Anda di halaman 1dari 10

HUKUM LINGKUNGAN

UU Perlindungan Dan Pengelolaan Lingkungan Hidup Dalam Ruang Lingkup Pidana Khusus

OLEH

SITI NOVRIANNISYA

10400117124

ILMU HUKUM-D 2017

FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI ALAUDDIN MAKASSAR


BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Krisis lingkungan yang terus meningkat serta banyaknya sengketa LH yang berujung
bebas menjadi preseden buruk yang mengancam eksistensi lingkungan dan manusia. Salah
satu problem mendasar adalah lemahnya konstitusi hukum yang berdampak pada penaatan
lingkungan yang rendah. Selain penguatan institusi maupun kordinasi antar lembaga terkait
yang mesti dilakukan, ternyata diperlukan penguatan rule of the game yang bisa mengatur
seluruh persoalan lingkungan.

Undang-undang No 32 tahun 2009 menjadi harapan baru bagi keberlanjutan lingkungan


hidup. Penguatan dan idealisme UU baru tersebut sesungguhnya sangat berdasar secara
filosofis dan sangat tidak berlebihan apalagi politis. Dalam UU Dasar 1945 Pasal 28 ayat (1)
menyebutkan bahwa setiap orang berhak hidup sejahtera lahir batin, bertempat tinggal dan
mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan
kesehatan. Amanah UU 1945 tersebut jelas memandang bahwa kebutuhan mendapatkan
lingkungan yang sehat adalah salah satu hak asasi. Negara berkewajiban memberi
perlindungan dan jaminan lingkungan sehat, oleh sebab itu negara harus memiliki otoritas
kuat dalam mengelola dan melindungi Lingkungan Hidup.

Kelahiran UU No 32 tahun 2009 ini adalah sesuatu yang memang mutlak dilakukan untuk
mengakhiri problematika LH yang semakin mencemaskan. “UU baru ini sangat sempurna
dan mengatur segala hal yang dianggap kurang terutama dalam UU lama. Perubahan
mendasar sangat jelas pada perencanaan, pemanfaatan, pengendalian, pemeliharaan,
pengawasan dan penegakan hukum.”

1. Pengertian lingkungan hidup

Perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup adalah upaya sistematis dan terpadu
yang dilakukan untuk melestarikan fungsi lingkungan hidup dan mencegah terjadinya
pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup yang meliputi perencanaan, pemanfaatan,
pengendalian, pemeliharaan, pengawasan, dan penegakan hukum.
Lingkungan hidup adalah kesatuan ruang dengan semua benda, daya, keadaan, dan
makhluk hidup, termasuk manusia dan perilakunya, yang mempengaruhi alam itu sendiri,
kelangsungan perikehidupan, dan kesejahteraan manusia serta makhluk hidup lain.

Perbuatan yang diatur dalam Undang-undang ini:

a) tanggung jawab negara;


b) kelestarian dan keberlanjutan;
c) keserasian dan keseimbangan;
d) keterpaduan;
e) manfaat;
f) kehati-hatian;
g) keadilan;
h) ekoregion;
i) keanekaragaman hayati;
j) pencemar membayar;
k) partisipatif
l) kearifan lokal;
m) tata kelola pemerintahan yang baik; dan
n) otonomi daerah.

Yang menjadi subyek hukum dalam Undang- undang ini adalah orang perorangan.

Ketentuan pidananya terdapat pada Bab XV mulai dari pasal 97 sampai dengan pasal
120  yang menekankan kepada setiap orang yang dengan sengajamelakukan perbuatan yang
mengakibatkan dilampauinya baku mutu udara ambien, baku mutu air, baku mutu air laut,
atau kriteria baku kerusakan lingkungan hidup

Terkait dengan tindak pidana lingkungan yang dinyatakan sebagai kejahatan


(rechtsdelicten), maka perbuatan tersebut dipandang sebagai secara esensial bertentangan
dengan tertib hukum atau perbuatan yang bertentangan dengan (membahayakan) kepentingan
hukum., pelanggaran hukum yang dilakukan menyangkut pelanggaran terhadap hak atas
lingkungan hidup yang baik dan sehat serta keharusan untuk melaksanakan kewajiban
memelihara lingkungan hidup, mencegah dan menanggulangi kerusakan dan pencemaran
B. RUMUSAN MASALAH

Berdasarkan pembahasan di atas jika dikaitkan dengan permasalahan dalam rangka


mengetahui kekhususan undang-undang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup
sebagai peraturan administratif yang memuat ktentuan pidana,maka dapat disimpulkan yang
menjadi pokok permasalahan yaitu :

1. Bagaimanakah pengaturan pidana materil dan pidana formil dalam undang-undang no 32


tahun 2009?
2. Apa sajakah yang menjadi kekhususan Undang-undang ini sehingga menjadi ruang
lingkup dalam pidana khusus?
BAB II

PEMBAHASAN

Upaya perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup menjadi kewajiban bagi


negara, pemerintah, dan seluruh pemangku kepentingan dalam pelaksanaan pembangunan
berkelanjutan agar lingkungan hidup Indonesia dapat tetap menjadi sumber dan penunjang
hidup bagi rakyat Indonesia serta makhluk hidup lain.

Upaya preventif dalam rangka pengendalian dampak lingkungan hidup perlu


dilaksanakan dengan mendayagunakan secara maksimal instrumen pengawasan dan
perizinan. Dalam hal pencemaran dan kerusakan lingkungan hidup sudah terjadi, perlu
dilakukan upaya represif berupa penegakan hukum yang efektif, konsekuen, dan konsisten
terhadap pencemaran dan kerusakan lingkungan hidup yang sudah terjadi. Sehingga perlu
dikembangkan satu sistem hukum perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup yang
jelas, tegas, dan menyeluruh guna menjamin kepastian hukum sebagai landasan bagi
perlindungan dan pengelolaan sumber daya alam serta kegiatan pembangunan lain.

Undang-undang ini termaksud dalam ruang lingkup pidana khusus dengan kata lain
merupakan peraturan administratif yang memuat ketentuan pidana di dalamnya. Jika ditinjau
dari perumusan tindak pidana, ketentuan Pasal 98 UUPPLH  – 115 UUPPLH, terdapat tindak
pidana materiil yang menekankan pada akibat perbuatan, dan tindak pidana formil yang
menekankan pada perbuatan.

Tindak pidana materiil memerlukan (perlu terlebih dahulu dibuktikan) adanya akibat
dalam hal ini terjadinya pencemaran dan atau kerusakan lingkungan. Tindak pidana formal,
tidak memerlukan adanya akibat, namun jika telah melanggar rumusan ketentuan pidana
(ketentuan peraturan perundang-undangan), maka telah dapat dinyatakan sebagai telah terjadi
tindak pidana dan karenanya pelaku dapat dijatuhi hukuman. Tindak pidana formal dapat
digunakan untuk memperkuat sistem tindak pidana materiil jika tindak pidana materiil
tersebut tidak berhasil mencapai target bagi pelaku yang melakukan tindak pidana yang
berskala ecological impact. Artinya tindak pidana formal dapat digunakan bagi pelaku tindak
pidana lingkungan yang sulit ditemukan bukti-bukti kausalitasnya.
Tindak pidana formal ini tidak diperlukan akibat (terjadinya pencemaran dan atau
perusakan lingkungan) yang timbul, sehingga tidak perlu dibuktikan adanya hubungan sebab
akibat (causality) dari suatu tindak pidana lingkungan. Hal yang perlu diketahui dalam tindak
pidana formal dalam UUPPLH, yaitu, seseorang telah melakukan pelanggaran atas peraturan
perundang-undangan atau izin.

Ketentuan Pasal 98 ayat (2), (3) UUPPLH dan Pasal 99 ayat (2), (3)  UUPPLH, jika di
simak lebih lanjut mengandung makna selain termasuk delik formal juga delik materiil. Pasal
98 ayat (2), (3) UUPPLH dan Pasal 99 ayat (2), (3) UUPPLH mengatur bahwa seseorang
harus bertanggungjawab atas perbuatannya yang melanggar baku mutu udara ambien, baku
mutu air, baku mutu air laut, atau kriteria kerusakan lingkungan, sehingga orang luka
dan/atau bahaya kesehatan manusia, atau mengakibatkan orang luka berat atau mati. Dalam
kasus ini harus dibuktikan hubungan sebab akibat antara perbuatan pelanggaran baku udara
ambien, baku mutu air, baku mutu air laut, atau kriteria kerusakan lingkungan tersebut
dengan terjadinya orang luka dan/atau bahaya kesehatan manusia atau luka berat atau
kematian. Akan tetapi, jika ternyata tidak terbukti bahwa terjadinya pelanggaran baku mutu
udara ambien, baku mutu air, baku mutu air laut atau kriteria kerusakan lingkungan
menyebabkan orang luka dan atau bahaya kesehatan manusia atau luka berat atau kematian,
maka pelaku dibebaskan dari tindak pidana materiil, namun ia tetap harus bertanggungjawab
atas perbuatannya karena melanggar tindak pidana formal.

Mengenai Ketentuan Pidana dalam UUPPLH diatur dalam Bab XV, yaitu dari Pasal
97 sampai dengan Pasal 120 UUPPLH. Tindak pidana dalam undang-undang ini merupakan
kejahatan. Ketentuan Pasal 97 UUPPLH, menyatakan tindak pidana yang diatur dalam
ketentuan Pidana UUPPLH, merupakan kejahatan. Kejahatan disebut sebagai
“rechtsdelicten” yaitu tindakan-tindakan yang mengandung suatu “onrecht” hingga orang
pada umumnya memandang bahwa pelaku-pelakunya itu memang pantas dihukum, walaupun
tindakan tersebut oleh pembentuk undang-undang telah tidak dinyatakan sebagai tindakan
yang terlarang di dalam undang-undang.

Terhadap pidana formil dalam UU PPLH yakni mengenai penyidikan dan pembuktian
diatur diatur dalam Bab XIV UUPPLH pada Pasal 94 UUPPLH sampai Pasal 96 UUPPLH.
Berdasarkan Pasal 94 ayat (1) UUPPLH, selain penyidik Polri, Penyidik Pegawai Negeri
Sipil tertentu di lingkungan instansi pemerintah yang lingkup tugas dan tanggungjawabnya di
bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup diberi wewenang sebagai penyidik.

Pembuktian merupakan suatu proses yang dengan menggunakan alat-alat bukti yang
sah dilakukan tindakan dengan prosedur khusus, untuk mengetahui apakah suatu fakta atau
pernyataan, khususnya fakta atau pernyataan yang diajukan ke pengadilan adalah benar atau
tidak seperti yang dinyatakan,mengenai pembuktian diatur dalam Pasal 96 UUPPLH, maka
alat bukti yang cukup tersebut sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah sebagaimana
tercantum dalam Pasal 96 UUPPLH, yakni

a) keterangan saksi;
b) keterangan ahli;
c) surat;
d) petunjuk;
e) keterangan terdakwa
f) alat bukti lain, termasuk alat bukti yang diatur dalam peraturan 
perundang-undangan.

Alat bukti lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 96 huruf “f” UUPPLH, yaitu
meliputi, informasi yang diucapkan, dikirimkan, diterima, atau disimpan secara elektronik,
magnetik, optik, dan/atau yang serupa dengan itu; dan/atau alat bukti data, rekaman, atau
informasi yang dapat dibaca, dilihat, dan didengar yang dapat dikeluarkan dengan dan/atau
tanpa bantuan suatu sarana, baik yang tertuang di atas kertas, benda fisik apa pun selain
kertas, atau yang terekam secara elektronik, tidak terbatas pada tulisan, suara atau gambar,
peta, rancangan, foto atau sejenisnya, huruf, tanda, angka, simbol, atau perporasi yang
memiliki makna atau yang dapat dipahami atau dibaca.

Kekhususan aturan pidana dalam Undang-undang no.32 tahun 2009 tentang


pengelolaan dan perlindungan lingkungan hidup

1. Dalam pidana materil

Secara yuridis terhadap Pasal 1 angka 32 UUPPLH 2009, yang disebutkan bahwa
“Setiap orang adalah orang perseorangan atau badan usaha, baik yang berbadan hukum
maupun yang tidak berbadan hukum”. Maka, subjek tindak pidana yang dimaksud dalam hal
ini adalah korporasi, KUHP Indonesia belum mengatur secara jelas mengenai tindak
kejahatan yang dilakukan oleh korporasi, maka tindak pidana korporasi dalam bidang
lingkungan hidup di Indonesia, dapat menggunakan undang-undang yang lebih khusus, yaitu
Undang-undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan
Hidup (UUPPLH 2009).

juga diatur hal-hal yang berkenaan dengan pertanggungjawaban mutlak, dimana


bahwa pertanggungjawaban mutlak ini tidak diatur di dalam KUH Pidana sebagai lex
generalis. Karena hukum pidana masih menggunakan pertanggungjawaban dengan kesalahan,
sementara pertanggungjawaban mutlak ini menggunakan asas pertanggungjawaban tanpa
kesalahan. Jadi, kesalahan di dalam hukum lingkungan tidak mesti harus dibuktikan ada atau
tidaknya kesalahan si pembuat.

kejahatan di bidang lingkungan hidup tersebut saat ini dikategotikan sebagai


kejahatan yang luar biasa (extra oridnary crime) sehingga penanganannya harus dilakukan
luar biasa termasuk dalam hal pengaturannya ada hal-hal yang dikecualikan dari asas-asas
yang berlaku umum. Tindak pidana lingkungan hidup, mencakup perbuatan disengaja
maupun yang tidak disengaja. Penerapan asas hukum pada undang-undang ini juga tetap
mengedepankan bentuk-bentuk Alternative Dispute Resolution (ADR) melalui jalur
pengadilan maupun melalui jalur di luar pengadilan,.Jalur pengadilan juga dapat dibedakan
lagi menjadi penerapan hukum pidana ataupun penerapan hukum perdata. Penerapan hukum
perdata dilakukan melalui ganti kerugian dan pemulihan lingkungan,tanggung jawab
mutlak,hak gugat pemerintah dan pemerintah daerah,hak gugat masyarakat dan hak gugat
organisasi lingkungan.

2. Dalam pidana formil

Pasal 94 ayat (1) UUPPLH:

Selain penyidik pejabat polisi Negara Republik Indonesia, pejabat pegawai negeri
sipil tertentu di lingkungan instansi pemerintah yang lingkup tugas dan tanggungjawabnya di
bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup diberi wewenang sebagai penyidik
sebagaimana dimaksud dalam Hukum Acara Pidana untuk melakukan penyidikan tindak
pidana lingkungan hidup.
Adanya aparatur negara lain yang berwenang dalam perlindungan dan tanggung
jawab terhadap lingkungan hidup yakni PPNS ( penyidik pejabat negeri sipil )

Perluasan alat bukti. Alat bukti yang diatur pada pasal 184 KUHAP belum mewadahi
mengenai berbagai pendukung alat bukti semisal contoh melalui data elektronik.Dalam
berbagai contoh kasus,bentuk data elektronik seperti print out dan call data record ,tidak bisa
dikategorikan sebagai salah satu alat bukti.Sehingga UU No 32 Tahun 2009 pada pasal 96
huruf (f) mengatur mengenai    alat bukti lain yang meliputi informasi yang
diucapkan,dikirimkan,diterima atau disimpan secara elektronik,magnetik, optik,dan/atau yang
serupa dengan itu; dan/atau alat bukti data, rekaman,atau informasi yang dapat dibaca,dilihat
dan didengar yang dapat dikeluarkan dengan dan/atau tanpa bantuan statu sarana,baik yang
tertuang diatas kertas,benda fisik apapun selain kertas,atau yang terekam secara
elektronik,tidak terbatas pada tulisan,suara atau gambar, peta,rancangan,foto atau
sejenisnya,huruf,tanda,angka,simbol atau perporasi yang memiliki makna atau yang dapat
dipahami atau dibaca.

PPNS-LH memiliki kewenangan untuk menangkap dan menahan pelaku tindak


pidana lingkungan hidup,hal ini tidak di atur dalam KUHAP,dalam KUHAP yang berhak
menagkap dan menahan adalah POLRI

UUPPLH, dalam penjelasan umumnya, hanya memandang hukum pidana sebagai


upaya terakhir (ulmitimum remedium) bagi tindak pidana formil tertentu, yaitu pemidanaan
terhadap pelanggaran baku mutu air limbah, emisi, dan gangguan, sebagaimana diatur dalam
Pasal 100 UUPPLH. Sementara untuk tindak pidana lainnya yang diatur selain Pasal 100
UUPPLH, tidak berlaku asas ultimum remedium, yang diberlakukan asas premium remedium
(mendahulukan pelaksanaan penegakan hukum pidana).
BAB III

PENUTUP

KESIMPULAN

Undang-undang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup merupakan salah


satu dari ruang lingkup pidan khusus yaitu peraturan administratif yang memuat ketentuan
pidana. Hal ini dapat dilihat dari pengaturan pidana yang dimulai pada pasal 97-120,yang
dimulai dengan menyatkan bahwa segala tindak pidan yang ada dalam UU ini merupakan
sebuah kejahatan. UU ini menjelaskan juga tentang subyek hukum yakni tidak hanya orang
perseorangan akan tetapi juga badan hukum atau koorporasi.

Terdapat beberapa kekhususan dalam undang-undang ini yang pengaturannya tidak


diatur secara terperinci dalam kitab undan-undang hukum pidana,baik itu pidan materil
,maupun pidan formil antara lain mengenai koorporasi atau badan hukum merupakan subjek
hukum dalam tindak pidana lingkungan dan dalam pidana formil adanya penyidik pejabat
negeri sipil yang didalam KUHAP tidak di sebutkan.

Dengan perkembangan dan aturan khusus yang terdapat dalam UU ini diharapkan
mampu mengurangi kejahatan yang terjadi dalam bidang lingkungan ini dan penguatan
penegakan hukum dalam rangka melakukan upaya preventif serta menghindari kerusakan
terhadap lingkungan hidup.

Anda mungkin juga menyukai