Anda di halaman 1dari 19

MAKALAH SHARING JURNAL

“Peningkatan Kualitas Hidup Orang dengan Skizofrenia Melalui Rehabilitasi Berbasis


Masyarakat Di Provinsi Yogyakarta, Indonesia : Penelitian Quasi Eksperimen”

Untuk Memenuhi Tugas Kelompok Profesi Ners


Departemen Jiwa di Wilayah Kerja Puskesmas Bululawang
“Desa Krebet Senggrong, Bululawang, Malang”

Disusun Oleh:

KELOMPOK 1A
KELOMPOK 1B

PROGRAM PROFESI NERS FAKULTAS KEDOKTERAN


UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2020
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Gangguan jiwa merupakan respon maladaptif terhadap stressor yang
muncul dari dalam dan luar individu, sehingga mengakibatkan perubahan pola
pikir, persepsi, tingkah laku dan perasaan yang berbeda dengan norma atau
budaya yang ada, serta gangguan pada fungsi fisik dan sosial yang
menimbulkan gejala kesulitan dalam berhubungan sosial dan kemampuan kerja
(Towsend daam Wardani, 2018). Salah satu diagnosis gangguan jiwa adalah
Skizofrenia.
Menurut Davidson (2012) skizofrenia adalah gangguan psikotik yang
ditandai dengan gangguan utama dalam pikiran emosi, dan perilaku-pikiran yang
terganggu, dimana berbagai pemikiran tidak saling berhubungan secara logis;
persepsi dan perhatian yang keliru; afek datar atau tidak sesuai; dan berbagai
gangguan aktivitas bizarre. Pasien menarik diri dari banyak orang dan realitas,
seringkali kedalam kehidupan fantasi yang penuh waham dan halusinasi.
Prevalensi Skizofrenia penduduk dunia sekitar 1,1 %, jika jumlah
penduduk dunia menurut PBB pada tahun 2012 mencapai 7,2 milyar maka ada
sekitar 72 juta penduduk dunia mengalami gangguan jiwa dan 40% dari mereka
dilaporkan tidak mendapatkan terapi kejiwaan apapun yang berdampak pada
pemasungan, kekerasan, dan pengangguran (National Advisory Mental Health
Council, 2001: National Institute of Mental Health, 2008: Shives, 2012).
Prevalensi Skizofrenia di Amerika Serikat sebesar 1,5% dengan umur hidup
sebesar 0,7% yang didapat dari hasil interview (WHO, 2011).
Skizofrenia menyebabkan kecacatan persisten dan penurunan kualitas
hidup (QOL). (Lieberman et.al., 2012; Moore, 2008; Corrigan and Mueser, 2008).
Gangguan yang dimaksud adalah gangguan mental yang menyebabkan tingkat
kecacatan tertinggi bila dibandingkan dengan gangguan mental lainnya yang
tercantum dalam Global Burden of Disease Study (Whiteford et al., 2013).
Orang yang menderita skizofrenia memiliki fungsi yang menurun di
hampir semua aspek kehidupan sosial yang menyebabkan kecacatan parah
karena secara signifikan mengganggu fungsi kognitif, interpersonal, dan sosial
(Lieberman et.al., 2012; Moore, 2008; Corrigan and Mueser, 2008). Orang yang
menderita skizofrenia juga mengalami tekanan dan stigma pribadi yang signifikan
dan memiliki kesempatan yang berkurang untuk dipekerjakan dan berpartisipasi
dalam kegiatan sosial (McDaid, 2008; Thornicroft et al., 2009; Cyhlarova et al.,
2010). Akibatnya, penilaian kualitas hidup telah diadopsi sebagai salah satu
indikator utama yang digunakan untuk menilai manajemen skizofrenia dan
kecacatan kronis lainnya (Datar et al., 2010; Bellack et al., 2006; Corrigan
&Mueser, 2008; Tomotake, 2011; Patel et al., 2010).
Rehabilitasi psikososial bersama dengan antipsikotik direkomendasikan
untuk pengelolaan skizofrenia dan telah terbukti meningkatkan kualitas hidup,
mengurangi kekambuhan dan meningkatkan fungsi sosial. Dalam pengaturan
sumber daya yang tidak memadai untuk kesehatan mental, Program Aksi
Kesenjangan Kesehatan Mental Organisasi Kesehatan Dunia (WHO)(mhGAP)
merekomendasikan Community Based Rehabilitation (CBR) untuk orang dengan
skizofrenia. CBR adalah pendekatan yang dimaksudkan untuk meningkatkan
kualitas hidup dan menyediakan inklusi sosial bagi para penyandang cacat. CBR
melibatkan partisipasi masyarakat dan merupakan model rehabilitasi yang efektif
dan layak. CBR telah terbukti efektif dalam menciptakan lingkungan yang
memungkinkan bagi pasien dengan skizofrenia untuk pulih. CBR juga mengatasi
hambatan sosial, budaya, dan ekonomi untuk pemberian perawatan.
CBR dengan demikian dapat menjadi model yang efektif untuk rehabilitasi
psikososial pasien dengan skizofrenia di tempat-tempat seperti Yogyakarta,
Indonesia di mana sumber daya untuk perawatan kesehatan mental masih
minimal. Model CBR di Yogyakarta telah berhasil ditunjukkan untuk
meningkatkan hasil, tetapi belum diskalakan. Sejauh ini, model yang telah diuji di
Yogyakarta hanya memanfaatkan sistem kesehatan melalui kader layanan
kesehatan utamanya dan perawat kesehatan mental masyarakat. Namun sistem
perawatan Indonesia menetapkan bahwa sistem kesejahteraan sosial
menyediakan rehabilitasi psikososial untuk pasien dengan skizofrenia yang diatur
dalam Undang-undang nomor 18 hukum kesehatan mental 2014. Indonesia
memiliki sistem kesejahteraan terdesentralisasi yang bergantung pada lembaga
rehabilitasi dan pekerja sosial kecamatan untuk menyediakan rehabilitasi
psikososial untuk pasien dengan skizofrenia. Melibatkan pekerja sosial
kecamatan dalam CBR tidak hanya akan memanfaatkan sumber daya dari
sistem kesejahteraan sosial tetapi akan menghubungkan kesehatan dan sistem
kesejahteraan sosial sehingga dapat menciptakan model yang dapat diukur di
masyarakat. Oleh karena itu penulis ingin menelaah jurnal pada penelitian
Puspitosari, et. al., (2019) yang berjudul Improving the quality of life of people
with schizophrenia through community based rehabilitation in Yogyakarta
Province, Indonesia: A quasi experimental studyterkait peningkatan kualitas
hidup melalui rehabilitasi berbasis masyarakat (Community Based Rehabilitation/
CBR) pada penderita skizofrenia yang bisa dijadikan evidence based bagi
penderita skizofrenia di Desa Krebet Senggrong, Bululawang, Malang.

1.2 Tujuan Telaah Hasil Penelitian


1.2.1 Tujuan Umum
Menjadikan jurnal sebagai referensi untuk menyelesaikan permasalahan
yang terjadi di Desa Krebet Senggrong, Bululawang, Malang khususnya pada
penderita skizofrenia.

1.1.1 Tujuan Khusus


Menjadikan jurnal sebagai sumber referensi untuk meningkatkan kualitas
hidup pada penderita skizofrenia di Desa Krebet Senggrong, Bululawang,
dengan cara rehabilitasi berbasis masyarakat (Community Based Rehabilitation/
CBR).
BAB II
ISI JURNAL
2.1 Indentitas jurnal
2.1.1 Judul Jurnal
“Improving the quality of life of people with schizophrenia through
community based rehabilitation in Yogyakarta Province, Indonesia: A
quasi experimental study”
Peningkatan Kualitas Hidup Orang dengan Skizofrenia Melalui
Rehabilitasi Berbasis Masyarakat Di Provinsi Yogyakarta, Indonesia :
Penelitian Quasi Eksperimen
2.1.2 Penulis
Warih Andan Puspitosaria, Shanti Wardaningsihb, Sandeep Nanwanic
2.1.3 Penerbit
Elsevier – Asian Journal of Psychiatry
2.1.4 Tahun Terbit
Jurnal terbit pada tahun 2019

2.2 Metode Jurnal


2.2.1 Desain
Menggunakan penelitian quasi eksperiment dengan pendekatan
pre-posttest dengan control group.
2.2.2 Sampel
Awalnya menggunakan 110 sampel, namun ada 3 yang tidak
memenuhi kriteria (tidak memiliki caregiver), 3 menolak untuk
berpartisipasi, dan 4 orang menolak karena bekerja. Kemudian didapatlah
total 100 sampel yang dibagi 50 orang menjadi kelompok intervensi dan
50 orang menjadi kelompok sampel
2.2.3 Teknik Sampling
Teknik sampling pada jurnal ini menggunakan teknik purposive
sampling
2.2.4 Instrument
Menggunkan kuesioner Lehman’s Quality of Life Interview (QOLI)
yang sudah diuji validitas ke dalam bahasa dan konteks keadaan di
Indonesia.
2.2.5 Intervensi
Sebelum intervensi dilakukan, sample diberikan pretest, kemudian
dilakukan pemberian psiko-edukasi dan social skill oleh petugas
kesehatan, perangkat kecamatan, kader dengan supervisi dari psikiatri
selama 12 minggu. Kemudian diuji post test pada minggu ke 16.
2.2.6 Analisis data
Analisis data menggunakan analisis bivariat untuk menganalisa
QOL di dalam grup menggunakan tes wilcoxon. Tes Mann-Whitney
digunakan untuk membandingkan QOL antara kelompok intervensi dan
kelompok kontrol. Statistik deskriptif digunakan untuk menganalisa data
baseline. Untuk membandingkan data kategorikal karakteristik baseline
antara kelompok digunakan tes Chi-Square atau the Fischer Exact test
sedangkan untuk data numerik menggunakan sample t-test atau Mann
Whitney test.

2.3 Hasil Penelitian


Pada penelitian ini didapatkan hasil yang dijelaskan melalui
beberapa tabel yaitu :
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa terdapat 110 orang
subyek yang dipilih dari 10 pelayanan kesehatan dari 5 kecamatan di
Yogyakarta, 4 orang tidak berpartisipasi karena mereka bekerja, 3 orang
tidak memiliki caregiver, dan 3 orang bersedia mengikuti kegiatan. Maka,
total partisipan adala 100 orang yang dibagi menjadi 50 orang masuk
dalam grup kontrol dan 50 orang berikutnya masuk dalam grup perlakuan.
Dalam tabel 1 dijelaskan perbedaan perlakuan yang diterima
kelompok kontrol dan kelompok perlakuan.
1. Kedua kelompok menerima perawatan selama sebulan sekali
2. Pada kelompok perlakuan mendapatkan intervensi terhadap keluarga
menggunakan modul edukasi jiwa sebanyak enam sesi yang
dilakukan selama seminggu sekali dalam bentuk grup 8-12 orang
dengan durasi 60-90 menit. Sedangkan, kelompok kontrol tidak
mendapatkan intervensi tersebut.
3. Pada kelompok perlakuan mendapatkan intervensi terhadap pasien
skizofrenia menggunakan modul edukasi jiwa dan intervensi
pelatihan kemampuan sosial berdasar modul komunikasi dasar yang
kedua intervensi tersebut dilakukan sebanyak enam sesi, selama
seminggu sekali dalam grup 8 – 12 orang dengan durasi 60-90 menit.
Sedangkan, kelompok kontrol tidak mendapatkan intervensi tersebut.
4. Pada kelompok perlakuan mendapatkan intervensi dari petugas
kesehatan yaitu psikiater/dokter/perawat, sub-divisi dinas pekerja
sosial dan kader kesehatan. Sedangkan, kelompok kontrol hanya
mendapatkan intervensi dari petugas kesehatan yaitu
psikiater/dokter/perawat saja.
Tabel 2 menunjukkan tentang karakteristik sosiodemografi peserta baik
kelompok intervensi dan kelompok kontrol. Dari 100 peserta, berdasarkan jenis
kelamin antara kelompok intervensi dan kelompok kontrol lebih banyak berjenis
kelamin laki-laki, yaitu pada kelompok intervensi sebanyak 32 orang dan pada
kelompok kontrol sebanyak 33 orang. Berdasarkan usia, pada kelompok
intervensi peserta paling banyak berusia 41-50 tahun yaitu sebanyak 21 orang,
sedangkan pada kelompok kontrol paling banyak berusia 31-40 tahun yaitu
sebanyak 21 orang. Untuk tingkat pendidikan, pada kelompok intervensi dan
kontrol paling banyak pendidikan terakhirnya adalah SMA, yaitu pada kelompok
intervensi sebanyak 24 orang dan kelompok kontrol sebanyak 20 orang.
Berdasarkan pekerjaan, paling banyak peserta adalah tidak bekerja
(pengangguran), yaitu pada kelompok intervensi sebanyak 36 orang dan
kelompok kontrol sebanyak 35 orang. Paling banyak peserta baik kelompok
intervensi maupun kelompok kontrol memiliki status perkawinan belum kawin,
yaitu pada kelompok intervensi sebanyak 28 orang dan pada kelompok kontrol
sebanyak 30 orang. Berdasarkan lamanya mengalami gangguan jiwa, pada
kelompok intervensi dan kelompok kontrol paling banyak mengalami gangguan
jiwa selama lebih dari 10 tahun, yaitu pada kelompok intervensi sebanyak 29
orang dan kelompok kontrol sebanyak 26 orang. Sedangkan awal mula
mengalami gangguan jiwa pada kelompok intervensi dan kelompok kontrol paling
banyak pada saat usia 20-30 tahun, yaitu pada kelompok intervensi sebanyak 19
orang dan pada kelompok kontrol sebanyak 23 orang. Untuk riwayat penyakit
keluarga sebagian besar peserta tidak memiliki keluarga yang memiliki gangguan
jiwa, yaitu pada kelompok intervensi sebanyak 38 orang dan pada kelompok
kontrol sebanyak 34 orang. Berdasarkan jenis obat antipsikotik, sebagian besar
peserta meminum obat jenis antipsikotik tipikal yaitu pada kelompok intervensi
sebanyak 31 orang dan pada kelompok kontrol sebanyak 30 orang. Berdasarkan
riwayat rawat inap, pada kelompok intervensi rata-rata pernah dirawat inap
sebesar 2,241%, sedangkan pada kelompok kontrol sebesar 1,931%.
Berdasarkan Kemampuan Pribadi dan Sosial peserta yang diukur menggunakan
PSP, pada kedua kelompok paling banyak memiliki kemampuan sedang, yaitu
pada kelompok intervensi sebanyak 28 orang dan kelompok kontrol sebanyak 29
orang. Berdasarkan fungsi penilaian secara keseluruhan, pada kelompok
intervensi sebanyak 12 orang mendapatkan nilai 40-31, dan sebanyak 12 orang
mendapatkan nilai 70-61. Sedangkan pada kelompok kontrol paling banyak
mendapatkan nilai 50-41 yaitu sebanyak 12 orang. Kemudian berdasarkan
kepatuhan minum obat, pada kedua kelompok paling banyak memiliki kepatuhan
minum obat yang masih rendah, yaitu pada kelompok intervensi sebanyak 30
orang dan pada kelompok kontrol sebanyak 27 orang. Berdasarkan kualitas
hidupnya, pada kedua kelompok paling banyak memiliki kualitas hidup sedang,
yaitu pada kelompok intervensi sebanyak 41 orang dan pada kelompok kontrol
sebanyak 39 orang. Berdasarkan Skala Sindrom Positif Negatif (PANSS),
PANSS positif rata-rata standar deviasi pada kelompok intervensi sebesar
6,45%, sedangkan pada kelompok kontrol sebesar 5,87 %. Sementara rata-rata
standar deviasi PANSS negatif pada kelompok intervensi sebesar 9,53% dan
pada kelompok kontrol sebesar 7,94%.
Pada tabel 3 menunjukkan karakteristik dari pengasuh pasien. Berdasarkan
jenis kelamin pada kedua kelompok paling banyak pengasuh pasien berjenis
kelamin perempuan, yaitu pada kelompok intervensi sebanyak 30 orang dan
pada kelompok kontrol sebanyak 27 orang. Menurut usia pengasuh, pada kedua
kelompok paling banyak pengasuh berusia 51-60 tahun, yaitu pada kelompok
intervensi sebanyak 16 orang dan pada kelompok kontrol sebanyak 16 orang.
Berdasarkan tingkat pendidikan, pada kelompok intervensi paling banyak
berpendidikan SD yaitu sebanyak 18 orang, sedangkan pada kelompok kontrol
paling banyak berpendidikan SMA yaitu sebanyak 15 orang. Berdasarkan
pekerjaan, pada kedua kelompok sebagian besar pengasuh pasien memiliki
pekerjaan yaitu pada kelompok intervensi sebanyak 36 orang dan pada
kelompok kontrol sebanyak 37 orang. Kemudian berdasarkan penghasilan yang
didapatkan pengasuh pada kedua kelompok paling banyak memiliki penghasilan
<1.300.000 rupiah, yaitu pada kelompok intervensi sebanyak 35 orang dan pada
kelompok kontrol sebanyak 31 orang.
Berdasarkan hubungannya dengan pasien, pada kedua kelompok paling
banyak adalah Ibu dari pasien, yaitu pada kelompok intervensi sebanyak 17
orang dan pada kelompok kontrol sebanyak 16 orang. Berdasarkan lama
merawat pasien, pada kedua kelompok paling banyak sudah merawat pasien
selama lebih dari 10 tahun, yaitu pada kelompok intervensi sebanyak 26 orang
dan pada kelompok kontrol sebanyak 24 orang.

Pada tabel 4 dari hasil pre – post antara grup intervensi dan grup kontrol
menunjukkan bahwa variabel kualitas hidup pada grup intervensi pre-test
terdapat 5 (10%) responden memiliki kualitas hidup rendah, 41 (82%) responden
memiliki kualitas hidup sedang, dan 4 (8%) responden memiliki kualitas hidup
tinggi. Setelah dilakukan post-test pada grup intervensi didapatkan tidak ada
(0%) responden yang memiliki kualitas hidup rendah, 13 (26%) responden
memiliki kualitas hidup sedang, dan 37 (74%) responden memiliki kualitas hidup
tinggi.
Sedangkan pada grup kontrol menunjukkan bahwa variabel kualitas hidup
saat pre-test terdapat 3 (6%) responden memiliki kualitas hidup rendah (low), 39
(78%) responden memiliki kualitas hidup sedang (medium), dan 8 (16%)
responden memiliki kualitas hidup tinggi (high). Setelah dilakukan post-test, pada
grup kontroli didapatkan masih ada responden yang memiliki kualitas hidup
rendah (low) yaitu sebanyak 1 (2%) responden, 20 (40%) responden memiliki
kualitas hidup sedang (medium), dan 29 (58%) responden memiliki kualitas
hidup tinggi (high).
Dari kedua hasil pre-post pada grup intervensi maupun grup kontrol pada
tabel 4 didapatkan peningakatan kualitas hidup. Pada uji wilcoxon didapatkan P<
0.05, sehingga hasil tersebut dikatakan signifikan.

Pada tabel 5, berdasarkan uji hipotesis Mann-Whitney (untuk menguji


signifikansi/ perbandingan pada uji sebelumnya) pada grup intervensi dan grup
kontrol di dapatkan P = 0.023 (P<0.05), sehingga hasil menunjukkan signifikan.
Jadi, dapat disimpulkan bahwa terdapat peningkatan kualitas hidup pada grup
intervensi sebanyak 34 (68%) responden setelah dilakukan intervensi (CBR),
dibandingkan grup kontrol (tidak diberikan intervensi) yaitu hanya meningkat
sebanyak 23 (46%) responden.
Pada tabel 6 menunjukkan tes hipotesis dari skor PANSS (Positive and
Negative Symptoms Scale), hasil yang didapatkan pada variabel PANSS positif
yaitu pada pre tes kelompok perlakuan mendapat skor mean ± SD sebesar 17.12
± 6.29 dan post tes mendapat skor mean ± SD sebesar 14.02 ± 5.61 sehingga
mendapat penurunan skor sebesar 3.10 dengan P 0.000. Sedangkan pada pre
tes kelompok kontrol mendapat skor mean ± SD sebesar 17.04 ± 5.87 dan nilai
post tes 16.04 ± 6.60 sehingga mendapat penurunan skor sebesar 1.00 dengan
P 0.111. Hasil yang didapatkan pada variabel PANSS negatif, pada pre tes
kelompok perlakuan mendapatkan hasil 17.43 ± 9.51 dan post test 15.05 ± 6.40
sehingga mendapat penurunan skor sebesar 2.38 dengan P 0.032. Sedangkan
pada pre tes kelompok kontrol mendapatkan skor mean ± SD sebesar 19.20
±7.95 dan nilai post tes 17.68 ± 8.15 sehingga mendapat penurunan skor
sebesar 1.52 dengan P 0.078.
Pada tabel 7 menunjukkan tidak adanya perbedaan signifikan pada
PANSS positif maupun PANSS negatif antara kelompok perlakuan maupun
kelompok kontrol.
BAB III

PEMBAHASAN

Pada awal data hasil jurnal menunjukkan bahwa pasien dengan


skizofrenia telah mengurangi kualitas hidup. Ini konsisten dengan penelitian lain
yang telah menunjukkan dampak skizofrenia pada dimensi kehidupan sosial,
ekonomi dan interpersonal (Lieberman et.al., 2012; Moore, 2008; Corrigan dan
Mueser, 2008; Tomotake, 2011). Fungsi sosial adalah prediktor penting dari
kualitas hidup (Bellack et al., 2006) dan skizofrenia mengurangi fungsi sosial
hingga 80% (Hunter et al., 2010). QOL telah menjadi indikator penting dari hasil
pengobatan skizofrenia (Boyer et al., 2013; Patel et al., 2010) dan telah
digunakan sebagai indikator utama untuk menunjukkan keberhasilan program
(Mueser & Jeste, 2008; Tomotake, 2011; Makara-Studzinska et al., 2011).

Hasil penelitian menunjukkan bahwa peningkatan kualitas hidup dalam


kelompok intervensi secara signifikan lebih tinggi daripada kelompok kontrol.
Dengan demikian, penelitian ini telah menunjukkan bahwa model Community
Based Rehabilitation (CBR) ini efektif dalam pengobatan skizofrenia di
masyarakat. Rehabilitasi psikososial berbasis masyarakat selain obat-obatan
rawat jalan yang rutin memang merupakan opsi pengobatan yang
direkomendasikan untuk penderita skizofrenia

Studi sebelumnya telah menunjukkan bahwa rehabilitasi meningkatkan


fungsi kognitif, mengurangi gejala klinis, meningkatkan tingkat pengetahuan,
meningkatkan kepatuhan medis, mengurangi kekambuhan, meningkatkan
produktifitas dan fungsi sosial lainnya. Dengan demikian temuan penelitian ini
sesuai dengan literatur rehabilitasi psikososial berbasis masyarakat
meningkatkan kualitas hidup bagi orang-orang yang terkena skizofrenia.

Rehabilitasi adalah komponen penting dari perawatan bagi orang dengan


skizofrenia, namun didaerah seperti Yogyakarta, sumber daya Indonesia
termasuk sumber daya manusia untuk kesehatan mental masih minimal dan
layanan rehabilitasi hanya terdapati di rumah sakit kesehatan mental. Indonesia
juga memiliki sistem kesehatan terdesentralisasi di mana yang memberikan
tanggung jawab perawatan kesehatan penderita skizofrenia sangat bergantung
pada sistem perawatan kesehatan primer. Studi ini menunjukkan bahwa CBR
yang diberikan dalam layanan kesehatan primer memberikan hasil yang positif
pada orang dengan skizofrenia. Selain itu, sistem kesejahteraan di Indonesia
menyatakan bahwa departemen kesejahteraan sosial bertanggung jawab dalam
penyediaan layanan rehabilitasi untuk orang dengan skizofrenia. penelitian ini
bermanfaat pada tingkat komunitas dimasyarakat dan menghubungkan
masyarakat dengan sistem kesejahteraan sosial dan sistem kesehatan sehingga
membuat model CBR dalam konteks ini sudah terukur.

CBR dalam pengaturan sumber daya yang rendah dapat dengan mudah
digunakan untuk mengatasi hambatan ekonomi, geografis dan budaya untuk
pengiriman rehabilitasi untuk orang dengan skizofrenia (Balaji et al., 2012; Wang
et al., 2013). Ini melibatkan partisipasi aktif dari pasien, caregiver dan petugas
kesehatan primer untuk perawatan orang dengan skizofrenia (Chatterjee et al.,
2003). Model CBR dapat digunakan untuk menyediakan rehabilitasi bagi orang
dengan skizofrenia dalam pengaturan sumber daya rendah .

Dua kegiatan utama yang digunakan studi ini sebagai CBR adalah
pendidikan jasmani dan pelatihan keterampilan sosial. Intervensi ini sejalan
dengan intervensi yang direkomendasikan oleh PORT (Lehman et al., 2004;
Dixon et al., 2010). Studi sebelumnya telah menunjukkan bahwa psikoedukasi
meningkatkan pengetahuan (Thara et al., 2005; Hou dan Bai, 2008; Hasan et al.,
2014), mengurangi beban keluarga (Hasan et al., 2014), menurunkan tingkat
kekambuhan (Chen et al. ., 2002), dan meningkatkan kualitas hidup dan gejala
klinis orang dengan skizofrenia (Hasan et al., 2014). Psikedukasi tanpa pelatihan
keterampilan sosial juga telah ditunjukkan dalam pengaturan intervensi agar
efektif dalam peningkatan hasil intervensi pada orang dengan skizofrenia
(Marchira et al., 2018, 2016; Marchira et al., 2017). Pelatihan keterampilan sosial
telah ditunjukkan dalam penelitian sebelumnya untuk meningkatkan keterampilan
komunikasi dan fungsi sosial (Dixon et al., 2006). Aktivitas dalam model CBR
juga telah dilakukan dalam kelompok, memberikan kesempatan bagi orang
dengan skizofrenia untuk berinteraksi satu sama lain (De Silva et al., 2013).
Melibatkan orang dengan skizofrenia dalam kegiatan kelompok juga telah
terbukti meningkatkan fungsi sosial. Tujuan klinis terakhir dalam pengobatan
skizofrenia adalah maksimalitas produktivitas individu dan mencapai tujuan hidup
(Tandon et al., 2006). Rencana tim profesional kesehatan mental harus
komprehensif termasuk mengurangi gejala penyakit, keterampilan sosial dan
juga keterampilan adaptasi.
Efektivitas model CBR ini juga diyakinkan oleh perubahan gejala klinis,
yaitu skor PANSS; dalam penelitian ini, ada perubahan negatif dan positif dalam
PANSS. Hasil penelitian ini mendukung penelitian sebelumnya yang
menunjukkan pengaruh kognitif sosial pada gejala klinis (Thonseet al., 2018;
Tanet al., 2018; Li etal., 2018). Meningkatkan kapasitas sosial dengan CBR
terhadap orang dengan skizofrenia, akan memberikan efek signifikan terhadap
skor PANSS.
BAB IV
PENUTUP
5.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil dari artikel jurnal dapat disimpulkan bahwa
kombinasi dari latihan kemampuan psikoedukasi sosial dapat dilakukan
dalam rehabilitasi berbasis komunitas yang dilakukan di puskesmas
dengan sumberdaya minimal. Pada penelitian didapatkan bahwa
ketersediaan sumber daya komunitas memiliki pengaruh dan mampu
memberikan contoh pada tingkat rehabilitasi yang lebih tinggi untuk
orang-orang dengan skizofrenia di Indonesia.

5.2 Saran
5.2.1 Bagi Penulis
Dalam jurnal disebutkan bahwa penelitian dilakukan selama 16
minggu, hal ini dirasakan kurang optimal karena merupakan waktu yang
cukup singkat untuk meneliti komunitas secara keseluruhan, dimana pada
komunitas diperlukan penelitian yang lebih mendetail pada aspek bio,
psiko, sosio dan spiritual sedangkan pada jurnal ini belum terlalu
dijelaskan terkait beberapa faktor yang mempengaruhinya. Hal ini juga
dirasakan oleh peneliti pada batasan penelitian
5.2.2 Bagi Tenaga Kesehatan/Masyarakat
Jurnal ini dilaksanakan di Yogyakarta, Indonesia sehingga memiliki
kultur dan budaya yang tidak jauh berbeda dengan wilayah di bagian
Indonesia lainnya sehingga bisa diimplementasikan di wilayah yang lain.
Pada penelitian juga disebutkan bahwa kegiatan ini memiliki hasil yang
positif sehingga bisa dijadikan pertimbangan untuk pemangku jabatan di
daerah lain terutama yang memiliki masalah yang sama untuk
mengadopsi di wilayahnya masing-masing

Anda mungkin juga menyukai