Anda di halaman 1dari 3

BAB II

Pengertian Mengenai Arbitrase

A. Definisi Arbitrase

Pengertian mendasar arbitrase yang sudah mulai populer disekarang ini, pada mulanya Kata
“arbitrase” berasal dari bahasa asing yaitu “arbitrare”. Arbitrase juga dikenal dengan sebutan atau
istilah lain yang mempunyai arti sama, seperti : perwasitan atau arbitrage (Belanda), arbitration
(Inggris), arbitrage atau schiedsruch (Jerman), arbitrage (Prancis) yang berarti kekuasaan
menyelesaikan sesuatu menurut kebijaksanaan. Arbitrase di Indonesia dikenal dengan “perwasitan”
secara lebih jelas dapat dilihat dalam Undang-undang No. 1 Tahun 1950, yang mengaturtentang
acara dalam tingkat banding terhadap putusan-putusan wasit, dengan demikian orang yang ditunjuk
mengatasi sengketa tersebut adalah wasit atau biasa disebut “arbiter” tugasnya sama seperti halnya
dengan hakim, namun disini akan dijelaskan lebih rinci lagi.

Menurut Pasal 1 angka 1 Undang-undang No.30 Tahun 1999, arbitrase adalah cara penyelesaian
suatu sengketa perdata di luar pengadilan umum yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang
dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa. Pada dasarnya arbitrase dapat berwujud
dalam dua bentuk, yaitu:

1. Factum de compromitendo yaitu klausa arbitrase yang tercantum dalam suatau perjanjian
tertulis yang dibuat para pihak sebelum timbul sengketa.
2. Akta Kompromis yaitu suatu perjanjian arbitrase tersendiri yang dibuat para pihak setelah
timbul sengketa.

Sebelum UU arbitrase berlaku, ketenyuan mengenai arbitrase diatur dalam pasal 615 s/d 651
Reglemen Acara Perdata (Rv). Selain itu, pada penjelasan pasal 3 ayat 1 Undang-undang No.14
Tahun 1970 tentang Pokok-pokok Kekuasaan Kehakiman menyebutkan bahwa penyelesaian perkara
di luar pengadilan atas dasar perdamaian atau melalui wasit (arbitrase) tetap diperbolehkan.

B. Jenis-jenis Arbitrase

Arbitrase dapat berupa arbitrase sementara (ad-hoc) maupun arbitrase melalui badan permanen
(institusi). Arbitrase Ad-hoc dilaksanakan berdasarkan aturan-aturan yang sengaja di bentuk untuk
tujuan arbitrase, misalnya Undang-undang No.30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif
Penyelesaian Sengketa. Pada umumnya arbitrase ad-hoc ditentukan berdasarkan perjanjian yang
menyebutkan penunjukan majelis arbitrase serta prosedur pelaksanaan yang yang telah disepakati
oleh para pihak.

Arbitrase insitusi adalah suatu lembaga permanen yang dikelola oleh berbagai badan arbitrase
berdasarkan aturan-aturan yang mereka tentukan sendiri. Saat ini dikenal berbagai aturan arbitrase
yang dikeluarkan oleh badan-badan arbitrase seperti Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI),
maupun yang internasional seperti The Rules of Arbitration dari International Chamber of Commerce
(ICC) di Paris, The Arbitration Rules dari The International Centre for Settlement of Investment
Disputes (ICSID) di Washington. Badan-badan tersebut mempunyai peraturan dan sistem arbitrase
sendiri-sendiri.

C. Lingkup Arbitrase

Objek perjanjian arbitrase (sengketa yang akan diselesaikan di luar pengadilan melalui lembaga
arbitrase dan atau lembaga alternatif penyelesaian sengketa lainnya) menurut Pasal 5 ayat 1 Undang
Undang Nomor 30 tahun 1999 (“UU Arbitrase”) hanyalah sengketa di bidang perdagangan dan
mengenai hak yang menurut hukum dan peraturan perundang-undangan dikuasai sepenuhnya oleh
pihak yang bersengketa.

Adapun kegiatan dalam bidang perdagangan itu antara lain: perniagaan, perbankan, keuangan,
penanaman modal, industri dan hak milik intelektual. Sementara itu Pasal 5 (2) UU Arbitrase
memberikan perumusan negatif bahwa sengketa-sengketa yang dianggap tidak dapat diselesaikan
melalui arbitrase adalah sengketa yang menurut peraturan perundang-undangan tidak dapat
diadakan perdamaian sebagaimana diatur dalam KUH Perdata Buku III bab kedelapan belas Pasal
1851 s/d 1854.

BAB III

Munculnya Dualisme Dalam Badan Arbitrase Nasional

Di Indonesia terdapat badan yang menaungi arbitrase , disebut BANI (Badan Arbitrase
Nasional INDONESIA) lembaga ini berbentuk independen yang memberikan jasa beragam yang
berhubungan dengan arbitrase, mediasi dan bentuk-bentuk lain dari penyelesaian sengketa di luar
pengadilan. BANI didirikan pada tahun 1977 oleh Kamar Dagang dan Industri Indonesia (KADIN)
melalui SK No. SKEP/152/DPH/1977 tanggal 30 November 1977 dan dikelola serta diawasi oleh
Dewan Pengurus dan Dewan Penasehat yang terdiri dari tokoh-tokoh masyarakat dan sektor bisnis.

BANI lembaga arbitrase yang sah , berkerja dalam permasalahan arbitrase, mediasi dan
bentuk-bentuk penyelesaian sengketa yang notaben nya sebagai pemecah permasalahan, namun
belakangan ini BANI sendiri mengalami masalah yang cukup rumit yaitu terpecahnya BANI dan
semakin berseteru. BANI kini terpecah menjadi dua yaitu versi mampang dan sovereign. Hingga pada
waktu lain Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta mengabulkan gugatan BANI Mampang atas Surat
Keputusan Menkumham tentang Pengesahan Badan Hukum BANI Sovereign. Tetapi, kedua putusan
pengadilan ini belum berkekuatan hukum tetap karena kedua kubu yang kalah mengajukan banding.

Pada dasarnya tujuan utama lembaga arbitrase adalah menyelesaikan perselisihan. Oleh
karena itu, tidak masuk akal jika lembaga yang menyelesaikan perselisihan tersebut justru saling
bersengketa satu sama lain. Banyak yang pihak agar para petinggi dari kedua BANI meninggalkan ego
masing-masing demi berjalannya sebuah lembaga arbitrase yang menjadi tumpuan masyarakat
dalam menyelesaikan sengketa. Janganlah membuat masyarakat ini semakin bingung karena harus
memilih badan mana yang harus dipilih dalam suatu sengketa arbitrase.
Perpecahan ini tentunya berdampak pada penyelesaian sengketa, contohnya pada kasus PT
Maybank Indonesia Tbk dan PT Reliance Capital Management atas perjanjian transaksi jual beli
saham PT Wahana Ottomitra Multiartha Tbk (WOMF). Para pihak membawa sengketa ke BANI yang
berbeda dengan objek yang sama, sehingga muncul dua putusan berbeda.

Maka dari itu sebaiknya pihak yang bersengketa silakan menunjuk lembaga arbitrase yang
dipilih untuk menyelesaikan sengketa dengan kesepakatan dua belah pihak. Klausul arbitrase
ditentukan pada saat membuat perjanjian, kedua belah pihak mesti sepakat dan jelas disebutkan
lembaga arbitrase yang mana. Dalam klausul arbitrase harus secara spesifik menunjuk lembaga
arbitrase yang mana, BANI mampang atau BANI Pembaharuan. Cara tersebut juga dikatakan ketua
BANI Sovereign Anita Kolopaking bisa mencegah adanya pihak-pihak yang memanfaatkan polemik
atas BANI ini sendiri. Misalnya, satu pihak yang kalah di BANI Mampang kemudian mendaftar lagi
perkara yang sama ke BANI Sovereign.

Anda mungkin juga menyukai