Purnama, Nurina Endra - F2008 PDF
Purnama, Nurina Endra - F2008 PDF
Oleh:
NURINA ENDRA PURNAMA
F14104028
2008
DEPARTEMEN TEKNIK PERTANIAN
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
PENDUGAAN EROSI
DENGAN METODE USLE (Universal Soil Loss Equation)
DI SITU BOJONGSARI, DEPOK
SKRIPSI
Oleh :
F14104028
2008
DEPARTEMEN TEKNIK PERTANIAN
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
SKRIPSI
Sebagai salah satu syarat untuk meraih gelar
Sarjana Teknologi Pertanian
Pada Departemen Teknik Pertanian
Fakultas Teknologi Pertanian
Institut Pertanian Bogor
Oleh
NURINA ENDRA PURNAMA
F14104028
Dilahirkan pada tanggal 16 Juni 1985
di Jakarta
Tanggal lulus : Maret 2008
Menyetujui,
Bogor, Maret 2008
Dosen Pembimbing Akademik
Mengetahui,
RINGKASAN
i
relatif aman terhadap bahaya erosi dan sedimentasi. Hal ini juga diperkuat dengan
perhitungan kemungkinan umur Situ Bojongsari.
Umur Situ Bojongsari mampu mencapai 211 tahun. Hasil ini bukan
merupakan nilai mutlak. Nilai ini hanya berupa prediksi, karena pada hakekatnya
umur situ juga tergantung dari aktivitas manusia di sekelilingnya dan kemauan
manusia untuk mengelola lingkungan hidup. Bukan tidak mungkin, umur situ
lebih pendek dari prediksi perhitungan akibat perilaku masyarakat yang kurang
peduli terhadap lingkungan.
Faktor penyebab erosi terbesar pada Situ Bojongsari adalah karena tanah
yang terbawa aliran permukaan akibat vegetasi di sekitar situ tidak dapat menahan
aliran permukaan serta vegetasi yang jarang. Untuk mencegah terjadinya erosi
maka perlu dilakukan reboisasi di sekitar situ dan pembuatan bangunan penangkal
erosi.
ii
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas berkah dan
rahmat-Nya, Shalawat dan salam kepada junjungan kita Nabi Muhammad
Sholallahu Alaihi Wassalam sehingga penulis dapat menyelesaikan Skripsi yang
berjudul “Pendugaan Erosi dengan Metode USLE (Universal Soil Loss
Equation) di Situ Bojongsari, Depok” ini dengan baik. Adapun tujuan dari
penyusunan skripsi ini adalah sebagai salah satu syarat untuk menyelesaikan studi
di Departemen Teknik Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian, IPB.
Skripsi ini disusun berdasarkan hasil pengamatan langsung di lokasi
penelitian, wawancara, dan studi pustaka selama melaksnakan penelitian Bulan
Oktober 2007 sampai Pebruari 2008.
Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada:
1. Bapak Dr. Ir. Roh Santoso Budi Waspodo, M.T. sebagai Pembimbing
Akademik yang telah memberikan pengarahan.
2. Bapak Prof. Asep Sapei yang telah bersedia meluangkan waktunya
menjadi penguji pada ujian akhir penulis.
3. Bapak Ir. Idung Risdiyanto, Msc yang telah bersedia meluangkan
waktunya menjadi penguji pada ujian akhir penulis.
4. Orang tua, adikku tercinta, dan seluruh keluarga atas doa dan
semangatnya.
5. R. Agung, Inggit Sridaryanti, Wakid Mutowal, dan teman-teman
Departemen TEP 41 atas segala dukungan moril, materi, dan doanya.
6. Semua pihak yang telah membantu dalam penulisan skripsi ini.
Penulis menyadari bahwa dalam penulisan skripsi ini masih terdapat
kekurangan. Untuk itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat
membangun. Semoga skripsi ini bermanfaat dan memberikan informasi bagi
penulis khususnya dan bagi pembaca pada umumnya.
Penulis
iii
DAFTAR ISI
Halaman
RINGKASAN .......................................................................................... i
KATA PENGANTAR ............................................................................. iii
DAFTAR ISI ........................................................................................... iv
DAFTAR TABEL ................................................................................... vi
DAFTAR GAMBAR............................................................................... vii
DAFTAR LAMPIRAN............................................................................. viii
I. PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG .................................................................. 1
B. TUJUAN ………....……………………………………………… 3
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. PENGERTIAN UMUM SITU ATAU DANAU………………... 4
B. EROSI……………………………………………….…………... 6
1. Pengertian Erosi…………………………………………….. 6
2. Proses Terjadinya Erosi…………………………………….. 8
3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Erosi...............………… 9
4. Pendugaan Erosi.…………………………………………… 11
5. Klasifikasi Tingkat Bahaya Erosi………………………….. 18
C. KEADAAN UMUM SITU BOJONGSARI……….…………... 19
D. KERUSAKAN SITU ..................................……….…………... 25
1. Sedimentasi.....…………………………………………….. 25
2. Vegetasi Enceng Gondok....……………………………….. 26
3. Erosi Longsor.........................................................………… 27
III. METODOLOGI
A. TEMPAT DAN WAKTU PENELITIAN……………………… 28
B. ALAT DAN BAHAN …………………………………………. 28
iv
C. METODE PENELITIAN ……………………………………… 28
1. Pengumpulan Data…………………………………………. 28
2. Pengolahan Data..................................…………………….. 29
v
DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel 1. Batas Maksimum Laju Erosi....................................................... 7
Tabel 2. Penilaian Kelas Kelerengan (LS)................................................ 15
Tabel 3. Perkiraan Nilai Faktor C Berbagai Jenis Lahan.......................... 16
Tabel 4. Perkiraan Nilai Faktor P Berbagai Jenis Lahan........................... 17
Tabel 5. Kelas Tingkat Bahaya Erosi........................................................ 18
Tabel 6. Jenis dan Sumber Data................................................................ 31
Tabel 7. Nilai Erosivitas di DAS Ciliwung Tengah.................................. 34
Tabel 8. Nilai Faktor-faktor Erosi Pada Lokasi 1...................................... 45
Tabel 9. Nilai Faktor-faktor Erosi Pada Lokasi 2...................................... 45
Tabel 10.Nilai Faktor-faktor Erosi Pada Lokasi 3...................................... 46
Tabel 11.Nilai Faktor-faktor Erosi Pada Lokasi 4...................................... 46
Tabel 12.Nilai Faktor-faktor Erosi Pada Lokasi 5...................................... 47
Tabel 13.Hasil Perhitungan Nilai A di Situ Bojongsari............................. 48
Tabel 16.Hasil Perhitungan Total Nilai A di Situ Bojongsari.................... 48
Tabel 17.Kelas Tingkat Bahaya Erosi Situ Bojongsari.............................. 49
vi
DAFTAR GAMBAR
Halaman
Gambar 1. Zona Kedalaman Bentuk Perairan Menggenang.................... 5
Gambar 2. Diagram Proses Terjadinya Erosi Air..................................... 8
Gambar 3. Nomograf Erodibilitas Tanah.................................................. 14
Gambar 4. Kondisi Perairan Situ Bojongsari............................................ 20
Gambar 5. Kondisi Sekitar Situ Bojongsari.............................................. 21
Gambar 6. Usaha Rumah Makan di Timur Situ Bojongsari..................... 22
Gambar 7. Vegetasi Ketela Pohon di Barat Daya Situ Bojongsari........... 22
Gambar 8. Cottage di Tengah Situ Bojongsari.......................................... 23
Gambar 9. Kondisi Check Dam yang Tidak Terawat............................... 24
Gambar 10.Kondisi Situ Bojongsari yang Tidak Terawat ........................ 25
Gambar 11.Vegetasi Enceng Gondok di Perairan Situ Bojongsari........... 26
Gambar 12.Erosi Longsor pada Tebing Situ Bojongsari........................... 27
Gambar 13.Diagram Alir Pendugaan Erosi............................................... 32
Gambar 14.Grafik Erosivitas Hujan DAS Ciliwung Tengah.................... 34
Gambar 15.Peta Tanah DAS Ciliwung..................................................... 36
Gambar 16.Peta Digitasi Kelas Kelerengan DAS Ciliwung..................... 37
Gambar 17.Pembagian Kelas Kelerengan Situ Bojongsari....................... 38
Gambar 18.Vegetasi di Barat Daya Situ Bojongsari................................. 40
Gambar 19.Vegetasi di DTA Situ Bojongsari........................................... 41
Gambar 20.Deretan Pohon Akasia dan Rumput di Timur Situ.. .............. 43
Gambar 21.Erosi Longsor di Bantaran Situ Bojongsari............................ 44
vii
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
Lampiran 1. Data Curah Hujan Bulanan DAS Ciliwung Tengah............ 59
Lampiran 2. Peta Administrasi Kota Depok............................................ 60
Lampiran 3. Peta Sebaran Curah Hujan Kota Depok............................... 61
Lampiran 4. Peta Situ Bojongsari............................................................ 62
Lampiran 5. Peta Sawangan..................................................................... 63
Lampiran 6. Peta Spasial Pembagian Kelas Lereng DAS Ciliwung........ 64
Lampiran 7. Nilai Erodibilitas (K) Untuk Jenis Tanah di Jawa............... 65
Lampiran 8. Perkiraan Nilai Faktor C. .................................................... 67
Lampiran 9. Perkiraan Nilai Faktor C. .................................................... 69
viii
I. PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Tanah sebagai sumber daya alam telah mengalami berbagai tekanan
seiring dengan peningkatan jumlah manusia. Tekanan tersebut telah
menyebabkan penurunan mutu tanah yang berujung pada pengurangan
kemampuan tanah untuk berproduksi. Penurunan mutu tanah tersebut
disebabkan oleh proses pencucian hara dan proses erosi tanah terutama pada
lahan-lahan yang tidak memiliki penutupan vegetasi. Erosi merupakan
peristiwa hilangnya lapisan tanah atau bagian-bagian tanah di permukaan. Di
Indonesia erosi yang sering dijumpai adalah erosi yang disebabkan oleh air.
Erosi dapat menimbulkan kerusakan baik pada tanah tempat terjadi
erosi maupun pada tempat tujuan akhir tanah yang terangkut tersebut
diendapkan. Kerusakan pada tanah tempat erosi terjadi berupa penurunan
sifat-sifat kimia dan fisik tanah yang pada akhirnya menyebabkan
memburuknya pertumbuhan tanaman dan rendahnya produktivitas. Sedangkan
pada tempat tujuan akhir hasil erosi akan menyebabkan pendangkalan sungai,
waduk, situ/danau, dan saluran irigasi. Dengan peningkatan jumlah aliran air
di permukaan dan mendangkalnya sungai menyebabkan makin seringnya
terjadi banjir (Murdis, 1999).
Situ-situ yang ada di wilayah Jabodetabek merupakan bagian dari
sumber daya air lintas provinsi di wilayah Sungai Ciliwung-Cisadane, wilayah
Ciujung-Ciliman, dan wilayah Sungai Citarum. Sebagian besar situ-situ
tersebut, saat ini kondisinya sangat memprihatinkan karena telah mengalami
penurunan baik kuantitas maupun kualitasnya, sehingga banyak yang tidak
dapat difungsikan dan dimanfaatkan dengan optimal, yang diakibatkan oleh
berbagai faktor yaitu faktor fisik dan faktor non fisik. Faktor fisik antara lain:
pengurangan luasan situ karena alih fungsi, sedimentasi, kurangnya
pemeliharaan sehingga dipenuhi gulma air dan rerumputan, juga kerusakan
pada bangunan prasarana situ. Faktor non fisik berupa penyalahgunaan
wewenang pemberian izin pemanfaatan situ, pemberian hak atas tanah pada
kawasan situ, penyerobotan/pemanfaatan secara ilegal, keterbatasan
kemampuan pengelolaan situ oleh pemerintah dan pemerintah daerah,
kurangnya partisipasi masyarakat serta kurangnya kesamaan persepsi terhadap
perundang-undangan.
Kota Depok merupakan daerah yang tergolong memiliki banyak situ.
Tercatat 26 situ tersebar di wilayah selatan Jakarta ini. Namun, dari 26 situ
yang tersebar di enam kecamatan, kira-kira 80 persen diantaranya dalam
kondisi mengkhawatirkan. Sebagian sudah banyak yang beralih fungsi, yang
semula dimanfaatkan sebagai daerah resapan air atau penampung hujan kini
menjadi permukiman penduduk, lapangan bola, dan pembuangan limbah atau
sampah. Bahkan erosi yang terjadi di daerah situ semakin parah dari waktu ke
waktu. Padahal situ-situ tersebut itu cukup potensial menjaga wilayah Jakarta
dan Depok dari banjir.
Situ atau danau merupakan bentuk mikro daerah tangkapan air.
Dengan mengetahui karakteristik biofisik situ beserta tingkat bahaya erosi dan
sedimentasinya maka dapat dilakukan tindakan pengelolaan yang diperlukan
berupa pengendalian laju erosi tanah dan rehabilitasi lahan.
Salah satu situ yang di Kota Depok yang termasuk dalam kategori situ
kritis adalah Situ Bojongsari. Situ Bojongsari merupakan situ terluas di Kota
Depok. Luas Situ Bojongsari mencapai 28.25 Ha. Peningkatan jumlah
penduduk dan aktivitas pembangunan di Kota Depok menyebabkan
peningkatan jumlah buangan limbah domestik, limbah industri, dan limbah-
limbah lainnya serta kurangnya pemeliharaan kawasan Situ Bojongsari
menimbulkan pencemaran dan erosi pada situ dan daerah di sekitarnya.
Semula prediksi erosi adalah suatu metode untuk memperkirakan atau
menduga laju erosi yang terjadi dari lahan yang dipergunakan bagi usaha
pertanian tertentu. Persamaan yang sering digunakan untuk memprediksi erosi
adalah persamaan Universal Soil Loss Equation (USLE). Persamaan ini adalah
model pendugaan erosi yang digunakan untuk menghitung besarnya erosi
yang terjadi dalam jangka panjang pada suatu daerah. Metode USLE
mempunyai kelebihan, yaitu proses pengolahan datanya yang sedehana,
sehingga mudah dihitung secara manual maupun menggunakan alat bantu
program komputer (software). Hal ini memudahkan para petugas yang
2
bekerja di lapangan dalam membuat suatu perkiraan kasar terhadap besarnya
laju erosi (Indrawati, 2000).
Universal Soil Loss Equation (USLE) sudah dua puluh tahun lebih
digunakan sebagai metode pendugaan besarnya erosi yang cukup baik.
Metode ini dikembangkan di Amerika Utara dengan tujuan untuk mengetahui
besarnya erosi pada lahan pertanian. Pengembangan metode ini didasarkan
pada hasil pengukuran pada sepuluh ribu stasiun pengamatan erosi yang
tersebar di seluruh Amerika Utara. Dengan keserdahanaan, kemudahan dalam
pemasukan input data, dan hasil yang cukup baik metode ini banyak dipakai di
berbagai sektor di luar pertanian termasuk di sektor kehutanan (Ispriyanto,
2001). Nilai erosi yang diperoleh dari pendekatan USLE selanjutnya dapat
dipergunakan untuk menduga laju erosi yang terjadi pada suatu wilayah dan
menentukan Klasifikasi Tingkat Bahaya Erosi, sehingga untuk mencegah
kerusakan lahan akibat erosi dapat dihindari sedini mungkin dengan teknik-
teknik konservasi lahan.
B. TUJUAN
Penelitian ini bertujuan menduga besarnya nilai erosi dan Tingkat
Bahaya Erosi (TBE) di Situ Bojongsari, Kota Depok dengan pendekatan
USLE (Universal Soil Loss Equation).
3
II. TINJAUAN PUSTAKA
4
air tanah dangkal yang menggenang (Strategi Pengelolaan Situ Jabodetabek,
2007).
¶
O2
Secara alamiah Situ mempunyai kawasan tandon air yang dibatasi oleh
tanggul yang merupakan daerah peralihan (ekoton) antara ekosistem perairan
dan daratan. Secara fisik komponen pembentuk tipologinya dibagi dalam tiga
(3) bagian, yaitu:
5
Suplai air ke dalam Situ dipengaruhi oleh aliran air baik dari air hujan,
permukaan dan air tanah. Bentuk perairannya merupakan perairan daratan
sistem terbuka (open system). Bila dilihat dari morfologi bentukan, suplai air
dan sistem tata airnya, maka arus alirannya adalah relatif tenang. Asal-usul
situ di wilayah Jabodetabek terdiri dari situ alami dan buatan. Beberapa situ
alami mempunyai mata air, sehingga tidak kering di musim kemarau. Situ
alami terbentuk secara alami dapat terbentuk dari sisa rawa/lahan basah,
dimana sumber air utamanya berasal dari rembesan air tanah (seepage). Situ
buatan dapat berasal dari dam pengendali pada sistem irigasi sawah, bekas
galian lio-bata (pembuatan batu-bata), bekas galian pasir, atau waduk buatan
yang dibuat sebagai pengendali banjir (Strategi Pengelolaan Situ Jabodetabek,
2007).
B. EROSI
1. Pengertian Erosi
Erosi adalah suatu proses dimana tanah dihancurkan (detached ) dan
kemudian dipindahkan ke tempat lain oleh kekuatan air, angin, dan
gravitasi (Hardjowigeno, 1995). Secara deskriptif, Arsyad (2000)
menyatakan erosi merupakan akibat interaksi dari faktor iklim, tanah,
topografi, vegetasi, dan aktifitas manusia terhadap sumber daya alam.
Erosi dibagi menjadi dua macam, yaitu erosi geologi dan erosi
dipercepat (Hardjowigeno, 1995). Erosi geologi merupakan erosi yang
berjalan lambat dengan jumlah tanah yang tererosi sama dengan jumlah
tanah yang terbentuk. Erosi ini tidak berbahaya karena terjadi dalam
keseimbangan alami. Erosi dipercepat (accelerated erosion) adalah erosi
yang diakibatkan oleh kegiatan manusia yang mengganggu keseimbangan
alam dan jumlah tanahnya yang tererosi lebih banyak daripada tanah yang
terbentuk. Erosi ini berjalan sangat cepat sehingga tanah di permukaan
(top soil) menjadi hilang.
Laju pelapukan tanah memang susah diukur secara tepat, namun
dengan beberapa pendekatan, para pakar geologi telah sepakat bahwa
untuk membentuk lapisan tanah setebal 25 mm pada lahan-lahan alami
6
dibutuhkan waktu kurang lebih 300 tahun (Bennet, 1939). Waktu yang
diperlukan menjadi berkurang sangat drastis dengan adanya campur
tangan manusia, untuk membentuk lapisan tanah setebal 25 mm hanya
memerlukan waktu kurang lebih 30 tahun (Hudson, 1971). Berdasarkan
laju pembentukan tanah ini, maka batas laju yang dapat diterima adalah
1.1 kg/m2/tahun. Namun demikian penentuan batas laju erosi untuk
berbagai macam kondisi tanah akan berbeda, sebagaimana yang
ditunjukkan pada Tabel 1.
Laju Erosi
Kondisi Tanah Sumber
(kg/m2/tahun)
Skala makro (misal DAS) 0.2 Morgan (1980)
Skala meso (misal lahan pertanian) :
Tanah berlempung tebal dan subur (Mid- Wischmeier &
0.6 – 1.1
West, USA) Smith (1978)
Tanah dangkal yang mudah tererosi Hudson (1971)
0.2 – 0.5 Smith dan Staney
(1965)
Tanah berlempung tebal, yang berasal
1.3 – 1.5 Hudson (1971)
dari endapan vulkanik (misal di Kenya)
Tanah dengan kedalaman :
0 – 25 cm 0.2 Arnoldus (1977)
25 – 50 cm 0.2 – 0.5 Arnoldus (1977)
50 – 100 cm 0.5 – 0.7 Arnoldus (1977)
100 – 150 cm 0.7 - 0.9 Arnoldus (1977)
> 150 cm 1.1 Morgan (1980)
Tanah tropika yang sangat mudah erosi 2.5 Morgan (1980)
Skala mikro (misal daerah terbangun) 2.5 Morgan (1980)
7
Tanah dari
lereng atas
Penghancuran dalam
perjalanan
2. Proses Erosi
Erosi merupakan proses alamiah yang tidak bisa atau sulit
dihilangkan sama sekali atau tingkat erosinya nol, khusunya untuk lahan-
lahan yang diusahakan untuk pertanian. Tindakan yang dapat dilakukan
adalah mengusahakan supaya erosi yang terjadi masih di bawah ambang
batas yang maksimum (soil loss tolerance), yaitu besarnya erosi tidak
melebihi laju pembentukan tanah (Suripin, 2001)
8
Menurut Suripin (2001) erosi terjadi melalui tiga tahap, yaitu tahap
pelepasan partikel tunggal dari masa tanah dan tahap pengangkutan oleh
media yang erosif seperti aliran air dan angin. Pada kondisi dimana energi
yang tersedia tidak lagi cukup untuk mengangkut partikel, maka akan
terjadi tahap yang ketiga yaitu pengendapan.
Proses terjadinya erosi di suatu lereng dapat digambarkan dengan
suatu diagram pada Gambar 2 (Mayer dan Wishmeier, 1969) dalam
Hardjowigeno (1995). Untuk dapat terjadi erosi, tanah harus dihancurkan
oleh curah hujan dan aliran permukaan, kemudian diangkut ke tempat lain
oleh curah hujan dan aliran permukaan.
Pada Gambar 2 dapat dilihat bahwa pada suatu bagian lereng
terdapat input bahan-bahan tanah yang dapat dierosikan yang berasal dari
lereng atas serta penghancuran tanah di tempat tersebut oleh pukulan curah
hujan dan pengikisan aliran permukaan. Kecuali itu terdapat output akibat
pengangkutan tanah oleh curahan air hujan dan aliran permukaan (run off).
Bila total daya angkut dari air tersebut (curahan air hujan + aliran
permukaan), lebih besar dari tanah yang tersedia, maka akan terjadi erosi.
Sebaliknya bila total daya angkut lebih kecil dari total tanah yang
dihancurkan akan terjadi pengendapan di bagian lereng tersebut.
a. Curah Hujan
Sifat hujan yang terpenting yang mempengaruhi besarnya erosi
adalah curah hujan. Intensitas hujan menunujukan banyaknya curah
hujan per satuan waktu (mm/jam atau cm/jam).
Kekuatan menghancurkan tanah dari curah hujan jauh lebih
besar dibandingkan dengan kekuatan pengangkut dari aliran
permukaan (Hardjowigeno, 1995).
9
Hujan yang turun sampai ke permukaan tanah memiliki energi
kinetik yang dapat menghancurkan tanah (butir-butir tanah), sehingga
bagian-bagian tanah terhempas, hilang, dan hanyut oleh aliran
permukaan. Hilang atau terkikisnya lapisan tanah inilah yang disebut
erosi.
b. Tanah
Sifat fisik tanah sangat berpengaruh terhadap besarnya erosi.
Kepekaan tanah terhadap erosi disebut erodibilitas. Semakin besar nilai
erodibilitas suatu tanah maka semakin peka tanah tersebut terhadap
erosi (Hardjoamidjojo dan Sukartaatmadja, 1992).
Hardjowigeno (1995) menyebutkan sifat-sifat tanah yang
berpengaruh terhadap erosi adalah tekstur tanah, bentuk dan
kemantapan struktur tanah, daya infiltrasi atau permeabilitas tanah, dan
kandungan bahan organik. Nilwan (1987) menyebutkan sifat fisik
tanah yang mudah mengalami erosi adalah tanah dengan tekstur kasar
(pasir kasar), bentuk struktur tanah yang membulat, kapasitas infiltrasi
yang rendah, dan kandungan bahan organik kurang dari 2%.
Sedangkan sifat fisik tanah yang dapat menahan erosi adalah tanah
dengan tekstur halus (liat, debu, pasir, pasir halus, kapasitas
infiltrasinya besar, dan kandungan bahan organik yang besar untuk
menambah kemantapan struktur tanah).
c. Lereng
Arsyad (2000) dan Hardjowigeno (1995) mengemukakan unsur
topografi yang paling berpengaruh terhadap erosi adalah panjang dan
kemiringan lereng. Erosi akan meningkat apabila lereng semakin
curam atau semakin panjang. Apabila lereng semakin curam maka
kecepatan aliran permukaan meningkat sehingga kekuatan mengangkut
semakin meningkat pula. Lereng yang semakin panjang menyebabkan
volume air yang mengalir menjadi semakin besar.
10
d. Vegetasi
Menurut Hardjowigeno (1995) Pengaruh vegetasi terhadap
erosi adalah :
1. Menghalangi air hujan agar tidak jatuh langsung di
permukaan tanah, sehingga kekuatan tanah untuk
menghancurkan dapat dikurangi ;
2. Menghambat aliran permukaan dan memperbanyak air
infiltrasi ;
3. Penyerapan air ke dalam tanah diperkuat oleh tranpirasi
(penguapan air) melalui vegetasi.
e. Manusia
Kepekaan tanah terhadap erosi dapat diubah oleh manusia
menjadi lebih baik atau lebih buruk. Pembuatan teras-teras pada tanah
yang berlereng curam merupakan pengaruh baik dari manusia karena
dapat mengurangi erosi. Sebaliknya penggundulan hutan di daerah-
daerah pegunungan merupakan pengaruh manusia yang buruk karena
dapat menyebabkan erosi (Hardjowigeno,1995).
4. Pendugaan Erosi
Praktek-praktek bercocok tanam dapat merubah keadaan
penutupan lahan dan oleh karena itu dapat mengakibatkan terjadinya erosi
permukaan pada tingkat atau besaran yang bervariasi. Oleh karena besaran
erosi yang berlangsung ditentukan oleh intensitas dan bentuk aktifitas
pengelolaan lahan, maka perkiraan besarnya erosi yang terjadi akibat
aktifitas pengelolaan lahan tersebut perlu dilakukan. Dari beberapa metode
untuk memperkirakan besarnya erosi permukaan, metode Universal Soil
Loss Equation (USLE) adalah metode yang paling umum digunakan
(Asdak, 1995).
Wischmeier dan Smith (1978) juga menyatakan bahwa metode yang
umum digunakan untuk menghitung laju erosi adalah metode Universal
Soil Loss Equation (USLE). Adapun persamaan ini adalah:
11
A = R . K . L . S . C . P ....................................................................(1)
dimana :
A : Jumlah tanah yang hilang rata-rata setiap tahun (ton/ha/tahun)
R : Indeks daya erosi curah hujan (erosivitas hujan)
K : Indeks kepekaan tanah terhadap erosi (erodibilitas tanah)
LS : Faktor panjang lereng (L) dan kemiringan lereng (S)
C : Faktor tanaman (vegetasi)
P : Faktor usaha-usaha pencegahan erosi (konservasi)
12
R12 = ∑
m=1
(EI30)......................................................................(3)
dimana :
EI30 : Erosivitas curah hujan bulanan rata-rata
R12 : Jumlah E130 selama 12 bulan
12
R : Curah hujan bulanan (cm)
D : Jumlah hari hujan
M : Hujan maksimum pada bulan tersebut (cm)
Cara menentukan besarnya indeks erosivitas hujan yang lain
dapat menggunakan rumus yang dikemukakan oleh Lenvain (DHV,
1989) sebagai berikut :
R = 2.21 P 1.36.....................................................................(4)
dimana :
R : Indeks erosivitas
P : Curah Hujan Bulanan (cm)
Cara menentukan besarnya indeks erosivitas hujan yang
terakhir ini lebih sederhana karena hanya memanfaatkan data curah
hujan bulanan.
13
Gambar 3. Nomograf Erodibilitas Tanah (United States Environmental
Protection Agency, 1980 di dalam Asdak, 1995)
14
c. Faktor Panjang Lereng (L) dan Kemiringan Lereng (S)
Faktor lereng (LS) merupakan rasio antara tanah yang hilang
dari suatu petak dengan panjang dan curam lereng tertentu dengan
petak baku (tanah gundul,curamlereng 9%, panjang 22 meter, dan
tanpa usaha pencegahan erosi) yang mempunyai nilai LS = 1.
Menurut Weismeier dan Smith (1978) dalam Hardjoamijojo
dan Sukartaatmadja (1992), faktor lereng dapat ditentukan dengan
persamaan :
22
dimana :
l = Panjang lereng (meter)
S = Kemiringan lahan (%)
m = Nilai eksponensial yang tergantung dari kemiringan
S < 1% maka nilai m = 0.2
S=1–3% maka nilai m = 0.3
S=3–5% maka nilai m = 0.4
S > 5% maka nilai m = 0.5
15
d. Faktor Tanaman (C)
Faktor pengelolaan tanaman merupakan rasio tanah yang
tererosi pada suatu jenis pengelolaan tanaman terhadap tanah yang
tererosi dengan pada kondisi permukaan lahan yang sama tetapi tanpa
pengelolaan tanaman atau diberakan tanpa tanaman. Pada tanah yang
gundul (diberakan tanpa tanaman/petak baku) nilai C = 1.0. Untuk
mendapatkan nilai C tahunan perlu diperhatikan perubahan-perubahan
penggunaan tanah dalam setiap tahun. Besarnya nilai C pada beberapa
kondisi dapat dilihat pada Lampiran 8 dan Tabel 3.
Terdapat sembilan parameter sebagai faktor penentu besarnya
nilai C, yaitu konsolidasi tanah, sisa-sisa tanaman, tajuk vegetasi,
sistem perakaran, efek sisa perakaran dari kegiatan pengelolaan lahan,
faktor kontur, kekasaran permukaan tanah, gulma, dan rumput-
rumputan (Asdak, 1985).
16
Tabel 4. Perkiraan Nilai Faktor P Berbagai Jenis Penggunaan Lahan
Nilai
No Teknik Konservasi Tanah
P
1 Teras bangku
a. Sempurna 0.04
b. Sedang 0.15
c. Jelek 0.35
2 Teras tradisional 0.40
3 Padang rumput (permanent grass field)
a. Bagus 0.04
b. Jelek 0.40
4 Hill side ditch atau field pits 0.3
5 Countur cropping
a. kemiringan 0 – 8% 0.5
b. kemiringan 9 – 20% 0.75
c. kemiringan 20% 0.9
6 Limbah jerami yang digunakan
a. 6 ton/ ha/ tahun 0.3
b. 3 ton/ ha/ tahun 0.5
c. 1 ton/ ha/ tahun 0.8
7 Tanaman perkebunan
a. penutupan tanah rapat 0.1
b. penutup tanah sedang 0.5
8 Reboisasi dengan penutupan tanah pada tahun awal 0.3
9 Strip cropping jagung – kacang tanah, sisa tanaman 0.5
dijadikan mulsa
10 Jagung – kedelai, sisa tanaman dijadikan mulsa 0.087
11 Jagung – mulsa jerami padi 0.008
12 Padi gogo – kedelai, mulsa jerami padi 0.193
13 Kacang tanah – kacang hijau 0.730
17
mekanis dan fisik, tetapi termasuk juga usaha-usaha yang bertujuan
untuk mengurangi erosi tanah. Penilaian faktor P di lapangan lebih
mudah apabila digabungkan dengan faktor C, karena dalam
kenyataannya kedua faktor tersebut berkaitan erat. Beberapa nilai
faktor CP telah dapat ditentukan berdasarkan penelitian di Jawa seperti
terlihat pada Lampiran 9. Pemilihan atau penentuan nilai faktor CP
perlu dilakukan dengan hati-hati karena adanya variasi keadaan lahan
dan variasi teknik konservasi yang dijumpai di lapangan.
18
Keterangan :
0 – SR = Sangat Ringan
I–R = Ringan
II – S = Sedang
III – B = Berat
IV – SB = Sangat Berat
19
Gambar 4. Kondisi Perairan Situ Bojongsari
20
06° 30' 00" 06° 45' 30" 06° 46' 00"
Keterangan :
: Padang Rumput
: Sarana Rekreasi
: Hotel / cottage
: Lapangan Golf
: Kebun
21
Gambar 6. Usaha Rumah Makan di Timur Situ Bojongsari
Sebagai Sarana Rekreasi
23
Gambar 9. Kondisi Check Dam yang Tidak Terawat
24
Gambar 10. Kondisi Situ Bojongsari yang Tidak Terawat
D. KERUSAKAN SITU
Secara umum kondisi Situ Bojongsari memang terlihat masih bagus,
bahkan bagian selatan situ masih tampak alami belum terjamah aktifitas
manusia. Namun apabila kita tinjau dari parameter kerusakan-kerusakan
situ, maka saat ini Situ Bojongsari termasuk kategori situ kritis, yang
memerlukan pemulihan sesegera mungkin untuk mempertahankan fungsi
optimal situ. Kerusakan di Situ Bojongsari sebagai berikut :
1. Sedimentasi
Perairan Situ Bojongsari kini sudah dipenuhi limbah rumah tangga
dan sampah yang berakibat pada pendangkalan situ. Limbah rumah tangga
diprediksi akan semakin bertambah dari tahun ke tahun akibat jumlah
permukiman ilegal yang bertambah. Belum lagi sumber mata air yang
sudah tertutup sedimen dan sampah. Selain itu, sedimentasi di Situ
Bojongsari terutama di bagian selatan hingga barat daya disebabkan
terutama oleh aktifitas penduduk yang menanam singkong di tepi situ.
25
Selain itu, luas situ juga mulai menyusut dengan banyaknya
permukiman penduduk dan kolam pemancingan ikan atau empang. Situ
mengalami pendangkalan antara tiga dan lima meter sehingga harus
dikeruk dengan kedalaman yang sama.
26
3. Erosi Longsor
Selanjutnya pada tepi / bantaran situ juga ditemui peristiwa erosi
longsor. Walaupun tidak semua tepi situ terjangkit erosi, namun apabila
hal ini dibiarkan, maka tidak menutup kemungkinan bantaran-bantaran
lainnya akan tertular erosi serupa.
27
III. METODOLOGI
C. METODE PENELITIAN
1. Pengumpulan Data
Data yang digunakan dalam studi ini adalah data sekunder hasil
pengukuran yang berhubungan dengan erosi di Situ Bojongsari. Data
dikumpulkan melalui salinan atau turunan data/copy dari instansi yang
terkait melalui pengadaan dan pembelian data atau peta. Selain itu data-
data juga diperoleh dari akses internet. Sumber data yang akan digunakan
untuk penelitian dapat dilihat pada Tabel 8. Pengumpulan data dilakukan
pada Bulan Januari sampai Februari 2008. Jenis data yang diperlukan
untuk melakukan analisa pekerjaan studi ini terdiri dari :
a. Curah Hujan
Data curah hujan yang dipakai adalah data curah hujan DAS
Ciliwung Tengah, kendati Situ Bojongsari termasuk dalam DAS
Angke. Data curah hujan DAS Ciliwung Tengah diukur dari stasiun
pengamatan Depok, sehingga sebaran curah hujan masih menjangkau
Situ Bojongsari. Ketersediaan data curah hujan selama 10 tahun mulai
tahun 1992 hingga tahun 2001.
b. Peta Kontur
Peta kontur berupa peta rupa bumi Situ Bojongsari terbaru,
kondisi perairan, daerah pemukiman di sekitar, batas administratif, dan
kenampakan artifisial lainnya.
Berdasarkan peta kontur ini akan dikaji untuk penentuan
panjang dan kemiringan lahan (faktor L dan S).
c. Peta Jenis Tanah
Peta jenis tanah berupa peta yang menampakan jenis tanah di
wilayah Kota Depok tepatnya di Situ Bojongsari. Dengan mengetahui
jenis tanah, maka dapat digunakan untuk menentukan nilai K
(erodibilitas tanah) dengan Tabel Nilai K.
d. Peta Penutupan Lahan Tahun 2001
Peta tata guna lahan digunakan untuk mengetahui kondisi
pemanfaatan lahan saat ini yang dapat digunakan untuk memonitor
pengembangan suatu aktifitas dalam land-form tersebut. Peta ini
biasanya dipakai untuk melakukan kajian terhadap rencana
pengembangan suatu wilayah.
2. Pengolahan Data
Penelitian ini dilakukan dengan mengikuti kerangka pendekatan
yang dapat dilihat pada gambar 13. Tahap awal penelitian adalah
pengumpulan data-data yang dibutuhkan dalam mendeskripsikan
permasalahan untuk memprediksi nilai erosi di Situ Bojongsari, yang
terdiri dari data hujan (curah hujan dan hari hujan) dan peta-peta. Tahap
29
selanjutnya mengolah data-data yang diperlukan untuk dipakai dalam
perhitungan pendekatan USLE guna memprediksi besarnya erosi.
Tahap-tahap pengolahan data selengkapnya sebagai berikut:
a. Menghitung nilai R (erosivitas hujan) menggunakan rumus yang
dikemukakan oleh Lenvain (DHV, 1989) sebagai berikut :
R = 2.21 P 1.36
dimana :
R : indeks erosivitas
P : curah hujan bulanan (cm)
b. Dari berbagai rumus perhitungan erosivitas, pada kasus ini dipilih
rumus di atas karena data curah hujan yang tersedia hanya data curah
hujan bulanan.
c. Menentukan nilai K (erodibilitas tanah) berdasarkan jenis tanah,
bersumber pada nilai K yang terdapat pada Lampiran 7. Jenis tanah
diperoleh berdasarkan Peta Jenis Tanah DAS Ciliwung.
d. Menentukan Nilai LS, bersumber pada nilai LS pada Tabel 2. Sebelum
menentukan besarnya nilai LS, harus diketahui terlebih dahulu
kemiringan lereng. Kemiringan lereng pada penelitian ini diperoleh
dari Peta Kontur DAS Ciliwung.
e. Menentukan nilai CP. Nilai CP dapat dicari dengan menentukan faktor
C dan P masing-masing atau digabungkan sekaligus menjadi faktor
CP. Pada penelitian ini, karena faktor CP diperoleh melalui
pengamatan langsung di lapangan, maka penentuan nilai CP dilakukan
dengan dua cara di atas disesuaikan dengan kondisi di lapangan.
Selanjutnya nilai CP atau C dan P dapat dilihat pada Tabel 3, Tabel 4,
Lampiran 7, dan Lampiran 9.
30
A=R.K.L.S.C.P
dimana :
A : Jumlah tanah yang hilang rata-rata setiap tahun (ton/ha/tahun)
R : Indeks daya erosi curah hujan (erosivitas hujan)
K : Indeks kepekaan tanah terhadap erosi (erodibilitas tanah)
LS : Faktor panjang lereng (L) dan kemiringan lereng (S)
C : Faktor tanaman (vegetasi)
P : Faktor usaha-usaha pencegahan erosi (konservasi)
g. Menghitung luas Daerah Tangkapan Air (DTA) di sekeliling Situ
Bojongsari dengan memplotkan hasil penelusuran DTA melalui kontur
peta top pada milimeter block.
h. Selanjutnya dengan informasi solum tanah, dapat ditentukan Tingkat
Bahaya Erosi (TBE).
i. Setelah itu dilakukan pendugaan kemungkinan umur Situ Bojongsari
dengan terlebih dahulu mengukur luas Situ Bojongsari dan menghitung
volumenya.
31
Mulai
Pengumpulan data :
1. Data Curah Hujan
2. Peta Kontur Situ
Bojongsari
3. Peta Tata Guna Lahan
4. Peta Jenis Tanah
Menentukan R, LS, K, C, P
A = R . L . S. K. C. P
Selesai
32
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
A. PERHITUNGAN EROSI
Berdasarkan persamaan USLE (Universal Soil Loss Equation), faktor-
faktor erosi yang akan dihitung meliputi faktor erosivitas hujan (R), faktor
erodibilitas (K), faktor panjang dan kemiringan lereng (LS), dan faktor
pengelolaan tanaman dan usaha pencegahan erosi (CP).
3500
3000
2500
Erosivitas 2000
1500
1000
500
0
1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001
Tahun
34
2. Faktor Erodibilitas (K)
Berdasarkan peta jenis tanah pada Gambar 15, maka Situ Bojongsari
termasuk kawasan yang memiliki jenis tanah latosol coklat kemerahan.
Tanah latosol secara umum memiliki bahan induk berupa batuan vulkanik
bersifat intermedier, yaitu batuan dengan kadar Besi (Fe) dan Magnesium
(Mg) cukup tinggi. Tanah jenis ini bersolum dalam, pH agak tinggi, dan
memiliki kepekaan terhadap erosi rendah.
Selanjutnya setelah mengetahui jenis tanah, maka nilai erodibilitas
(K), dapat diketahui pada Lampiran 7. Sehingga didapat nilai K untuk
daerah Situ Bojongsari sebesar 0.121.
35
N
PETA TANAH
DAS CILIWUNG
SKALA : 1 : 20 000 000
KETERANGAN :
-------------- : Batas Macam Tanah
: Podsolid
: Grumusol
: Tanah Mediteran
: Regosol
: Tanah Aluvial
Gambar 15. Peta Tanah DAS Ciliwung (Departemen Pekerjaan Umum Kota Administratif Depok)
36
PETA KELAS
DAS CILIWUNG KELERENGAN
DAS CILIWUNG
37
06° 30' 00" 06° 45' 30" 06° 46' 00"
Keterangan :
0–5%
15 – 35 %
35 – 50 %
38
Faktor panjang dan kemiringan lereng merupakan sumber terjadinya
kesalahan yang terbesar dalam perhitungan erosi. Hal ini disebabkan oleh
penggunaan peta untuk mendapatkan nilai panjang dan kemiringan lereng.
Peta yang digunakan memberikan informasi terlalu umum, sehingga
untuk mendapatkan hasil yang lebih baik, nilai LS harus ditentukan
berdasarkan pengukuran di lapangan.
4. Faktor Pengelolaan Tanaman dan Usaha Pencegahan Erosi (CP)
Faktor Pengelolaan Tanaman dan Usaha Pencegahan Erosi dapat
diketahui dari Peta Tata Guna Lahan atau Peta Penutupan Lahan dan
pengamatan langsung di lapangan, kemudian nilai dari faktor CP dapat
diperoleh dari Tabel 3, Tabel 4, Lampiran 8, dan Lampiran 9.
Pada penelitian ini faktor CP diketahui langsung dengan melakukan
pengamatan di lokasi penelitian. Hal ini dilakukan agar nilai CP yang
didapat benar-benar aktual atau kondisi terkini di lokasi, sehingga
diharapkan nilai hasil pendugaan erosi memiliki tingkat keakuratan yang
tinggi. Nilai C dan P harus diteliti secara intensif dan dipetakan lebih
terperinci dengan menggunakan interprestasi foto udara dan kerja
lapangan. Setelah melakukan pengamatan di lapangan, maka diperoleh
hasil bahwa faktor C dan P di bantaran sekeliling Situ Bojongsari
berbeda-beda. Vegetasi sekaligus praktik konservasi yang terdapat di
sekeliling Situ Bojongsari ditunjukkan pada Gambar 19.
Tepat di barat daya perairan Situ Bojongsari. Terdapat banyak
perkebunan terutama singkong dan kacang tanah milik penduduk sekitar
yang ditanam di pinggir situ. Terdapat juga tanaman kebun lainnya seperti
jagung dan pisang, namun jumlahnya hanya sedikit. Padahal seperti yang
diketahui, bahwa tanaman seperti ubi kayu atau singkong dan kacang
tanah apabila ditanam di areal yang rawan erosi, maka akan meningkatkan
resiko erosi, karena akar tanaman yang kurang kuat menahan air dan
tradisi masyarakat Indonesia yang menanam singkong atau kacang tanah
dengan jarak tanam yang relatif jarang.
39
Gambar 18. Vegetasi di Barat Daya Situ Bojongsari
40
06° 30' 00" 06° 45' 30" 06° 46' 00"
Perumahan
06° 30' 00" 06° 45' 30" 06° 46' 00"
1 0 1 2km Tegalan
41
Selanjutnya di bagian tenggara hingga timur Situ Bojongsari adalah
sarana rekreasi. Kendati bertajuk sarana rekreasi, namun lokasi ini tampak
sepi. Menurut masyarakat sekitar, lokasi ini hanya ramai pada hari libur,
itupun pengunjung tidak banyak seperti tempat wisata pada umumnya.
Aktivitas yang kental terlihat di lokasi ini adalah banyaknya para pencari
ikan baik dengan jala maupun sekedar menyalurkan hobi memancing,
sebab di Situ Bojongsari terkenal dengan hasil ikan air tawar yang
melimpah yang oleh masyarakat sekitar disebut ikan melem. Karena
memang direncanakan sebagai tempat wisata, maka lokasi ini sangat sejuk
oleh pohon-pohon akasia yang ditanam di pinggiran situ disertai dengan
penutupan rumput yang tidak sempurna, karena mungkin tidak dirawat
dengan baik.
Kemudian di bagian utara hingga timur laut pada Gambar 19
merupakan areal yang penuh dengan alang-alang dan sebagian rumput.
Menurut penuturan masyarakat sekitar, rumput-rumput di daerah ini sering
dibabat penduduk untuk pakan ternak. Vegetasi yang dominan di bantaran
situ daerah ini adalah perumputan dengan penutupan tanah sebagian dan
ditumbuhi alang-alang. Untuk lokasi barat hingga barat laut Situ
Bojongsari memiliki jenis vegetasi yang sama dengan lokasi tengah atau
lekukan situ .
dimana :
A : Jumlah tanah yang hilang rata-rata setiap tahun (ton/ha/tahun)
R : Indeks daya erosi curah hujan (erosivitas hujan)
K : Indeks kepekaan tanah terhadap erosi (erodibilitas tanah)
42
LS : Faktor panjang lereng (L) dan kemiringan lereng (S)
C : Faktor tanaman (vegetasi)
P : Faktor usaha-usaha pencegahan erosi (konservasi)
43
Gambar 21. Erosi Longsor di Bantaran Situ Bojongsari
Pada lokasi 3, memiliki tingkat kemiringan lereng yang seragam.
Terdapat tiga kelas kemiringan lereng pada lokasi ini, yaitu 0 - 5 %, 15 -
35 %, dan 35 - 50 %. Sehingga untuk memperoleh nilai LS total sebagai
berikut :
s = 0 – 5 % (pada luas lahan 18.13 ha), maka LS = 0.25
s = 15 – 35 % (pada luas lahan 2.81 ha), maka LS = 4.25
s = 35 – 50 % (pada luas lahan 10.34 ha), maka LS = 9.50
Maka nilai LS total pada Lokasi 3
=
(0.25 × 18.13) + (4.25 × 2.81) + (9.50 × 10.34)
(18.13 + 2.81 + 10.34)
4.53 + 11.94 + 98.2
=
31.28
= 3.67
Untuk lokasi 1 memili kemiringan lereng yang sama yaitu 35-50
%. Selanjutnya pada lokasi 2 kemiringan lereng seragam antara 0 – 5
%.Kondisi yang sama juga terdapat di lokasi 4 dan lokasi 5 yang memilki
kemiringan lereng yang sama. Hasil perhitungan nilai total laju kehilangan
tanah selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 13.
44
Tabel 8. Nilai Faktor-Faktor Erosi pada Lokasi 1
Tahun R K s(%) LS C P CP
1992 3087.682 0.121 35-50 9.50 0.195 0.50 0.098
1993 3225.605 0.121 35-50 9.50 0.195 0.50 0.098
1994 2429.612 0.121 35-50 9.50 0.195 0.50 0.098
1995 3321.904 0.121 35-50 9.50 0.195 0.50 0.098
1996 3087.792 0.121 35-50 9.50 0.195 0.50 0.098
1997 1910.324 0.121 35-50 9.50 0.195 0.50 0.098
1998 3203.011 0.121 35-50 9.50 0.195 0.50 0.098
1999 2080.779 0.121 35-50 9.50 0.195 0.50 0.098
2000 1874.487 0.121 35-50 9.50 0.195 0.50 0.098
2001 2419.636 0.121 35-50 9.50 0.195 0.50 0.098
45
Tabel 10. Nilai Faktor-Faktor Erosi pada Lokasi 3
Tahun R K s(%) LS C P CP
0–5
1992 3087.682 0.121 15-35 3.67 - - 0.100
35-50
0–5
1993 3225.605 0.121 15-35 3.67 - - 0.100
35-50
0–5
1994 2429.612 0.121 15-35 3.67 - - 0.100
35-50
0–5
1995 3321.904 0.121 15-35 3.67 - - 0.100
35-50
0–5
1996 3087.792 0.121 15-35 3.67 - - 0.100
35-50
0–5
1997 1910.324 0.121 15-35 3.67 - - 0.100
35-50
0–5
1998 3203.011 0.121 15-35 3.67 - - 0.100
35-50
0–5
1999 2080.779 0.121 15-35 3.67 - - 0.100
35-50
0–5
2000 1874.487 0.121 15-35 3.67 - - 0.100
35-50
0–5
2001 2419.636 0.121 15-35 3.67 - - 0.100
35-50
46
Tabel 11. Nilai Faktor-Faktor Erosi pada Lokasi 4
Tahun R K s(%) LS C P CP
1992 3087.682 0.121 0-5 0.25 0.32 0.40 0.128
1993 3225.605 0.121 0-5 0.25 0.32 0.40 0.128
1994 2429.612 0.121 0-5 0.25 0.32 0.40 0.128
1995 3321.904 0.121 0-5 0.25 0.32 0.40 0.128
1996 3087.792 0.121 0-5 0.25 0.32 0.40 0.128
1997 1910.324 0.121 0-5 0.25 0.32 0.40 0.128
1998 3203.011 0.121 0-5 0.25 0.32 0.40 0.128
1999 2080.779 0.121 0-5 0.25 0.32 0.40 0.128
2000 1874.487 0.121 0-5 0.25 0.32 0.40 0.128
2001 2419.636 0.121 0-5 0.25 0.32 0.40 0.128
47
Tabel 13 . Hasil Perhitungan Laju Kehilangan Tanah (A) di Situ Bojongsari Tahun 1992 – 2001
A
LS CP
T R*K ton/ha/tahun
1 2 3 4 5 1 2 3 4 5 1 2 3 4 5
92 373.61 9.50 0.25 3.67 0.25 0.25 0.098 0.01 0.1 0.128 0.02 347.83 0.93 137.11 11.96 1.87
93 390.30 9.50 0.25 3.67 0.25 0.25 0.098 0.01 0.1 0.128 0.02 363.37 0.98 143.24 12.49 1.95
94 293.98 9.50 0.25 3.67 0.25 0.25 0.098 0.01 0.1 0.128 0.02 273.70 0.73 107.89 9.41 1.47
95 401.95 9.50 0.25 3.67 0.25 0.25 0.098 0.01 0.1 0.128 0.02 374.22 1.00 147.52 12.86 2.01
96 373.62 9.50 0.25 3.67 0.25 0.25 0.098 0.01 0.1 0.128 0.02 347.84 0.93 137.12 11.96 1.87
97 231.15 9.50 0.25 3.67 0.25 0.25 0.098 0.01 0.1 0.128 0.02 215.20 0.58 84.83 7.40 1.16
98 387.56 9.50 0.25 3.67 0.25 0.25 0.098 0.01 0.1 0.128 0.02 360.82 0.97 142.23 12.40 1.94
99 251.77 9.50 0.25 3.67 0.25 0.25 0.098 0.01 0.1 0.128 0.02 234.40 0.63 92.40 8.06 1.26
00 226.81 9.50 0.25 3.67 0.25 0.25 0.098 0.01 0.1 0.128 0.02 211.16 0.57 83.24 7.26 1.13
01 292.78 9.50 0.25 3.67 0.25 0.25 0.098 0.01 0.1 0.128 0.02 272.58 0.73 107.45 9.37 1.46
Keterangan : T : Tahun
Tabel 14. Hasil Perhitungan Total Laju Kehilangan Tanah (A) di Situ Bojongsari Per Tahun
LOKASI
Total Nilai A (Ton/ha/tahun)
1 2 3 4 5
48
6. Klasifikasi Tingkat Bahaya Erosi (TBE)
Setelah nilai erosi dari kelima lokasi diperoleh, selanjutnya melalui
informasi solum tanah dapat diketahui Tingkat Bahaya Erosi (TBE).
Tanah di sekitar Situ Bojongsari termasuk jenis tanah latosol yang
mempunyai solum tanah > 90 cm (Djunaedi, 1999 dan Soil Staff, 1999).
Selanjutnya TBE dapat diketahui dari Tabel 5. Sehingga diperoleh Kelas
Tingkat Bahaya Erosi untuk lima zona erosi di sekeliling Situ Bojongsari
Tabel 17.
Dari Tabel 15 perhitungan di atas didapat nilai rata-rata kehilangan
tanah di lima lokasi yang mengelilingi Situ Bojongsari berdasarkan batas
Daerah Tangkapan Air (DTA) seperti yang ditunjukkan pada Gambar 19.
Kelima lokasi ini diduga dapat menyebabkan erosi di sekitar situ, sehingga
dalam kurun waktu beberapa tahun mendatang apabila tidak segera
dilakukan aksi tindak pencegahan erosi maka akan menyebabkan
sedimentasi situ.
49
dan alang-alang dapat menyerap air hujan yang jatuh ke tanah, selain itu
zona ini ditunjang dengan luas petak daerah tangkapan air yang kecil dan
kemiringan yang landai. Sehingga kemungkinan tanah yang terbawa aliran
permukaan masuk ke dalam situ sedikit. Nilai erosi yang juga terbilang
kecil juga terdapat pada lokasi 2 yang merupakan padang golf dengan
vegetasi penutup sekaligus konservasi perumputan yang sempurna.
Sehingga dengan curah hujan di wilayah Depok yang relatif tinggi setiap
tahunnya, air hujan yang turun dapat diserap sempurna oleh vegetasi
rumput tanpa harus terjadi aliran permukaan yang membawa pecahan-
pecahan tanah ke perairan situ. Selain itu nilai kehilangan tanah yang kecil
ini, juga akibat kemiringan lereng yang landai yaitu berkisar antara 0 – 5
%. Dengan kemiringan lereng yang landai, maka dapat dipastikan apabila
terjadi pengangkutan partikel tanah akibat erosi, tanah tidak langsung
dengan mudah jatuh ke perairan. Sehingga nilai persentasi kemiringan
yang kecil ini akan memperkecil resiko erosi.
Sedangkan total kehilangan tanah terbesar terdapat di lokasi 1 yaitu
kawasan barat daya Situ Bojongsari dengan nilai erosi 4969.84 ton/tahun.
Lokasi 1 memiliki kemiringan lereng sangat curam berkisar antara 35 – 50
%. Selain itu dengan vegetasi berupa ubi kayu dan kacang tanah yang
ditanam dengan jarak tanam yang lebar (jarang), menyebabkan tanah di
sekitar situ menjadi rawan terjangkit erosi. Faktor utama yang
menyebabkan lokasi ini masuk dalam kategori erosi berat karena cakupan
luas daerah tangkapan airnya yang luas, sehingga resiko erosi tinggi.
Lokasi 3 dengan vegetasi semak dan rumput termasuk kelas erosi
sedang. Lokasi ini memiliki kemiringan lereng yang beragam, yaitu 0 – 5
%, 15 – 35 %, 35 – 50 %. Padahal apabila ditinjau dari vegetasi dan faktor
konservasinya, seharusnya zona 3 dengan semak dan sebagian rumputnya
mampu menjadi daerah resapan air yang baik. Namun, vegetasi dan
konservasi yang baik tanpa didukung oleh persentase kemiringan yang
kecil juga dapat meningkatkan resiko erosi. Karena perhitungan erosi
dengan metode USLE ini merupakan perpaduan dari seluruh faktor erosi
yaitu hujan, erodibilitas, faktor kelas lereng, faktor vegetasi serta
50
konservasi, dan luas daerah tangkapan air. Faktor-faktor ini saling terkait
satu dan lainnya.
Selanjutnya lokasi 4 yaitu daerah tenggara hingga timur Situ
Bojongsari, yang merupakan areal dengan vegetasi dan praktik konservasi
yang kurang baik. Apabila kita meninjau hanya dari faktor CP, maka
lokasi 4 inilah wilayah yang sangat rawan terhadap erosi. Karena areal ini
ditujukan untuk objek wisata, maka dapat dipastikan jumlah bangunan-
bangunan komersil seperti warung, panggung hiburan, MCK akan lebih
banyak dibanding vegetasi penutupnya. Vegetasi yang diusahakan di areal
ini adalah pohon akasia dengan penutupan rumput yang kurang rapat
(jelek). Ditambah lagi dengan aktivitas pengunjung objek wisata yang
gemar menginjak rumput, membuang sampah sembarangan, bahkan
melakukan kegiatan bakar jagung/ubi di tepi situ. Kegiatan-kegiatan ini
secara tak langsung memberikan resiko erosi yang lebih tinggi lagi. Selain
itu pada zona 4 memiliki cakupan daerah tangkapan air yang luas yaitu
sebesar 46.25 ha. Namun, pada perhitungan prediksi erosi yang dilakukan
nilai total kehilangan tanah lokasi 4 ini relatif kecil dan masuk dalam kelas
erosi ringan. Hal ini dapat terjadi karena lokasi 4 didukung oleh
kemiringan lereng yang relatif landai berkisar antara 0 – 5 %, sehingga
dapat memperkecil resiko erosi.
Penyebaran luas untuk kelas TBE yang tergolong sangat ringan
terjadi pada kelas kelerengan 0-5 % dan kelas sedang pada kelas
kelerengan 15-35 %, sedangkan kelas erosi berat terjadi pada kelas
kelerengan 35-50 %.
Secara keseluruhan dapat dikatakan bahwa areal di sekeliling Situ
Bojongsari masih dalam kondisi relatif aman terhadap bahaya erosi dan
sedimentasi. Hal ini juga diperkuat dengan perhitungan kemungkinan
umur Situ Bojongsari.
Pendugaan umur situ dilakukan dalam rangka memprediksi sampai
kapan suatu situ dalam kondisi bagus secara ekosistem dan merencanakan
praktik konservasi yang harus dilakukan umtuk memperpanjang umur situ.
51
Penentuan umur situ dimulai dengan terlebih dahulu menghitung
kedalaman situ. Situ Bojongsari memiliki kedalaman yang beragam antara
3 – 10 meter. Pada pengukuran kedalaman Situ Bojongsari diwakili tiga
titik kedalaman. Selanjutnya dengan informasi luas Situ Bojongsari dapat
dicari volume situ. Setelah volume diketahui maka selanjutnya umur Situ
Bojongsari dapat diketahui dengan membagi nilai volume situ dengan
jumlah erosi di lima zona erosi . Perhitungan sebagai berikut.
52
Dari prediksi tersebut umur Situ Bojongsari mampu mencapai 211
tahun. Hasil ini bukan merupakan nilai mutlak. Nilai ini hanya berupa
prediksi, karena pada hakekatnya umur situ juga tergantung dari aktivitas
manusia di sekelilingnya dan kemauan manusia untuk mengelola
lingkungan hidup. Bukan tidak mungkin, umur situ lebih pendek dari
prediksi perhitungan akibat perilaku masyarakat yang kurang peduli
terhadap lingkungan.
53
V. KESIMPULAN DAN SARAN
A. KESIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian terhadap pendugaan erosi yang dilakukan
di Situ Bojongsari, maka diperoleh kesimpulan sebagai berikut:
1. Situ Bojongsari memiliki tujuh muara dengan luas genangan airnya
sebesar 28.25 Ha.
2. Kedalaman rata-rata Situ Bojongsari adalah 3-4 m.
3. Situ Bojongsari terletak pada ketinggian 70 m dari permukaan laut.
4. Fluktuasi permukaan air situ antara musim kemarau dan musim
penghujan kurang lebih 1.2 meter dan waktu simpan air selama 27
hari.
5. Kondisi Situ Bojongsari sudah mengalami penurunan. Kerusakan yang
terindikasi di Situ Bojongsari adalah pendangkalan dasar situ,
penyempitan luas situ, pencemaran air, dan adanya vegetasi enceng
gondok hampir memenuhi 60% perairan.
6. Laju erosi rata-rata yang terjadi di Situ Bojongsari dihitung dengan
metode zonasi yang terbagi dalam lima wilayah erosi (zona erosi)
berdasarkan perbedaan faktor lereng (LS) dan faktor vegetasi, cakupan
daerah tangkapan air, serta faktor konservasi (CP). Laju erosi di lokasi
1 sebesar 300.111 ton/ha/tahun, lokasi 2 dengan laju erosi 0.806
ton/ha/tahun, lokasi 3 sebesar 118.303 ton/ha/tahun, lokasi 4 sebesar
10.315 ton/ha/tahun, di lokasi 5 nilai laju erosinya 1.612 ton/ha/tahun.
7. Berdasarkan perhitungan cakupan daerah tangkapan pada masing-
masing zona maka dapat diketahui bahwa nilai erosi terbesar yang
tergolong kelas erosi berat terdapat pada lokasi 1 sebesar 4969.84
ton/ha. Sedangkan nilai erosi terkecil terdapat pada lokasi 5 yang
tergolong kategori erosi sangat ringan sebesar 22.66 ton/ha.
8. Penyebaran luas untuk kelas TBE yang tergolong sangat ringan terjadi
pada kelas kelerengan 0-5 % dan sedang pada kelas kelerengan 15-35
%, sedangkan kelas erosi berat terjadi pada kelas kelerengan 35-50 %.
54
Sehingga dapat disimpulkan bahwa areal di sekeliling Situ Bojongsari
masih dalam kondisi relatif aman terhadap bahaya erosi dan
sedimentasi. Hal ini juga diperkuat dengan perhitungan kemungkinan
umur Situ Bojongsari.
9. Faktor penyebab erosi terbesar pada Situ Bojongsari karena tanah
yang terbawa aliran permukaan akibat vegetasi di sekitar situ tidak
dapat menahan aliran permukaan serta jarak tanam yang terlalu jauh
(kurang rapat).
10. Umur Situ Bojongsari mampu mencapai 211 tahun. Hasil ini bukan
merupakan nilai mutlak. Nilai ini hanya berupa prediksi, karena pada
hakekatnya umur situ juga tergantung dari aktivitas manusia di
sekelilingnya dan kemauan manusia untuk mengelola lingkungan
hidup. Bukan tidak mungkin, umur situ lebih pendek dari prediksi
perhitungan akibat perilaku masyarakat yang kurang peduli terhadap
lingkungan.
11. Untuk mencegah terjadinya erosi maka perlu dilakukan reboisasi di
sekitar situ dan pembuatan bangunan penangkal erosi.
12. Untuk mengatasi masalah sedimentasi yang telah menumpuk di Situ
Bojongsari, maka perlu diadakan pengerukan terhadap lapisan lumpur
yang berada di dasar situ. Waktu yang tepat untuk melakukan
pengerukan sedimentasi adalah pada akhir musim kemarau, karena
lumpur akan mudah dibuang. Selain itu juga menjelang musim hujan,
saat air hujan pada awal musim hujan dapat menjadi pencuci situ.
B. SARAN
Dalam rangka peningkatan pelestarian dan pemulihan Situ Bojongsari
serta untuk penelitian-penelitian selanjutnya, maka perlu dilakukan hal-hal
sebagai berikut :
1. Pada tanah yang tererosi berat dan sangat berat perlu diupayakan
usaha konservasi lahan baik secara mekanis maupun vegetatif.
2. Diperlukan adanya Kebijakan Pemerintah Daerah dalam kegiatan
pemeliharaan dan pemulihan kerusakan Situ Bojongsari
55
3. Perlu adanya tata ruang dan batas bantaran Situ Bojongsari yang
kemudian menjadi Perda (Peraturan Daerah) agar kerusakan dapat
dihindarkan sehingga kelestarian situ dapat dijaga.
4. Kepada masyarakat yang bermukim di sekitar Situ Bojongsari
hendaknya lebih peduli terhadap ekosistem situ dengan selalu menjaga
kebersihan dan keindahan situ.
56
DAFTAR PUSTAKA
Asdak, C. 1995. Hidrologi dan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai. Gadjah Mada
University Press. Jogjakarta.
57
http:/www.bakosurtanal.go.id. Diakses tanggal 30 Januari 2008
Indrawati. 2000. Kajian Erosi DAS Citarum Hulu Terhadap Sedimentasi Waduk
Saguling, Jawa Barat. Skripsi. Jurusan Geofisika dan Meteorologi.
Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam. IPB. Bogor.
Nilwan. 1987. Pendugaan Besar Erosi dan Daya Angkutan Sedimen pada Daerah
Aliran Sungai Citarum Hulu. Skripsi. Jurusan Teknik Pertanian. Fakultas
Teknologi Pertanian. IPB. Bogor.
58
Lampiran 1 . Data Curah Hujan Bulanan DAS Ciliwung Tengah Periode Tahun 1992-2001
Tahun
BULAN Curah Hujan(mm) Rata-rata
1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001
Januari 364 444 502 518 368 321 351 243 276 331 372
Pebruari 369 291 287 362 477 117 438 240 230 307 312
Maret 362 365 401 414 270 187 585 110 81 336 311
April 352 326 500 297 501 273 410 313 198 321 349
Mei 387 324 333 290 291 362 235 295 448 289 325
Juni 163 295 141 372 89 42 373 250 208 225 216
Juli 223 116 19 177 233 22 394 255 191 250 168
Agustus 218 381 25 19 344 140 203 142 167 148 179
September 229 288 66 332 274 38 160 84 208 285 196
Oktober 462 353 359 498 353 123 541 329 184 386 359
November 419 408 368 556 301 523 125 391 385 297 377
Desember 363 453 26 190 387 396 99 244 68 82 245
JUMLAH 3911 4044 3267 4025 3788 2544 3714 2896 2644 3257 3409
BK 0 0 2 1 0 3 0 0 0 0 0.6
BB 12 12 9 11 11 9 11 11 10 11 10.7
59
Lampiran 2. Peta Administrasi Kota Depok
N
PETA ADMINISTRASI
KOTA DEPOK
SKALA 1 : 12 000 000
Keterangan :
: Jalan Lokal
Situ Bojongsari
: Rumput/Kebun
: Ladang
: Sungai
Sumber : www.depok.go.id
60
Lampiran 3. Peta Sebaran Curah Hujan Kota Depok
N PETA ADMINISTRASI
KOTA DEPOK
SKALA 1 : 12 000 000
Keterangan :
61
Lampiran 4. Peta Situ Bojongsari
06° 30' 00" 06° 45' 30" 06° 46' 00"
N PETA RUPA BUMI
INDONESIA
W E SITU BOJONGSARI
106° 23' 00"
Keterangan :
: Kebun : Pemukiman
: Ladang : Sungai
06° 30' 00" 06° 45' 30" 06° 46' 00"
1 0 1 2km
Sumber : BAKOSURTANAL
62
Lampiran 5. Peta Sawangan
Keterangan :
: Kebun : Pemukiman
: Ladang : Sungai
Sumber : BAKOSURTANAL
63
64
Lampiran 6. Peta Situ Bojongsari
06° 30' 00" 06° 45' 30" 06° 46' 00"
Sumber : BAKOSURTANAL
63
Lampiran 7. Nilai Erodibilitas (K) Untuk Jenis Tanah di Jawa
65
Lampiran 7. Lanjutan
66
Lampiran 6. Peta Spasial Pembagian Kelas Lereng Kawasan Jabodetabek
PETA SPASIAL
U KELAS LERENG
JABODETABEK
SKALA
1 : 350000
Keterangan :
Batas Kota/Kabupaten
Sungai
Sumber : BAKOSURTANAL
64
Lampiran 8. Perkiraan Nilai Faktor C Berbagai Jenis Penggunaan Lahan
67
Lampiran 8. Lanjutan
68
Lampiran 9. Perkiraan Nilai Faktor CP Berbagai Jenis Penggunaan Lahan di
Jawa
Nilai
Konservasi dan Pengelolaan Tanaman
CP
Hutan
a. Tak terganggu 0.01
b. Tanpa tumbuhan bawah, disertai seresah 0.05
c. Tanpa tumbuhan bawah, tanpa seresah 0.50
Semak
a. Tak terganggu 0.01
b. Sebagian berumput 0.10
Kebun
a. Kebun talun 0.02
b. Kebun pekarangan 0.20
Perkebunan
a. Penutupan tanah sempurna 0.01
b. Penutupan tanah sebagian 0.07
Perumputan
a. Penutupan tanah sempurna 0.01
b. Penutupan tanah sebagian; ditumbuhi alang-alang 0.02
c. Alang-alang; pembakaran sekali setahun 0.06
d. Serai wangi 0.65
Tanaman Pertanian
a. Umbi-umbian 0.51
b. Biji-bijian 0.51
c. Kacang-kacangan 0.36
d. Campuran 0.43
e. Padi Irigasi 0.02
69
Lampiran 9. Lanjutan
Nilai
Konservasi dan Pengelolaan Tanaman
CP
Perladangan
a. 1 tahun tanam – 1 tahun bero 0.28
b. 1 tahun tanam – 2 tahun bero 0.19
Pertanian dengan konservasi
a. Mulsa 0.14
b. Teras bangku 0.04
c. Contour cropping 0.14
Sumber : Abdukrahman dkk., 1984 ; Ambar dan Syafrudin, 1979 di dalam
Asdak (1995)
70