Anda di halaman 1dari 12

Nama : Elsa Irnandari

NIM : 188114130
Golongan : C2
TUGAS PRAKTIUM FARMAKOGNOSI FITOKIMIA

1. Ekstraksi ekstrak temulawak dengan metode sokletasi dilakukan dengan menggunakan


bantuan pemanasan sehingga interaksi pelarut dengan bahan terjadi lebih optimal.
Penggunaan panas pada metode ekstraksi sokletasi menyebabkan energi kinetik pelarut
meningkat sehingga berinteraksi lebih intensif dengan ekstrak temulawak. Hal ini
menyebabkan komponen yang terdapat dalam ekstrak temulawak lebih efektif terekstrak
ke dalam pelarut. Proses sokletasi dilakukan selama 6 jam. Di samping itu, pada teknik
sokletasi ekstraksi selalu dilakukan oleh pelarut yang segar. Ekstrak yang diperoleh
dipekatkan dan kadar metabolit sekunder dalam ekstrak pekat temulawak ditentukan
(Wahyuni, dkk., 2017).

2. Rendemen adalah perbandingan berat kering produk yang dihasilkan dengan berat bahan
baku (Dewatisari, dkk., 2017). Ekstrak murni yang diperoleh ditimbang beratnya untuk
mengetahui rendemen ekstrak. Rendemen ekstrak dihitung berdasarkan:

berat akhir (berat ekstrak yang dihasilkan)


%Rendemen = ×100 %
berat awal (berat biomassa sel yang digunakan)
(Sani et al, 2014).
Kegunaan mencari rendemen ekstrak adalah untuk mengetahui banyaknya kandungan
bioaktif yang terkandung pada suatu tanaman dari nilai rendemen ekstrak murni
(Dewatisari, dkk., 2017).

3. Cara Identifikasi Kandungan Kimia dalam Temulawak berdasarkan FHI edisi 2 tahun
2017:
a. Kualitatif
 Pola kromatografi 1:
Fase gerak : Toluen P-etil asetat P (93:7)
Fase diam : Silika gel 60 GF254
Larutan uji : 0,1% dalam toluen P, gunakan larutan uji KLT
seperti yang tertera pada kromatografi
Larutan pembanding : 0,1% xantorizol dalam toluen P
Volume penotolan : Totolkan 20 mikroliter larutan uji dan 5 mikroliter
larutan pembanding
Deteksi : Biru permanen LP dan ammonium hidroksida

 Pola kromatografi 2:
Fase gerak : Kloroform P-metanol P (95:5)
Fase diam : Silika gel 60 GF254
Larutan uji : 0,1% dalam toluen P, gunakan larutan uji KLT
seperti yang tertera pada kromatografi
Larutan pembanding : 0,1% kurkumin dalam toluen P
Volume penotolan : Totolkan 10 mikroliter larutan uji dan 5 mikroliter
larutan pembanding
Deteksi : UV 356 nm

 Ekstrak temulawak kental, kuning kecokelatan, bau khas, rasa pahit


(Depkes, 2017)
b. Kuantitatif
Larutan uji ditimbang seksama lebih kurang 50 mg ekstrak, lalu dilarutkan dalam 25
mL etanol 95% P di dalam tabung reaksi.

Kemudian disaring ke dalam labu terukur 50 mL, lalu kertas saring dibilas dengan
etanol 95% P secukupnya sampai tanda

Larutan pembanding 0,1% kurkumin dalam etanol 95% P, dibuat pengenceran hingga
diperoleh serapan yang mendekati serapan larutan uji
Ditotolkan masing-masing 25 mikroliter larutan uji dan hasil pengenceran larutan
pembanding pada lempeng silica gel 60 F254.

Kemudian dikembangkan dengan fase gerak n-heksana P-etilasetat P (1:1), diukur


secara kromatografi lapis tipis-densitometri pada panjang gelombang 425 nm dan
dibuat kurva kalibrasi

Parameter hasil: Rendemen tidak kurang dari 18,9%, kadar air tidak lebih dari 10%,
kadar abu total tidk lebih dari 7,8%, kadar abu tidak larut asam tidak lebih dari 1,6%,
kadar minyak atsiri tidak kurang dari 4,60% v/b dan kadar kurkuminoid tidak kurang
dari 14,20% dihitung sebagai kurkumin.
(Depkes, 2017)
4. Kurkuminoid:
a. KLT
 Kualitatif
Skema Kerja:
Larutan yang telah disiapkan beserta standarnya, ditotolkan pada lempeng
silica gel 60 F254 dengan fase gerak kloroform : etanol : asam asetat glasial
(94:2,5:0,5)v/v.

Penotolan dilakukan berseri untuk larutan standar pembanding kurkumin 1%


b/v dengan volume 0,5 µL, 1 µL, dan 3 µL serta volume EET dengan kadar
10% b/v sebanyak 1 µL.

Lalu direplikasi sebanyak 2 kali dalam jumlah yang sama. Kedua profil
kromatografi dari masing-masing ekstrak etanol akan dideteksi dengan sinar
tampak, UV 254 nm, dan UV 366nm.

Kemudian ekstrak etanol temulawak dideteksi menggunakan KLT pada


panjang gelombang 422 nm.
(Azimah, dkk., 2015)
Hasil:

(Azimah, dkk., 2015)


 Kuantitatif
Skema Kerja:
Kurva standar temulawak dilakukan dengan melarutkan ekstrak temulawakr
dalam etanol 96% dapatkan konsentrasi 2 ppm, 3 ppm, 4 ppm, 5 ppm dan 6
ppm.
Kemudian setiap sampel dianalisis menggunakan Spektrofotometer UV-Vis
(UV-1601 Shimadzu) dan mengukur absorbansi secara maksimal panjang
gelombang (425 nm).

Kurva standar dibuat dengan memplotkan konsentrasi temulawak (ppm) oleh


daya serapnya. Konsentrasi sampel curcuminoid (ekstrak A1, A2, B1, B2, C1,
C2) dianalisis dengan melarutkan 0,03 g setiap ekstrak dalam 10 mL etanol
dan kemudian diencerkan 80 kali.

Absorbansi sampel diukur pada panjang gelombang maksimum (425nm).


Konsentrasi kurkuminoid mengandung dalam setiap ekstrak etanol
temulawak, kemudian ditentukan dengan menyesuaikan nilai absorbansi
dengan regresi linier standar kurkuminoid melengkung.
(Cahyono, dkk., 2019)
Hasil:
(Cahyono, dkk., 2019)
b. KLT-Densitrometri
 Kualitatif
Skema Kerja:
Larutan yang telah disiapkan beserta standarnya, ditotolkan pada lempeng
silica gel 60 F254 dengan fase gerak kloroform : etanol : asam asetat glasial
(94:2,5:0,5)v/v.
Penotolan dilakukan berseri untuk larutan standar pembanding kurkumin 1%
b/v dengan volume 0,5 µL, 1 µL, dan 3 µL serta volume EET dengan kadar
10% b/v sebanyak 1 µL.

Lalu direplikasi sebanyak 2 kali dalam jumlah yang sama. Kedua profil
kromatografi dari masing-masing ekstrak etanol akan dideteksi dengan sinar
tampak, UV 254 nm, dan UV 366nm.

Kemudian ekstrak etanol temulawak dideteksi menggunakan KLT-


densitometri pada panjang gelombang 422 nm.
(Azimah, dkk., 2015)
Hasil:
(Azimah, dkk., 2015)
 Kuantitatif
Analisis kuantitatif dilakukan dengan mengukur hasil kromatogram
menggunakan TLC-densitometer. Plat KLT yang dibaca merupakan
kromatogram sebelum dilakukan peny emprotan dengan AAS. Dari
pembacaan dengan alat densitometer akan didapat data berupa luas area dan
profil KLT dari semua bercak yang terlusi pada proses KLT.
Skema Kerja:
Larutan yang telah disiapkan beserta standarnya, ditotolkan pada lempeng
silica gel 60 F254 dengan fase gerak kloroform : etanol : asam asetat glasial
(94:2,5:0,5)v/v.

Penotolan dilakukan berseri untuk larutan standar pembanding kurkumin 1%


b/v dengan volume 0,5 µL, 1 µL, dan 3 µL serta volume EET dengan kadar
10% b/v sebanyak 1 µL.

Kromatogram EET dianalisis kuantitatif dengan KLT-densitometri pada


panjang gelombang 422 nm.

Untuk mengatahui kadar kandungan kurkumin, kurva baku dibuat terlebih


dahulu dari 3 standar dalam volume penotolan yang berbeda, yaitu volume 0,5
µL, 1 µL, dan 3 µL.
Lalu volume penotolan dari EET dengan kadar 10% b/v dimasukkan kedalam
persamaan kurva baku, maka akan didapatkan nilai kadar kandungan pada
masing-masing ekstrak.
(Azimah, dkk., 2015)
Hasil:

(Azimah, dkk., 2015)

Xantorizol
a. KLT
 Kualitatif
Skema Kerja:
Ekstrak etanol temulawak diidentifikasi menggunakan KLT, silika gel 60 F254
(20x20 cm) dengan ketebalan 0,25 mm. Sebagai pelarut pengembang adalah
n-heksan: etil asetat (14: 1). Jarak eluen adalah 15 cm dari awal yang terlihat
titik.
Pelarut pengembang dimasukkan ke dalam bejana kromatografi, dan biarkan
sampai jenuh.

Lalu, sebanyak10 μl larutan ekstrak etanol temulawak digunakan untuk


melihat pelat silika gel.

Pengamatan noda telah dilakukan di bawah UV ringan 254 nm untuk melihat


penyemprotan fluorecensy dan reaktan CeSO4. Setiap bercak dikupas untuk
diuji aktivitas melawan mikroba.
(Mangunwardoyo, dkk., 2012)
Hasil:
Dari ekstrak etanol temulawak teridentifikasi beberapa senyawa terpenoid,
seperti xanhorrhizol, didukung oleh adanya warna ungu setelah pelat TLC
disemprot oleh reagen H2SO4.

(Mangunwardoyo, dkk., 2012)

5. Prinsip kerja KLT densitometri adalah analit bergerak ke atas melewati lapisan tipis fase
diam (paling sering adalah silika gel) di bawah pengarauh fase gerak (biasanya campuran
pelarut organik) yang bergerak melalui fase diam oleh pengaruh gaya kapiler. Kadar
EGCG dalam eksrak ditetapkan dengan menggunakan fase diam silika gel F 254, dielusi
dengan fase gerak campuran n-butanol, asam asetat dan air pada perbandingan 4:1:5 (fase
atas) dan dilanjutkan pembacaan kadarnya pada panjang gelombang 303 nm. Volume
sampel yang ditotolkan sebanyak 5 µl (Sugihartini, dkk., 2012).
DAFTAR PUSTAKA

Azimah, D., Yuswanto, Y., & Wahyono, W., 2016. Immunomodulator Effect of Combination of
Andrographis Paniculata (Burm. F.) Nees Herb and Ginger Rhizome (Curcuma
xanthorrhiza Roxb.) Ethanolic Extract on Cell Proliferation of Balb/c Mice
Lymphocytes in Vitro. Majalah Obat Tradisional (Traditional Medicine Journal).
21(3): 157-168.

Cahyono, B., Ariani, J., Failasufa, H., Suzery, M., Susanti, S., & Hadiyanto, H., 2019. Extraction
of Homologous Compounds of Curcuminoid Isolated from Temulawak (Curcuma
xanthorriza roxb.) Plant. Rasayan J. Chem. 12(1): 7-13.

Dewatisari, W. F., Rumiyanti, L., & Rakhmawati, I., 2018. Rendemen dan Skrining Fitokimia
pada Ekstrak Daun Sanseviera sp. Jurnal Penelitian Pertanian Terapan. 17(3):
197-202.

Depkes, RI., 2017. Farmakoper Herbal Indonesia, Edisi 2. Jakarta: Departemen Kesehatan
Republik Indonesia.

Mangunwardoyo, W., & Usia, T., 2012. Antimicrobial and Identification of Active Compound
Curcuma xanthorrhiza Roxb. International Journal of Basic & Applied Sciences
IJBAS-IJENS. 12(1): 69-78.

Sani, R. N., Nisa, F. C., Andriani, R. D., & Maligan, J. M., 2013. Analisis rendemen dan skrining
fitokimia ekstrak etanol mikroalga laut Tetraselmis chuii. Jurnal Pangan dan
Agroindustri. 2(2): 121-126.

Sugihartini, N., Fudholi, A., Pramono, S., & Sismindari, S., 2012. Validasi Metode Analisa
Penetapan Kadar Epigalokatekin Galat Dengan KLT Densitometer. Jurnal
Pharmaciana. 2(1): 81-87.

Wahyuni, P. W. T., & Herdiyanto, M. R. Metode Ekstraksi dan Pemisahan Optimum Untuk
Isolasi Xantorizol dari Temulawak (Curcuma xanthorrhiza). Jurnal Jamu
Indonesia. 2(2): 43-50.

Anda mungkin juga menyukai