Anda di halaman 1dari 38

”TRAFFICKING HUMAN”

UNTUK MEMENUHI TUGAS KEPERAWATAN JIWA II

Dosen Pembimbing : Ns. Nur Uyun I. Biahimo,M. Kep

NAMA-NAMA KELOMPOK 3 :

1. MUSLIM HEMETO
2. MOH.ADHA FAJEIRIN
3. MANDA PAKAYA
4. INDRIYANI ABUNIO
5. SITI NURFAHMI BIYA
6. RIAN ARBI
7. ANITA ASI

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN


FAKULTAS ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH GORONTALO
T.A 2020
BAB I

PEMBAHASAN

1.1. Definisi Trafficking Human

Trafficking adalah konsep dinamis dengan wujud yang berubah dari waktu kewaktu,
sesuai perkembangan ekonomi, sosial dan politik. Sampai saat ini tidak ada definisi
trafficking yang disepakati secara internasional, sehingga banyak perdebatan dan
respon tentang definisi yang dianggap paling tepat tentang fenomena kompleks yang
disebut trafficking ini.

Pada tahun 1994 PBB mendefinisikan trafficking sebagai pergerakan dan


penyelundupan orang secara sembunyi-sembunyi melintasi batas-batas negara dan
internasional, kebanyakan berasal dari negara berkembang dan negara-negara yang
ekonominya berada dalam masa transisi, dengan tujuan untuk memaksa perempuan
dan anak-anak masuk ke dalam sebuah situasi secara seksual maupun ekonomi
terkompresi, dan situasi eksploitatif demi keuntungan perekrut, penyelundup, dan
sindikat kriminal seperti halnya aktivitas ilegal lainnya yang terkait dengan
perdagangan (trafficking), misalnya pekerja rumah tangga paksa, perkawinan palsu,
pekerja yang diselundupkan dan adopsi palsu.

Menurut resolusi senat AS no. 2 tahun 199, trafficking adalah salah satu atau lebih
bentuk penculikan, penyekapan, perkosaan, penyiksaan, buruh paksa atau praktek-
praktek seperti perbudakan dan menghancurkan hak asasi manusia. Trafficking
memuat segala tindakan yang termasuk dalam proses rekruitmen atau pemindahan
orang di dalam ataupun antar negara, melibutkan penipuan, paksaan atau dengan
tujuan menempatkan orang-orang pada situasi penyiksaan atau eksploitasi seperti
prustitusi paksa, penyiksaan dan kekejaman luar biasa, buruh di pabrik dengan
kondisi buruk atau pekerja rumah tangga yang dieksploitasi.

Human trafficking atau perdagangan manusia oleh Perserikatan Bangsabangsa (PBB)


mendefinisikan sebagai perekrutan, pengiriman, pemindahan, penampungan atau
penerimaan seseorang dengan ancaman, penggunaan kekerasan, perbudakan,
pemaksaan, pemerangkapan utang ataupun bentuk-bentuk penipuan yang lainnya
dengan tujuan eksploitasi (Course Instruction, 2011:2).
Perdagangan manusia berhubungan dengan menjajakan diri (memperdagangkan),
tawar-menawar, membuat kesepakatan, melakukan transaksi dan hubungan seksual
(Taiwan Medicare, 2012).

Perdagangan manusia melakukan pemindahtanganan seseorang dari satu pihak ke


pihak yang lainnya dengan menggunakan ancaman, penipuan dan penguasaan.
Perdagangan manusia mengandung elemen pengalihan yang tujuannya bisa untuk apa
saja baik eksploitasi tenaga kerja, pembantu rumah tangga, pengambilan organ tubuh
dan sampai kepada eksploitasi seks komersil (Wagner, 2004).

Misalnya Caouette memberi batasan tentang perdagangan sebagai suatu perekrutan


dan transfortasi orang atau sekelompok orang di dalam dan melawati perbatasan
nasional menggunakan kekerasan terhadap orang lain. Para korban dirayu, ditipu,
diculik atau dalam berbagai cara diakali untuk masuk prostitusi.

Menurut Undang-undang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang


(PTPPO) pasal 1 ayat 1, dedinisi trafficking adalah tindakan perekrutaan,
pengangkutan, penampungan, pengiriman, pemindahan, atau penerimaan seseorang
dengan ancaman kekerasan, penculikan, penipuan, penyekapan, peyalahgunaan
kekuasaan atau posisi rentan, penjeratan hutang atau memberi bayaran atau manfaat,
sehingga memperoleh peretujuan dari orang yang memegang kendali atas orang lain
tersebut, baik yang dilakukan di dalam negara maupun antar negara, untuk tujuan
eksploitasi atau mengakibatkan orang tereksploitasi.

Sebelum Undang-undang tindak pidana disahkan, pengertian tindak pidana


perdagangan orang (trafficking) yang umum paling banyak digunakan adalah
protokol PBB. Adapun menurut protokol PBB tersebut pengertian trafficking adalah:

a. Perekrutan, pengiriman, pemindahan, penjualan, penampungan atau penerimaan


seseorang, dengan ancaman atau penggunaan kekerasan atau bentuk-bentuk lain
dari pemaksaan, penculikan, penipuan, kebohongan atau penyaalah gunaan
kekuasaan atau posisi rentan atau memberi atau menerima pembayaran atau
memperoleh keuntungan agar dapat memperoleh persetujuan dari seseorang yang
berkuasa atas orang lain, untuk tujuan eksploitasi. Eksploitassi termasuk, paling
tidak eksploitasi untuk melacurkan orang lain atau bentuk-bentuk lain dari
eksploitasi seksual, kerja atau pelayanan paksa, perbudakan atau praktek-praktek
serupa perbudakan, pengahambaa atau pengambilan organ tubuh.
b. Persetujuan korban perdagangan orang terhadap eksploitasi yang dimaksud yang
dikemukakan dalam sub line (a).
c. Perekrutan, pengiriman, pemindahan, penampungan atau penerimaan seorang
anak untuk tujuan eksploitasi dipandang sebagai perdagangan orang bahkan jika
kegiatan ini tidak melibatkan satu pun cara yang dikemukakan dalam sub babline
(a).
d. Anak adalah setiap orang yang berumur di bawah 18 tahun.

Pengertian di atas tidak menekankan pada perekrutan dan pengiriman yang


menentukan suatu perbuatan tersebut adalah tindak pidana perdagangan orang, tetapi
juga kondisi eksploitatif terkait ke dalam mana orang diperdagangkan.

Dari pengertian tersebut ada tiga unsur yang berbeda yang saling berkaitan satu sama
lainnya, yaitu:

a. Tindakan atau perbuatan yang dilakukan, yaitu perekrutan, pengiriman,


pemindahan, penampungan atau penerimaan seseorang.
b. Cara: menggunakan ancaman, penggunaan kekerasa atau bentuk-bentuk paksaan
lain, penculikan, tipu daya, penipuan, pemberian atau penerimaan pembayaran
atau keuntungan untuk memperoleh persetujuan dari orangorang.
c. Tujuan atau maksud, untuk tujuan eksploitsi. Eksploitasi mencakup
setidaktidaknya eksploitasi pelacuran dari orang lain atau bentuk-bentuk
eksplotasi seksual lainnya, kerja paksa, perbudakan, pengahambaan atau
pengambilan organ tubuh.

Dari definisi di atas ada beberapa hal yang menjadi ciri utama dari beberapa
pengertian trafficking yaitu:

a. Adanya proses perekrutan, pengiriman, eksploitasi, pemindahan, penampungan


atau penerimaan manusia baik itu lintas wilayah maupun negara.
b. Ada pihak-pihak yang mendapatkan keuntungan dengan memanfaatkan
perempuan maupun anak untuk melakukan sebuah pekerjaan (dibayar atau tidak),
sebagai hubungan kerja yang eksploitatif (secara ekonomi atau seksusal), baik itu
TKW, prostitusi, buruh manual atau industri, perkawinan paksa, atau pekerjaan
lainnya.
c. Ada korban baik perempuan maupun anak yang karena keperempuanan dan
kekanakannya dimanfaatkan dan di eksploitasi baik secara ekonomi maupun
seksual, guna kepentingan pihak-pihak tertentu dengan cara paksa, disertai
ancaman, maupun tipuan ataupun penculikan, penipuan, kebohongan, kecurangan
atau penyalahgunaan kekuasaan. Dalam hal ini termasuk juga terhadap beberapa
korban yang menyatakan persetujuan yang mana dipahami bahwa situasi-situai
tertentu yang mengakibatkan para korban setuju, misalnya karena kebutuhan
ekonomi, ada tekanan kekuasaan dan lain sebagainya.

Melihat dari beberapa definisi yang telah dipaparkan tentang pengertian trafficking di
atas dapat diambil benang merahnya bahwa kategori trafficking akan terpenuhi
apabila memenuhi tiga unsur yaitu: proses, jalan atau cara dan tujuan. Proses disni
meliputi perekrutan, pengiriman, pemindahan, penampungan dan penjualan,
sedangkan cara atau jalannya ialah dengan kekerasan, pemaksaan, penipuan,
kebohongan dan penculikan. Adapun tujuannya adalah untukeksploitasi, baik seksual
atupun ekslpoitasi yang lain seperti perbudakan dan menjadikan pelayan.

1.2 Faktor- Faktor Penyebab Trafficking Human

Terjadinya Trafficking baik itu berupa kasus kekerasan maupun eksploitasi terhadap
anak-anak dan perempuan disebabkan oleh beberapa factor khususnya di Indonisia
diantaranya ialah sebagai berikut:

1. Faktor Ekonomi

Ekonomi yang minim atau disebut kemiskinan menjadi factor penyebab utama
terjadinya Human Trafficking. Ini menunjukkan bahwa perdagangan manusia
merupakan ancaman yang sangat membahayakan bagi orang miskin. Sudah bukan
menjadi rahasia umum lagi bahwa rendahnya ekonomi membawa dampak bagi
prilaku sebagian besar masyarakat. Ekonomi yang pas-pasan menuntut mereka untuk
mencari uang dengan berbagai cara. Selain itu budaya konsumvitisme, juga ikut andil
menambah iming-iming masyarakat untuk mencari biaya penghidupan. Semua ini
menjadikan mereka dapat terjerumus ke dalam prostitusi dan tindak asusila lainnya.

Di sisi yang lain kurangnya lahan pekerjaan atau masih banyaknya angka
pengangguran melengkapi rendahnya pendapatan atau ekonomi masyarakat.
Keterbatasannya lahan pekerjaan yang dapat menampung perempuan dengan tingkat
keterampilan yang minim menyebabkan banyak perempuan-perempuan menganggur
sehingga kondisi inilah yang dipergunakan dengn baik oleh para perantara yang
menyarankan perempuan-perempuan untuk bekerja. Mereka dijanjikan untuk bekerja
di dalam kota, atau di luar negeri. Dalam bujukan tersebut, tidak dijelaskan secara
detail pekerjaan apa yang akan didapatkan. Biasanya para perantara hanya
memberikan iming-iming gaji atau upah yang besar. Tanpa disadari, korban telah
terjebak penipuan dalam hal ini sebagai pelayan seks. Biasanya mereka bersedia
bekerja di manapun ditempatkan. Oleh karena itu ketika ada perantara yang
menawarkan sebuah pekerjaan dengan iming-iming upah atau gaji yang besar maka
mereka akan menyambut dengan senang hati tawaran tersebut. Tawaran ini selalu
menjadi dewa penyelamat untuk meneyelesaikan kondisi ekonomi. Namun pada
hakikatnya hal tersebut adalah sasaran empuk bagi para calo untuk dijadikan korban
trafficking.

Pada wilayah anak-anak, putus sekolah menyebabkan mereka untuk memaksakan


diri mereka sendiri untuk memasuki dunia kerja. Mereka dipaksa kerja untuk bisa
meringankan beban keluarga. Tidak jarang anakanak menjadi korban eksploitasi
seksual komersial dan trafficking terhadap anak karena orang tua mereka sudah tidak
sanggup lagi membiayai. Keluarga yang miskin mungkin tidak sanggup untuk
mengirim anak mereka ke sekolah dan biasanya akan mendahulukan pendidikan bagi
anak laki-laki jika mereka hanya mampu mengirim sebagian anak-anak mereka ke
sekolah. Jika orang tua tidak mampu mencari pekerjaan, maka anak akan mereka
suruh bekerja diladang atau di pabrekatau di dalam situasi yang lebih berbahaya serta
jauh dari rumah seperti diluar kota atau di luar negeri.

Melalui semua jalur ini, kemiskinan membuat anak dan perempuan semakin
rentan terhadap trafficking. Pemaknaan ekonomi rendah juga bisa diaplikasikan pada
orang yang terjerat banyak hutang. Jeratan hutang tersebut yang pada akhirnya
berujung fenomina yang disebut “Buruh Ijon”, yaitu suatu pekerjaan yang dilakukan
oleh seseorang yang dianggap sebagai pembayaran hutang. Adapun kasus jeratan
hutang bisa terjadi pada siapapun. Pada kasus trafficking mudus yang biasa terjadi
dengan cara penipuan. Buruh migrah telah menempatkan diri mereka dalam jeratan
hutang. Di mana mereka setuju untuk membuat pinjaman uang untuk membayar
biaya perjalanan mereka. Korban hutang tersebut kemudian harus bekerja sampai
hutangnya lunas, biasanya trafficker meminta melunasi sesuai permintaannya. Ada
yang sebagai pekerja seks, pembantu rumah tangga dan masih banyak yang lain.
Kekerasan dan eksploitasi yang terperangkap dalam buruh ijon bekerja pada rumah
tangga sebagai pembantu atau penjaga anak, direstauran, toko-toko kecil, di
pabrekpabrek atau pada industri seks. Tapi menjadi rahasia umum apabila masih
gadis maka melunasi dengan bekerja sebagai pekerja seks.

Karena itulah jeratan hutang dapat mengarah pada kerja paksa. Sedangkan kerja
paksa membuka besarnya kemungkinan untuk kekerasan dan eksploitasi terhadap
pekerja. Pada kondisi seperti di atas, pekerja kehilangan kebebasannya untuk
bergerak karena orang yang menguasai hutang ingin memastikan bahwa pekerja tidak
berusah melarikan diri dari hutangnya. Bahkan para korban disembunyikan dari
penegak hukum, polisi dan masyarakat luas. Pada akhirnya rendahnya ekonomi
berujung pada penerimaan pinjaman para calo agar mereka dapat bekerja akan tetapi
mereka tidak memahami bahaya yang akan menimpanya.

2. Posisi Subordinat Perempuan dalam Sosial dan Budaya

Seperti halnya kondisi pedagangan manusia yang terjadi di dunia, untuk Indonisia
penelitian-penelitia yang dilakukan di lembaga pendidikan dan LSM menunjukkan
sebagian besar korban perdagangan manusia adalah perempuan dan anak-anak.
Indonisia adalah suatu masyarakat yang patrialkhal, suatu struktur komonitas dimana
kaum laki-laki yang lebih memegang kekuasaan, dipersepsi sebagai struktur yang
mendegorasi perempuan baik dalam kebijakan pemerrintah maupun dalam prilaku
masyarakat. Misalnya perumusan tentang kdudukan istri dalam hokum perkawinan,
kecenderungan untuk membayar upah buruh wanita di bawah upah buruh laki-laki,
atau kecenderungan lebih mengutamakan anak laki-laki dari pada anak perempuan
dalam bidang pendidikan, merupakan salah satu refleksi keberadaan permpuan dalam
posisi subordinat dibandingkan dengan laki-laki.

Kondisi perekonomian yang lemah serta kontrusksi masyarakat yang ada


menempatkan hakperempuan dalam posisi yang lebih tidak menguntungkan.
Meskipun dalam pasal 3 perjanjian tentang hak Ekonomi, Sosial dan Budaya tahun
1966 menyatakan bahwa adanya persamaan bagi lakilaki dan perempuan untuk
memperoleh hak ekonomi, sosial dan budaya. Namun kenyataannya HAM di
Indonesia masih belum menyentuh masyarakat karena masih kuatnya diskriminasi
terhadap perempuan.

3. Faktor Pendidikan

Tingkat pendidikan yang rendah juga sangat mempengaruhi kekerasan dan


eksploitasi terhadap anak dan perempuan. Banyaknya anak yang putus sekolah,
sehingga mereka tidak mempunyai skill yang memadai untuk mempertahankan
hidup. Implikasinya, mereka rentan terlibat kriminalitas. Survei Sosial Ekonomi
Nasional Tahun 2000 lalu melaporkan bahwa 34,0% penduduk Indonisia berusia 10
tahun ke atas belum atau tidak tamat pendidikan dasar (SD) dan hanya 15% tamat
SLTP. Menurut laporan BPJS Tahun 2000 juga terdapat 14% anak usia 7-12 tahun
dan 24% anak usia 13-15 tahun tidak melanjutka kejenjang pendidikan SLTP karena
alasan ketidak mampuan dalam hal biaya.
Melihat data di atas tampak bahwa mayoritas masyarakat Indonesia masih banyak
yang bertaraf rendah tingkatannya dalam hal pendidikan. Rendahnya tingkat
pendidikan serta minimnya keterampilan atau skill menyebabkan sebagian besar dari
permpuan menganggur serta menghabiskan sebagian besar hidup dan waktunya di
rumah. Dan pada akhirnya tidak menghasilkan keuangan bahkan mengurani
pemasukan. Sebenarnya tidak hanya kaum perempuan yang menganggur akan tetapi
laki-laki juga mengalami hal yang serupa. Tampak bahwa setip tahun ribuan orang
meninggalkan kampung halamannya dan snak keluarganya demi mencari keja atau
penghidupan yan lebih layak di daerah lain Indonesia atau bahkan keluar negeri.

Namun dari data di atas menunjukkan bahwa kaum perempuan yang paling banyak
menganggur. Kedaan inilah yangmenyebabkan mereka menerima tawaran pekerjaan
oleh para perantara yang yang mereka tidak menyadarinya sebagai trafficker
meskipun belum menegtahui seberapa besar uapah atau gaji yang akan diterimanya.

4. Tidak Ada Akta Kelahiran

Sebuah studi yang dipublikasikan oleh UNICEF APADA mei 2002 yang lalu
memperkirakan bahwa hingga tahun 2000 lalu, 37% balita Indonesia belum
mempunyai akta kelahiran. Pasal 9 konvensi mengenai hak-hak anak menentukan
bahwa semua anak harus didaftarkan segera setelah kelahirannya dan juga harus
mempunyai nama serta kewarganegaraan. Ada bermacammacam alasan mengapa
banyak anak tidak terdaftar kelahirannyaa. Orang tua yang miskin mungkin merasa
biaya pendaftaran terlalu mahal atau mereka tidak menyadari pentingtnya akata
kelahiran.

Banyak yang tidak tahu bagaimana mendaftarkan seorang bayi yang baru lahir.
Rendahnya registrasi. Kelahiran, khususnya di masyarakat desa menjadi fasilistas
perdagangan manusia. Agen dan pelaku perdagangan memanfaatkan ketiadaan akta
kelahiran asli untuk memalsukan umur perempuan muda agar mereka dapat bekerja
di luar negeri. Karena mereka tidak mempunyai dokumin yang disyaratkan, maka
mereka dimanfaatkan oleh pelaku perdagangan.

5. Kebijakan yang Bias Gender

Perempuan di Indonesia umumnya menikmati kesetaraan gender di mana hukum


Undang-undang Dasar 1945 menjamin kesetaraan hak untuk lakilaki dan perempuan.
Indonisia juga telah meratifikasi beberapa konvensi PBB yang menjamin kesetaraan
hak bagi perempuan, antara lain rativikasi konvensi untuk penghpusan deskriminasi
untuk perempuan (CEDAW) pada tahun 1984. Namun kenyataannya hukum
perlindungan hanya di atas kertas sedangkan prakteknya masih jauh dari yang
diaharapkan. Kesetaraan gender belum sepenuhnya terwujud, perempuan masih
tertinggal secara sosial, politik, dan ekonomi dari kaum laki-laki.

Adapun dalam hal pendidikan misalnya, ditemukan bahwa semakin tinggi tingkat
pendidikan, maka semakin lebar kesenjangan antara partisipasi perempuan dan laki-
laki. UU perkawinan tahun 1974 menaikkan usia minimum bagi seorang gadis untuk
meniah menjadi 16 tahun. Namun pernikahan diusia lebih muda dimungkinkan
dengan izin dari peradilan. UU perkawinan secara hukum mengannggap mereka
sebagai orang dewasa sekalipun mereka masih di bawah 18 tahun. Undang-undang
tersebut menyatakan bahwa kedua orang tua wajib memelihara dan mendidik anak
mereka sebaik-baiknya sampai anak itu kawin atau dapat berdikari (pasal 45)
sekalipun tidak ada larangan bagi anak yang sudah menikah untuki bersekolah, anak
perempuan yang sudah menikah sangat jarang meneruskan pendidikan mereka.
Kenyataannya sekolah-sekolah formal untuk tingkat SMP atau SMA tidak menerima
siswa yang sudah menikah, walaupun ada itu hanya disekolah kesetaraan yang kejar
paket B atau C.

Dalam bidang ketenagakerjaaan, hukum Indonisia memberikan perlindungan de jure


bagi perempuan di tempat kerja. Menurut hukum, perempuan dilindungi dari
diskriminasi berdasarkan gender atau Karena menerima bayaran yang setara untuk
pekerjaan yang sama, tidak dapat diberhentikan jika menikahh atau melahirkan, tidak
boleh mengerjakan pekerjaan yang berbahaya dan harus diberikan cuti hamil.

Selain itu, kerentanan perempuan semakin tinggi setelah berserai, khususnya bagi
mereka yang memmiliki anak. Undang-undang perkawinan dan peraturan-peratuan
yang terkait mengizinkan laki-laki dan perempuan bercerai untuk alasan yang sama.
Namun peraturan tersebut menempatkan perempuan yang bercerai dalam posisi yang
tidak menguntungkan dalam hal tunjangan dari suami setelah perceraian terjadi.

6. Pengaruh Globalisasi

Pemberitaan tentang trafficking (perdagangan manusia), pada beberapa waktu


terakhir ini di Indonesia semakin marak dan menjadi isu yang aktual, baik dalam
lingkup domistik maupun yang telah bersifat lintas batas negara. Perdagangan
manusia yang paling menonjol terjadi khususnya yang dikaitkan dengan perempuan
dan kegiatan industri seksual, ini baru mulai menjadi perhatian masyarakat melalui
media massa pada beberapa tahun terakhir ini. Kemungkinan terjadi dalam skala yang
kecil, atau dalam suatu kegiatan yang terorganisir dengan sangat rapi. Merupakan
sebagian dari alasan-alasan yang membuat berita-berita perdagangan ini belum
menarik media massa paa masa lalu. Adapun pengaruh dari akibat globalisasi dunia,
Indonesia juga tidak dapat luput dari pengaruh keterbukaan dan Kemajuan di
berbagai aspek teknologi, politik, ekonomi, dan sebagainya. Kemajuan di berbagai
aspek tersebut membawa perubahan pula dalam segi-segi kehidupan sosial dan
budaya yang diacu oleh berbagai kemudahan informasi.

Dampak negatif dari perubahan dan kemudahan tersebut menjadi konsekuensi bagi
munculnya permasalahan-permasalahan sosial termasuk pada perempuan dan anak,
salah satunya adalah berkembangannya perdagangan seks pada anak.

1.3 Bentuk dan Modus Trafficking Human


1.3.1 Bentuk Trafficking

Seiring berjalannya waktu bentuk dan modus trafficking pun semakin


komplek, banyak model dan bentuk perdagangan yang dipergunakan agar misi
trafficking berhasil. Ini tidak dapat dipungkiri karena sudah menjadi fenomena yang
menjamur diberbagai belahan dunia termasuk Indonisia.

Adapun bentuk-bentuk tarfficking diantaranya adalah:

1. Eksploitasi Seksual Eksploitasi seksual dibedakan menjadi dua yaitu:


a. Eksploitasi seksual komersial untuk prostitusi.

Misalnya perempuan yang miskin dari kampung atau mengalami


perceraian karena akibat kawin muda atau putus sekolah kemudian diajak
bekerja ditempat hiburan kemudian dijadikan pekerja seks atau panti pijat.
Korban bekerja untuk mucikari atau disebut juga germo yang punya peratutan
yang eksploitatif, misalnya jam kerja yang tak terbatas agar menghasilkan
uang yang jumlahnya tidak ditentukan.8 Korban tidak berdaya untuk menolak
melayani laki-laki hidung belang yang menginginkan tubuhnya dan jika ia
menolak maka sang mucikari tidak segan-segan untuk menyiksanya karena
biasanya mereka punya bodigard-budigard yang mengawasi mereka.

Kesempatan untuk melepaskan diri sangatlah sulit sekali, sehingga korban


bagaikan buah si malakama. Jika korban protes maka mereka diharuskan
membayar sejumlah uang sebagai ganti dari biaya hidup yang digunakan oleh
korban. Dalam prakteknya korban dalam posisi yang lemah dan diskenariokan
untuk selalu tergantung atau merasa membutuhkan aktor baik untuk
kebutuhan rasa aman maupun kebutuhan secara ekonomis.

b. Eksploitasi non komersial

Misalnya pencabulan terhadap anak, perkosaan dan kekerasan seksual.


Banyak pelaku pencabulan dan perkosaan yang dapat dengan bebas
menghirup udara kebebasan dengan tanpa dijerat hukum. Sementara
perempuan sebagai korban harus menderita secara lahir dan batin seumur
hidup bahkan ada yang putus asa dan mengakhiri hidupnya dengan bunuh diri,
ada juga yang karena tidak sanggup menghadapi semuanya terganggu
jiwanya.

Di Indonesia keberadaan perempuan yang dijerumuskan ke dalam prostitusi


yang diperdagangkan seksualitasnya dan perempuan yang digunakan untuk
memproduksi bahan-bahan pornugrafi merupakan fakta yang tidak
terbantahkan. Dalam banyak kasus, perempuan semula dijanjikan oleh pihak-
pihak tertentu untuk bekerja sebagai buruh migran, pembantu rumah tangga,
pekerja restoran, pelayan toko, dan lain sebagainya. Tetapi kemudian dipaksa
pada industri seks pada saat mereka tida pada daerah tujuan.

Eksploitasi seksual baik yang komersial maupun yang non komersial kedua-
duanya sama-sama menjadi penyakit penyebar HIV dan AIDS, sebuah virus
yang menggerogoti sistem kekebalan tubuh sehingga jika seseorang sudah
tertular maka kekebalan tubuhnya sudah tidaki ada lagi. Dari tahun ke tahun
penularan penyakit ini perkembangannya semakin pesat, yang tertular tidak
hanya di kalangan masyarakat kota tapi juga sampai ke pelosok desa seperti
papua. Ini adalah masalah yang sangat besar, satu sisi agama dan negara
mencegah dengan peraturanperaturannya namun disisi lain kejahatan semakin
merajalela dan semakin canggih.

2. Pekerja Rumah Tangga


Pembantu rumah tangga yang bekerja baik di luar maupun di dalam wilayah
Indonesia dijadikan korban kedalam kondisi kerja yang dibawah paksaan,
pengekangan dan tidak diperbolehkan menolak bekerja. Mereka bekerja
dengan jam kerja yang panjang, upah yang tidak dibayar. Selama ini juga
pekerja rumah tangga tau yang disebut pembantu tidaklah dianggap sebagai
pekerja formal melainkan sebagai hubungan informal antara pekerja dan
majikan, dan pekerjaan kasar yang tidak membutuhkan keterampilan. Upah
yang diterima sangat rendah dibawah UMR yang tidak sebanding dengan
pekerjaan yang dilakukan, dimana jam kerja yang sangat panjang, tidak ada
libur, bahkan banyak yang tidak ada waku untuk istirahat.

Perlakuan yang lebih buruk lagi adalah mereka diperlakukan layaknya budak,
baik ketika menyuruh suatu pekerjaan atau dalam hal makan, di mana mereka
diberi makan yang sedikit dan tidak memenuhi standar gizi yang dapat
memberikan asupan tenaga, dilarang menjalankan ibadah sesuai dengan
agamanya bahkan di luar negeri seringkali majikan dan agen menyita paspor
TKW agar tidak bisa kabur jika mereka diperlakukan oleh semua majikan
karena ada juga majikan yang baik dalam memperlakukan pembantu rumah
tangganya bahkan menganggapnya sebagai keluarga.

3. Penjualan Bayi
Di sejumlah negara maju, motif adopsi anak pada keluarga modern menjadi
salah satu penyebab maraknya incaran trafficker. Keluarga modern yang
enggan mendapatkan keturunan dari hasil pernikahan menjadi rela
mengeluarkan dana yang tidak sedikit untuk mengadopsi anak. Kebutuhan
adopsi massal itulah yang menyebabkan lahirnya para penjual bayi, calo-calo
anak dan segenap jaringannya.

Di sisi lain, negara-negara berkembang masih dipenuhi warga miskin dengan


segala persoalannya, yang kemudian menjadi sasaran pencarian anak-anak
yang akan diadopsi melalui proses perdagangan. Misalnya hilangnya 300 anak
pasca sunami di Aceh yang kemudian dilarikan oleh LSM. Banyak pihak yang
menduga anak itu dilarikan ke Amerika.

Selama tahun 2007, gugus tugas anti trafficking Menteri Negara


Pemberdayaan Perempuan (GTA MNPP) menemukan sekitar 500 anak
Indonesia yang diperdagangkan ke Swedia. Para trafficker tidak hanya
mengambil anak-anak usia belita, usia sekolah dan remaja saja janinpun bisa
mereka tampung.

Dari sumber yang sama menyebutkan bahwa pada tahun 2003 di perbatasan
Indonesia-Malaysia harga orok bermata sipit dan berkulit putih dihargai
sekitar 18.000 -25.000 Ringgit Malaysia. Sedangkan untuk orok bermata
bundar dan berkulit hitam dihargai 10.000-15.000 Ringgit Malaysia.
Cara atau modus penjualan bayi bervariasi. Misalnya, beberapa buruh migran
Indonesia yang menjadi korban sebagai perkawinan palsu saat di luar negeri,
dipaksa untuk menyerahkan bayinya untuk diadopsi secara illegal. Dalam
kasus lain, ibu rumah tangga Indonesia ditipu oleh pembantu rumah tangga
kepercayaannya yang melarikan bayi majikannya kemudian menjual bayi
tersebut kepasar gelap.

4. Jeratan Hutang
Jeratan hutang adalah salah satu bentuk dari perbudakan tradiional, di mana
korban tidak bisa melarikan diri dari pekerjaan atau tempatnya bekerja sampai
hutangnya lunas. Ini terjadi mislanya pada para TKW, di mana ketika mereka
berangkat ke negara tujuan dibiayai oleh PJTKI dan mereka harus mengganti
dengan gaji sekitar empat bulanan yang padahal jika dihitung-hitung baiaya
yang dikeluarkan oleh PJTKI tidak sebanyak gaji TKW tersebut. Ini
menjadikan para TKW harus tetap bekerja apapun kondisi yang dihadapi di
lapangan sampai habis masa kontrak. Karena itulah jeratan hutang dapat
mengarah pada kerja paksa dan membuka kemungkinan terjadinya kekerasan
dan eksploitasi terhadap pekerja.

Pekerja kehilangan kebebasannya untuk bekerja karena orang yang


menghutangkan ingin memastikan bahwa pekerja tidak akan lari dari
hutangnya. Meskipun secara teori mereka hutang tersebut dapat dibayarkan
dalam jangka waktu tertentu tetapi hutang tersebut akan terus ditingkatkan
sampai si peminjam tidak dapat melunasinya.

5. Pengedar Narkoba dan Pengemis


Dunia saat ini sudah diserang virus berbahaya yang namanya narkoba.
Narkoba sudah mengglobal di seluruh dunia dan sulit untuk dicegah
penyebarannya mulai dari kota besar sampai kepelosok desa. Karena secara
materi hasil dari penjualan narkoba sangat fantastis dibanding dengan
pekerjaan atau bisnis apapun. Inilah salah satu yang menyebabkan orang-
orang terjun kelingkungan mafia, karena satu sisi hasilnya sangat
menggiurkan dan disisi lain ia sulit menemukan pekerjaan yang layak dengan
penghasilan besar walaupun resikonya juga sangat besar.

Kemudian juga dimanfaatkan oleh bandar-bandar narkoba untuk mengedarkan


pil setannya juga menjadi penggunanya. Misalnya banyak kasus dalam
tayangan berita di mana muda mudi tertangkap menyeludupkan narkoba
termasuk heroin atau ganja tertangkap polisi. Mereka sangat sulit sekali untuk
membuka siapa yang ada dibalik mereka, karena biasanya mereka sudah
diikat dengan perjanjian untuk tidak membuka dan kadangkala mereka sendiri
tidak tau siapa pihak pertama atau pemilik barang haram tersebut. Akhirnya
merekalah yang harus menerima resikonya sementara bandar narkobanya
bebas melenggang.

Pekerjaan lain yang juga menjadi penyakit adalah adanya sindikat bagi para
pengemis. Banyak perempuan-perempuan di lampu merah yang bahkan
menggendong anak kecil dengan penampilan yang amat sangat tidak layak
untuk masa sekarang ini yang serba modern berburu kepingan rupiah dari
mereka-mereka yang punya rasa iba. Ternyata banyak diantara mereka yang
dikordinir dan ditempatkan ditempat-tempat yang sudah ditentukan. Untuk
mengatasi masalah ini, dibutuhkan kerja keras dari semua pihak dengan
sungguh-sungguh dan bukan penyelesaian yang hanya bersifat formalitas
belaka. Memang sudah ada upaya dari Dinas Sosial tapi ini mungkin baru
sedikit karena buktinya semakin hari perempuan yang mengemis di jalanan
makin banyak.

6. Pengantin Pesanan Pos (Mail order bride)


Kasus ini dapat terjadi salah satunya adalah karena tingginya mahar yang
diminta oleh pihak perempuan, sementara laki-laknya tidak mampu secara
ekonomi untuk memenuhinya sedangkan usia mereka lebih dari cukup untuk
menikah. Maka salah satu caranya adalah dengan membeli perempuan dari
luar negeri untuk dinikahinya karena tidak perlu memberikan mahar yang
besar dan lebih mau menuruti apa maunya si lakilaki. Ini dialami oleh seorang
TKW dimana ia menceritakan bahawa ia telah menikah dengan laki-laki asal
timur tengah, namun ironinya ketika perempuan tersebut hamil ia dipulangkan
ke Indonesia dengan tanpa sepersenpun diberi nafkah dan biaya persalinan.

Ada dua metode yang dikembangkan dalam melihat perkawinan sebagai salah
satu penipuan.

a. Perkawinan digunakan sebagai jalan penipuan untuk mengambil


perempuan tersebut dan membawa ke wilayah lain yang sangat asing,
namun sesampai di wilayah tujuan perempuan tersebut disalurkan dalam
industri seks atau prostitusi. Ini sangat ironi sekali dan sangat bias gender,
dimana seorang suami yang harusnya berkewajiban mencari nafkah untuk
keluarga justru sebaliknya ia menghamburhamburkan uang yang
dikumpulkan istri. Mungkin ini karena pihak laki-laki merasa ia sudah
membeli si perempuan sehingga ia menganggap bahwa perempuan itu
adalah budaknya yang bisa bebas ia perlakukan.
b. Perkawinan untuk memasukkan perempuan ke dalam rumah tangga untuk
mengerjakan pekerjaan-pekerjaan domistik yang sangat eksploitatif
bentuknya. Fenomina pengantin pesanan ini banyak terjadi dalam
masyarakat keturunan cina di Kalimantan Barat dengan para suami berasal
dari Taiwan walaupun dari Jawa Timur diberitakan telah terjadi beberapa
kasus serupa.

Data dari Pusat Studi Wanita Universitas Tanjung Pura, setiap tahun kira-kira
50 perempuan kembali ke Singkawang dari Taiwan telah mengalami
kekerasan dan penipuan. Kekerasan dan penipuan yang dilaporkan bermacam-
macam yaitu dinikahkan dengan laki-laki yang lebih tua, berlainan dengan apa
yang diberitahukan sebelumnya atau dengan laki-laki yang cacat mental atau
fisik atau dinikahkan secara sah sebagai perempuan simpanan atau menjadi
pelayan tanpa bayaran atau bekerja di pabrek dan dipaksa bekerja di prostitusi.

7. Donor Paksa Organ Tubuh


Perdagangan organ tubuh manusia kini semakin merajalela seiring dengan
kemajuan teknologi dibidang kedokteran, misalnya saja teknologi cangkok
jantung, ini biasanya dipesan untuk mereka para penderita jantung yang
berkantong tebal dan “turis cangkok” sebutan untuk para pasien yang datang
ke negara-negara miskin untuk membeli organ tubuh orang-orang miskin. Di
Indonesia, modus penjualan organ tubuh ini beranika ragam, ada yang
menjual karena terdesak kebutuhan ekonomi, misalnya yang dilakukan
seorang ibu demi memenuhi biaya hidup, pendidikan bahkan untuk
pengobatan penyakit anaknya ia rela menjual organ ginjalnya atau juga yang
dilakukan dengan cara menipu sang donor. Bahkan ditengarai ada kasus
pembubuhan dengan tujuan mengambil organ tubuh korban kemudian dijual.

Modus lain adalah memanfaatkan organ tubuh para TKW yang meninggal di luar
negeri. Untuk kasus ini seringkali ketika jenazah sampai di dalam negeri biasanya
pihak keluarga tidak diperkenankan meliahat atau membuka peti jenazah. Sebenarnya
ini sering terjadi tapi karena ketidak tahuan pihak keluarga akhirnya pihak keluarga
hanya menuruti saja, padahal mungkin saja jenazah yang cukup lama tapi juga karena
organ tubuh mayat sudah diambil untuk dijual yang mingkin saja dilakukan oleh
pihak majikan ataupun pihak rumah sakit yang sudah bekerjasama dengan sindikat
penjualan organ tubuh manusia.
1.3.2 Modus Trafficking

Dalam menjalankan operandinya para trafficker sering menggunakan mudus


berupa iming-iming. Di antara modus-modusnya antara lain yaitu:

1. Tawaran Kerja

Salah satu modus human trafficking yang sering dilakukan adalah penawaran
kerja ke luar pulau atau luar negeri dengan gaji tinggi. Pelaku biasanya
mendatangi rumah calon korbannya dan saat pemberangkatan juga tanpa
dilengkapi surat keterangan dari pemerintah desa setempat.

Cara tersebut dilakukan untuk menghilangkan kecurigaan sejumlah pihak,


termasuk memberi kemudahan kepada keluarga korban untuk dapat diterima kerja
tanpa harus mengurus sejumlah surat kelengkapan kerja di luar daerah atau
negeri. Dari pihak orang tua korban sudah tidak memperdulikan aturan atau
kelengkapan surat-surat kerja karena sudah termakan oleh bujukan pelaku.

Modusnya adalah para calo atau perantara memberi iming-iming bagi para korban
dengan menawarkan bekerja di mall dan salon dengan gaji besar. Selanjutnya
korban diserahkan pada germo yang kemudian dipekerjakan secara paksa sebagai
wanita penghibur di tempat-tempat hiburan malam.

Selain aspek pemaksaan yang menyalahi aturan, aspek upah juga sangat
merugikan para korban. Mereka hanya mendapatkan sedikit upah dari transaksi.
Pdahal sekali kencan korban diberi uang oleh hidung belang sekitar kurang lebih
500 ribu sekali kencan. Hal ini biasanya dijadikan dalih oleh para germo sebagai
pembiayaan fasilitas antar jemput, baju, dan rias bagus serta modis agar lebih
menarik

2. Bius

Rayuan dan iming-iming pekerjaan bukan lagi menjadi modus yang paling sering
dilakukan dalam human trafficking, tetapi saat ini orang bisa menjadi korban
perdagangan manusia dengan kekerasan seperti dibius.

Modus ini menggunakan kekerasan, cara modus ini berawal dari penculikan
terhadap korban, kemudian pelaku membiusnya dengan suntikan ataupun dengan
alat yang lain yang digunakan untuk membius. Kemudian korban dibawa dan
dipertemukan dengan sang bos. Setelah itu korban diserahkan jaringan lainnya
untuk dibawa ke negara lain tanpa membawa paspor untuk dipekerjakan secara
paksa sebagai pekerja seks.

1.4 Undang- Undang Tentang Trafficking

Undang Undang No. 21 Tahun 2007 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana


Perdagangan Orang.

Berdasarkan Pasal 1 ayat 1 Undang Undang Nomor 21 Tahun 2007 Tentang Tindak
Pidana Perdagangan Orang, definisinya adalah tindakan perekrutan, pengangkutan,
penampungan, pengiriman, pemindahan, atau penerimaan seseorang dengan ancaman
kekerasan, penggunaan kekerasan, penculikan, penyekapan, pemalsuan, penipuan,
penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, penjeratan utang atau memberi bayaran
atau manfaat, sehingga memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali
atas orang lain tersebut,baik yang dilakukan di dalam negara maupun antar negara,
untuk tujuan eksploitasi atau mengakibatkan orang tereksploitasi.

Berdasarkan pasal tersebut, unsur tindak pidana perdagangan orang ada tiga yaitu:
unsurproses, cara dan eksploitasi. Jika ketiganya terpenuhi maka bisa dikategorikan
sebagai perdagangan orang.

a. Proses : tindakan perekrutan, pengangkutan, penampungan, pengiriman,


pemindahan, atau penerimaan seseorang dengan ancaman kekerasan,
penggunaan kekerasan, penculikan, penyekapan, pemalsuan, penipuan,
penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, penjeratan utang atau memberi
bayaran atau manfaat, sehingga memperoleh persetujuan dari orang yang
memegang kendali atas orang lain tersebut
b. Cara : ancaman kekerasan, penggunaan kekerasan, penculikan, penyekapan,
pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan,
penjeratan utang atau memberi bayaran atau manfaat, sehingga memperoleh
persetujuan dari orang yang memegang kendali atas orang lain tersebut.
c. Eksploitasi : tindakan dengan atau tanpa persetujuan korban yang meliputi
tetapi tidak terbatas pada pelacuran, kerja atau pelayanan paksa, perbudakan
atau praktik serupa perbudakan, penindasan, pemerasan, pemanfaatan fisik,
seksual, organ reproduksi, atau secara melawan hukum memindahkan atau
mentransplantasi organ dan/atau jaringan tubuh atau memanfaatkan tenaga
atau kemampuan seseorang oleh pihak lain untuk mendapatkan keuntungan
baik materiil maupun immateriil.
d. Lokus : Tempat kejadian tindak pidana perdagangan orang bisa terjadi di
dalam negara ataupun antar negara.

1. Sanksi bagi pelaku tindak pidana perdagangan orang


Kurungan Penjara dan atau Denda. Sanksi kurungan penjara, minimal 3 tahun
maksimal 15 tahun. Sanksi denda bagi pelaku perorangan Rp 150-600 juta, sementara
untuk perusahaan sanksi penjaranya minimal 9 tahun dan maksimal 45 tahun, atau
denda minimal sebesar Rp 360 juta, dan maksimal Rp 1,8 miliar.

2. Korban Human Trafficking


Korban adalah seseorang yang mengalami penderitaan psikis, mental. Fisik,
seksual, dan atau sosial yang diakibatkan tindak pidana perdagangan orang (Pasal 1
ayat 3 UU No 21 Tahun 2007).

3. Ciri-ciri perdagangan orang dalam konteks migrasi ketenagakerjaan?


1) Perekrutan tanpa Perjanjian Penempatan;
2) Ditempatkan tanpa perjanjian Kerja;
3) Perekrutan dibawah umur (-18 thn) dokumen dipalsukan;
4) Perekrutan tanpa izin suami/orang tua/wali;
5) Ditempatkan tanpa sertifikat kompetensi (tidak dilatih);
6) Hanya menggunakan paspor dengan visa kunjungan;
7) Ditempatkan oleh perorangan, bukan Perusahaan yang memiliki izin dari
Menteri Tenaga Kerja;
8) Dipindahkan ke majikan lain tanpa perjanjian Kerja;
9) Dipindahkan ke negara lain yang peraturannya terbuka walaupun tidak sesuai
dengan peraturan Indonesia.
10) Beban biaya diatas ketentuan yang ditetapkan pemerintah (over charging).

4. Hak Korban dan/ atau Saksi


a. Hak Korban dan/ atau Saksi juga diberikan kepada keluarganya dengan
rincian sebagai berikut :
1) Memperoleh kerahasiaan identitas (Pasal 44) Hak ini diberikan juga
kepada keluarga korban dan/ atau saksi sampai derajat kedua.
2) Hak untuk mendapat jaminan perlindungan dari ancaman yang
membahayakan diri, jiwa dan/atau hartanya (Pasal 47).
3) Restitusi (Pasal 48). Restitusi ini adalah pembayaran ganti kerugian yang
dibebankan kepada pelaku berdasarkan putusan pengadilan yang
berkekuatan hukum tetap atas kerugian materiil dan/ atau immateriil yang
diderita korban atau ahli warisnya (Pasal 1 angka 13 Undang – Undang
Nomor 21 Tahun 2007). Pengaturan restitusi berupa ganti kerugian atas
garis besarnya adalah sebagai berikut:
a) Kehilangan kekayaan atau penghasilan,
b) Penderitaan,
c) Biaya untuk tindakan perawatan medis dan/ atau psikologis, dan/atau
d) Kerugian lain yang diderita korban sebagai akibat perdagangan orang.

Restitusi diberikan dan dicantumkan sekaligus dalam amar putusan


pengadilan tentang perkara tindak pidana perdagangan orang. Pemberian
restitusi dilaksanakan sejak dijatuhkan putusan pengadilan tingkat
pertama. Restitusi tersebut dapat dititipkan terlebih dahulu di pengadilan
tempat perkara diputus. Pemberian restitusi dilakukan dalam 14 hari
terhitung sejak diberitahukannya putusan yang telah memperoleh
kekuatan hukum tetap. Dalam hal pelaku diputus bebas oleh pengadilan
tingkat banding atau kasasi, maka hakim memerintahkan dalam
putusannya agar uang restitusi yang dititipkan dikembalikan kepada yang
bersangkutan. Pelaksanaan pemberian restitusi dilaporkan kepada ketua
pengadilan yang memutus perkara dan ditandai tanda bukti
pelaksanaannya.

4) Rehabilitasi (Pasal 51). Rehabilitasi adalah pemulihan dari gangguan


terhadap kondisi fisik, psikis, dan sosial agar dapat melaksanakan
perannya kembali secara wajar baik dalam keluarga maupun dalam
masyarakat. Penjelasannya adalah sebagai berikut:
a) Korban berhak memperoleh rehabilitasi kesehatan, rehabilitasi sosial,
pemulangan, dan reintegrasi sosial dari pemerintah apabila yang
bersangkutan mengalami penderitaan baik fisik maupun psikis akibat
tindak pidana perdagangan orang.
b) Rehabilitasi diajukan oleh korban atau keluarga korban, teman
korban, kepolisian, relawan pendamping, atau pekerja sosial, setelah
korban melaporkan kasus yang dialaminya atau pihak lain
melaporkannya kepada Polri.
c) Permohonan diajukan kepada pemerintah melalui menteri atau
instansi yang menangani masalah-masalah kesehatan dan sosial di
daerah. Dalam penjelasan Pasal 53 ayat (3) menegaskan yang
dimaksud dengan pemerintah adalah “instansi” yang bertanggung
jawab dalam bidang kesehatan, dan/ atau penanggulangan masalah –
masalah sosial serta dapat dilaksanakan secara bersama – sama antara
penyelenggara kewenangan tingkat pusat, provinsi, dan
kabupaten/kota khususnya dari mana korban berasal atau bertempat
tinggal.
d) Menteri atau instansi yang menangani rehabilitasi wajib memberikan
rehabilitasi kesehatan, rehabilitasi sosial, pemulangan dan integrasi
sosial paling lambat 7 (tujuh) hari terhitung sejak diajukan
permohonan.
e) Untuk penyelenggaraan pelayanan rehabilitasi kesehatan, rehabilitasi
sosial, ppemulangan dan reintegrasi sosial pemerintah serta
pemerintah daerah wajib membentuk rumah perlindungan sosial atau
pusat trauma.
f) Di samping perlindungan seperti yang telah diutarakan, sesuai Pasal
53 dan Pasal 54 bagi korban juga mendapat hak perlindungan antara
lain;
- Apabila korban mengalami trauma atau penyakit yang membahayakan
dirinya akibat tindak pidana perdagangan orang, maka menteri atau instansi
yang menangani masalah – masalah kesehatan dan sosial di daerah wajib
memberikan pertolongan pertama paling lambat 7 (tujuh) hari setelah
permohonan diajukan;
- Apabila korban di luar negeri memerlukan perlindungan, maka pemerintah
RI melalui perwakilannya di luar negeri wajib melindungi pribadi dan
kepentingan korban dan mengusahakan memulangkan ke Indonesia atas
biaya negara;
- apabila korban warga negara asing, berada di Indonesia, maka pemerintah RI
mengupayakan perlindungan dan pemulangan ke negara asalnya melalui
koordinasi dengan perwakilannya di Indonesia

1.5 Dampak/ Pengaruh Trafficking Human

Berdasarkan perspektif historis, startegi dan tahapan, serta faktor penyebab


human trafficking, maka hal tersebut menempatkan perempuan korban trafficking
dalam situasi yang beresiko tinggi yang berdampak terhadap fisik, psikis maupu
kehidupan sosial perempuan korban trafficking sebagaimana yang digambarkan
Course Instruction (2011: 13, 14) sebagai berikut :
1.5.1 Dampak Psikologi dan Kesehatan Mental

Menurut Williamson et al. (2010: 2), perempuan korban trafficking sering


mengalami, menyaksikan, atau dihadapkan dengan suatu peristiwa atau kejadian yang
melibatkan cedera aktual atau terancam kematian yang serius, atau ancaman terhadap
integritas fisik diri sendiri atau orang lain” dan tanggapan mereka terhadap peristiwa
ini sering melibatkan “rasa takut yang sangat, dan ketidakberdayaan, sebagai reaksi
umum dari post traumatic stress disorder (PTSD). Pengalaman traumatis dan
ketakutan dialami perempuan korban trafficking sejak awal mereka ditangkap secara
paksa, mengalami penyekapan di daerah transit sebelum dikirim ke tempat tujuan
untuk dijual dan di eksploitasi (American Association, 2005: 467).

Setelah kedatangan ke tempat tujuan, perempuan korban trafficking perempuan


korban trafficking terisolasi secara sosial, yang diselenggarakan dalam kurungan, dan
kekurangan makanan. Semua milik pribadi dilucuti dari mereka, surat identitas,
paspor, visa, dan dokumen lainnya (Course Instruction, 2011:1). Korban mengalami
banyak gejala psikologis yang dihasilkan dari kekerasan mental sehari-hari dan
penyiksaan. Ini termasuk depresi, stres yang berhubungan dengan gangguan,
disorientasi, kebingungan, fobia, dan ketakutan. Korban shock, mengalami
penolakan, ketidakpercayaan, tentang situasi mereka saat itu, perasaan tidak berdaya
dan malu (Stotts & Ramey, 2009:10). Rasa takut yang terus-menerus untuk keamanan
pribadi mereka dan keselamatan keluarga mereka, ancaman deportasi akhirnya
berkembang menjadi rasa kehilangan dan tidak berdaya. Hal ini tidak mengherankan
bahwa depresi, kecemasan, dan post traumatic stress disorder (PTSD) adalah gejala
yang umum dialami oleh para korban yang diperdagangkan.

Para perempuan korban trafficking seringkali mengalami kondisi yang kejam yang
mengakibatkan trauma fisik, seksual dan psikologis. Kegelisahan, insomnia, depresi
dan post traumatic stress disorder menggambarkan standar evaluasi atau penilaian
yang mengecewakan nilai diri dengan memandang rendah diri sendiri (Taylor,
2012:1). Para perempuan korban trafficking seringkali kehilangan kesempatan
penting untuk mengalami perkembangan sosial, moral, dan spiritual. Hilang harapan
tanpa tujuan hidup yang jelas, suram dan gelap masa depan.

1. Post Traumatic Stress Disorder (PTSD)

PTSD merupakan suatu pengalaman individu yang mengalami peristiwa


traumatik yang menyebabkan gangguan pada integritas diri individu dan sehingga
individu mengalami ketakutan, ketidakberdayaan dan trauma tersendiri (Townsend
M.C., 2009).

Individu dengan Post Traumatic Stress Disorder (PTSD) sering menyebabkan


peningkatan keadaan siaga yang berlebihan, deperti insomnia, waspada berlebihan
dan iritabilitas terhadap lingkungan yang berbahaya. Peningkatan ansietas dapat
menyebabkan perilaku agresif atau perilaku menciderai (Fontaine, 2009).

Berdasarkan penelitian Rose (2002) ada 3 tipe gejala yang sering terjadi pada PTSD,
yaitu:

a. Pengulangan pengalaman trauma, ditunjukkan dengan selalu teringat akan


peristiwa yang menyedihkan yang telah dialami itu, flashback (merasa seolah-
olah peristiwa yang menyedihkan terulang kembali), nightmares (mimpi buruk
tentang kejadian-kejadian yang membuatnya sedih), reaksi emosional dan fisik
yang berlebihan karena dipicu oleh kenangan akan peristiwa yang
menyedihkan.
b. Penghindaran dan emosional yang dangkal, ditunjukkan dengan menghindari
aktivitas, tempat, berpikir, merasakan, atau percakapan yang berhubungan
dengan trauma. Selain itu juga kehilangan minat terhadap semua hal, perasaan
terasing dari orang lain, dan emosi yang dangkal.
c. Sensitifitas yang meningkat, ditunjukkan dengan susah tidur, mudah
marah/tidak dapat mengendalikan marah, susah konsentrasi, kewaspadaan
yang berlebih, respon yang berlebihan atas segala sesuatu.

2. Kecemasan

Kecemasan adalah kebingungan, kekhawatiran pada sesuatu yang akan terjadi


dengan penyebab yang tidak jelas dan dihubungkan dengan perasaan tidak menentu
dan tidak berdaya (Videbeck, 2008). Satu studi melaporkan bahwa orang yang
selamat dari trafficker mengalami kecemasan dengan gejala kegugupan (95%), panik
(61%), merasa tertekan (95%) dan keputusasaan tentang masa depan (76%) (Bradley,
2005).

3. Ketidakberdayaan

Ketidakberdayaan adalah persepsi yang menggambarkan perilaku seseorang yang


tidak akan berpengaruh secara signifikan terhadap hasil, suatu keadaan dimana
individu kurang dapat mengendalikan kondisi tertentu atau kegiatan yang baru
dirasakan.

Secara kognitif korban umumnya kurang konsentrasi, ambivalensi, kebingungan,


fokus menyempit / preokupasi, misinterpretasi, bloking, berkurangnya kreatifitas,
pandangan suram, pesimis, sulit untuk membuat keputusan, mimpi buruk,
produktivitas menurun, pelupa. Afek korban terkadang tampak sedih, bingung,
gelisah, apatis / pasif, kesepian, rasa tidak berharga, penyangkalan perasaan, kesal,
khawatir, perasaan gagal. Korban sering semakin sering mengeluh kelemahan,
pusing, kelelahan, keletihan, sakit kepala, perubahan siklus haid. Keluarga mungkin
melaporkan perubahantingkat aktivitas pada korban, mudah tersinggung, kurang
spontanitas, sangat tergantung, mudah menangis. Kecenderungan untuk isolasi,
partisipasi sosial berkurang pada tingkat lanjut mungkin akan tampak pada korban
(Rahmalia, 2010)

1.5.2 Dampak Sosial

Secara sosial para perempuan korban trafficking teralenasi, karena sejak awal
direkrut, diangkut atau ditangkap oleh jaringan trafficker mereka sudah disekap,
diisolir agar tidak berhubungan dengan dunia luar atau siapapun sampai mereka tiba
ditempat tujuan. Eksploitasi seksual yang di alami para korban ditempat pekerjaan
membatasi mereka untuk bertemu dengan orang lain (Course Instructions, 2011: 3,
4), kecuali harus melayani nafsu bejat para tamu (lelaki hidung belang). Para korban
semestinya memandang dunia dan masa depan dengan mata bersinar, hidup aman
tentram bersama perlindungan dan kasih sayang keluarganya, tibatiba harus tercabut
masuk ke dalam situasi yang eksploitatif dan kejam, menjadi korban sindikat
trafficking.

Konsekuensi sosial tersebut sebagai salah satu dampak yang banyak dialami oleh
perempuan. Korban trafficking. Korban mengalami isolasi sosial, yang berfungsi
sebagai strategi untuk perbudakan dan eksploitasi seksual. Sementara diperbudak,
para korban terutama anak-anak biasanya kehilangan kesempatan pendidikan dan
sosialisasi dengan teman sebayanya (Stotts & Ramey, 2009: 10). Karena trafficking
perempuan tampaknya mengorbankan seluruh masyarakat, anak dan wanita, isolasi
sosial merupakan upaya untuk mencegah mereka mendapatkan pendidikan dan
meningkatkan kerentanan masa depan mereka untuk diperdagangkan.
Menurut Chatterjee et al. (Wickham, 2009: 12, 13), persoalan sosial yang sangat
tragis dan semakin meningkatkan stress dan depresi para korban adalah ketika
keluarga dan masyarakat menolak untuk menerima mereka kembali. Selain itu, para
pria sering melihat perempuan korban trafficking sebagai orang yang kotor, telah
ternodai dan karena itu menolak untuk menikahi mereka. Diskriminasi terhadap para
perempuan korban trafficking terjadi dalam berbagai sector dan berbagai bentuk.
Kenyataan ini telah menggugah rasa kemanusiaan dari berbagai pihak untuk terus
berjuang agar nilai-nilai kemanusiaan seperti keadilan, kesederajatan, bisa
diwujudkan. Jadi dampak sosial yang dimaksud adalah isolasi sosial, penolakan dari
keluarga & masyarakat mengakibatkan perempuan korban trafficking kehilangan
makna dan tujuan hidup serta penghargaan atas dirinya.

1.5.3 Dampak Kesehatan Fisik

Secara fisik, cedra aktual para perempuan korban trafficking terjadi, karena mereka
mengalami kekerasan fisik dan seksual. Mereka seringkali terpaksa harus tinggal di
lingkungan yang tidak manusiawi dan bekerja dalam kondisi berbahaya. Mereka tidak
memiliki gizi yang cukup dan dikenakan penyiksaan secara brutal pada fisik dan
psikis, apabila mereka tidakmemberikan pelayanan seksual yang diinginkan
pelanggan (“lelaki hidung belang”) atau karena penolakan para korban terhadap
eksploitasi seksual. Korban sering tidak memiliki akses ke perawatan medis yang
memadai dan tinggal dilingkungan yang najis dan tidak layak (Stotts & Ramey, 2009:
10). Perawatan kesehatan dan pencegahan penyakit seksual menular terhadap para
korban hampir tidak ada, dan kesehatan biasanya diabaikan sampai mereka semakin
terpuruk menderita penyakit HIV / AIDS, sipilis, gonorea dan penyakit seksual
menular lainnya.

Para perempuan korban trafficking dirugikan dengan berbagai metode yang


digunakan traffickers untuk “kondisi” mereka, termasuk pemerkosaan, pemerkosaan
geng, ancaman untuk menyakiti korban atau keluarga korban, kronis pada
pendengaran, dan kardiovaskular atau masalah pernapasan yang disebabkan oleh
penyiksaan, trans-seksual dan memaksa penggunaan narkoba. Luka fisik termasuk
hal-hal seperti patah tulang, gegar otak, luka bakar, dan vagina atau dubur robek.
Kehamilan korban yang tidak diinginkan akibat pemerkosaan atau prostitusi.
Infertility sebagai akibat infeksi kronis menular seksual yang tidak diobati atau gagal
atau melakukan aborsi tradisional bukan oleh para medis dan tanpa perawatan medis.
Belum lagi penyakit yang tidak terdeteksi atau tidak diobati, seperti diabetes atau
kanker, sebagai ancaman masa depan para korban (Stotts & Ramey, 2009: 11).
Penyalahgunaan zat (obatobatan terlarang) sebagai sarana untuk mengatasi situasi
depresi korban sekaligus sebagai strategi traffickers menundukkan korban untuk
melakukan eksploitasi seksual. Jadi dampak kesehatan fisik yang dimaksud adalah
cedera aktual & ancaman terhadap integritas diri para korban yang mengalami
kekerasan fisik dan seksual. Penderitaan secara fisik yang dialami para perempuan
korban trafficking, menciptakan citra diri negatif, konsep diri para korban semakin
terpuruk, kehilangan makna hidup, harkat dan martabat para korban menjadi hancur.

1.6 Pencegahan dan Penanggulangan Human Trafficking

Perdagangan orang, khususnya perempuan sebagai suatu bentuk tindak kejahatan


yang kompleks, tentunya memerlukan upaya penanganan yang komprehensif dan
terpadu.

Tidak hanya dibutuhkan pengetahuan dan keahlian professional, namun juga


pengumpulan dan pertukaran informasi, kerjasama yang memadai baik sesame
apparat penegak hokum seperti kepolisian, kejaksaan, hakim maupun dengan pihak-
pihak lain yang terkait yaitu lembaga pemerintah (Kementrian terkait) dan lembaga
non pemerintah (LSM) baik local maupun internasional.

Semua pihak bisa saling bertukar informasi dan keahlian profesi sesuai
dengankewenangan masing-masing dan kode etik instansi. Tidak hanya perihal
pencegahan, namun juga penanganan kasus dan perlindungan korban semakin
memberikan pembenaran bagi upaya pencegahan dan penanggulangan perdagangan
peremuan secara terpadu. Hal ini bertujuan untuk memastikan agar korban
mendapatkan ha katas perlindungan dalam hukum.

Dalam konteks penyidikan dan penuntutan, aparat penegak hukum dapat


memaksimalkan jaringan kerjasama dengan sesama apparat penegak hokum lainnya
didalam suatu wilayah negara, untuk bertukar informasi dan melakukan investigasi
bersama. Kerjasama dengan apparat penegak hokum di negara tujuan bisa dilakukan
melalui pertukaran informasi, atau bahkan melalui mutual legal assistance, bagi
pencegahan dan penanggulangan perdagangan perempuan lintas negara.

Upaya Masyarakat dalam pencegahan trafficking yakni dengan meminta dukungan


ILO dan Yayasan Kesejahteraan Anak Indonesia (YKAI) yang melakukan Program
Prevention of Child Trafficking for Labor and Sexual Exploitation. Tujuan dari
program ini adalah :
a. Memperbaiki kualitas pendidikan dari tingkat Sekolah Dasar sampai Sekolah
Menegah Atasuntuk memperluas angka partisipasi anak laki-laki dan anak
perempuan.
b. Mendukung keberlanjutan pendidikan dasar untuk anak perempuan setelah
lulus sekolah dasar
c. Menyediakan pelatihan keterampilan dasar untuk memfasilitasi kenaikan
penghasilan
d. Menyediakan pelatihan kewirausahaan dan akses ke kredit keuangan untuk
memfasilitasi usaha sendiri.
e. Merubah sikap dan pola pikir keluarga dan masyarakat terhadap traff
BAB II

TINJAUAN KASUS

2.1 Kasus Human Trafficking Artikel


1. Diagnosa Keperawatan
a. Risiko Prilaku Kekerasan
b. Gangguan konsep diri : harga diri rendah
2. Intervensi Keperawatan

PERENCANAAN
NO. DIAGNOSA
TUJUAN KRITERIA EVALUASI INTERVENSI
1. Risiko Prilaku Selama perawatan Setelah…..Pertemuan pasien BHSP
Kekerasan diruangan, pasien tidak mampu: SP I:
memperlihatkan perilaku 1. Dapat membina 1. Diskusikan penyebab, tanda
kekerasan. hubungan saling percaya dan gejala, bentuk dan
2. Dapat mengidentifikasi akibat PK yang dilakukan
penyebab, tanda dan pasien serta akibat PK
gejala, bentuk dan akibat 2. Latih pasien mencegah PK
PK yang sering dengan cara: fisik (tarik
dilakukan nafas dalam & memeukul
3. Dapat bantal)
mendemonstrasikan cara 3. Masukkan dalam jadwal
mengontrol PK dengan harian
cara :
- Fisik SP II:
- Social dan verbal 1. Diskusikan jadwal harian
- Spiritual 2. Latih pasien mengntrol PK
- Minum obat teratur dengan cara sosial
4. Dapat menyebutkan dan 3. Latih pasien cara menolak
mendemonstrasikan cara dan meminta yang asertif
mencegah PK yang 4. Masukkan dalam jadwal
sesuai kegiatan harian
5. Dapat memelih cara SP III:
mengontrol PK yang 1. Diskusikan jadwal harian
efektif dan sesuai 2. Latih cara spiritual untuk
6. Dapat melakukan cara mencegah PK
yang sudah dipilih untuk 3. Masukkan dalam jadawal
mengontrl PK kegiatan harian
7. Memasukan cara yang
sudah dipilih dalam SP IV
kegitan harian 1. Diskusikan jadwal harian
8. Mendapat dukungan dari 2. Diskusikan tentang manfaat
keluarga untuk obat dan kerugian jika tidak
mengontrol PK minum obat secara teratur
9. Dapat terlibat dalam 3. Masukkan dalam jadwal
kegiatan diruangan kegiatan harian

2. Gangguan konsep Pasien mampu : Setelah…..pertemuan klien SP.1 (Tgl…………………….)


diri : harga diri 1. Mengidentifikasi mampu : 1. Identifikasi kemampuan
rendah kemampuan dan 1. Mengidentifikasi positif yang dimiliki
aspek posiif yang kemampuan aspek a. Diskusikan bahwa
dimiliki positif yang dimiliki pasien masih memiliki
2. Menilai kemampuan 2. Memiliki kemampuan sejumlah kemampuan
yang dapat digunakan yang dapat digunakan. dari aspek positif seperti
3. Menetapkan/memilih Memilih kegiatan sesuai kegiatan pasien di rumah
kegiatan yang sesuai kemampuan adanya keluarga dan
dengan kemampuan 3. Melakukan kegiatan lingkungan terdekat
4. Melatih kegiatan yang sudah dipilih. pasien.
yang sudah dipilih, 4. Merencanakan kegiatan b. Beri pujian yang realistis
sesuai kemampuan yang sudah dilatih. dan hindarkan setiap kali
5. Merencanakan bertemu dengan pasien
kegiatan yang sudah penilaian yang negative.
dilatihnya
2. Nilai kemampuan yang
dapat dilakukan saat ini
a. Diskusikan dengan
pasien kemampuan yang
masih digunakan saat ini
b. Bantu pasien
menyebutkannya dan
memberi penguatan
terhadap kemampuan
diri yang diungkapkan
pasien
c. Perlihatkan respon yang
kondusif dan menjadi
pendengar yang aktif

3. Pilih kemampuan yang akan


dilatih
a. Diskusikan dengan
pasien beberapa aktivitas
yang dapat dilakukan
dan dipilih sebagai
kegiatan yang akan
pasien lakukan sehari-
hari
b. Bantu pasien
menetapkan aktivitas
mana yang dapat pasien
lakukan secara mandiri
- Aktivitas yang
memerlukan bantuan
minimal dari keluarga
- Aktivitas apa saja yang
perlu bantuan penuh
dari keluarga atau
lingkungan terdekat
pasien
- Beri contoh
pelaksanaan aktivitas
yang dapat dilakukan
pasien
- Susun bersama pasien
aktivitas atau kegiatan
sehari-hari pasien

4. Nilai kemampuan pertama


yang telah dipilih
a. Diskusikan dengan
pasien untuk
menetapkan urutan
kegiatan (yang sudah
dipilih pasien) yang
akan dilatihkan
b. Bersama pasien dan
keluarga
memeperagakan
beberapa kegiatan yang
akan dilakukan pasien.
c. Berikan dukungan dan
pujian yang nyata sesuai
kemajuan yang
diperlihatkan pasien.

5. Masukan dalam jadwal


kegiatan pasien
a. Beri kesempatan pada
pasien untuk mencoba
kegiatan
b. Beri pujian atas
aktivitas/kegiatan yang
dapat dilakukan pasien
setiap hari
c. Tingkatkan kegiatan
sesuai dengan toleransi
dan setiap perubahan
d. Susun daftar aktivitas
yang sudah dilatihkan
bersama pasien dan
keluarga
e. Berikan kesempatan
mengungkapkan
perasaannya setelah
pelaksanaan kegiatan.
Yakinkan bahwa
keluarga mendukung
setiap aktivitas yang
dilakukan pasien

SP.2 (Tgl……………………)
1. Evaluasi kegiatan yang lalu
(SP1)
2. Pilih kemampuan kedua
yang dapat dilakukan
3. Latih kemampuan yang
dipilih
4. Masukan dalam jadwal
kegiatan pasien

SP.3 (Tgl…………………….)
1. Evaluasi kegiatan yang lalu
(SP.1 dan 2)
2. Memilih kemampuan ketiga
yang dapat dilakukan
3. Masukan dalam jadwal
kegiatan pasien

Keluarga mampu: Setelah……pertemuan SP.1 (Tgl…………………….)


Merawat pasien dengan keluarga mampu: 1. Identifikasi masalah yang
harga diri rendah di 1. Mengidentifikasi dirasakan dalam merawat
rumah dan menjadi kemampuan yang pasien
system pendukung yang dimiliki pasien 2. Jelaskan proses terjadinya
efektif bagi pasien 2. Menyediakan fasilitas HDR
untuk pasien melakukan 3. Jelaskan tentang cara
kegiatan merawat pasien
3. Mendorong pasien 4. Main peran dalam merawat
melakukan kegiatan pasien HDR
4. Memuji pasien saat 5. Susun RTL keluarga/jadwal
pasien dapat melakukan keluarga untuk merawat
kegiatan pasien
5. Membantu melatih
pasien
6. Membantu menyusun
jadwal kegiatan pasien
7. Membantu
perkembangan pasien

SP.2 (Tgl…………………….)
Evaluasi kemampuan SP.1
1. Latih keluarga langsung ke
pasien
2. Menyusun RTL
keluarga/jadwal keluarga
untuk merawat pasien
SP. 3 (Tgl……………………)
1. Evaluasi Kemampuan
Keluarga
2. Evaluasi Kemampuan
Pasien
3. RTL Keluarga - Follow Up
– Rujukan
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Trafficking adalah perdagangan manusia, lebih khususnya perdangan perempuan


dan anak-anak yang dilakukan oleh pelaku perdagangan manusia ‘trafficker’ dengan
cara mengendalikan korban dalam bentuk paksaan, penggunaan kekerasan,
penculikan, tipu daya, penipuan ataupun penyalahgunaan kekuasaan atau kedudukan.

Jenis-jenis trafficking ini meliputi perkawinan transinternasional, eksploitasi seksual


phedopilia, pembantu rumah tangga dalam kondisi buruk, dan penari erotis. Faktor
penyebab utama terjadinya tindakan trafficking ini adalah karena kemiskinan dan
beberapa diantaranya adalah, karena tingkat pendidikan yang rendah, penganiyaan
terhadap perempuan, perkawinan usia muda, dan kondisi sosial budaya masyarakat
yang patriarkhis. Dampak yang bisa ditimbulkan dari trafficking ini adalah
kecemasan, stress, dan ketidakberdayaan.

3.2 Saran

Demikian yang dapat kami paparkan mengenai materi yang menjadi pokok
bahasan dalam makalah ini, tentunya masih banyak kekurangan dan kelemahannya,
karena terbatasnya pengetahuan dan kurangnya rujukan atau referensi yang ada
hubungannya dengan judul makalah ini.

Penulis banyak berharap para pembaca yang budiman sudi memberikan kritik dan
saran yang membangun kepada penulis demi sempurnanya makalah ini dan penulisan
makalah di kesempatan-kesempatan berikutnya
DAFTAR PUSTAKA

Capernito, Lyda Juall. 2012. Buku Saku Diagnosis Keperawatan Ed. 13.
Jakarta: EGC

Farhana. 2010. Aspek Hukum Perdagangan Orang di Indonesia. Jakarta:


Sinar Grafika

Riyadi, Sujono dan Teguh Purwanto. 2009. Asuhan Keperawatan Jiwa.


Yogyakarta: Graha Ilmu

Syafaat, Rachmad. 2002. Dagang Manusia-Kajian Trafficking Terhadap


Perempuan dan Anak di Jawa Timur. Yogyakarta: Lappera Pustaka Utama.

Anda mungkin juga menyukai