Anda di halaman 1dari 13

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA

NOMOR 8 TAHUN 1981


TENTANG
PERLINDUNGAN UPAH
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang : a. bahwa sistem pengupahan yang berlaku sekarang ini sudah tidak sesuai lagi
dengan perkembangan keadaan, sehingga perlu disusun suatu peraturan
perundang-undangan sebagai pelaksanaan Undang-undang Nomor 14 Tahun
1969;
b. bahwa sebagai pelaksanaan tersebut huruf a dipandang perlu mengatur
perlindungan upah dalam suatu Peraturan Pemerintah;

Mengingat : 1. Pasal 5 ayat (2) dan Pasal 27 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945;
2. Undang-undang Nomor 80 Tahun 1957 tentang Persetujuan Organisasi
Perburuhan Internasional Nomor 100 mengenai pengupahan bagi buruh laki-laki
dan wanita untuk pekerjaan yang sama nilainya (Lembaran Negara Tahun
1957 Nomor 171);
3. Undang-undang Nomor 14 Tahun 1969 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok
mengenai Tenaga Kerja (Lembaran Negara Tahun 1969 Nomor 55, Tambahan
Lembaran Negara Nomor 2912);
MEMUTUSKAN :
Menetapkan : PERATURAN PEMERINTAH TENTANG PERLINDUNGAN UPAH.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan :
a. Upah adalah suatu penerimaan sebagai imbalan dari pengusaha kepada
buruh untuk sesuatu pekerjaan atau jasa yang telah atau akan dilakukan,
dinyatakan atau dinilai dalam bentuk uang yang ditetapkan menurut suatu
persetujuan, atau peraturan perundang-undangan, dan dibayarkan atas dasar suatu
perjanjian kerja antara pengusaha dengan buruh, termasuk tunjangan baik
untuk buruh sendiri maupun keluarganya;
b. Pengusaha ialah :
1. Orang, persekutuan atau badan hukum yang menjalankan sesuatu perusahaan
milik sendiri..
2. Orang, persekutuan atau badan hukum yang secara berdiri sendiri menjalankan
perusahaan bukan miliknya.
3. Orang, persekutuan atau badan hukum yang berada di Indonesia mewakili
perusahaan termaksud pada angka 1 dan 2 di atas, yang berkedudukan di luar

www.djpp.depkumham.go.id
PDF created with pdfFactory Pro trial version www.pdffactory.com
Indonesia.
c. Buruh adalah tenaga kerja yang bekerja pada pengusaha dengan menerima upah;
d. Menteri adalah Menteri yang bertanggungjawab dalam bidang ketenaga
kerjaan.
Pasal 2
Hak untuk menerima upah timbul pada saat adanya hubungan kerja dan berakhir
pada saat hubungan kerja putus.
Pasal 3
Pengusaha dalam menetapkan upah tidak boleh mengadakan diskriminasi antara
buruh laki-laki dan buruh wanita untuk pekerjaan yang sama nilainya.
Pasal 4

Upah tidak dibayar bila buruh tidak melakukan pekerjaan.


Pasal 5
(1) Menyimpang dari ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4,
pengusaha wajib membayar upah buruh :
a. Jika buruh sendiri sakit, sehingga tidak dapat metakukan pekerjaannya
dengan ketentuan sebagai berikut:
1. untuk 3 (tiga) bulan pertama, dibayar 100% (seratus persen) dari upah;
2. untuk 3 (tiga) bulan kedua, dibayar 75% (tujuhpuluh lima persen) dari
upah;
3. untuk 3 (tiga) bulan ketiga, dibayar 50% (limapuluh persen) dari upah;
4. untuk 3 (tiga) bulan keempat, dibayar 25% (duaputuh lima persen)
dari upah.
b. Jika buruh tidak masuk bekerja karena hal-hal sebagaimana
dimaksud di bawah ini, dengan ketentuan sebagai berikut :
1. buruh sendiri kawin, dibayar untuk selama 2 (dua) hari;
2. menyunatkan anaknya, dibayar untuk selama 1 (satu) hari;
3. membaptiskan anaknya, dibayar untuk selama 1 (satu) hari;
4. mengawinkan anaknya, dibayar untuk selama 2 (dua) hari;
5. anggota keluarga meninggal dunia yaitu suami/isteri, orang
tua/mertua atau anak, dibayar untuk selama 2 (dua) hari; .
6. isteri melahirkan anak, dibayar untuk selama 1 (satu) hari.
(2) Dalam hal pengusaha tidak mampu memenuhi ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) huruf a, pengusaha dapat mengajukan izin
penyimpangan kepada Menteri atau Pejabat yang ditunjuk. 43
(3) Jika dalam suatu peraturan perusahaan atau perjanjian perburuhan terdapat
ketentuan-ketentuan yang lebih baik dari pada ketentuanketentuan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ketentuan dalam peraturan perusahaan
atau perjanjian perburuhan tersebut tidak boleh dikurangi.

www.djpp.depkumham.go.id
PDF created with pdfFactory Pro trial version www.pdffactory.com
Pasal 6
(1) Pengusaha wajib membayar upah yang biasa dibayarkan kepada buruh
yang tidak dapat melakukan pekerjaannya karena sedang menjalankan
kewajiban Negara, jika dalam menjalankan kewajiban Negara tersebut buruh
tidak mendapatkan upah atau tunjangan lainnya dari Pemerintah tetapi tidak
melebihi 1 (satu) tahun.
(2) Pengusaha wajib membayar kekurangan atas upah yang biasa
dibayarkannya kepada buruh yang dalam menjalankan kewajiban Negara
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), bilamana jumlah upah yang
diperolehnya kurang dari upah yang biasa diterima dari perusahaan yang
bersangkutan, tetapi tidak melebihi 1 (satu) tahun.
(3) Pengusaha tidak diwajibkan untuk membayar upah, bilamana buruh yang
dalam menjalankan kewajiban Negara tersebut telah memperoleh upah
serta tunjangan lainnya yang besarnya sama atau lebih dari upah yang biasa
ia terima dari perusahaan yang bersangkutan.
(4) Pengusaha wajib untuk tetap membayar upah kepada buruh yang tidak dapat
menjalankan pekerjaannya karena memenuhi kewajiban ibadah menurut
agamanya selama waktu yang diperlukan, tetapi tidak melebihi 3 (tiga) bulan.
Pasal 7
Upah buruh selama sakit dapat diperhitungkan dengan suatu pembayaran yang
diterima oleh buruh tersebut yang timbul dari suatu peraturan perundang-
undangan atau peraturan perusahaan atau sesuatu dana yang menyelenggarakan
jaminan sosial ataupun suatu pertanggungan.
Pasal 8
Pengusaha wajib untuk membayar upah kepada buruh yang bersedia
melakukan pekerjaan yang telah dijanjikan, akan tetapi pengusaha tidak
mempekerjakannya baik karena kesalahan sendiri maupun halangan yang dialami
oleh pengusaha yang seharusnya dapat ia hindari.
Pasal 9
Bila upah tidak ditetapkan berdasarkan suatu jangka waktu, maka untuk
menghitung upah sebulan ditetapkan berdasarkan upah rata-rata 3 (tiga) bulan
terakhir diterima oleh buruh.
Pasal 10
(1) Upah harus dibayarkan langsung kepada buruh pada waktu yang telah
ditentukan sesuai dengan perjanjian.
(2) Pembayaran upah secara langsung kepada buruh yang belum dewasa
dianggap sah, apabila orang tua atau wali buruh tidak mengajukan keberatan
yang dinyatakan secara tertulis.
(3) Pembayaran upah melalui pihak ketiga hanya diperkenankan bila ada surat
kuasa dari buruh yang bersangkutan yang karena sesuatu hal tidak dapat
menerimanya secara langsung.
(4) Surat kuasa sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) hanya berlaku untuk satu
kali pembayaran.
(5) Setiap ketentuan yang bertentangan dengan pasal ini adalah batal menurut
hukum.

www.djpp.depkumham.go.id
PDF created with pdfFactory Pro trial version www.pdffactory.com
Pasal 11
Pada tiap pembayaran, seluruh jumlah upah harus dibayarkan
BAB II
BENTUK UPAH
Pasal 12
(1) Pada dasarnya upah diberikan dalam bentuk uang.
(2) Sebagian dari upah dapat diberikan dalam bentuk lain kecuali minuman
keras, obat-obatan atau bahan obat-obatan, dengan ketentuan nilainya tidak
boleh melebihi 25% (duapuluh lima persen) dari nilai upah yang seharusnya
diterima.
Pasal 13
(1) Pembayaran upah harus dilakukan dengan alat pembayaran yang syah dari Negara
Republik Indonesia.
(2) Bila upah ditetapkan dalam.mata uang asing, maka pembayaran akan dilakukan
berdasarkan kurs resmi pada hari dan tempat pembayaran.
Pasal 14
Setiap ketentuan yang menetapkan sebagian atau seluruh upah harus
dipergunakan secara tertentu, ataupun harus dibelikan barang, tidak
diperbolehkan dan karenanya adalah batal menurut hukum, kecuali jika
penggunaan itu timbul dari suatu peraturan perundang-undangan.
Pasal 15
(1) Bila diadakan perjanjian antara buruh dan pengusaha mengenai suatu ketentuan
yang merugikan buruh dan yang bertentangan dengan ketentuan-ketentuan data
Peraturan Pemerintah ini.dan atau peraturan perundang-undangan lainnya dan
karenanya menjadi batal menurut hukum, maka buruh berhak menerima
pembayaran kembali dari bagian upah yang ditahan sebagai perhitungan
terhadap upahnya, dan dia tidak diwajibkan mengembalikan apa yang telah
diberikan kepadanya untuk memenuhi perjanjian.
(2) Dengan tidak mengurangi ketentuan ayat (1), apabila ada permintaan dari
pengusaha atau buruh, badan yang diserahi urusan perselisihan perburuhan dapat
membatasi pengembalian itu sekurang-kurangnya sama dengan j umlah kerugian
yang diderita oleh buruh.
BAB III
CARA PEMBAYARAN UPAH
Pasal 16
Bila tempat pembayaran upah tidak ditentukan data perjanjian atau peraturan
perusahaan, maka pembayaran upah dilakukan di tempat buruh biasanya bekerja,
atau di kantor perusahaan
Pasal 17
Jangka waktu pembayaran upah secepat-cepatnya dapat dilakukan seminggu
sekali atau selambat-lambatnya sebulan sekali, kecuali bila perjanjian kerja untuk
waktu kurang dari satu minggu
Pasal 18
Bilamana upah tidak ditetapkan menurut jangka waktu tertentu, maka
pembayaran upah disesuaikan dengan ketentuan Pasal 17 dengan pengertian
bahwa upah harus dibayar sesuai dengan hasil pekerjaannya dan atau sesuai dengan
jumlah hari atau waktu dia bekerja.

www.djpp.depkumham.go.id
PDF created with pdfFactory Pro trial version www.pdffactory.com
Pasal 19
(1) Apabila upah terlambat dibayar, maka mulai dari hari keempat sampai hari
kedelapan terhitung dari hari dimana seharusnya upah dibayar, upah tersebut
ditambah dengan 5% (lima persen) untuk tiap keterlambatan.
Sesudah hari kedelapan tambahan itu menjadi 1% (satu persen) untuk tiap hari
keterlambatan, dengan ketentuan bahwa tambahan itu untuk 1 (satu) bulan tidak
boleh melebihi 50% (limapuluh persen) dari upah yang seharusnya dibayarkan.
(2) Apabila sesudah sebulan upah masih belum dibayar, maka disamping
berkewajiban untuk membayar sebagaimana dimaksud dalam ayat (1),
pengusaha diwajibkan pula membayar bunga sebesar bunga yang
ditetapkan oleh bank untuk kredit perusahaan yang bersangkutan.
(3) Penyimpangan yang mengurangi ketentuan dalam pasal ini adalah batal
menurut hukum.
BAB IV
DENDA DAN POTONGAN UPAH
Pasal 20
(1) Denda atas pelanggaran sesuatu hal hanya dapat dilakukan bila hal itu diatur
secara tegas dalam suatu perjanjian tertulis atau peraturan perusahaan.
(2) Besarnya denda untuk setiap pelanggaran sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
harus ditentukan dan dinyatakan dalam mata uang Republik Indonesia.
(3) Apabila untuk satu perbuatan sudah dikenakan denda, pengusaha dilarang untuk
menuntut ganti rugi terhadap buruh yang bersangkutan.
(4) Setiap ketentuan yang bertentangan dengan pasal ini adalah batal menurut
hukum.
Pasal 21
(1) Denda yang dikenakan oleh pengusaha kepada buruh, baik langsung maupun
tidak langsung tidak boleh dipergunakan untuk kepentingan 47 pengusaha atau
orang yang diberi wewenang untuk menjatuhkan denda tersebut.
(2) Setiap ketentuan yang bertentangan dengan pasal ini adalah batal menurut
hukum.
Pasal 22
(1) Pemotongan upah oleh pengusaha untuk pihak ketiga hanya dapat dilakukan
bilamana ada surat kuasa dari buruh.
(2) Dikecualikan dari ketentuan ayat (1) adalah semua kewajiban pembayaran
oleh buruh terhadap Negara atau iuran sebagai peserta pada suatu dana yang
menyelenggarakan jaminan sosial yang ditetapkan dengan peraturan
perundang-undangan.
(3) Setiap surat kuasa sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat ditarik kembali
pada setiap saat.
(4) Setiap ketentuan.yang bertentangan dengan pasal ini adalah batal menurut
hukum.
Pasal 23
(1) Ganti rugi dapat dimintakan oleh pengusaha dari buruh, bila terjadi kerusakan
barang atau kerugian lainnya baik milik pengusaha maupun milik pihak ketiga
oleh buruh karena kesengajaan atau kelalaian.
(2) Ganti rugi demikian harus diatur terlebih dahulu dalam suatu perjanjian tertulis atau
peraturan perusahaan dan setiap bulannya tidak boleh melebihi 50% (lima puluh

www.djpp.depkumham.go.id
PDF created with pdfFactory Pro trial version www.pdffactory.com
persen) dari upah.
BAB V
PERHITUNGAN DENGAN UPAH
Pasal 24
(1) Hal-hal yang dapat diperhitungkan dengan upah adalah :
a. denda, potongan, dan ganti rugi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20,
Pasal 21, Pasal 22, dan Pasal 23;
b. sewa rumah yang disewakan oleh pengusaha kepada buruh dengan
perjanjian tertulis;
c. uang muka atas upah, kelebiban upah yang telah dibayarkan dan cicilan
hutang buruh kepada pengusaha, dengan ketentuan harus ada tanda bukti
tertulis.
(2) Perhitungan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak boleh melebihi 50
% (lima puluh persen) dari setiap pembayaran upah yang seharusnya
diterima.
(3) Setiap syarat yang memberikan wewenang kepada pengusaha untuk
mengadakan perhitungan lebih besar daripada yang diperbolehkan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) adalah batal menurut hukum.
(4) Pada waktu pemutusan hubungan kerj a seluruh hutang piutang buruh dapat
diperhitungkan dengan upahnya.
Pasal 25
Bila uang yang disediakan oleh pengusaha-untuk membayar upah disita oleh
Juru Sita, maka penyitaan tersebut tidak boleh memebihi 20% (duapuluh
persen) dari jumlah upah yang harus dibayarkan.
Pasal 26
(1) Bila upah digadaikan atau dijadikan jaminan hutang, maka angsuran tiap
bulan daripada hutang itu tidak boleh melebihi 20% (duapuluh persen) dari
sebulan.
(2) Ketentuan ayat (1) berlaku juga apabila penggadaian atau jaminan itu diadakan
untuk kepentingan pihak ketiga.
Pasal 27
Dalam hal pengusaha dinyatakan pailit, maka upah buruh merupakan hutang
yang didahulukan pembayarannya sesuai dengan peraturan perundang-
undangan tentang kepailitan yang berlaku.
Pasal 28
Bila buruh jatuh pailit, maka upah dan segala pembayaran yang timbul dari hubungan
kerja tidak termasuk dalam kepailitan kecuali ditetapkan lain oleh hakim dengan
ketentuan tidak melebihi 25% (duapuluh lima persen).
Pasal 29
(1) Bila upah baik untuk sebagian ataupun untuk seluruhnya, didasarkan pada
keterangan-keterangan yang hanya dapat diperoleh dari bukubuku pengusaha,
maka buruh atau kuasa yang ditunjuknya berhak untuk 49 meminta keterangan
dan bukti-bukti yang diperlukan dari pengusaha.
(2) Apabila permintaan keterangan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak
berhasil maka buruh atau kuasa yang ditunjuknya berhak meminta bantuan
kepada Menteri atau Pejabat yang ditunjuknya.

www.djpp.depkumham.go.id
PDF created with pdfFactory Pro trial version www.pdffactory.com
(3) Segala sesuatu yang diketahui atas keterangan-keterangan serta bukti-bukti
oleh buruh atau kuasa yang ditunjuknya atau Pejabat yang ditunjuk oleh
Menteri sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) wajib dirahasiakan,
kecuali bila keterangan tersebut dimintakan oleh badan yang diserahi
urusan penyelesaian perselisihan perburuhan.
Pasal 30
Tuntutan upah dan segala pembayaran yang timbul dari hubungan kerja menjadi
daluwarsa setelah melampaui jangka waktu 2 (dua) tahun.
BAB VI
KETENTUAN PIDANA
Pasal 31
Pengusaha yang melanggar ketentuan Pasal 3, Pasal 5 ayat (1), Pasal 6 ayat (1),
ayat (2), ayat (4), dan Pasal 8 dipidana dengan pidana kurungan selama-lamanya 3
(tiga) bulan atau denda setinggi-tingginya Rp. 100.000,- (seratus ribu rupiah).
Pasal 32
Pengusaha yang melanggar ketentuan Pasal 20, Pasal 21, dan Pasal 22, disamping
perbuatan tersebut batal menurut hukum juga dipidana dengan pidana kurungan
selama-lamanya 3 (tiga) bulan atau denda setinggitingginya Rp. 100.000,-
(seratus ribu rupiah).
Pasal 33
Buruh atau ahli yang ditunjuknya atau pejabat yang ditunjuk oleh Menteri yang
dengan sengaja membocorkan rahasia yang harus disimpannya sesuai ketentuan Pasal
29 ayat (3) dipidana dengan pidana kurungan selamalamanya 3 (tiga) bulan atau
denda setinggi-tingginya Rp. 100.000,- (seratus ribu rupiah).
Pasal 34
Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31, Pisal 32, dan Pasal 33
adalah pelanggaran.
BAB VII
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 35
Dengan berlakunya Peraturan Pemerintah ini berdasarkan Undang-undang Nomor 14
Tahun 1969 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Mengenai Tenaga Kerja, maka
ketentuan-ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur perlindungan
upah, sejauh telah diatur dalam Peraturan Pemerintah ini dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 36
Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.

www.djpp.depkumham.go.id
PDF created with pdfFactory Pro trial version www.pdffactory.com
Agar supaya setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan
Pemerintah ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik
Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 2 Maret 1981
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
ttd
SOEHARTO
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 2 Maret 1981
MENTERI/SEKRETARIS NEGARA
REPUBLIK INDONESIA,
ttd
SUDHARMONO, SH
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1981 NOMOR 8

www.djpp.depkumham.go.id
PDF created with pdfFactory Pro trial version www.pdffactory.com
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 8 TAHUN 1981
TENTANG
PERLINDUNGAN UPAH
U MUM
Pengaturan pengupahan yang berlaku di Indonesia pada saat ini masih tetap dipakai Kitab Undang-
undang Hukum Perdata yang jiwanya sudah tidak sesuai lagi.
Sejalan dengan berlakunya Undang-undang Nomor 14 Tahun 1969 tentang Ketentuanketentuan
Pokok Mengenai Tenaga Kerja, maka pengaturan tentang perlindungan upah secara nasional
dirasakan makin mendesak. Sesuai dengan perkembangan ekonomi yang diupayakan kearah
stabilitas yang makin mantap maka pengaturan tentang perlindungan upah dalam Peraturan
Pemerintah ini diarahkan pula kepada sistim pembayaran upah secara keseluruhan. Pengertian upah
secara keseluruhan dimaksudkan disini tidak termasuk upah lembur. Pada pokoknya sistim ini
didasarkan atas prestasi seseorang buruh atau dengan perkataan lain bahwa upah itu tidak lagi
dipengaruhi oleh tunjangan-tunjangan yang tidak ada hubungannya dengan prestasi kerja.
Pembayaran, upah pada prinsipnya harus diberikan dalam bentuk uang, namun demikian dalam
Peraturan Pemerintah ini tidak mengurangi kemungkinan pemberian sebagian upah dalam bentuk
barang yang j umlahnya dibatasi.
Peraturan Pemerintah ini pada pokoknya mengatur perlindungan upah secara umum yang berpangkal
tolak kepada fungsi upah yang harus mampu menjamin kelangsungan hidup bagi buruh dan
keluarganya. Untuk menuju kearah pengupahan yang layak bagi buruh perlu ada pengaturan upah
minimum tetapi mengingat sifat kekhususannya belum diatur dalam Peraturan Pemerintah ini.
PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Huruf a
Yang dimaksud dengan imbalan adalah termasuk juga sebutan honorarium yang
diberikan oleh pengusaha kepada buruh secara teratur dan terus menerus.
Huruf b
Yang dimaksud dengan orang adalah seorang manusia pribadi yang mengurus atau
mengawasi perusahaan secara langsung. Yang dimaksud dengan persekutuan
adalah suatu bentuk usaha bersama yang bukan badan hukum yang bertujuan untuk
mencari keuntungan misalnya CV., Firma, Maatschap dan lain-lain maupun yang tidak
mencari keuntungan misalnya Yayasan. Yang dimaksud dengan badan hukum adalah,
perseroan yang didaftar menurut undang-undang tentang perseroan atau jenis
badan hukum lainnya yang didirikan dengan atau berdasarkan peraturan
perundang-undangan yang berlaku misalnya perkumpulan, koperasi, dan lain
sebagainya. Yang dimaksud dengan perusahaan adalah setiap bentuk usaha yang
dijalankan dengan tujuan mencari keuntungan atau tidak, baik milik swasta maupun
milik Negara yang mempekerjakan buruh, sedangkan usaha sosial dan usaha lain
yang tidak berbentuk perusahaan dipersamakan dengan perusahaan apabila
mempunyai pengurus dan mempekerjakan orang lain sebagaimana layaknya

www.djpp.depkumham.go.id
PDF created with pdfFactory Pro trial version www.pdffactory.com
perusahaan mempekerjakan buruh, misalnya Yayasan dan lain lain.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Pasal 2
Cukup jelas.
Pasal 3
Yang dimaksud dengan tidak boleh mengadakan diskriminasi ialah bahwa upah dan tunjangan
lainnya yang diterima oleh buruh pria sama dengan upah dan tunjangan lainnya yang
diterima oleh buruh wanita untuk pekerjaan yang sama nilainya.
Pasal 4
Cukup jelas.
Pasal 5
Ayat (1)
Bahwa azas tidak bekerja tidak dibayar tidak sewajarnya untuk diterapkan secara
mutlak. Oleh karena itu bagi buruh yang tidak dapat melakukan pekerj aan
karena alasan tersebut a dan b upah tersebut masih harus diberikan. Akan tetapi
pembayaran upah yang demikian tidak dapat dilakukan secara penuh dan terus
menerus, karena itu perlu ditetapkan jumlah serta jangka waktunya.
Pengertian sakit sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) a, tidak termasuk sakit
karena kecelakaan kerja sebagaimana diatur dalam Undang-undang Nomor 2
Tahun 1951 tentang Kecelakaan Kerja.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Pasal 6
Ayat (1)
Buruh sebagai warga negara tidak terlepas dari kemungkinan untuk memikul tugas dan
kewajiban yang diberikan oleh Pemerintah, misalnya wajib militer, tugas-tugas dalam
penyelenggaraan Pemilihan Umum, serta tugas dan kewajiban lainnya yang
ditetapkan dengan peraturan perundang-undangan.
Ayat (2).
Pembayaran kekurangan gaji atau upah dimaksudkan agar tidak menjadi beban
yang berat bagi buruh dan keluarganya disatu pihak dan pengusaha dilain pihak.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Dengan mengingat keuangan perusahaan, maka dalam hal buruh yang
menjalankan ibadah menurut agamanya lebih diri 3 (tiga) bulan dan dalam
menjalankan ibadah tersebut lebih dari 1 (satu) kali, pengusaha tidak
diwajibkan membayar upahnya.
Pasal 7
Pembayaran dari pertanggungan dapat diperhitungkan menurut pasal ini adalah khususnya
mengenai pertanggungan upah buruh selama sakit iurannya dibayar oleh pengusaha. akan tetapi
bila buruh telah menerima pembayaran sesuai atau lebih dari upah seharusnya dia terima
selama sakit, maka pengusaha tidak berkewajiban untuk membayarkan lagi

www.djpp.depkumham.go.id
PDF created with pdfFactory Pro trial version www.pdffactory.com
Pasal 8
Halangan yang secara kebetulan dialami oleh pengusaha, tidak termasuk kehancuran atau
musnahnya perusahaan beserta peralatan yang dikarenakan oleh bencana alam, kebakaran atau
peperangan sehingga tidak memungkinkan lagi perusahaan tersebut berfungsi atau
menjalankan kegiatannya kerja, "Force majeure".
Pasal 9
Maksud pasal ini adalah untuk mempermudah atau memberikan patokan dalam
menghitung upah sebulan dalam hal terjadi antara lain pemutusan hubungan kerja, lembur dan
sebagainya,
Pasal 10
Ayat (1) sampai dengan ayat (5)
Ketentuan dalam pasal ini dimaksudkan agar pembayaran upah tidak jatuh kepada
orang yang tidak berhak. Oleh karena itu pembayaran upah melalui pihak ketiga
harus menggunakan surat kuasa. Pengertian buruh yang belum dewasa diartikan baik
buruh laki-laki maupun perempuan yang telah berusia 14 (empat belas) tahun akan
tetapi belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun.
Pasal 11
Pasal 12
Ayat (1) dan ayat (2)
Untuk menuju kearah sistim pembayaran upah bersih, maka upah harus dibayar
dalam bentuk uang. Prinsip tersebut diharapkan bahwa buruh akan dapat
menggunakan upahnya secara bebas sesuai dengan keinginannya dan kebutuhannya.
Penerapan prinsip tersebut sekali-kali tidak mengurangi kemungkinan untuk
memberikan sebagian upahnya dalam bentuk lain. Bentuk lain adalah hasil produksi
atau barang yang mempunyai nilai ekonomi bagi buruh.
Pasal 13
Ayat (1) dan ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 14
Larangan dalam pasal ini dimaksudkan untuk mencegah belanja paksa ("enforced
shopping"). Buruh harus bebas dalam hal mempergunakan upah seperti yang
dikehendakinya, sedang pengusaha tidak diperbolehkan mengikat buruh dalam
mempergunakan upahnya.
Pasal 15
Ayat (1) dan ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 16
Pasal 17
Cukup jelas.
Pasal 18
Jika upah ditetapkan menurut hasil pekerjaan maka pembayarannya sesuai dengan ketentuan
Pasal 17, dengan ketentuan besarnya upah disesuaikan dengan hasil pekerj aannya.
Pasal 19
Ayat (1) sampai dengan ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 20

www.djpp.depkumham.go.id
PDF created with pdfFactory Pro trial version www.pdffactory.com
Ayat (1) sampai dengan ayat (4)
Yang dimaksud dengan pelanggaran sesuatu hal dalam ayat (1) adalah
pelanggaran terhadap kewajiban-kewajiban buruh yang telah ditetapkan dalam
perj anj ian tertulis antara pengusaha dan buruh.
Pasal 21
Ayat (1) dan ayat (2)
Penggunaan uang denda sama sekali tidak boleh untuk kepentingan pribadi
pengusaha baik langsung ataupun tidak, melainkan untuk kepentingan buruh, misalnya
untuk dana buruh. Cara penggunaan uang denda ini harus juga ditetapkan dalam
surat perjanjian atau peraturan perusahaan.
Pasal 22
Ayat (1) sampai dengan ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 23
Ayat (1) dan ayat (2)
Kerugian lainnya dapat terdiri dari kerugian material atau ekonomis.
Pasal 24
Ayat (1) sampai dengan ayat (4)
Pembatasan perhitungan tidak boleh lebih dari 50% (limapuluh persen)
dimaksudkan, agar buruh tidak kehilangan semua upah yang diterimanya.
Kemungkinan perhitungan dengan upah buruh dapat terdiri dari denda, potongan,
ganti rugi dan lain-lain. Untuk menjamin kehidupan yang layak bagi buruh, maka
pengusaha harus mengusahakan sedemikian rupa sehingga jumlah perhitungan
tersebut tidak melebihi 50% (puluh persen).
Pasal 25
Cukup jelas.
Pasal 26
ayat (1 ) dan ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 27
Cukup jelas.
Pasal 28
Kemungkinan seorang buruh akan dapat jatah pailit yang disebabkan tidak
terbayarnya hutang kepada pihak lain, baik kepada pengusaha ataupun kepada orang
lain. Untuk menjamin kehidupan buruh yang keseluruhan harta bendanya disita, maka
perlu ada jaminan untuk hidup bagi dirinya beserta keluarganya.
Oleh karena itu dalam pasal ini upah dan pembayaran lainnya yang menjadi hak buruh,
tidak termasuk dalam kepailitan. Penyimpangan terhadap ketentuan pasal ini hanya dapat
dilakukan oleh hakim dengan batas sampai dengan 25% (duapuluh lima persen).
Pasal 29
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.

www.djpp.depkumham.go.id
PDF created with pdfFactory Pro trial version www.pdffactory.com
Pasal 30
Cukup jelas.
Pasal 31 sampai dengan Pasal 33
Ketentuan pidana yang dikenakan dalam Pasal-pasal tersebut adalah sesuai dengan ketentuan
Pasal 17 ayat (1) dan ayat (2) Undang-undang Nomor 14 Tahun 1969 tentang Ketentuan-
ketentuan Pokok mengenai Tenaga Kerja yang merupakan Undang-undang induk daripada
Peraturan Pemerintah ini.
Pasal 34
Penetapan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 sampai dengan Pasal 33
sebagai pelanggaran adalah sesuai dengan ketentuan Pasal 17 ayat (3) Undang-undang
Nomor 14 Tahun 1969 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok mengenai Tenaga Kerja yang
merupakan Undang-undang induk daripada Peraturan Pemerintah ini.
Pasal 35
Ketentuan-ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur perlindungan upah
antara lain adalah ketentuan-ketentuan yang tersebut dalam Kitab Undangundang Hukum
Perdata yaitu : 1601 p; 1601 q; 1601 r; 1601 s; 1601 t; 1601 u; 1601 v; 1602; 1602 a: 1602
b; 1602 c; 1602 d; 1602 e; 1602 f; 1602 g; 1602 h; 1602 i; 1602 j; 1602 k; 1602 l; 1602
m; 1602 n; 1602 o; 1602 p; 1602 q; 1602 r; 1602 s; 1602 t; 1602 u; 1602 v alinea 5, 1968
alinea 3 dan 1971 sepanjang yang menyangkut upah.
Pasal 36
Cukup jelas.
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3190

www.djpp.depkumham.go.id
PDF created with pdfFactory Pro trial version www.pdffactory.com

Anda mungkin juga menyukai