Review Globalisasi Penyakit. Banyak yang tidak terpikirkan sebelum serangan Covid-19 merebak, melintasi batas negara, kepentingan nasional, ideologi, dan aliansi politik. Wabah global ini bukanlah hal baru. Sebab, dunia pernah menghadapi wabah sindrom saluran pernapasan akut (SARS), ebola, penyakit kuku dan mulut, flu babi, dan lain-lain. Namun semua itu belum berkaitan dengan isu keamanan dalam makna luas. Wabah ini belum berakhir, ancaman "invasi" belum berhenti dan dapat dihentikan. Implikasinya tidak terbatas, menembus dinding negara dan warga negara, menciptakan complex emergencies di mana-mana, serta menciptakan masalah keamanan politik, ekonomi, wilayah, dan masyarakat. Penyebab kemunculan penyakit baru dan muncul kembalinya penyakit lama berkaitan dengan gaya hidup, mobilitas, teknologi, dan populasi kepadatan habitat. Selain itu juga berhubungan dengan perilaku hidup bersih dan sehat (PHBS). Serangan Covid 19 menguji banyak aspek. Jika masyarakat modern demikian mengandalkan peran negara (baca: pemerintah) kekuatan uang dan sistem ekonomi, dan pendayagunaan teknologi, maka selama dua bulan terakhir ini kia bisa melihat “ketidakpastian” mengguncang keberadaan tiga kekuatan pada (institusi) tersebut. Pemerintah adalah organisasi paling terdepan yang di paksa oleh publik melakukan aksi tercepat dan handal ketika serangan atau peperangan tertentu mengemuka. Antara negara maju dan negara berkembang kemampuan organisasionalnya relatif sama di tingkat pemanfaatan teknologi informasi, tetapi mereka sangat berbeda dalam memanfaatkan “pengalaman sejarah” sebagai sumberdaya negara yang berharga dalam menempa “kecepatan” dan “anisipasi” kerja mereka di situasi terburuk. Solidaritas, tanggung jawab bersama kebijakan pemerintah dan sistem penanganan yang adaptif dan efektif dinyatakan sebagai “obat sistemik” dalam situasi pandemi dunia seperti saat ini. Organisasi manusia, dengan skala perilaku, motif-motif sadar, kebiasaa, mobilitas fisiknya masing-masing, dan ruang-ruang perjumpaan komunikasinya adalah tolak ukur penting “bagaimana sehat itu dicapai/dijaga dan bagaimana sakit itu dihindari/disikapi. Kebijakan lockdown menjadi kontradiktif dengan fenomena globalisasi yang telah membuat segalanya terbuka. Di Indonesia, solusi lockdown, bahkan yang lebih ramah, social distancing, menjadi sensitif dan segera disambut secara reaktif di tingkat akar rumput. Seperti pada masa pemilihan presiden, masyarakat menjadi tidak rasional dan terkunci oleh pertarungan politik, bukan lagi mendorong mencari solusi atas keamanan manusia secara lebih efektif. Saat ini kita tak lagi kurang informasi. Kita semua cenderung awam dalam memahami ini semua. Yang jelas, menentukan skala bertindak dan berpengetahuan adalah tanggung jawab kita. Bersama-sama meng-organisir di pemukinan masing-masing, di keluarga, di komunitas pertemanan dan di tempat- tempat kerja.