan meningitis tuberkulosa dengan penyebaran
primer dari paru.
2. B2 (BLOOD)
Pengkajian pada system kardiovaskuler terutama dilakukan pada klien
meningitis pada tahap lanjut seperti apabila klien sudah mengalami renjatan (syok).
Infeksi fulminating terjadi pada sekitar 10% klien dengan meningitis meningokokus,
dengan tanda-tanda septicemia: demam tinggi yang tiba-tiba muncul, lesi purpura
yang menyebar (sekitar wajah dan ekstremitas), syok, dan tanda-tanda koagulasi
intravascular desiminata (disseminated intravascular coagulation-DIC). Kematian
mungkin terjadi dalam beberapa jam setelah serangan infeksi.
3. B3 (BRAIN)
Pengkajian B3 (Brain) merupakan pemeriksaan focus dan lebih lengkap
dibandingkan pengkajian pada system lainnya.
a. Tingkat kesadaran
Kualitas kesadaran kliien merupakan parameter yang paling mendasar dan
parameter yang paling penting yang membutuhkan pengkajian. Tingkat kesadaran
klien dan respons terhadap lingkungan adalah indicator paling sensitive untuk
disfungsi system persarafan. Beberapa system digunakan untuk membuat peringkat
perubahan dalam kewasspadaan dan kesadaran.
Pada keadaan lanjut tingkat kesadaran klien meningitis biasanya berkisar pada
tingkat latergi, stupor, dan semikomatosa. Apabila klien sudah mengalimi koma maka
penilaian GCS sangat penting untuk menilai tingkat kasadaran klien dan bahan
evaluasi untuk memantau pembarian asuhan keparawatan.
b. Fungsi serebri
Status mental: observasi penampilan klien dan tingkah lakunya, nilai gaya
bicara klien dan observasi ekspesi wajah dan aktifitas motorik yang pada klien
meningitis tahap lanjut biasanya status mental klien mengalami perubahan.
14
c. Pemeriksaan saraf cranial
Saraf I. Biasanya pada klien meningitis tiidak ada kelainan dan fungsi penciuman
tidak ada kelainan.
Saraf II. Tes ketajaman penglihatan pada kondisi normal. Pemeriksaan papiledema
mungkin didapatkan terutama pada meningitis supuratif disertai abses serebri dan
efusi ssubdural yang menyebabkan terjadinya peningkatan TIK berlangsung lama.
Saraf III,IV, dan VI. Pemeriksaan fungsi dan reaksi pupil pada klien meningitis
yang tidak disertai penurunan kesadaran biasanya yanpa kelainan. Pada tahap lanjut
meningitis yang telah mengganggu kesadaran, tanda-tanda perubahan dari fungsi dan
reksi pupil akan didapatkan. Dengan alas an yang tidak diketahui, klien meningitis
mengeluh mengalami fotofobia atau sensitive yang berlebihan terhadap cahaya.
Saraf V. Pada klien meningitis umumnya tidak didapatkan paralisis pada otot wajah
dan refleks kornea biasanya tidak ada kelainan.
Saraf VII. Persepsi pengecapan dalam batas normal, wajah simetris.
Saraf VIII. Tidak ditemukan adanya tuli konduktif dan tuli persepsi.
Saraf IX dan X. kemampuan menelan baik.
Saraf XI. Tidak ada atrofi otot sternokleidomastoideus dan trapezius. Adanya usuha
dari klien untuk melakukan fleksi leher dan kaku kuduk (rigiditas nukal).
Saraf XII. Lidah simetris, tidak ada deviasi pada satu sisi dan tidak ada fasikulasi.
Indra pengecapan normal.
d. System motorik
Kekuatan otot menurun, control keseimbangan dan koordinasi pada meningitis
tahap lanjut mengalami perubahan.
e. Pemeriksaan refleks
Pemeriksaan refleks dalam, pengetukan pada tendon, lagamentum atau
periosteum derajat refleks pada respons normal. Refleks patologis akan didapatkan
pada klien meningitis dengan tingkat kesadaran koma. Adanya refleks Babinski (+)
merupakan tanda adanya lesi UMN.
f. Gerakan involunter
Tidak ditemukan adanya tremor, kedutan saraf, dan distonia. Pada keadaan
tertentu klien biasanya mengalami kejang umum, terutama pada anak dengan
meningitis disertai peningkatan suhu tubuh yang tinggi. Kejang dan peningkatan TIK
15
juga berhubungan dengan meningitis. Kejang terjadi sekunder akibat area fokal
kortikal yang peka.
g. System sensorik
Pemeriksaan sensorik pada meningitis biasanya didapatkan sensasi raba, nyeri,
dan suhu normal, tidak ada perasaan abnormal dipermukaan tubuh. Sensasi
proprioseptif dan diskriminatif normal.
Pemeriksaan fisik lainnya terutama yang berhubungan dengan peningkatan
TIK. Tanda-tanda peningkatan TIK sekunder akibat eksudat purulen dan edema
serebri terdiri atas perubahan karakteristik tanda-tanda vital (melebarnya tekanan
pulsa dan bradikardi), pernapasan tidak teratur, sakit kepala, muntah, dan penurunan
tingkat kesadaran
Adanya ruang merupakan salah satu ciri yang menyolok pada meningitis
meningokokal (neisseria meningitis). Sekitar setengah dari semua kloien dengan tipe
meningitis, mengalami lesi-lesi pada kulit diantaranya ruam ptekia dengan lesi
purpura sampai ekimosis pada daerah yang luas.
Iritasi meningen mengakibatkan sejumlah tanda yang mudah dikenali yang
umumnya terlihat pada semua tipe meningitis. Tanda tersebut adalah rigiditas nukal,
tanda kering (positif) dan adanya tanda brudzinski. Kaku kuduk adalah tanda awal
adanya upaya untuk fleksi kepala mengalami kesukaran karena adanya spasme otot
leher. Fleksi paksaan menyebabkan nyeri berat. Tanda pernig (positif) ketika klien
dibaringkan dengan paha dalam keadaan fleksi kearah abdomen, kaki tidak dapat
diekstgensikan sempurna.
Tanda brutzinski: tanda ini didapatkan bila leher klien difleksikan, maka
dihasilnya fleksi lutut dan pinggul; bila didapatkan fleksi pasif, maka ekstremitas
bawah pada salah satu sisi, maka gerakan yang sama terlihat pada sisi ekstremitas
yang berlawanan.
4. B4 (BLADDER)
Pemeriksaan pada system perkemihan biasanya didapatkan volume haluaran
urine, hal ini berhubungan dengan penurunan perfusi dan penurunan curah jantung ke
ginjal.
16
5. B5 (BOWEL)
Mual sampai muntah karena peningkatan produksi asam lambung. Pemenuhan
nutrrisi pada klien meningitis menurun karena anoreksia dan adanya kejang.
6. B6 (BONE)
Adanya bengkak dan nyeri pada sendi-sendi besar (khususnya lutut dan
pergelangan kaki). Ptekia dan lesi purpura yang didahului oleh ruam. Pada penyakit
yang berat dapat ditemukan ekimosis yang besar pada wajah. Klien sering mengalami
penurunan kekuatan otot dan kelemahan fisik secara umum sehingga mengganggu
aktifitas hidup sehari-hari (ADL).
7. Kaku kuduk pada meningitis bisa ditemukan dengan melakukan pemeriksaan fleksi
pada kepala klien yang akan menimbulkan nyeri, disebabkan oleh adanya iritasi
meningeal khususnya pada nervus cranial ke XI, yaitu Asesoris yang mempersarafi
otot bagian belakang leher, sehingga akan menjadi hipersensitif dan terjadi rigiditas.
2.7. Komplikasi
1. Hidrosefalus obstruktif
2. MeningococcL Septicemia (mengingocemia)
3. Sindrome water-friderichen (septik syok, DIC,perdarahan adrenal bilateral)
4. SIADH (Syndrome Inappropriate Antidiuretic hormone)
5. Efusi subdural
6. Kejang
7. Edema dan herniasi serebral
8. Cerebral palsy
9. Gangguan mental
10. Gangguan belajar
11. Attention deficit disorder.
2.8. Penatalaksanaan
1. Penatalaksanaan Medis
a. Antibiotik sesuai jenis agen penyebab
b. Steroid untuk mengatasi inflamasi
c. Antipiretik untuk mengatasi demam
17
d. Antikonvulsant untuk mencegah kejang
e. Neuroprotector untuk menyelamatkan sel-sel otak yang masih bisa dipertahankan
f. Pembedahan: seperti dilakukan VP Shunt (Ventrikel Periton).
g. Pemberian cairan intravena. Pilihan awal yang bersifat isotonik seperti asering
atau ringer laktat dengan dosis yang dipertimbangkan melalui penurunan berat
badan anak atau tingkat dehidrasi. Ini diberikan karena anak yang menderita
meningitis sering datang dengan penurunan kesadaran karena kekurangan cairan
akibat muntah, pengeluaran cairan melalui proses evaporasi akibat hipertermia
dan intake cairan yang kurang akibat kesadaran yang menurun.
h. Pemberian diazepam apabila anak mengalami kejang. Pada dosis awal diberikan
diazepam 0,5 mg/Kg BB/kali pemberian secara intravena. Setelah kejang dapat
diatasi maka diberikan fenobarbital dengan dosis awal pada neonatus 30 mg, anak
kurang dari 1 tahun 50 mg sedangkan yang lebih 1 tahun 75 mg. Untuk
rumatannya
diberikan fenobarbital 8-10 mg/Kg BB/ dibagi dalam 2 kali pemberian diberikan
selama 2 hari. Sedangkan pemberian fenobarbital 2 hari berikutnya
dosis diturunkan menjadi 4-5 mg/Kg BB/ dibagi dalam 2 kali pemberian.
Pemberian diazepam selain untuk menurunkan kejang juga diharapkan dapat
menurunkan suhu tubuh karena selain hasil toksik kuman peningkatan suhu tubuh
juga berasal dari kontraksi otot akibat kejang.
i. Penempatan pada ruangan yang minimal rangsangan seperti rangsangan suara,
cahaya dan rangsangan polusi. Rangsangan yang berlebihan dapat
membangkitkan kejang pada anak karena peningkatan rangsangan depolarisasi
neuron yang dapat berlangsung cepat.
j. Pembebasan jalan nafas dengan menghisap lendir melalui suction dan
memposisikan anak pada posisi kepala miring hiperekstensi. Tindakan
pembebasan jalan nafas dipadu dengan pemberian oksigen untuk mensupport
kebutuhan metabolisme yang meningkat selain itu mungkin juga terjadi depresi
pusat pernafasan karena peningkatan tekanan intrakranial sehingga perlu diberikan
oksigen bertekanan lebih tinggi yang lebih mudah masuk ke saluran pernafasan.
Pemberian oksigen pada anak dengan meningitis dianjurkan konsentrasi yang
masuk bisa tinggi melalui masker oksigen.
k. Pemberian antibiotik yang sesuai dengan mikroorganisme penyebab. Antibiotik
yang sering dipakai adalah ampisillin dengan dosis 300-400mg/KgBB dibagi
18
dalam 6 dosis pemberian secara intrevena dikombinasikan dengan kloramfenikol
50 mg/KgBB dibagi dalam 4 dosis pemberian. Pemberian antibiotik ini yang
paling rasional melalui kultur dari pembelian cairan serebrospinal melalui lumbal
fungtio.
2. Penatalaksanaan di Rumah:
a. Tempatkan anak pada ruangan dengan sirkulasi udara baik, tidak terlalu panas dan
tidak terlalu lembab. Sirkulasi udara yang baik berfungsi mensupport penyediaan
oksigen lingkungan yang cukup karena anak yang menderita demam terjadi
peningkatan metabolisme aerobik yang praktis membutuhkan masukan oksigen
yang cukup. Selain itu ruangan yang cukup oksigen juga berfungsi menjaga fungsi
saluran pernafasan dapat berfungsi dengan baik. Adapun lingkunganyang panas
selain mempersulit perpindahan panas anak ke lingkungan juga dapat terjadi
sebaliknya kadang anak yang justru menerima paparan sinar dari lingkungan.
b. Tempatkan anak pada tempat tidur yang rata dan lunak dengan posisi kepala
miring hiperektensi. Posisi ini diharapkan dapat menghindari tertekuknya jalan
nafas sehingga mengganggu masuknya oksigen ke saluran pernafasan.
c. Berikan kompres hangat pada anak untuk membantu menurunkan demam.
Kompres ini berfungsi memindahan panas anak melalui proses konduksi.
Perpindahan panas anak supaya dapat lebih efektif dipadukan dengan pemberian
pakaian yang tipis sehingga panas tubuh anak mudah berpindah ke lingkungan.
d. Berikan anak obat turun panas (dosis disesuaikan dengan umur anak). Untuk
patokan umum dosis dapat diberikan anak dengan usia sampai 1 tahun 60 – 120
mg, 1-5 tahun 120-150 mg, 5 tahun ke atas 250-500 mg yang diberikan rata-rata 3
kali sehari.
e. Anak diberikan minum yang cukup dan hangat dengan patokan rata-rata
kebutuhan 30-40 cc/KgBB/hari. Cairan ini selain secara volume untuk mengganti
cairan yang hilang karena peningkatan suhu tubuh juga berfungsi untuk menjaga
kelangsungan fungsi sel tubuhyang sebagian besar komposisinya adalah unsur
cairan. Sedangkan minuman hangat dapat membantu mengencerkan sekret yang
kental pada saluran pernafasan.
2.9. Pencegahan
19
Meningitis dapat dicegah dengan cara mengenali dan mengerti dengan baik faktor
presdisposisi seperti otitis media atau infeksi saluran napas (seperti TBC) dimana dapat
menyebabkan meningitis serosa. Dalam hal ini yang paling penting adalah pengobatan tuntas
(antibiotik) walaupun gejala-gejala infeksi tersebut telah hilang.
Setelah terjadinya meningitis penanganan yang sesuai harus cepat diatasi. Untuk
mengidentifikasi faktor atau jenis organisme penyebab dan dengan cepat memberikan terapi
sesuai dengan organisme penyebab untuk melindungi komplikasi yang serius. (Riyadi
Sujono.2010).
Vaksin konjugat pneumokokus.
Vaksin tersebut dianjurkan untuk diberikan kepada bayi dan anak yang berusia 2
bulan hingga 9 tahun. Pemberian vaksin paling baik dilakukan pada usia 2 bulan, 4 bulan, 6
bulan, 12 bulan dan 15 bulan. Vaksin konjugat pneumokokus juga hanya menimbulkan efek
samping yang ringan seperti kulit kemerahan, sedikit bengkak dan nyeri pada daerah sekitar
suntikan. Gejala umum setelah pemberian vaksin seperti demam, mengantuk, rewel, nafsu
makan berkurang, jarang ditemukan pada bayi.
Beberapa upaya preventif pada anak yang dapat dilakukan di antaranya adalah
sebagai berikut :
1. Melaksanakan imunisasi tepat waktu.
2. Pada usia bayi 0-1 tahun usahakan membatasi diri untuk keluar rumah atau jalan-jalan
ketempat-tempat ramai seperti mall, pasar, dan rumah sakit.
3. Menjauhkan anak dari orang yang sakit.
4. Usahakan anak tetap berada pada lingkungan dengan temperatur yang nyaman.
20
BAB III
-Diseksi arteri
1. Bantu menyisipkan perangkat
pemantau TIK
2. Rekam pembacaan TIK
21
3. Monitor kualitas karakteristik
gelombang TIK
4. Monitor tekanan aliran darah
otak
5. Monitor pasien TIK dan reaksi
perawatan neurologis serta
rangsang lingkungan
6. Monitor intake dan output
2. Ketidakefektifan bersihan jalan napas Status pernafasan : kepatenan jalan nafas Manajemen jalan napas
00031 Domain 11.
Dipertahankan Ditingkatkan 1. Posisikan pasien untuk
Keamanan/Perlindungan, Kelas 2
Indikator
pada ke memaksimalkan ventilasi
Cedera Fisik
Frekuensi 4 5 2. Posisikan untuk meringankan
Batasan Karakteristik :
pernafasan sesak nafas
- Dispnea Kedalaman 4 5
3. Monitor status pernafasan dan
- Mata terbuka lebar inspirsi
Akumulasi 4 5 oksigenasi
- Penurunan bunyi napas
- Perubahan frekuensi napas sputum
Penggunaan 4 5
- perubahan pola napas
otot bantu
- Sianosis
pernafasan
- Sputum dalam jumlah berlebih Ket :
22
Faktor yang Berhubungan : 1 : Deviasi berat dari kisaran normal
Pencegahan aspirasi
Dipertahankan Ditingkatkan
Indikator
pada ke
Menghindari 4 5
factor risiko
Mempertahanka 4 5
n kebersihan
mulut
Ket :
2: Jarang dilakukan
23
3 : Kadang dilakukan
4 : Sering dilakukan
24
4. Memonitor
prilaku yang 2 4
berhubungan
dengan risiko
infeksi.
5. Mempraktikkan
startegi untuk 2 4
mengontrol
infeksi.
4. Hipertermia b.d proses infeksi Status hipertermia : termoregulasi Manajemen Cairan
25
kebutuhan
3. Gunakan matras pendingin,
selimut yang mensirkulasi air,
mandi air hangat, kantong es,
bantalan jel untuk menurunkan
suhu sesuai kebutuhan.
4. Sesuaikan suhu lingkungan
untuk kebutuhan pasien.
5. Nyeri akut berhubungan dengan infeksi Tujuan dan kriteria : 1. Lakukan pengkajian nyeri
Domain : 2 Mengurangi nyeri sampai pada tingkat kenyamanan komprehensif yang meliputi
Kelas 1 : Kenyamanan yang dapat diterima oleh pasien. lokasi, karakteristik, onset/durasi,
00132 frekuensi, kualitas, intensitas atau
Indikator Dipertahankan Ditingkatkan beratnya nyeri dan faktor pencetus.
ditandai dengan : pada ke 2. Gali bersama pasien dan keluarga
1. Ketidaknyamaan 2 5
Bukti nyeri dengan faktor-faktor yang dapat
2. Gangguan 2 4 menurunkan atau memperberat
menggunakan standar daftar
konsentrasi nyeri.
periksa nyeri untuk pasien yang
3. Gangguan dalam 3. Pilih dan implementasikan
tidak dapat mengungkapkannya
perasaan 2 4 tindakan yang beragam (misalnya.,
(mis., neonatal infant pain
mengontrol farmakologi, nonfarmakologi,
scale)
26
Ekspresi wajah nyeri 4. Gangguan pada interpersonal).
Perubahan pada parameter aktivitas hidup 2 4 4. Ajarkan keluarga prinsip-prinsip
fisiologis (mis., tekanan darah, sehari-hari manajemen nyeri.
frekuensi jantung, frekuensi 5. Gangguan 5. Ajarkan keluarga penggunaan
pernapasan) aktivitas fisik 2 4 teknik nonfarmakologi (misalnya.,
relaksasi, terapi musik, terapi
bermain, aplikasi panas/dingin dan
pijatan).
6. Evaluasi keefektifan dari tindakan
pengontrol nyeri yang dipakai
selama pengkajian nyeri
dilakukan.
6. Risiko Cedera 00035, Domain 11. Kejadian Jatuh Pencegahan jatuh
Keamanan/Perlindungan
Dipertahankan Ditingkatkan 1. identifikasi perilaku dan factor
Indikator
Kelas 2.Cedera Fisik pada ke yang meningkatkan risiko
Jatuh dari 4 5 jatuh
Faktor Risiko : tempat tidur 2. identifikasi lingkungan yang
Jatuh saat 4 5
meningkatkan risiko jatuh
- Eksternal : Pajanan pada patogen dipindahkan
Ket : 3. kunci kursi roda, tempat tidur
Kondisi Klinis Terkait : Kejang atau brankar saat melakukan
1 : 10 dan lebih (kali jatuh) pemindahan pasien
27
4. tegakkan pinggiran tempat
2 : 7-9 (kali jatuh)
tidur pasien
28
13. Catat karakteristik kejang
5 : Tidak terganggu
(keterlibatan anggota tubuh)
14. Dokumentasikan informasi
mengenai kejang
15. Berikan obat anti kejang
dengan benar
16. Monitor durasi periode
ketidaksadaran dan
karakteristiknya
29
- Kesedihan yang mendalam 1 : Berat Teknik menenangkan
- Ketakutan
2 : Cukup berat 1. Pertahankan kontak mata
- Sangat khawatir
2. kurangi stimuli yang
3 : Sedang
3. Fisologis menciptakan perasaan takut
maupun cemas
4 : Ringan
- Gemetar
- Peningkatan keringat suara
5 : Tidak ada
bergetar
- tremor
- wajah tegang
30
BAB IV
Penyakit meningitis pada anak tidak bisa dianggap hal sepele yang menimbulkan efek
samping berbahaya jangka panjang jika tidak diatasi bahkan bisa mengakibatkan kematian.
Meningitis bisa ditularkan melalui udara dengan perantara udara seperti orang yang
terindikasi batuk atau bersin serta tidak menjaga kebersihan sekitar. Gejala meningitis pada
anak pun beragam bahkan mirip dengan flu. Kebanyakan meningitis pada anak muncul jika
penyakit sudah parah. Dalam 3 jurnal tentang terapi meningitis kami menggunakan 2 terapi
medis dan 1 terapi komplementer. Terapi medis tersebut adalah ‘Diagnosis dan Tatalaksana
Meningitis Bakterialis’ dan ‘Antybiotic Therapy in Pyogenic Meningitis On Pediatric
Patient’. Kemudian satu jurnal komplementer berjudul ‘ Potensi Ekstrak Daun Sage (Salvia
officinalis. L) sebagai anti – Streptococcus suis Penyebab Zoonotik Meningitis.
Penelitian yang dilakukan oleh Gogor Meisadonna dkk (2015) di RSUD
Ciptomangunkusumo Jakarta menjelaskan dua terapi medis yang digunakan yaitu
penggunaan antibiotik spesifik dan terapi kortikosteroid. Pemilihan antibiotik yang tepat
adalah langkah yang krusial, karena harus bersifat bakterisidal pada organisme yang dicurigai
dan dapat masuk ke CSS dengan jumlah yang efektif. Pemberian antibiotik harus segera
dimulai sambil menunggu hasil tes diagnostik dan nantinya dapat diubah setelah ada temuan
laboratorik.1 Pada suatu studi, didapatkan hasil jika pemberian antibiotik ditunda lebih dari 3
jam sejak pasien masuk RS, maka mortalitas akan meningkat secara bermakna.Namun dalam
melakukan terapiantibiotik harus bergantung dan sesuai pada bakteri penyebab,keparahan
penyakit, dan jenis antibiotik yang digunakan. Meningitis meningokokal epidemik dapat
diterapi secara efektif dengan satu dosis ceftriaxone intramuskuler sesuai dengan
rekomendasi WHO. Selanjutnya terapi mengunakan kortikosteroid harus dalam pengawasan
yang ketat karena terapi ini dapat menyebabkan efek samping yang serius terhadap fisiologis
tubuh termasuk imun tubuh apabila dilakukan dalam jangka panjang dan dosis yang tinggi.
Penelitian yang dilakukan oleh Fauzia Tajdin dkk (2013) menyatakan bahwa
antibiotik yang digunakan selama pengobatan pasien meningitis piogenik sebagai terapi
empiris, menunjukkan kondisi membaik dalam waktu 10-15 hari yang menunjukkan
keberhasilan ini terapi empiris. Penelitian ini menggunakan sampel CSF.Enam kombinasi
antibiotik digunakan sebagai terapi empiris pada anak-anak setelah pengumpulan sampel
CSF.Kombinasi antibiotik yang digunakan adalah ceftriaxone dan vankomisin; kedua adalah
31
ceftriaxone dan amikasin; ketiga adalah ceftriaxone dan benzil penisilin; keempat adalah
ceftriaxone, vankomisin dan benzil penisilin; kelima adalah ceftriaxone, vankomisin, co-
amoxiclav dan keenam adalah ceftriaxone, vankomisin dan amikasin. Pada pasien usia
kurang dari 28 hari, ceftriaxone tidak diberikan karena risiko hiperbilirubinemia dan co-
amoxiclav dan amikasin digunakan. Namun, tingkat resistensi terhadap penisilin dan
ampisilin terdapat di negara Nigeria karena tren pengobatan sendiri di negara mereka
termasuk Indonesia.
Daun Sage ( Salvia officinalis.L ) dilaporkan memiliki efek antibakterial dan
fungisidal yaitu asam phenolic seperti salvin dan salvin menomethyl ether yang diisolasi dari
daun sage.Di Eropa dan Cina, ekstrak dan minyak esensial tanaman sage telah banyak
digunakan untuk berbagai aplikasi seperti makanan, kosmetik maupun keperluan industri
farmasi.Aktifitas antibakterial dari daun sage disebabkan adanya kandungan beberapa
senyawa aktif khususnya golongan polifenol dengan efek bervariasi dan tergantung pada
solven.
32
BAB V
PENUTUP
4.1. Kesimpulan
33
DAFTAR PUSTAKA
Bulecheck, G. M., dkk. (2016). Nursing Interventions Classification (NIC). Ed. 6. Singapura.:
Elsevier.
Meisadona, Gogor, Anne Dina Soebroto, Riwanti Estiasari. (2015). Diagnosis dan
TatalaksanaMeningitis Bakterialis. Jurnal CDK-224/ 42 (1), 15-19.
Moorhead, S., dkk. (2016). Nursing Outcome Classification (NOC). Ed. 6. Singapura:
Elsevier.
Slipranata, Mitra, Fajar Budi L., Novra Arya S., Siti Isrina O.S. (2016). Potensi Ekstrak Daun
Sage (Salvia officinalis. L) Sebagai Anti-Streptococcus suis Penyebab Zoonotik
Meningitis. Jurnal Sain Veteriner 34(2). 198-202
Smeltzer, S.C & Bare,B.G.(2001).Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner &
Suddarth.Alih bahasa, Agung Waluyo,dkk.Editor edisi bahasa Indonesia, Monica
Ester.Ed.8.Jakarta : EGC.
Satyanegara. (2010). Ilmu Bedah Saraf Edisi IV. Tangerang : Gramedia Pustaka Utama.
34
Tucker, Susan Martin et al. Patient care Standards : Nursing Process, diagnosis, And
Outcome. Alih bahasa Yasmin asih. Ed. 5. Jakarta : EGC; 1998.
Tajdin, Fauzia, Muhammad Adil R., Muhammad Ashraf, Huma Rasheed, Hasan Ejaz, dkk.
(2013). Antibiotic Theraphy in Pyogenic Meningitis In Paediatric Patients. Journal of
The College Physicians and Surgeon Pakistan 23(10), 703-707
35