Anda di halaman 1dari 26

MAKALAH KEPERAWATAN KOMUNITAS II

HIV/AIDS

DOSEN PENGAMPU :
Ns. Didi Kurniawan, M. Kep

DISUSUN OLEH:
Kelompok 2 Kelas A 2017 2

Yefma Feby Handika Megawati Kristina


(1711113788) Isnaini Rafika Parapat
(1711113794) (1711113945)
Firdiana Suryani S
(1711114001) Kurnia Utari Mella Nindia
(1711113968) Wahyuni
Fitri Anisa (1711113816)
(1711113999) Lichentia Putri
Elisabet Melly Ani Osasi
Hafizahtul Hasanah (1711114013) Hutapea
(1711114050) (1711113943)
Mala Sasmita
Helapsindah R (1711113844) Nisa Ulfitri
(1711113832) (1711113979)
Mardiah Mila Hamdi
Humairatun Zakiyah (1711114004)
(1711113780)

ILMU KEPERAWATAN
FAKULTAS KEPERAWATAN
UNIVERSITAS RIAU
2020
KATA PENGANTAR

Puji serta syukur kita ucapkan kehadirat Allah SWT, Tuhan semesta alam, yang telah
memberikan kita rahmat, hidayah dan anugerahNya sehingga kami berhasil menyusun
makalah ini dengan judul “HIV/AIDS”. Hanya kepadaNya kami memohon pertolongan dan
kemudahan dalam segala urusan. Shalawat serta salam semoga tetap tercurahkan kepada
junjungan dan sari tauladan kita Nabi Muhammad SAW yang telah membimbing kita pada
jalan yang diridhai oleh Allah SWT.

Penyusunan makalah ini dimaksudkan untuk menambah dan mengembangkan


pengetahuan tentang HIV/AIDS khususnya bagi para mahasiswa Ilmu Keperawatan
Universitas Riau karena begitu pentingnya memahami peran penting perawat dalam
meningkatkan derajat kesehatan. Makalah ini disusun dengan urutan penyajian sedemikian
rupa sehingga kita akan merasa senang untuk mendalaminya.

“Tiada Manusia Yang Sempurna” begitu pula dengan kami yang telah
mempersembahkan makalah ini yang telah Kami susun sebaik mungkin. Akan tetapi, segala
kritik dan saran demi perbaikan isi makalah ini akan kami sambut dengan senang hati.

Akhirnya, semoga makalah ini dapat bermanfaat dan turut andil dalam merncerdaskan
para calon perawat indonesia, dan menjadikan para perawat Indonesia menjadi perawat yang
professional. Wassalamualaikum Wr.Wb

Pekanbaru, 12 Februari 2020


DAFTAR ISI

Halaman

Cover .................................................................................................. i
Kata Pengantar ................................................................................... ii
Daftar Isi .............................................................................................. iii
BAB I : PENDAHULUAN .......................................................... 1
1.1 Latar belakang ........................................................... 1
1.2 Rumusan masalah ...................................................... 2
1.3 Tujuan pembelajaran .................................................. 2
1.4 Manfaat penulisan ...................................................... 3

BAB II : ISI ..................................................................................... 4


2.1 Pengertian HIV/AIDS ................................................. 4
2.2 Epidimiologi HIV/AIDS ............................................. 5
2.3 Etiologi HIV/AIDS ...................................................... 6
2.4 Patofisiologi HIV/AIDS ............................................. 6
2.5 Manifestasi klinis HIV/AIDS ..................................... 7
2.6 Pemeriksaan penunjang HIV/AIDS ........................... 9
2.7 Pencegahan HIV/AIDS .............................................. 9
2.8 Penatalaksanaan HIV/AIDS ....................................... 10
2.9 Asuhan keperawatan HIV/AIDS ................................ 16

BAB III : PENUTUP ..................................................................... 19


3.1 Kesimpulan .............................................................. 19
3.2 Saran ....................................................................... 19

DAFTAR PUSTAKA 20
BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

HIV atau Human Immunodeficiency Virus adalah virus yang menyebabkan


menurunnya kekebalan tubuh manusia. HIV yang tidak terkendali akan menyebabkan
AIDS atau Acquired Immune Deficiency Syndrome. AIDS merupakan sekumpulan
gejala penyakit yang timbul akibat menurunnya sistem kekebalan tubuh karena infeksi
HIV. Menurunnya kekebalan tubuh orang dengan HIV/AIDS (ODHA) menyebabkan
orang tersebut sangat mudah terkena berbagai penyakit infeksi (infeksi oportunistik)
yang berakibat kematian. WHO menyatakan bahwa HIV merupakan penyakit infeksi
seksual pembunuh nomor satu di dunia. Pada tahun 2013 tercatat sebanyak 35 juta
orang dengan HIV tersebar di seluruh dunia yang meliputi 16 juta perempuan dan 3,2
juta anak berusia di bawah 15 tahun. Jumlah infeksi baru HIV pada tahun 2013 tercatat
sebanyak 2,1 juta orang meliputi 1,9 juta dewasa dan 240.000 anak-anak berusia di
bawah 15 tahun. Jumlah kematian akibat AIDS sebanyak 1,5 juta yang terdiri dari 1,3
juta dewasa dan 190.000 anak berusia dibawah 15 tahun.

HIV/AIDS merupakan penyakit infeksi yang dapat ditularkan ke orang lain


melalui darah, cairan genital dan air susu ibu (ASI). Darah ODHA dapat masuk ke orang
lain melalui injeksi atau tranfusi darah dan menginfeksi orang tersebut. Kelompok
berisiko tinggi pada hal ini adalah pengguna narkoba atau Injecting Drug Users (IDU).
HIV juga menular melalui cairan genital (sperma dan cairan vagina) penderita dan masuk
ke orang lain melalui jaringan epitel sekitar uretra, vagina dan anus akibat hubungan seks
bebas tanpa kondom, baik heteroseksual ataupun homoseksual. Ibu yang menderita
HIV/AIDS sangat berisiko tinggi menularkan HIV ke bayi yang dikandungnya jika
tidak ditangani secara kompeten. Berdasarkan faktor risiko penularan AIDS di Jawa
Tengah, persentasi terbanyak adalah heteroseksual 4.163 kasus ( 84,39%), Injecting Drug
Users (IDU) 311 kasus (6,3%), perinatal 227 kasus (4,6%), homoseksual 224 kasus
(4,54%) dan transfusi 8 kasus (0,16%).ODHA berisiko mengalami infeksi oportunistik.
Infeksi opotunistik adalah infeksi yang terjadi karena menurunnya kekebalan tubuh
seseorang akibat virus HIV. Infeksi ini umumnya menyerang ODHA dengan HIV
stadium lanjut.
1.2 Rumusan Masalah

HIV atau Human Immunodeficiency Virus merupakan virus yang menyerang


sistem kekebalan tubuh dan dapat menyebabkan AIDS atau Acquired Immue Deficiency
Syndrome. Menurunnya sistem kekebalan tubuh menyebabkan ODHA (ODHA) sangat
mudah terkena berbagai penyakit infeksi. ODHA dengan berbagai infeksi membutuhkan
perawatan medis. Pada beberapa kasus, ODHA justru mendapatkan diskriminasi dalam
mendapatkan perawatan medis oleh perawat. Hal ini berdampak pada menurunnya
kualitas pelayanan keperawatan yang diberikan kepada ODHA. Asuhan keperawatan
pada ODHA sangat dipengaruhi oleh persepsi dan sikap perawat. Semakin baik persepsi
dan sikap perawat menghasilkan asuhan keperawatan lebih baik yang diterima ODHA.
Studi pendahuluan di RSUD Tidar kota Magelang menghasilkan kesimpulan bahwa
ODHA masih merasakan adanya diskriminasi dan ketidakpuasan selama menjalani
perawatan di rumah sakit meski perawat merasa bahwa sudah memberikan pelayanan
keperawatan yang menurut mereka benar. Berdasarkan uraian tersebut, maka dapat
dirumuskan masalah penelitian adalah “Persepsi dan Sikap Perawat terhadap Perawatan
Orang dengan HIV/AIDS (ODHA)”

1.3 Tujuan Penulisan


a. Tujuan Umum
 Mengetahui persepsi dan sikap perawat terhadap perawatan orang dengan
HIV/AIDS (ODHA).

b. Tujuan Khusus

 Mendeskripsikan pengertian HIV/AIDS


 Mendeskripsikan etiologi HIV/AIDS
 Mendeskripsikan epidimiologi HIV/AIDS
 Mendeskripsikan patofisiologi HIV/AIDS
 Mendeskripsikn manifestasi klinis HIV/AIDS
 Mendeskripsikan pemeriksaan penunjang HIV/AIDS
 Mendeskripsikan penatalaksanaan HIV/AIDS
 Mendeskripsikan pencegahan HIV/AIDS
 Mendeskripsikan asuhan keperawatan HIV/AIDS
1.4 Manfaat Penulisan
 Bagi Profesi Keperawatan
Sebagai bahan evaluasi perawat dalam memberikan asuhan keperawatan pada ODHA.
 Bagi Rumah Sakit
Hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai bahan masukan bagi rumah sakit untuk
mengevaluasi pelayanan asuhan keperawatan kepada ODHA.
 Bagi ODHA
Penelitian ini diharapkan dapat mengurangi diskriminasi dan stigma yang dirasakan
ODHA dari perawat.
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Defenisi
Human Immunodeficiency Virus (HIV) adalah retrovirus yang termasuk
dalam family lentivirus. Dua jenis HIV yang secara genetiknya berbeda tetapi sama
dari antigennya berhubungan yaitu HIV-1 dan HIV-2 diisolasi dari penderita AIDS.
HIV-1 lebih banyak dijumpai pada penderita AIDS di Amerika Serikat, Eropa dan
Afrika Tengah, manakala HIV-2 lebih banyak dijumpai di Afrika Barat, HIV-1 lebih
mudah ditransmisi berbanding HIV-2. Periode antara infeksi pertama kali dengan
timbul gejala penyakit adalah lebih lama dan penyakitnya lebih ringan pada infeksi
HIV-2 (WHO, 2008).
Menurut Green (2007), HIV merupakan singkatan dari Human
Immunnedeficiency Virus. Disebut human (manusia) karena virus ini hanya dapat
menginfeksi manusia, immunodeficiency karena efek virus ini adalah melemahkan
kemampuan system kekebalan tubuh untuk melawan segala penyakit yang menyerang
tubuh, termasuk golongan virus karena salah satu karakteristiknya adalah tidak
mampu memproduksi diri sendiri, melainkan memanfaatkan sel-sel tubuh. Sel darah
putih manusia sebagai sel yang berfungsi untuk mengendalikan atau mencegah infeksi
oleh virus, bakteri, jamur, parasit dan beberapa jenis kanker diserang oleh HIV yang
menyebabkan turunnya kekebalan tubuh sehingga mudah terserang penyakit
(Nursalam, 2011).
HIV adalah virus yang menyerang sel CD4 dan menjadikannya tempat
berkembang biak, kemudian merusaknya sehingga tidak dapat digunakan lagi.
Sebagaimana kita ketahui bahwa sel darah putih sangat diperlukan untuk system
kekebalan tubuh. Tanpa kekebalan tubuh maka ketika tubuh kita diserang penyakit,
tubuh kita lemah dan tidak berupaya melawan jangkitan penyakit dan akibatnya kita
dapat meninggal dunia meski terkena influenza atau pilek biasa. Manusia yang
terkena virus HIV, tidak langsung menderita penyakit AIDS, melainkan diperlukan
waktu yang cukup lama bahkan bertahun-tahun bagi virus HIV untuk berubah
menjadi AIDS yang mematikan (WHO, 2008).
AIDS merupakan singkatan dari Acquired Immuno Deficiency Syndrome.
Acquired artinya di dapat, jadi bukan merupakan penyakit keturunan. Immuno berarti
sistem kekebalan tubuh. Deficiency artinya kekurangan, sedangkan Syndrome adalah
kumpulan gejala. AIDS adalah sekumpulan gejala yang didapatkan dari penurunan
kekebalan tubuh akibat kerusakan system imun yang disebabkan oleh infeksi HIV.
Penularan virus HIV dapat terjadi melalui darah, air mani, hubungan seksual, atau
cairan vagina. Namun virus ini tidak dapat menular lewat kontak fisik biasa, seperti
berpelukan, berciuman, atau berjabat tangan dengan seseorang yang terinfeksi HIV
atau AIDS (Nursalam, 2011).

2.2 Epidimiologi
Terdapat sekitar 36,7 juta (30,8 - 42,9 juta) orang hidup dengan HIV secara global
pada tahun 2016, dimana 17,8 juta (15,4 – 20,3 juta) di antaranya adalah wanita (6).
Prevalensi HIV untuk wilayah Asia Selatan – Tenggara mencapai 0,3 % dan 39 %
dari keseluruhan kasus adalah wanita dan perempuan muda. Sekitar 20 % kasus
HIV/AIDS di Asia Selatan-Tenggara berasal dari Indonesia. Hal ini menempatkan
Indonesia pada urutan ke 2 untuk kasus HIV/AIDS terbanyak setelah India.
Kumulatif kasus HIV di Indonesia pada tahun 2016 mencapai 232.323 kasus dan
AIDS 86.780 kasus. Persentase kasus AIDS pada wanita di Indonesia terus meningkat
dari tahun 1987 s/d 2015 yang mencapai 31,5 %. Terjadi peningkatan kasus AIDS
pada ibu rumah tangga selama lima tahun terakhir di Indonesia dari tahun 2011 yakni
1.161 kasus (14%) menjadi 1.350 kasus (18,7%) di tahun 2015.
Prevalensi HIV/AIDS berdasarkan provinsi menunjukkan bahwa Papua
menduduki peringkat ke-1 di Indonesia. Proporsi kasus HIV lebih tinggi pada wanita
yakni mencapai 54,9 %. Kasus HIV pada ibu rumah tangga juga menunjukkan
peningkatan dari tahun 2013 sampai dengan 2015 yakni dari 345 (12%) dari 2.861
kasus menjadi 612 (15,4 %) dari 3.949 kasus.
Kumulatif kasus HIV/AIDS di Kota Jayapura menduduki peringkat ke 4 tertinggi
di Provinsi Papua. dimana terjadi peningkatan 1,4 % dari 914 kasus di tahun 2014
menjadi 1.052 pada tahun 2015. Persentase kasus HIV/AIDS tertinggi pada wanita
yakni sebesar 55% dengan jumlah kasus pada ibu rumah tangga yang mencapai 217
kasus (20,6 %) pada tahun 2015.
2.3 Etiologi
Acquired Immunodeficiency Syndrome (AIDS) disebabkan oleh virus yang
disebut HIV. Virus ini ditemukan oleh Montagnier, seorang ilmuwan Perancis
(Institute Pasteur, Paris 1983), yang mengisolasi virus dari seorang penderita dengan
gejala limfadenopati, sehingga pada waktu itu dinamakan Limphadenopathy
Associated Virus (LAV). Gallo (National Institute of Health, USA 1984) menemukan
virus HTL-III (Human T Lymphotropic Virus) yang juga adalah penyebab AIDS.
Pada penelitian lebih lanjut dibuktikan bahwa kedua virus ini sama, sehingga
berdasarkan hasil pertemuan International Committee on Taxonomy of Viruses
(1986) WHO memberi nama resmi HIV. Pada tahun 1986 di Afrika ditemukan virus
lain yang dapat pula menyebabkan AIDS, disebut HIV-2, dan berbeda dengan HIV-1
secara genetik maupun antigenik. HIV-2 dianggap kurang patogen dibandingkan
dengan HIV-1. Untuk memudahkan virus itu disebut sebagai HIV saja (Daili, 2009.

2.4 Patofisiologi

Hubungan seksual dengan pasangan yang Transfusi darah yang Tertusuk jarum bekas Ibu hamil
berganti-ganti, dengan yang terinfeksi HIV terinfeksi HIV penderita HIV menderita HIV

Virus masuk dalam tubuh lewat luka berdarah

Sperma terinfeksi masuk kedalam


tubuh pasangan lewat membran
Virus Masuk Dalam Peredaran Darah Dan Invasi Sel Target Hospes
mukosa vagina, anus yang lecet atau
luka

T helper / CD4+ Makrofag Sel B

Terjadi perubahan pada struktural sel diatas akibat transkripsi RNA virus + DNA sel sehingga terbentuknya provirus

Sel penjamu (T helper, limfosit B, makrofag) mengalami kelumpuhan

Menurunnya sistem kekebalan tubuh

Infeksi Oportunistik

Sistem GIT Integumen Sistem Reproduksi Sistem respirasi Sistem neurologi


Virus HIV + kuman Herpes zoster + Candidiasis Mucobakterium TB Kriptococus
salmonela, Herper simpleks
clostridium, candida

PCP (Pneumonia Meningitis


Ulkus Genital Pneumocystis) Kriptococus
Dermatitis Serebroika
Menginvasi
mukosa saluran
cerna Perubahan Status
Demam, Batuk Non
Produktif, Nafas Pendek Mental, Kejang,
Kaku Kuduk,
Ruam, Difus, Bersisik,
Peningkatan peristaltik Kelemahan, Mual,
Folikulitas, kulit kering,
kehilangan nafsu
mengelupas eksema
MK : makan, Vomitus,
- Hipertermi Demam, Panas,
- Bersihan Jalan Pusing
Nafas
Diare - Pola Nafas
Tidak Efektif
Terapi trimetoprim
sulfame

Mk : MK : Resiko MK :
- Perubahan - Resiko tinggi cedera
kerusakan
Eliminasi (Bab) - Ggn. Nutrisi < Keb.
Integritas Ruam, Pruritus,
- Gangg Nutrisi < Tubuh
Kulit Papula, Makula Merah - Risiko tinggi
Keb. Tubuh
Muda kekurangan volume
- Resiko
Kekurangan cairan
Volume Cairan - Intoleransi Aktivitas
MK : Nyeri

2.5 Manifestasi Klinis

Manifestasi Klinis HIV/AIDS (WHO SEARO 2007)

1. Keadaan umum :

- Kehilangan berat badan > 10% dari berat badan dasar


- Demam (terus menerus atau intermitten, temperatur oral > 37,5oC) yang lebih dari satu
bulan,
- Diare (terus menerus atau intermitten) yang lebih dari satu bulan.
- Limfadenopati meluas
2. Kulit :

Post exposure prophylaxis (PPP) dan kulit kering yang luas merupakan dugaan kuat
infeksi HIV. Beberapa kelainan seperti kulit genital (genital warts), folikulitis dan
psoriasis sering terjadi pada orang dengan HIV/AIDS(ODHA) tapi tidak selalu terkait
dengan HIV.
3. Infeksi

- Infeksi Jamur : Kandidiasis oral, dermatitis seboroik, kandidiasis vagina berulang

- Infeksi viral : Herpes zoster, herpes genital (berulang), moluskum kotangiosum,


kondiloma.

- Gangguan pernafasan : batuk lebih dari 1 bulan, sesak nafas, tuberkulosis, pneumonia
berulang, sinusitis kronis atau berulang.

-Gejala neurologis : nyeri kepala yang makin parah (terus menerus dan tidak jelas
penyebabnya), kejang demam, menurunnya fungsi kognitif.

Manifestasi Klinis HIV : Berdasarkan gambaran klinik (WHO, 2006)

Tanpa gejala : Fase klinis 1

Ringan : Fase klinis 2

Lanjut : Fase klinis 3

Parah : Fase klinis 4

Fase Klinik HIV

Fase klinis 1 : Tanpa gejala, limfadenopati (gangguan kelenjar/pembuluh limfe) menetap


atau menyeluruh.

Fase klinis 2 : Penurunan berat badan (<10%) tanpa sebab. Infeksi saluran pernapasan
atas (sinusitis, tonsilitis, otitis media, faringitis) berulang. Herpes zoster, infeksi sudut
bibir, ulkus mulut berulang, erupsi pruritus populer, dermatitis seboroik, infeksi jamur
pada kuku.

Fase klinis 3 : Penurunan berat badan (> 10%) tanpa sebab. Diare kronis tanpa penyebab
hingga >1 bulan. Demam menetap (intermitten atau tetap >1 bulan), kandidiasis oral
menetap. Tb pulmonal (baru), plak putih di mulut, infeksi bakteri yang parah seperti
pneumonia, empyema (nanah dalam rongga tubuh terutama pleura, abses pada otot
skelet, infeksi sendi atau tulang), meningitis, bakteremia, gangguan inflamasi berat pada
pelvik, acute necrotizing ulserative stomatitis, gingivitis atau periodontilitis anemia yang
penyebabnya tidak diketahui (<8 g / dl), neutropenia (<0,5 x 10 '/ 1) dan trombositopenia
kronis (<50X10 / 1).

Fase klinis 4 : Gejala menjadi kurus (HIV wasting syndrome), pneumonia pneumocystis
(pneumonia karena pneumocytis carinii), pneumonia bakteri berulang, infeksi herpes
simpleks kronis (orolabial, genital atau anorektal> 1 bulan) Kandidiasis esofagus,
tuberkulosis bakteri berulang, pneumonia bakteri berulang , infeksi herpes simpleks
kronis (orolabial, genital, atau anorektal >1 bulan) Kandidiasis esofagus, tuberkulosis
ekstrapulmonal, Cytomegalovirus, Toksoplasma di SSP, ensefalopati HIV kronis,
meningitis, infektif multivokal progresif, lympoma, karsinoma serviks invasif, leukemia.

2.6 Pemeriksaan Penunjang


1) Tes untuk diagnosa infeksi HIV
- ELISA
- Western blot
- P24 antigen test
- Kultur HIV
2) Tes untuk deteksi gangguan sitem imun
- Hematokrit
- LED
- CD4 limfosit
- Rasio CD4/CD limfosit
- Serum mikroglobulin B2
- Haemoglobin

2.7 Pencegahan
Pencegahan infeksi HIV nosokomial dengan menggunakan kewaspadaan standar :

Kewaspadaan standar merupakan kombinasi segi-segi utama dari kewaspadaan universal


(dirancang untuk mengurangi risiko penularan patogen melalui darah dari darah dan
cairan tubuh) dan isolasi zat tubuh (dirancang untuk mengurangi risiko penularan
penyakit dari zat tubuh yang lembab).
Kewaspadaan standar diterapkan untuk: (1) darah; (2) seluruh cairan tubuh, sekresi dan
eksresi, kecuali keringat, tidak tergantung apakah ada atau tidak kandungan darah yang
terlihat; (3) kulit yang tidak utuh; dan (4) selaput lendir.

Kewaspadaan standar dimaksudkan untuk mengurangi risiko penularan mikroorganisme


dari kedua sumber dari infeksi di rumah sakit yang dikenal maupun yang tidak dikenal.
Dalam prinsip kewaspadaan standar, semua darah dan cairan tubuh harus
dipertimbangkan secara potensial terinfeksi dengan penyakit menular-darah termasuk
HIV dan hepatitis B dan C, tanpa terkait dengan status ataupun faktor-faktor risiko
seseorang.

Kewaspadaan standar termasuk penggunaan:

1. Cuci tangan;
2. Alat pelindung diri (sarung tangan, pakaian, masker, kapan saja menyentuh atau
terpajan cairan tubuh pasien perlu diantisipasi);
3. Penempatan pasien;
4. Praktek terhadap lingkungan (pembuangan limbah, tata rumah tangga, seprei/selimut
yang kotor);
5. Penanganan dan pembuangan benda-benda tajam;
6. Cara-cara kerja;
7. Penanganan dan pengangkutan contoh (specimen);
8. Perawatan peralatan (pencucian, pengangkutan dan pelayanan).

Pedoman untuk mencegah penularan HIV dalam facilitas kesehatan, World Health
Organization, Geneva, Program Global mengenai AIDS, 1995 (GPA/TCO/HCS/95.1).

1. Abstinence : tidak melakukan hubungan seks sampai siap menikah/mental, fisik, dan
sosial terutama remaja seperti kita-kita
2. Be faithfull : saling setia hanya pada satu pasangan
3. Condom use : pada pasangan seksual aktif, gunakan kondom
4. Dont share needle and drugs : tidak menggunakan jarum suntik secara bergantian dan
tidak menggunakan NARKOBA
5. Education : cari informasi yang benar sebanyak mungkin
6. FUN : sebagai remaja kita harus fun dalam melakukan tindakan pencegahan diatas
terutama puasa seks sebelum menikah.
2.8 Penatalaksaan
1. Non-Farmakologi
Terapi non–farmakologik terdiri dari pada pencegahan penularan HIV. Ini
melibatkan 5 P’s yaitu Partners, Prevention of Pregnancy, Protection of
Sexual transmitted diseases, Practices, Past history of sexual transmitted disease.
Metode yang sering digunakan adalah menggalakan orang menggunakan
alat kontrasepsi. Antara kontrasepsi yang sering digunakan adalah kondom.
Selain itu, menyarankan agar penderita untuk abstinen dan jika sudah
menikah, menyarankan penderita dan pasangannya agar tidak berhubungan
seks dengan orang lain. Untuk pencegahan transmisi secara vertical, proses
kelahiran haruslah dilakukan secara pembedahan yaitu caesar. Penyusuan
bayi oleh ibu yang menderita juga harus dielakkan.
2. Farmakologi
a. Anjuran pemilihan obat ARV lini pertama
Paduan yang ditetapkan oleh pemerintah untuk lini pertama adalah:
2 NRTI + 1 NNRTI
Mulailah terapi antiretroviral dengan salah satu dari paduan di bawah ini:

AZT + 3TC + NVP (Zidovudine + ATAU


Lamivudine +
Nevirapine)

AZT + 3TC + EFV (Zidovudine + ATAU


Lamivudine +
Efavirenz)

TDF + 3TC (atau (Zidovudine + ATAU


FTC) + NVP Lamivudine (atau
Emtricitabine) +
Nevirapine)

TDF + 3TC (atau (Zidovudine +


FTC) + EFV Lamivudine (atau
Emtricitabine) +
Efavirenz)

Paduan lini pertama yang direkomendasikan pada orang dewasa yang belum
pernah mendapat terapi ARV (treatment-naïve):

Populasi Target Pilihan yang Catatan


Direkomendasikan

Dewasa dan anak AZT atau TDF + 3TC Merupakan pilihan


(atau FTC) + EFV atau padauan yang sesuai
NVP untuk sebagian besar
pasien.
Gunakan FDC Jika
tersedia.

Perempuan hamil AZT + 3TC + EFV atau Tidak boleh


NVP menggunakan EFV
pada trimester pertama.
TDF bisa merupakan
pilihan.

Ko-infeksi HIV/TB AZT atau TDF + 3TC Mulai terapi ARV


(FTC) + EFV segera setelah terapi TB
dapat ditoleransi (antara
2 minggu -8 minggu).
Gunakan NVP atau
triple NRTI bila EFV
tidak dapat digunakan.

Ko-infeksi TDF + 3TC (FTC) + EFV Pertimbangkan


HIV/Hepatitis B kronik atau NVP pemeriksaan HBsAg
aktif terutama bila TDF
merupakan paduan lini
pertama. Dipelukan
penggunaan 2 ARV
yang memiliki aktivitas
anti-HBV.
b. Berbagai pertimbangan dalam penggunaan dan pemilihan Paduan terapi ARV
1) Memulai dan Menghentikan Non-Nucleoside Reverse Transcriptase
Inhibitor (NNRTI)
Nevirapine dimulai dengan dosis awal 200 mg setiap 24 jam selama 14
hari pertama dalam paduan ARV lini pertama bersama AZT atau TDF +
3TC. Bila tidak ditemukan tanda toksisitas hati, dosis dinaikkan menjadi
200 mg setiap 12 jam pada hari ke-15 dan selanjutnya. Mengawali terapi
dengan dosis rendah tersebut diperlukan karena selama 2 minggu pertama
terapi NVP menginduksi metabolismenya sendiri. Dosis awal tersebut juga
mengurangi risiko terjadinya ruam dan hepatitis oleh karena NVP yang
muncul dini.
Bila NVP perlu dimulai lagi setelah pengobatan dihentikan selama
lebih dari 14 hari, maka diperlukan kembali pemberian dosis awal yang
rendah tersebut.
Cara menghentikan paduan yang mengandung NNRTI:
a) Hentikan NVP atau EFV
b) Teruskan NRTI (2 obat ARV saja) selama 7 hari setelah penghentian
Nevirapine dan Efavirenz, (ada yang menggunakan 14 hari setelah
penghentian Efavirenz) kemudian hentikan semua obat. Hal tersebut
guna mengisi waktu paruh NNRTI yang panjang dan menurunkan
risiko resistensi NNRTI.

Penggunaan NVP dan EFV:


a) NVP dan EFV mempunyai efikasi klinis yang setara.
b) Ada perbedaan dalam profil toksisitas, potensi interaksi dengan obat
lain, dan harga.
c) NVP berhubungan dengan insidensi ruam kulit, sindrom Steven-
Johnson dan hepatotosksisitas yang lebih tinggi dibanding EFV.
d) Dalam keadaan reaksi hepar atau kulit yang berat maka NVP harus
dihentikan dan tidak boleh dimulai lagi.
e) Gunakan NVP atau PI untuk ibu hamil trimester 1 atau triple NRTI
jika NVP dan PI tidak dapat digunakan. Triple NRTI hanya diberikan
selama 3 bulan lalu dikembalikan kepada paduan lini pertama.
f) Perlu kehati-hatian penggunaan NVP pada perempuan dengan CD4
>250 sel/mm3 atau yang tidak diketahui jumlah CD4-nya dan pada
laki-laki dengan jumlah CD4 >400 sel/mm3 atau yang tidak diketahui
jumlah CD4-nya.
g) Perlu dilakukan lead-in dosing pada penggunaan NVP, yaitu diberikan
satu kali sehari selama 14 hari pertama kemudian dilanjutkan dengan 2
kali sehari.
h) EFV dapat digunakan sekali sehari dan biasanya ditoleransi dengan
baik, hanya saja biayanya lebih mahal dan kurang banyak tersedia
dibandingkan NVP
i) Toksisitas utama EFV adalah berhubungan dengan sistem saraf pusat
(SSP) dan ada kemungkinan (meski belum terbukti kuat) bersifat
teratogenik bila diberikan pada trimester 1 (tetapi tidak pada triemester
dua dan tiga) dan ruam kulit yang biasanya ringan dan hilang sendiri
tanpa harus menghentikan obat. Gejala SSP cukup sering terjadi, dan
meskipun biasanya hilang sendiri dalam 2-4 minggu, gejala tersebut
dapat bertahan beberapa bulan dan sering menyebabkan penghentian
obat oleh pasien
j) EFV perlu dihindari pada pasien dengan riwayat penyakit psikiatrik
berat, pada perempuan yang berpotensi hamil dan pada kehamilan
trimester pertama.
k) EFV merupakan NNRTI pilihan pada keadaan ko-infeksi TB/HIV
yang mendapat terapi berbasis Rifampisin.
l) Dalam keadaan penggantian sementara dari NVP ke EFV selama terapi
TB dengan Rifampisin dan akan mengembalikan ke NVP setelah
selesai terapi TB maka tidak perlu dilakukan lead-in dosing.

2) Pilihan pemberian Triple NRTI


Regimen triple NRTI digunakan hanya jika pasien tidak dapat
menggunakan obat ARV berbasis NNRTI, seperti dalam keadaan berikut:
a) Ko-infeksi TB/HIV, terkait dengan interaksi terhadap Rifampisin
b) Ibu Hamil, terkait dengan kehamilan dan ko-infeksi TB/HIV
c) Hepatitis, terkait dengan efek hepatotoksik karena NVP/EFV/PI

Anjuran paduan triple NRTI yang dapat dipertimbangkan adalah:

AZT + 3TC + TDF

Penggunaan Triple NRTI dibatasi hanya untuk 3 bulan lamanya,


setelah itu pasien perlu di kembalikan pada penggunaan lini pertama
karena supresi virologisnya kurang kuat.

3) Penggunaan AZT dan TDF


a) AZT dapat menyebabkan anemi dan intoleransi gastrointestinal.
b) Indeks Massa Tubuh (IMT / BMI = Body Mass Index) dan jumlah
CD4 yang rendah merupakan faktor prediksi terjadinya anemi oleh
penggunaan AZT.
c) Perlu diketahui faktor lain yang berhubungan dengan anemi, yaitu
antara lain malaria, kehamilan, malnutrisi dan stadium HIV yang
lanjut.
d) TDF dapat menyebabkan toksisitas ginjal. Insidensi nefrotoksisitas
dilaporkan antara 1% sampai 4% dan angka Sindroma Fanconi sebesar
0.5% sampai 2%.
e) TDF tidak boleh digunakan pada anak dan dewasa muda dan sedikit
data tentang keamanannya pada kehamilan.
f) TDF juga tersedia dalam sediaan FDC (TDF+FTC) dengan pemberian
satu kali sehari yang lebih mudah diterima ODHA.
4) Penggunaan d4T
Stavudin (d4T) merupakan ARV dari golongan NRTI yang poten dan
telah digunakan terutama oleh negara yang sedang berkembang dalam
kurun waktu yang cukup lama. Keuntungan dari d4T adalah tidak
membutuhkan data laboratorium awal untuk memulai serta harganya yang
relatif sangat terjangkau dibandingkan dengan NRTI yang lain seperti
Zidovudin (terapi ARV), Tenofovir (TDF) maupun Abacavir (ABC).
Namun dari hasil studi didapat data bahwa penggunaan d4T, mempunyai
efek samping permanen yang bermakna, antara lain lipodistrofi dan
neuropati perifer yang menyebabkan cacat serta laktat asidosis yang
menyebabkan kematian.
Efek samping karena penggunaan d4T sangat berkorelasi dengan lama
penggunaan d4T (semakin lama d4T digunakan semakin besar
kemungkinan timbulnya efek samping). WHO dalam pedoman tahun 2006
merekomendasikan untuk mengevaluasi penggunaan d4T setelah 2 tahun
dan dalam pedoman pengobatan ARV untuk dewasa tahun 2010
merekomendasikan untuk secara bertahap mengganti penggunaan d4T
dengan Tenofovir (TDF).
Berdasarkan kesepakatan dengan panel ahli, maka pemerintah
memutuskan sebagai berikut:
a) Menggunakan AZT atau TDF pada pasien yang baru memulai terapi
dan belum pernah mendapat terapi ARV sebelumnya.
b) Pada pasien yang sejak awal menggunakan d4T dan tidak dijumpai
efek samping dan/atau toksisitas maka direkomendasikan untuk diganti
setelah 6 bulan.
c) Jika terjadi efek samping akibat penggunaan AZT (anemia), maka
sebagai obat substitusi gunakan TDF.
d) Pada saat sekarang penggunaan Stavudin (d4T) dianjurkan untuk
dikurangi karena banyaknya efek samping. Secara nasional dilakukan
penarikan secara bertahap (phasing out) dan mendatang tidak
menyediakan lagi d4T setelah stok nasional habis.
5) Penggunaan Protease Inhibitor (PI)
Obat ARV golongan Protease Inhibitor (PI) tidak dianjurkan untuk
terapi lini pertama, hanya digunakan sebagai lini kedua. Penggunaan pada
lini pertama hanya bila pasien benar-benar mengalami Intoleransi terhadap
golongan NNRTI (Efavirenz atau Nevirapine). Hal ini dimaksudkan untuk
tidak menghilangkan kesempatan pilihan untuk lini kedua. mengingat
sumber daya yang masih terbatas.
2.9 Asuhan Keperawatan
1. Pengkajian
a. Berapa jumlah remaja yang menderita HIV/AIDS?
b. Pendidikan remaja penderita HIV/AIDS?
c. Apakah pernah melakukan sex bebas?
d. Apakah sering bergonta ganti pasangan?
e. Apakah memakai pengaman (kondom)?
f. Apakah pernah menggunakan jarum suntik secara bergantian?
g. Pada usia berapa pertama kali melakukan sex bebas?
h. Masihkah bersekolah?
i. Jenis kelamin?
j. Berapa rata-rata usia mereka?
k. Agama yang dianut?
l. Dimanakan tempat tinggal mereka?
m. Apa rata-rata jenis kelamin penderita HIV/AIDS?
2. Diagnosa
a. Resiko terjadinya penularan HIV/AIDS berhubungan dengan ketidakmampuan
keluarga mengenal masalah kesehatan keluarga
3. Intervensi
Data Diagnosa NOC NIC
1. akses terhadap Defisiensi Prevens Prevensi primer
pelayanan kesehatan HIV kesehatan i primer Manajemen perilaku
yang minimal komunitas Kompet seksual
2. Tenaga VCT terlatih ensi
puskesmas yang masih masyar Prevensi sekunder
terbatas akat Skrining kesehatan
3. Dukungan sosial kasus Derajat Menjaga kesuburan
HIV yang tidak adekuat kesehat Konsultasi
4. Adanya temuan kasus an
HIV masyar Prevensi tersier
5. Stigma masyarakat akat Konsultasi melalui
terhadap penderitaan HIV telepon
Prevens Rujukan
i
sekund
er
Kontrol
kelomp
ok
beresik
o
penular
an HIV

Prevens
i tersier
Perilak
u
pemeri
ksaan
kesehat
an
pribadi
BAB III
Penutup

3.1 Kesimpulan
HIV adalah virus yang menyerang sel CD4 dan menjadikannya tempat
berkembang biak, kemudian merusaknya sehingga tidak dapat digunakan lagi.
Manusia yang terkena virus HIV, tidak langsung menderita penyakit AIDS,
melainkan diperlukan waktu yang cukup lama bahkan bertahun-tahun bagi virus HIV
untuk berubah menjadi AIDS yang mematikan.
AIDS adalah sekumpulan gejala yang didapatkan dari penurunan kekebalan
tubuh akibat kerusakan system imun yang disebabkan oleh infeksi HIV. Penularan
virus HIV dapat terjadi melalui darah, air mani, hubungan seksual, atau cairan vagina.
Namun virus ini tidak dapat menular lewat kontak fisik biasa, seperti berpelukan,
berciuman, atau berjabat tangan dengan seseorang yang terinfeksi HIV atau AIDS.
Pencegahan penularan HIV melalui hubungan seksual dilakukan melalui 6
upaya, yaitu a). tidak melakukan hubungan seksual (Abstinensia) bagi yang belum
menikah; b). setia dengan pasangan (Be Faithful) tetapi yang diketahui tidak terinfeksi
HIV; c). menggunakan kondom secara konsisten (Condom use); d). menghindari
penyalahgunaan obat/zat adiktif (no Drug); e). meningkatkan kemampuan pencegahan
melalui edukasi termasuk mengobati IMS sedini mungkin (Education); dan f).
melakukan pencegahan lain, antara lain melalui sirkumsisi atau sunat.
3.2 Saran
HIV/AIDS adalah penyakit yang berbahaya karena virus tersebut menyerang
sistem kekebalan tubuh kita dalam melawan segala penyakit. Untuk menghindari hal
tersebut dapat penulis sarankan hal – hal sebagai berikut:
1. Bagi yang belum terinfeksi virus HIV/AIDS sebaiknya :
a) Belajar agar dapat mengendalikan diri;
b) Memiliki prinsip hidup yang kuat untuk berkata “TIDAK” terhadap segala
jenis yang mengarah kepada narkoba dan psikotropika lainnya;
c) Membentengi diri dengan agama;
d) Menjaga keharmonisan keluarga karena pergaulan bebas sering kali menjadi
pelarian bagi anak – anak yang depresi.
2. Bagi penderita HIV/AIDS sebaiknya :
a) Memberdayakan diri terhadap HIV/AIDS;
b) Mencoba untuk hidup lebih lama;
c) Mau berbaur dengan orang disekitarnya/lingkungan;
d) Tabah dan terus berdoa untuk memohon kesembuhan.
3. Bagi keluarga penderita HIV/AIDS sebaiknya :
a) Memotivasi penderita untuk terbiasa hidup dengan HIV/AIDS sehingga bisa
melakukan pola hidup sehat;
b) Memotivasi penderita HIV/AIDS untuk mau beraktivitas dalam meneruskan
hidup yang lebih baik.
DAFTAR PUSTAKA

Fajar. (2013). HIV AIDS. Diakses pada tanggal 11 Januari 2020, dari:
http://eprints.undip.ac.id/43845/3/ELIZABETH_FAJAR_P.P_G2A009163_bab_2_KTI.
pdf.

Huda, A. & Hardhi K.(2016). Asuhan Keperawatan Praktis: Berdasarkan Penerapan


Diagnosa Nanda, NIC, NOC dalam berbasis Kasus. Jokjakarta: Mediaction.

Kementerian Kesehatan RI. (2011). Pedoman Naisonal Tatalaksana Klinis Infeksi HIV dan
Terapi Antiretroviral pada Orang Dewasa. .Jakarta: Bakti Sosial.

NIAID. How HIV causes AIDS. November 2004. Available from:


http://www.aegis.com/topics/basics/hivandaids.html.
Pedoman untuk mencegah penularan HIV dalam facilitas kesehatan, World Health
Organization, Geneva, Program Global mengenai AIDS, 1995 (GPA/TCO/HCS/95.1).
Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 51 tahun 2013 tentang Pedoman Pencegahan Penularan
HIV Dari Ibu ke Anak, hal. 1.
Permenkes No. 21 tahun 2013 tentang Penanggulangan HIV dan AIDS Pasal 13 ayat (3).
Permenkes No. 21 tahun 2013 tentang Penanggulangan HIV dan AIDS Pasal 14 ayat (4) .
Permenkes No 21 tahun 2013 tentang Penanggulangan HIV/AIDS Pasal 16.
Priscilla, V. (2015). FAKTOR-FAKTOR PENENTU PENYEBARAN HIV (+)/AIDS DI
INDONESIA Tahun 2008. Majalah Kedokteran Andalas, 32 (2).
Putra, Septiawan. (2015). Asuhan Keperawatan HIV AIDS. Retrieved from:
https://www.academia.edu/19826782/ASKEP_HIV_AIDS_APLIKASI_NANDA_NI
C_NOC.
Yayasan Spiritia. (2006). Lembar Informasi tentang HIV/AIDS untuk ODHA. Jakarta:
Yayasan Spiritia.
http://eprints.undip.ac.id/63410/3/BAB_II.pdf.
http://icjr.or.id/data/wp-content/uploads/2019/08/Penanggulangan-HIV-dalam-Ancaman-R-
KUHP.pdf.
http://repository.usu.ac.id/bitstream/handle/123456789/53732/Chapter%20II.pdf?
sequence=4&isAllowed=y.
https://www.kemkes.go.id/development/site/depkes/pdf.php?id=1-17042500008.

Anda mungkin juga menyukai