Melihat negara Korea Selatan, Jepang, Singapura, Hongkong dan juga Finlandia yang
saat ini menduduki peringkat atas dalam kategori kualitas pendidikan yang bagus,
pemerintah Indonesia tak segan menggelontorkan anggaran yang tidak sedikit untuk
program sertifikasi ini demi memperbaiki tatanan dan juga kualitas pendidikan di
Indonesia. Menteri Keuangan Indonesia sebelumnya, ibu Sri Mulyani bahkan sempat
menanyakan mengenai besarnya anggaran untuk sertifikasi guru. Apakah benar bahwa
sertifikasi ini sudah membantu para guru dengan semestinya untuk melakukan
keahliannya dengan benar atau justru dengan sertifikasi ini sebenarnya hanya menjadi
langkah prosedural dalam mendapatkan tunjangan tetapi tidak mengedepankan
keahlian yang seharusnya dicapai dan dipenuhi oleh para guru. Pertanyaan yang
dilontarkan tersebut bukanlah tanpa alasan. Anggaran yang sangat besar menjadi
sorotan publik karena banyak pihak bertanya mengenai apakah anggaran tersebut
benar-benar dapat meningkatkan kualitas, kelayakan dan profesionalitas seorang guru
dalam menjalankan tugasnya sebagai agen pembelajaran.
Anggaran ini cenderung meningkat dari tahun ke tahun dikarenakan semakin
banyaknya guru-guru yang tersertifikasi di tanah air. Pada tahun 2010, anggaran untuk
program sertifikasi mencapai angka 10 Triliyun Rupiah. Sedangkan tujuh tahun
kemudian yakni pada tahun 2017, anggaran untuk program sertifikasi menyentuh
angka lebih dari 50 Triliyun Rupiah. Anggaran ini tentu naik jika kita membandingkan
dan melihat data pada tahun 2016 dimana angka anggaran untuk program sertifikasi ini
sempat mencapai angka 70 Triliyun Rupiah.
Selain isu mengenai anggaran yang tidak sedikit, program sertifikasi guru juga dianggap
dan dinilai tidak mencerminkan kualitas seorang guru. Sertifkasi dianggap hanya
sebagai sebuah prosedural untuk mendapatkan tunjangan. Banyak jurnal maupun
penelitian yang telah dilakukan menyebutkan fakta bahwasannya sertifikasi yang
dicanangkan oleh pemerintah belum mencerminkan kualitas dan kemampuan seorang
guru. Salah satu permasalah yang ada di lapangan dimana permasalahan ini hampir
dihadapi oleh seluruh guru khususnya yang berkaitan dengan sertifikasi guru ini adalah
adanya komponen-komponen yang tercantum dalam sertifikasi guru namun tidak
diikuti dan tidak adanya peningkatan kualitas dari guru yang telah tersertifikasi. Hal
ini tentu menjadi poin sorotan dimana adanya tunjangan untuk guru-guru yang telah
tersertifikasi memiliki tujuan tertentu salah satunya adalah peningkatan profesionalitas
seorang guru dalam menjalankan tuagasnya sebagai agen pembelajaran.
Dalam sebuah kesempatan, ketua PB PGRI tahun 2018 menyampaikan bahwa pada saat
proses penggagasan Undang-Undang Guru, terdapat tiga hal yang ingin dicapai. Poin
pertama dalam Undang-Undang Guru tersebut disebutkan bahwa guru diinginkan
menjadi guru yang profesional. Guru yang profesional sendiri dalam Undang-Undang
ditandai dengan jenjang pendidikan S1/D4 dan kemudian sudah disertifikasi. Poin
kedua, dalam undang-undang guru disebutkan bahwa mereka menginginkan guru-guru
menjadi guru-guru yagn sejahtera. Menurut UU, ukuran sejahtera ialah dimana
pendapatan yang diperoleh oleh guru diatas minimum. Poin ketiga yaitu menginginkan
guru-guru di Indonesia terlindungi secara hukum. Banyak sekali kasus yang terjadi
belakangan ini dimana kasus-kasus tersebut mencerminkan bahwasannya guru-guru
belum terlindungi sepenuhnya oleh hukum. Apabila ketiga hal ini tercapai, tidak
menutup kemungkinan dan memang menjadi harapan bahwasannya guru-guru di
Indonesia akan menjadi guru-guru yang bermartabat.
Jika kita telaah lebih dalam lagi, terdapat perbedaan mendasar antara kesejahteraan
dan kualifikasi sebagai peningkatan kualitas. Persoalan kesejahteraan tidak memiliki
korespondensi maupun kaitan langsung dengan meningkatnya kualitas layanan
pendidikan sebab terdapat dua perbedaan konsep. Layanan pendidikan biasanya dinilai
dari hasil akhir atau output dimana dalam konteks ini hasil akhir berupa nilai-nilai atau
skor. Sedangkan skor dalam dunia pendidikan Indonesia masih sangatlah rendah. Mari
kita melihat salah satu skor mata pelajaran yang di ujikan dalam ujian nasional. Mata
pelajaran IPA memiliki skor rata-rata enam bahkan mata pelajaran yang lain masih
dibawah lima. Sedangkan untuk matematika, skornya masih diangka tiga dan terkadang
dibawah tiga. Dari fakta tersebut membuktikan bahwa untuk peningkatan kualitas
pendidikan, layanan pada peserta didik bukan dikaitkan dengan tunjangan sertifikasi.
Seleksi awal yang lebih ketat diharapkan mampu benar-benar meretas para guru yang
nantinya akan menerima tunjangan sertifikasi. Jika seleksi ini tidak dilakukan
denganbaik, maka tujuan dari diadakannya program sertifikasi guru ini tidak akan
menjadi sebuah sarana dalam kualifikasi sebagai peningkatan kualitas. Pemerhati
pendidikan menyebutkan bahwa persoalan kualitas layanan pendidikan adalah
berfokus pada pengembangan kapasitas guru sebagai pendidik dan pengajar. Hal ini
dapat diatasi dengan sistem sertifikasi yang lebih bagus dan sistem uji yang lebih detail.
Mekanisme supervisi yang dipegang oleh kepala sekolah juga memiliki peran yang
sangat penting dalam proses peningkatan kualitas layanan pendidikan. Mengingat hasil
uji kompetensi guru rata-rata masih dibawah angka enam atau belum mencapai angka
enam. Pengembangan Keprofesian Berkelanjutan juga mengambil peran yang penting
dimana pengujian kompetensi guru yang mengungkapkan masalah-masalah terhadap
guru-guru terutama di bidang kompetensinya akan ditindaklanjuti dalam proses
pembenahannya. Panggilan atau passion sebagai seorang guru menjadi faktor yang
paling menentukan keberhasilan bukan hanya hidup inidividu guru, tetapi juga
keberhasilannya dalam melayani. Ketika seorang guru memiliki rasa cinta, maka guru
tersebut akan secara sukarela mengembangkan dirinya secara terus menerus tanpa
adanya dorongan atau perintah dari pemerintah.