Anda di halaman 1dari 2

Patofisiologi rheumatoid arthritis ditandai dengan adanya peradangan dan hiperplasia

sinovial, produksi autoantibodi (faktor rheumatoid dan antibodi protein anti-


citrullinated [ACPA]), serta kerusakan tulang dan/atau tulang rawan serta
tampilan sistemik yang dapat menimbulkan gangguan kardiovaskular, paru,
psikologis, dan skeletal. Penyebab pasti dari keadaan ini masih belum diketahui
namun RA melibatkan interaksi yang kompleks antara faktor genetik, faktor
lingkungan, dan beberapa faktor predisposisi. [3
Pada patofisiologi rheumatoid arthritis, terjadi migrasi sel inflamasi yang dipicu
oleh aktivasi endotel pada pembuluh darah mikro sinovial yang meningkatkan
ekspresi molekul adhesi (termasuk integrin, selektif, dan anggota superfamili
imunoglobulin) dan kemokin serta menimbulkan proliferasi leukosit pada
kompartemen sinovial.[3] Keadaan ini sebagian besar melibatkan sistem imun
adaptif dan dimediasi oleh sel T-helper tipe 1 (Th-1). Terjadi aktivasi makrofag
oleh sitokin Th-1, seperti interferon-g (IFN-g), interleukin 12 (IL-12), dan IL-18,
yang menyebabkan aktivasi sel T oleh antigen presenting cells. Makrofag juga
dapat diaktivasi melalui kontak langsung dengan sel T, kompleks imun, atau
produk bakterial di cairan sinovial. Aktivasi makrofag ini melepaskan beberapa
sitokin dan mediator inflamasi seperti interleukin, faktor nekrosis tumor
(TNF), transforming growth factor-β (TGF-β), fibroblast growth factor (FGF),
platelet-derived growth factor (PDGF), dan interferon (IFN-α dan IFN-β).

Respon Jaringan Mesenkimal

Pada keadaan normal, sinovium terdiri dari sel sinovial seperti fibroblas
yang berasal dari jaringan mesenkimal (FLS; fibroblast-like synoviocytes).
Pada RA, terjadi semi-otonomi regulasi FLS dengan perluasan lapisan
membran, tingginya ekspresi sitokin dan kemokin terkait, molekul adhesi,
matriks metalloproteinase (MMP), dan tissue inhibitors of
metalloproteinases (TIMP). Keadaan ini menyebabkan destruksi kartilago
di area tersebut, memperpanjang inflamasi sinovial dan menimbulkan
kondisi yang kondusif dalam pertahanan sel T, sel B, dan sistem imun
adaptif.[3,4]
Perubahan lingkungan mikrosinovial diikuti dengan reorganisasi
arsitektural sinovial yang mendalam dan aktivasi fibroblas lokal
menyebabkan penumpukan jaringan inflamasi sinovial pada rheumatoid
arthritis. Terjadi hiperplasia sinovium yang terasa sebagai pembengkakan
di sekitar sendi yang kemudian menyebar dari daerah sendi ke
permukaan tulang rawan. Penyebaran ini menyebabkan kerusakan pada
sinovium dan tulang rawan serta menghalangi masuknya gizi ke dalam
sendi sehingga tulang rawan menjadi menipis dan nekrosis.[1,2,4]
Interaksi berkesinambungan antara sel dendritik, sel B, dan sel T
utamanya terjadi di kelenjar getah bening dan menimbulkan respon
autoimum terhadap protein yang mengandung sitrulin. Umpan balik
positif yang dimediasi oleh interaksi antara leukosit, fibroblas sinovial,
kondrosit, osteoklas, dan produk destruksi serta ketidakseimbangan
antara sitokin pro- dan anti-inflamasi menimbulkan kronisitas dalam
perjalanan penyakit rheumatoid arthritis.[4]
Perkembangan perjalanan rheumatoid arthritis terbagi dalam lima fase,
yaitu:
 Fase I: interaksi antara faktor genetika dan lingkungan
 Fase II: produksi autoantibodi, seperti RF dan anti-CCP
 Fase III: gejala arthralgia dan kekakuan sendi tanpa disertai bukti
klinis arthritis
 Fase IV: artritis pada satu atau dua sendi, yang dapat bersifat
intermiten dan disebut sebagai palindromic rheumatism
 Fase V: timbulnya tampilan klasik RA [4]
Peningkatan reaktan fase akut sebagai akibat dari proses inflamasi
merupakan faktor risiko independen kardiovaskular melalui peningkatan
aktivasi endothelial dan menjadikan plak ateromatosa tidak stabil. Sitokin
juga menyebabkan resistensi insulin pada otot dan jaringan adiposa pada
sindrom ‘metabolik inflamatori’.
Perubahan Sistemik Rheumatoid Arthritis

Selain itu, perubahan sistemik lainnya yang berkaitan dengan


peningkatan aktivitas inflamasi pada rheumatoid arthritis dapat terjadi
pada:
 Sistem serebrovaskular: penurunan fungsi kognitif
 Sistem hepatika: peningkatan respon fase akut dan penyakit anemia
kronis
 Sistem pernapasan: radang dan penyakit fibrotik pada paru
 Sistem endokrin: sindrom Sjogren sekunder
 Sistem muskuloskeletal: sarkopenia dan osteoporosis pada tulang aksial
dan apendikular
 Sistem limfatik: limfoma [3,4]

Anda mungkin juga menyukai