Anda di halaman 1dari 18

Zaki Alifsyah Putra AR

04011281823164

BETA 2018

Bronkopneumonia (Epidemiologi, Etiologi, Klasifikasi, Patofisiologi)

Etiologi

Pneumonia adalah inflamasi pada parenkim paru dengan konsolidasi ruang alveolar.
Istilah infeksi respiratori bawah seringkali digunakan untuk mencakup penyakit bronkitis,
bronkiolitis, pneumonia atau kombinasi dari ketiganya. Pneumonitis adalah istilah umum untuk
proses inflamasi paru yang dapat berkaitan ataupun tidak dengan konsolidasi paru. Pneumonia
lobaris menggambarkan pneumonia yang terlokalisir pada satu atau lebih lobus paru. Pneumonia
atipikal mendeskripsikan pola selain dari pneumonia lobaris.

Bronkopneumonia mengacu pada inflamasi paru yang terfokus pada area bronkiolus dan
memicu produksi eksudat mukopurulen yang dapat mengakibatkan obstruksi saluran respiratori
berkaliber kecil dan menyebabkan konsolidasi yang merata ke lobulus yang berdekatan.
Pneumonitis interstitial mengacu pada proses inflamasi pada interstisium yang terdiri dari
dinding alveolus, kantung dan duktus alveolar serta bronkiolus. Pneumonitis interstisial khas
pada infeksi virus akut tetapi dapat juga akibat dari proses infeksi kronik (Marcdante dkk.,
2013).

Bronkopneumonia adalah peradangan pada parenkim paru yang melibatkan bronkus atau
bronkiolus yang berupa distribusi berbentuk bercak-bercak (patchy distribution) (Bennete, 2013).
Pneumonia merupakan penyakit peradangan akut pada paru yang disebabkan oleh infeksi
mikroorganisme dan sebagian kecil disebabkan oleh penyebab non- infeksi yang akan
menimbulkan konsolidasi jaringan paru dan gangguan pertukaran gas setempat (Bradley et.al.,
2011)

Usia pasien merupakan faktor yang memegang peranan penting pada perbedaan kekhasan
pneumonia anak, terutama dalam spektrum etiologi, gambaran klinis, dan strategi pengobatan.
Spektrum mikroorganisme penyebab pada neonatus dan bayi kecil berbeda dengan anak yang
lebih besar.
Tabel Causes of Community Acquired Pneumonia by Age Group

Usia Etiologi Yang Sering Etiologi Yang Jarang


Lahir-20 Hari Bakteri Bakteri
E. colli Bakteri anaerob
Streptococcus group B Streptococcus group D
Listeria monocytogenes Haemophilus influenzae
Streptococcus pneumoniae
Ureaplasma urealyticum
Virus
Virus sitomegalo
Virus Herpes simpleks
3 Minggu-3 Bulan Bakteri Bakteri
Chlamydia trachomatis Bordetella pertussis
Streptococcus pneumoniae Haemophilus influenzae tipe
B
Virus Moraxella catharalis
Virus adeno Staphylococcus aureus
Virus influenza Ureaplasma urealyticum
Virus parainfluenza 1,2,3 Virus
Respiratory syncytial virus Virus sitomegalo
4 Bulan-5 Tahun Bakteri Bakteri
Chlamydia pneumoniae Haemophilus influenzae tipe
B
Mycoplasma pneumoniae Moraxella catharalis
Streptococcus pneumoniae Neisseria meningitidis
Virus Staphylococcus aureus
Virus adeno Virus
Virus influenza Virus varisela-zoster
Virus parainfluenza
Virus rino
Respiratory syncytial virus
5 Tahun-Remaja Bakteri Bakteri
Chlamydia pneumoniae Haemophilus influenzae
Mycoplasma pneumoniae Legionella sp
Streptococcus pneumoniae Staphylococcus aureus
Virus
Virus adeno
Virus epstein-barr
Virus influenza
Virus parainfluenza
Virus rino
Respiratory syncytial virus
Virus varisela zoster
Epidemiologi

Pneumonia masih merupakan masalah kesehatan utama dan menyebabkan lebih dari
5.000.000 kematian per tahun pada anak balita di negara berkembang. Penyakit ini juga
merupakan penyebab utama morbiditas dan mortalitas anak berusia <5 tahun. Insidens
pneumonia pada anak berusia <5 tahun adalah 10-20 kasus/100 anak/tahun di negara
berkembang dan 2-4 kasus/anak/tahun di negara maju. Pneumonia juga berkontribusi terhadap
14% dari penyebab dari kematian anak di bawah 5 tahun (Rahajoe, Supriyatno, & Setyanto,
2010).

Faktor epidemiologi sangat berguna untuk menentukan etiologi pneumonia. Umur, musim
dalam setahun, status imunisasi, dan status kesehatan anak sangat membantu dalam
menyempitkan daftar penyebab yang mungkin. Patogen viral adalah penyebab predominan dari
infeksi saluran nafas bawah pada balita dan anak yang kurang dari 5 tahun. Tidak seperti
bronkiolitis yang puncak laju serangannya adalah pada umur 1 tahun, puncak laju serangan
pneumonia adalah pada umur 2-3 tahun, kemudian berkurang setelahnya (Kliegman et al, 2015).

Klasifikasi

Klasifikasi WHO menggunakan kriteria klinis berikut untuk diagnosis pneumonia pada daerah
dengan keterbatasan sarana:

1. Bayi berusia <2 bulan

1. Pneumonia berat: napas cepat (≥60 kali/menit) atau retraksi yang berat.

2. Pneumonia sangat berat: tidak mau menyusui/minum, kejang, letargis,


demam/hipotermia, bradipnea, atau pernapasan ireguler.

2. Anak berusia 2 bulan-5 tahun

1. Pneumonia ringan: napas cepat (≥50 kali/menit pada usia 2 bulan hingga 1 tahun,
≥40 kali/menit pada usia >1-5 tahun)

2. Pneumonia berat: retraksi iii. Penumonia sangat berat: tidak dapat makan/minum,
kejang, letargis, malanutrisi

Pada panduan persatuan dokter paru indonesia (2013), pneumonia diklasifikasikan sebagai
berikut:

Berdasarkan klinis dan epidemiologis:

1. Pneumonia komuniti (community-acquired pneumonia) merupakan pneumonia yang


didapat di luar rumah sakit.
2. Pneumonia nosokomial (hospital-acqiured pneumonia / nosocomial pneumonia)
3. Pneumonia aspirasi merupakan pneumonia yang diakibatkan aspirasi secret
oropharyngeal dan cairan lambung.
4. Pneumonia pada penderita Immunocompromised pembagian ini penting untuk
memudahkan penatalaksanaan.

Berdasarkan bakteri penyebab:


1. Pneumonia bakterialis

Pneumonia yang disebabkan oleh, Pneumonia Streptokokus; Pneumonia Stafilokokus;


Pneumonia Klebsiella; Pneumonia Pseudomonas; Haemophilus Influenza.

2. Pneumonia Atipikal

Pneumonia atipikal beragam gejalanya, tergantung kepada agen penyebab, Penyakit


Legionnaires ; Pneumonia Mikoplasma; Pneumonia Virus; Pneumonia Pneumosistis
Carinii (PPC); Pneumonia Fungi; Pneumonia Klamidia; Tuberkulosis.

3. Pneumonia virus

4. Pneumonia jamur sering merupakan infeksi sekunder. Predileksi terutama pada penderita
dengan daya tahan lemah (immunocompromised)

Berdasarkan predileksi infeksi:

1. Pneumonia lobaris.

Sering pada pneumania bakterial, jarang pada bayi dan orang tua. Pneumonia yang terjadi
pada satu lobus atau segmen kemungkinan sekunder disebabkan oleh obstruksi bronkus
misalnya : pada aspirasi benda asing atau proses keganasan.

2. Bronkopneumonia/Pneumonia Lobularis

Ditandai dengan bercak-bercak infiltrat pada lapangan paru. Dapat disebabkan oleh bakteria
maupun virus. Sering pada bayi dan orang tua. Jarang dihubungkan dengan obstruksi
bronkus.

WHO mengajukan pedoman diagnosa dan tata laksana yang lebih sederhana. Berdasarkan
pedoman tersebut bronkopneumonia dibedakan berdasarkan:

a. Bronkopneumonia sangat berat: bila terjadi sianosis sentral dan anak tidak sanggup
minum, maka anak harus dirawat di rumah sakit dan diberi antibiotik.
b. Bronkopneumonia berat: bila dijumpai retraksi tanpa sianosis dan masih sanggup minum,
maka anak harus dirawat di rumah sakit dan diberi antibiotik.
c. Bronkopneumonia: bila tidak ada retraksi tetapi dijumpai pernafasan yang cepat yakni
>60 x/menit pada anak usia kurang dari dua bulan; >50 x/menit pada anak usia 2 bulan-1
tahun; >40 x/menit pada anak usia 1-5 tahun.
d. Bukan bronkopneumonia: hanya batuk tanpa adanya gejala dan tanda seperti di atas,
tidak perlu dirawat dan tidak perlu diberi antibiotik.

3. Pneumonia interstisial

Proses peradangan pada dinding alveolus (interstitial) dan peri bronkial serta jaringan
interlobularis.

Patogenesis

Normalnya, saluran pernafasan steril dari daerah sublaring sampai parenkim paru. Paru-
paru dilindungi dari infeksi bakteri melalui mekanisme pertahanan anatomis dan mekanis, dan
faktor imun lokal dan sistemik. Mekanisme pertahanan awal berupa filtrasi bulu hidung,
refleks batuk dan mukosilier aparatus. Mekanisme pertahanan lanjut berupa sekresi Ig A lokal
dan respon inflamasi yang diperantarai leukosit, komplemen, sitokin, imunoglobulin, makrofag
alveolar, dan imunitas yang diperantarai sel.

Infeksi paru terjadi bila satu atau lebih mekanisme di atas terganggu, atau bila virulensi
organisme bertambah. Agen infeksius masuk ke saluran nafas bagian bawah melalui inhalasi
atau aspirasi flora komensal dari saluran nafas bagian atas, dan jarang melalui hematogen. Virus
dapat meningkatkan kemungkinan terjangkitnya infeksi saluran nafas bagian bawah dengan
mempengaruhi mekanisme pembersihan dan respon imun. Diperkirakan sekitar 25-75 % anak
dengan pneumonia bakteri didahului dengan infeksi virus.

Invasi bakteri ke parenkim paru menimbulkan konsolidasi eksudatif jaringan ikat paru
yang bisa lobular (bronkhopneumoni), lobar, atau intersisial. Pneumonia bakteri dimulai dengan
terjadinya hiperemi akibat pelebaran pembuluh darah, eksudasi cairan intra- alveolar,
penumpukan fibrin, dan infiltrasi neutrofil, yang dikenal dengan stadium hepatisasi merah.
Konsolidasi jaringan menyebabkan penurunan compliance paru dan kapasitas vital. Peningkatan
aliran darah yamg melewati paru yang terinfeksi menyebabkan terjadinya pergeseran fisiologis
(ventilation-perfusion missmatching) yang kemudian menyebabkan terjadinya hipoksemia.
Selanjutnya desaturasi oksigen menyebabkan peningkatan kerja jantung.
Stadium berikutnya terutama diikuti dengan penumpukan fibrin dan disintegrasi progresif
dari sel-sel inflamasi (hepatisasi kelabu). Pada kebanyakan kasus, resolusi konsolidasi terjadi
setelah 8-10 hari dimana eksudat dicerna secara enzimatik untuk selanjutnya direabsorbsi dan
dan dikeluarkan melalui batuk. Apabila infeksi bakteri menetap dan meluas ke kavitas pleura,
supurasi intrapleura menyebabkan terjadinya empyema. Resolusi dari reaksi pleura dapat
berlangsung secara spontan, namun kebanyakan menyebabkan penebalan jaringan ikat dan
pembentukan perlekatan (Bennete, 2013).

Secara patologis, terdapat 4 stadium pneumonia, yaitu (Bradley et.al., 2011):

1. Stadium I (4-12 jam pertama atau stadium kongesti)

Disebut hiperemia, mengacu pada respon peradangan permulaan yang berlangsung pada
daerah baru yang terinfeksi. Hal ini ditandai dengan peningkatan aliran darah dan
permeabilitas kapiler di tempat infeksi. Hiperemia ini terjadi akibat pelepasan mediator-
mediator peradangan dari sel-sel mast setelah pengaktifan sel imun dan cedera jaringan.
Mediator-mediator tersebut mencakup histamin dan prostaglandin. Degranulasi sel mast juga
mengaktifkan jalur komplemen. Komplemen bekerja sama dengan histamin dan
prostaglandin untuk melemaskan otot polos vaskuler paru dan peningkatan permeabilitas
kapiler paru. Hal ini mengakibatkan perpindahan eksudat plasma ke dalam ruang interstisium
sehingga terjadi pembengkakan dan edema antar kapiler dan alveolus. Penimbunan cairan di
antara kapiler dan alveolus meningkatkan jarak yang harus ditempuh oleh oksigen dan
karbondioksida maka perpindahan gas ini dalam darah paling berpengaruh dan sering
mengakibatkan penurunan saturasi oksigen hemoglobin.

2. Stadium II (48 jam berikutnya)

Disebut hepatisasi merah, terjadi sewaktu alveolus terisi oleh sel darah merah, eksudat
dan fibrin yang dihasilkan oleh penjamu ( host ) sebagai bagian dari reaksi peradangan.
Lobus yang terkena menjadi padat oleh karena adanya penumpukan leukosit, eritrosit dan
cairan, sehingga warna paru menjadi merah dan pada perabaan seperti hepar, pada stadium
ini udara alveoli tidak ada atau sangat minimal sehingga anak akan bertambah sesak, stadium
ini berlangsung sangat singkat, yaitu selama 48 jam.

3. Stadium III (3-8 hari berikutnya)


Disebut hepatisasi kelabu, yang terjadi sewaktu sel-sel darah putih mengkolonisasi
daerah paru yang terinfeksi. Pada saat ini endapan fibrin terakumulasi di seluruh daerah yang
cedera dan terjadi fagositosis sisa-sisa sel. Pada stadium ini eritrosit di alveoli mulai
diresorbsi, lobus masih tetap padat karena berisi fibrin dan leukosit, warna merah menjadi
pucat kelabu dan kapiler darah tidak lagi mengalami kongesti.

4. Stadium IV (7-11 hari berikutnya)

Disebut juga stadium resolusi, yang terjadi sewaktu respon imun dan peradangan mereda,
sisa-sisa sel fibrin dan eksudat lisis dan diabsorsi oleh makrofag sehingga jaringan kembali
ke strukturnya semula.

Patofisiologi

Proses terjadinya bronkopneumonia dimulai dari berhasilnya kuman pathogen masuk ke


mukus jalan nafas. Kuman tersebut berkembang biak di saluran nafas atau sampai di paru-paru.
Bila mekanisme pertahanan seperti sistem transport mukosilia tidak adekuat, maka kuman
berkembang biak secara cepat sehingga terjadi peradangan di saluran nafas atas, sebagai respon
peradangan akan terjadi hipersekresi mukus dan merangsang batuk. Mikroorganisme berpindah
karena adanya gaya tarik bumi dan alveoli menebal. Pengisian cairan alveoli akan melindungi
mikroorganisme dari fagosit dan membantu penyebaran organisme ke alveoli lain. Keadaan ini
menyebabkan infeksi meluas, aliran darah di paru sebagian meningkat yang diikuti peradangan
vaskular dan penurunan darah kapiler. Gambar menunjukan gambaran perbedaan alveoli normal
dan alveoli pada pasien bronkopneumonia.
Edema karena inflamasi akan mengeraskan paru dan akan mengurangi kapasitas paru,
penurunan produksi cairan surfaktan lebih lanjut, menurunkan compliance dan menimbulkan
atelektasis serta kolaps alveoli. Sebagai tambahan proses bronkopneumonia menyebabkan
gangguan ventilasi okulasi partial pada bronkhi dan alveoli, menurunkan tekanan oksigen arteri,
akibatnya darah vena yang menuju atrium kiri banyak yang tidak mengandung oksigen sehingga
terjadi hipoksemia arteri.

Efek sistemik akibat infeksi, fagosit melepaskan bahan kimia yang disebut endogenus
pirogen. Bila zat ini terbawa aliran darah hingga sampai hipotalamus, maka suhu tubuh akan
meningkat dan meningkatkan kecepatan metabolisme. Pengaruh dari meningkatnya metabolisme
adalah penyebab takhipnea dan takhikardia, tekanan darah menurun sebagai akibat dari
vasodilatasi perifer dan penurunan sirkulasi volume darah karena dehidrasi, panas dan takhipnea
meningkatkan kehilangan cairan melalui kulit (keringat) dan saluran pernafasan sehingga
menyebabkan dehidrasi.
Manifestasi Klinis

Pneumonia khususnya bronkopneumonia biasanya didahului oleh infeksi saluran nafas


bagian atas selama beberapa hari. Suhu dapat naik secara mendadak sampai 39-40 0C dan
mungkin disertai kejang karena demam yang tinggi. Anak sangat gelisah, dispnu, pernafasan
cepat dan dangkal disertai pernafasan cuping hidung dan sianosis di sekitar hidung dan mulut.
Batuk biasanya tidak dijumpai pada awal penyakit,anak akan mendapat batuk setelah beberapa
hari, di mana pada awalnya berupa batuk kering kemudian menjadi produktif (Bennete, 2013).

Batuk merupakan mekanisme pertahanan tubuh untuk melindungi saluran napas bawah
terhadap benda asing/iritan yang masuk dan menjaga agar tetap steril. Benda asing/ iritan pada
saluran nafas bawah  impuls aferen dari nervus vagus ke otak  inspirasi udara cepat dan
dalam  epiglottis dan pita suara menutup untuk menjerat udara dalam paru  otot abdomen
berkontraksi mendorong diafragma serta otot pernafasan juga berkontraksi  pita suara dan
epiglottis membuka tibatiba  udara bertekanan tinggi keluar dari paru-paru dengan cepat.

Demam terjadi sebagai mekanisme pertahanan tubuh terhadap bakteri dan virus. Infeksi
bakteri  infeksi pada alveoli  aktivasi makrofag mengeluarkan pirogen endogen  IL-1, IL-
6, TNF, IFN-α, CNTF dilepas di sirkulasi darah  produksi PGE2 di hipotalamus  aktivasi
cyclic AMP  menyebabkan peningkatan set point di hipotalamus  suhu tubuh meningkat.

Kerusakan pada parenkim paru mempengaruhi proses pertukaran gas, terganggunya


proses pertukaran O2 dengan CO2 mengakibatkan napas menjadi sesak.

Dalam pemeriksaan fisik penderita pneumonia khususnya bronkopneumonia ditemukan hal-hal


sebagai berikut (Bennete, 2013):

1. Pada inspeksi terlihat setiap nafas terdapat retraksi otot epigastrik, interkostal, suprasternal,
dan pernapasan cuping hidung.

Tanda objektif yang merefleksikan adanya distres pernapasan adalah retraksi dinding dada;
penggunaan otot tambahan yang terlihat dan cuping hidung; orthopnea; dan pergerakan
pernafasan yang berlawanan. Tekanan intrapleura yang bertambah negatif selama inspirasi
melawan resistensi tinggi jalan nafas menyebabkan retraksi bagian-bagian yang mudah
terpengaruh pada dinding dada, yaitu jaringan ikat inter dan sub kostal, dan fossae
supraklavikula dan suprasternal. Kebalikannya, ruang interkostal yang melenting dapat terlihat
apabila tekanan intrapleura yang semakin positif. Retraksi lebih mudah terlihat pada bayi baru
lahir dimana jaringan ikat interkostal lebih tipis dan lebih lemah dibandingkan anak yang lebih
tua.

Kontraksi yang terlihat dari otot sternokleidomastoideus dan pergerakan fossae supraklavikular
selama inspirasi merupakan tanda yang paling dapat dipercaya akan adanya sumbatan jalan
nafas. Pada infant, kontraksi otot ini terjadi akibat “head bobbing”, yang dapat diamati dengan
jelas ketika anak beristirahat dengan kepala disangga tegal lurus dengan area suboksipital.
Apabila tidak ada tanda distres pernapasan yang lain pada “head bobbing”, adanya kerusakan
sistem saraf pusat dapat dicurigai.

Pengembangan cuping hidung adalah tanda yang sensitif akan adanya distress pernapasan dan
dapat terjadi apabila inspirasi memendek secara abnormal (contohnya pada kondisi nyeri dada).
Pengembangan hidung memperbesar pasase hidung anterior dan menurunkan resistensi jalan
napas atas dan keseluruhan. Selain itu dapat juga menstabilkan jalan napas atas dengan
mencegah tekanan negatif faring selama inspirasi.

2. Pada palpasi ditemukan vokal fremitus yang simetris.

Konsolidasi yang kecil pada paru yang terkena tidak menghilangkan getaran fremitus selama
jalan napas masih terbuka, namun bila terjadi perluasan infeksi paru (kolaps paru/atelektasis)
maka transmisi energi vibrasi akan berkurang.

3. Pada perkusi tidak terdapat kelainan

4. Pada auskultasi ditemukan crackles sedang nyaring.

Crackles adalah bunyi non musikal, tidak kontinyu, interupsi pendek dan berulang dengan
spektrum frekuensi antara 200-2000 Hz. Bisa bernada tinggi ataupun rendah (tergantung tinggi
rendahnya frekuensi yang mendominasi), keras atau lemah (tergantung dari amplitudo osilasi)
jarang atau banyak (tergantung jumlah crackles individual) halus atau kasar (tergantung dari
mekanisme terjadinya).

Crackles dihasilkan oleh gelembung-gelembung udara yang melalui sekret jalan napas/jalan
napas kecil yang tiba-tiba terbuka.
Pemeriksaan Lab dan Pemeriksaan Radiologi
Pemeriksaan Lab
Darah Lengkap
Pada pneumonia virus dan juga pada pneumonia mikoplasma umumnya ditemukan leukosit
dalam batas normal atau sedikit meningkat. Akan tetapi, pada pneumonia bakteri didapatkan
leukositosis yang berkisar antara 15.000-40.000/mm3 dengan predominan PMN. Leukopenia
(<5.000/mm3) menunjukkan prognosis yang buruk. Leukositosis hebat (>30.000/mm3) hampir
selalu menunjukkan adanya infeksi bakteri, sering ditemukan pada keadaan bakteremi, dan risiko
terjadinya komplikasi lebih tinggi. Pada infeksi Clamydia pneumoniae kadang-kadang
ditemukan eosinofilia. Efusi pleura merupakan cairan eksudat dengan sel PMN berkisar antara
300-100.000/mm3, protein >2,5 g/dl, dan glukosa relatif lebih rendah daripada glukosa darah.
Kadang-kadang terdapat anemia ringan dan laju endap darah (LED) yang meningkat. Secara
umum, hasil pemeriksaan darah perifer lengkap dan LED tidak dapat membedakan infeksi virus
dan infeksi bakteri secara pasti.

C-Reactive Protein (CRP)


C-reactive protein adalah suatu protein fase akut yang disintesis oleh hepatosit. Sebagai respons
infeksi atau inflamasi jaringan, produksi CRP secara cepat distimulasi oleh sitokin, terutama
interleukin (IL)-6, IL-1, dan tumor necrosis factor (TNF). Meskipun fungsi pastinya belum
diketahui, CRP sangat mungkin berperan dalam opsonisasi mikroorganisme atau sel yang rusak.

Secara klinis CRP digunakan sebagai alat diagnostik untuk membedakan antara faktor infeksi
dan noninfeksi, infeksi virus dan bakteri, atau infeksi bakteri superfisialis dan profunda. Kadar
CRP biasanya lebih rendah pada infeksi bakteri superfisialis daripada infeksi bakteria profunda.
Dengan pengobatan abtibiotik, kadar CRP turun secara meyakinkan pada hari pertama
pengobatan. Meskipun demikian, secara umum CRP belum terbukti secara konklusif dapat
membedakan antara infeksi virus dan bakteri.
Tabel Interpretasi Hasil Pemeriksaan Laboratorium
Hasil Pemeriksaan Hasil Normal Interpretasi
Hb 12,1 gr/dl 10,5-13 g/dl Normal
Ht 36 vol% 33-42 vol% Normal
Leukosit 25.000/mm3 6.000-17.000/mm3 Meningkat/
leukositosis
LED 25 mm/jam Untuk anak, LED Meningkat
normal:16mm/jam
,10mm/jam
Trombosit 280.000/mm3 150.000- Normal
450.000/mm3
Hitung Jenis 0/2/1/80/14/3 0-1/1-3/2-6/50- Basofil : Normal
Leukosit 70/25-35/2-8 Eosinofil : Normal
(B/E/NB/NS/L/M) Neutrofil Batang :
Menurun
Neutrofil Segmen :
Meningkat
Limfosit :
Menurun
Monosit : Normal
CRP 24 <10mg/dl Meningkat

Mekanisme abnormal:

Leukositosis

Neutrofil yang bertugas melawan bakteri. Jika kadar neutrofil meningkat, maka bisa jadi ada
suatu infeksi bakteri di dalamnya. Adanya infeksi menyebabkan tubuh memfagositosis bakteri
tersebut sehingga terjadi leukositosis.

LED meningkat
Peningkatan LED menunjukkan adanya penyakit infeksi. Protein pada fase akut yang bermuatan
positif muatan negatif zeta potensial eritrosit menjadi netral gaya tolak gaya tolak eritrosit cepat
membentuk roulleaux (gumpalan eritrosit → karena tarik-menarik diantara permukaan sel) dan
proses pengendapan akan lebih cepat, sehingga nilai LED melebihi normal.

Neutrofil batang: menurun, Neutrofil segmen: meningkat, Limfosit: menurun

Penurunan jumlah neutrophil batang dan peningkatan jumlah neutrophil segmen menujukkan
adanya shift to the left. Kondisi shift to the left artinya infeksi terjadi secara akut.

Infeksi bakteri pada parenkim paru → respon imun → sel melepaskan berbagai sitokin (tumour
necrosis factor (TNF), IL-1, IL-6 serta beberapa golongan IL-8) → merangsang inflamasi non-
spesifik serta meningkatkan aktivasi limfosit spesifik oleh antigen bakteri. Sitokin akan
menginduksi adhesi neutrofil dan monosit pada endotel vaskular pada tempat infeksi yang diikuti
migrasi, akumulasi lokal serta aktivasi sel inflamasi.

IL-8 → merangsang sumsum tulang → produksi lebih banyak neutrophil dengan cara
mempercepat proses pematangan di setiap fasenya → precursor pembentukan leukosit
diutamakan dalam pembentukan leukosit fase akut → limfosit yang lebih berperan dalam fase
kronis menurun, sedangkan neutrofil akan dikirim ke pusat infeksi dalam upaya untuk
menhilankan focus infeksi → peningkatan umlah neutrofil dalam darah.

CRP meningkat

Pada proses inflamasi, sel melepaskan berbagai sitokin antara lain IL-6. IL-6 menginduksi sel
hati untuk mensintesi protein fase akut seperti C-reactive protein dan fibrinogen yang berfungsi
sebagai opsonin (antibodi yang bersifat merangsang leukosit untuk menyerang antigen atau
kuman) non spesifik pada proses fagositosis bakteri. Nilai CRP tinggi menunjukan adanya
peradangan akut didalam tubuh, tetapi tidak dapat menunjukan dimana lokasi peradangan
tersebut. Kadar CRP kadang lebih rendah pada infeksi virus.

Pemeriksaan Radiologi
Foto rontgen toraks pada pneumonia ringan tidak rutin dilakukan.

a. Pemeriksaan foto dada tidak direkomendasikan secara rutin pada anak dengan infeksi
saluran napas bawah akut ringan tanpa komplikasi

b. Pemeriksaan foto dada direkomendasikan pada penderita pneumonia yang dirawat inap
atau bila tanda klinis yang ditemukan membingungkan

c. Pemeriksaan foto dada follow up hanya dilakukan bila didapatkan adanya kolaps lobus,
kecurigaan terjadinya komplikasi, pneumonia berat, gejala yang menetap atau memburuk,
atau tidak respons terhadap antibiotic

d. Foto rontgen toraks AP dan lateral hanya dilakukan pada pasien dengan tanda dan
gejala klinik distres pernapasan seperti takipnea, batuk, dan ronki, dengan atau tanpa
suara napas yang melemah.

Secara umum gambaran foto toraks terdiri dari:

a. Infiltrat interstisial, ditandai dengan peningkatan corakan bronkovaskular,


peribronchial cuffing, dan hiperaerasi.

b. Infiltrat alveolar, merupakan konsolidasi paru dengan air bronchogram. Konsolidasi


dapat mengenai satu lobus disebut dengan pneumonia lobaris, atau terlihat sebagai lesi
tunggal yang biasanya cukup besar, berbentuk sferis, berbatas yang tidak terlalu tegas,
dan menyerupai lesi tumor paru, dikenal sebagai round pneumonia.

c. Bronkopneumonia, ditandai dengan gambaran difus merata pada kedua paru, berupa
bercak-bercak infiltrat yang dapat meluas hingga daerah perifer paru, disertai dengan
peningkatan corakan peribronkial.

Gambaran foto rontgen toraks pneumonia pada anak meliputi infiltrat ringan pada satu paru
hingga konsolidasi luas pada kedua paru.

Kasus: Infiltrat di paracardial kedua paru


Mekanisme abnormal:

Infiltrat di parakardial kedua paru memiliki makna dapat ditemui bercak/berkas infiltrate
(patchy) pada daerah paru dekat jantung , yang menandai adanya konsolidasi pada parenkim
paru, akibat terisi air, eksudat maupun transudate.

Infeksi mikroorganisme di alveolus  aktivasi makrofag  pelepasan sitokin-stitokin 


peningkatan permeabilitas vaskular & aktivasi dan kemotaksis neutrofil  reaksi inflamasi di
alveolus  eksudat di alveolus  bercak-bercak konsolidasi di lobuli yang berdekatan 
gambaran infiltrat pada rontgen.

Gambaran infiltrat pada rontgen thoraks terjadi karena adanya eksudat pada bronkus, bronkiolus,
dan alveolus disekitarnya. Cairan (eksudat) lebih padat dari udara, sehingga ketika dirontgen
daerah paru yang terisi eksudat terlihat lebih radio opaque daripada daerah disekitarnya yang
hanya terisi udara.

Daftar Pustaka
Anwar, A. and Dharmayanti, I., 2014. Pneumonia pada anak balita di Indonesia. Kesmas:
National Public Health Journal, 8(8), pp.359-365.

Bennete M.J. 2013. Pediatric Pneumonia. http://emedicine.medscape.com/article/967822-


overview( 2013)

Bradley J.S., Byington C.L., Shah S.S, Alverson B., Carter E.R., Harrison C., Kaplan S.L., Mace
S.E., McCracken Jr G.H., Moore M.R., St Peter S.D., Stockwell J.A., and Swanson J.T.
2011. The Management of Community-Acquired Pneumonia in Infants and Children Older
than 3 Months of Age : Clinical Practice Guidelines. The Pediatric Infectious Diseases
Society and the Infectious Diseases Society of America. Clin Infect Dis. 53 (7): 617-63.

Guyton SC, Hall JE. Fisiologi Kedokteran (Textbook of Medical Physiology). 11th ed. Jakarta:
ECG; 2012:496-500.

Marcdante, dkk., 2013. Nelson Ilmu Kesehatan Anak Esensial Edisi Keenam. Elsevier - Local.
Jakarta.

Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. Pneumonia Komunitas, pedoman diagnosis &


penatalaksanaan di Indonesia. Jakarta: PDPI, 2003.

WHO; alih bahasa, Tim Adaptasi Indonesia. 2008. Buku Saku Pelayanan Kesehatan Anak di
Rumah Sakit. Jakarta: WHO Indonesia.

Anda mungkin juga menyukai