Anda di halaman 1dari 39

LAPORAN PENDAHULUAN

DAN KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN STROKE

Oleh :
ELYS CAHYANI
07011b014

PROGRAM STUDI PROFESI NERS


FAKULTAS KEPERAWATAN
UNIVERSITAS NGUDI WALUYO
2017
BAB I
KONSEP TEORI

A. Pengertian Stroke
Stroke adalah serangkaian kejadian neurologist yang terjadi bila aliran darah arteri
terganggu ke otak atau di otak terganggu. Cedera cerebrovaskuler atau stroke adalah awitan
deficit neurologis yang berhubungan dengan penurunan aliran darah cerebral yang di
sebabkan oleh oklusi atau stenosis pembuluh darah embolisme atau hemorargik, yang
menyebabkan iskhemik otak. Dari pengertian di atas penulis menyimpulkan bahwa
stroke/cerebrovaskuler adalah defisit neurologis yang berakibat pada hilangnya fungsi otak
yang timbul secara mendadak karena adanya gangguan suplai darah ke bagian otak
(Dewanto, dkk, 2009)
Stroke adalah syndrom klinis awal timbulnya mendadak, progresi berupa defisit
neurologi, fokal dan global, yang berlangsung 24 jam atau langsung menimbulkan kematian
dan semata-mata di sebabkan oleh gangguan perdaran darah otak non traumatik (Rizaldy,
2010).
Stroke adalah sebagai gejala klinis yang muncul akibat pembuluh darah jantung
(kardiovaskular) yang bermasalah, penyakit jantung, atau keduanya, secara bersamaan
(Wardhana, 2011).
Stroke merupakan menifestasi gangguan saraf umum, yang timbul secara mendadak
dalam waktu yang singkat, yang diakibatkan gangguan aliran darah ke otak akibat
penyumbatan (ischemic stoke) atau perdarahan (hemoragic stroke) (Auryn, 2007).
Bila hal ini terjadi, maka fungsi kontrol ke bagian tubuh tertentu akan terganggu atau
rusak, maka kelumpuhan pada bagian tubuh tertentuakan timbul. Tingkat keparahan serangan
stroke untuk tiap individu tidaklah sama, tergantung pada bagian otak yang rusak. Apabila
gangguan aliran darah ke otak terjadi pada luasan yang kecil, maka dampak stroke yang
terjadi ringan dan kemungkinan fungsi kontrol otak dapat segera pulih. Namun apabila
gangguan aliran darah ke otak meliputi daerah yang luas, maka dampak stroke bias berakibat
fatal, cacat menetap dan sulit untuk pulih kembali, bahkan tidak tertutup kemungkinan dapat
menyebabkan kematian.
B. Klasifikasi Stroke
Terjadinya serangan stroke secara garis besar stroke akan dibahas menjadi 2 sub
menurut Wardhana (2011) yang terdiri atas :
1. Stroke iskemik
Serangan stroke iskemik terjadi pada otak yang mengalami gangguan pasokan
darah yang disebabkan karena penyumbatan pada pembuluh darah otak. Penyumbatnya
adalah "plak" atau timbunan lemak yang mengandung kolesterol yang ada dalam darah.
Penyumbatan bisa terjadi pada pembuluh darah besar (arteri karotis), pada pembuluh
darah sedang (arteri serebri) atau pembuluh darah kecil. Kalau penyumbatan terjadi pada
pembuluh darah kecil, dampak stroke yang ditumbulkan tidaklah parah. Sedangkan
penyumbatan yang terjadi pada pembuluh darah besar dan pembuluh darah sedang,
dampak stroke bisa fatal tergantung pada bagian otak yang rusak.
Penyumbatan pembuluh darah bisa terjadi karena dinding bagian dalam pembuluh
darah (arteri) menebal dan kasar, sehingga aliran darah tidak lancar dan tertahan. Oleh
karena darah berupa cairan kental, maka ada kemungkinan akan terjadi gumpalan darah
(trombosis), sehingga aliran darah jadi makin lambat dan lama-lama menjadi sumbatan
pembuluh darah. Akibatnya, otak mengalami kekurangan pasokan darah yang membawa
nutrisi dan oksigen yang diperlukan oleh darah, dan ini berarti serangan stroke. Apabila
kekurangan pasokan darah berlangsung lama, otak tidak mendapatkan nutrisi dan
oksigen, maka sel-sel jaringan otak akan rusak dan mati.

2. Stroke Hemoragik
Serangan stroke hemoragik terjadi pada otak yang mengalami kebocoran atau
pecahnya pembuluh darah di dalam otak, sehingga darah menggenangi atau menutupi
ruang-ruang jaringan sel otak. Adanya darah yang menggenangi dan menutupi jaringan
sel otak, akan menyebabkan kerusakan jaringan sel otak dan ini menyebabkan kerusakan
fungsi kontrol otak. Genangan darah bisa terjadi pada otak sekitar pembuluh darah yang
pecah (intracerebral hemorage) atau dapat juga genangan darah masuk ke dalam ruang
sekitar otak (subarachnoid hemorage). Apabila terjadi genangan darah secara
subarachnoid hemorage, dampak stroke sangat luas dan fatal bahkan sampai kepada
kematian.
Stroke hemoragik pada umumnya terjadi pada orang lanjut usia, karena
penyumbatan terjadi pada dinding pembuluh darah yang sudah rapuh (aneurisme).
Pembuluh darah yang sudah rapuh ini, akan mudah menggelembung dan pecah atau
bocor. Kerapuhan pembuluh darah ini disebabkan karena faktor usia (degeneratif), akan
tetapi bisa juga disebabkan karena faktor keturunan (genetik). Walaupun demikian,
keadaan yang sering terjadi adalah kerapuhan karena mengerasnya dinding pembuluh
darah akibat tertim-bun plak atau arteriosklerosis. Arteriosklerosis akan lebih parah liigi
apabila disertai dengan gejala tekanan darah tinggi dan hiktor-faktor penyebab hipertensi
Stroke iskemik dan stroke hemoragik akibat yang ditimbulkan sama, yaitu
hilangnya fungsi kontrol otak yang berakibat pada kelumpuhan bagian tubuh tertentu.
Kalau terjadinya serangan stroke bisa segera diketahui dan pertolongan pertama pada
stroke juga bisa segera diberikan, maka kemungkinan terjadinya kelumpuhan bisa
dikurangi dan bahkan bisa disembuhkan.Pertolongan pertama pada stroke tidak boleh
melewati "waktu emas" atau "golden time" yaitu sekitar 60 menit setelah serangan stroke
terjadi. Bila waktu emas terlewati, kerusakan otak akan semakin parah dan penyembuhan
dampak stroke menjadi semakin sulit, kelumpuhan menetap bagian tubuh tertentu akan
terjadi. Kejadian inilah yang sering menyebabkan serangan stroke menjadi lebih parah.

C. Etiologi
Menurut Rizaldy (2010), stroke biasanya di akibatkan dari salah sau tempat kejadian,
yaitu:
1. Trombosis ( Bekuan darah di dalam pembuluh darah otak atau leher).
2. Embolisme serebral (Bekuan darah atau material lain yang di bawa ke otak dari bagian
otak atau dari bagian tubuh lain).
3. Isiansia (Penurunan aliran darh ke arah otak).
4. Hemorargik cerebral (Pecahnya pembuluh darah serebral dengan perlahan ke dalam
jaringan otak atau ruang sekitar otak). Akibatnya adalah gangguan suplai darah ke otak ,
menyebabkan kehilangan gerak, pikir, memori, bicara, atau sensasi baik sementara atau
permanen.
Sedangkan faktor resiko pada stroke menurut Dewanto, dkk, 2009:
1. Hipertensi merupakan faktor resiko utama.
2. Penyakit kardiovaskuler(Embolisme serebral mungkin berasal dari jantung).
3. Kadar hematokrit normal tinggi(yang berhubungan dengan infark cerebral).
4. Kontrasepsi oral, peningkatan oleh hipertensi yang menyertai usia di atas 35 tahun dan
kadar esterogen yang tinggi.
5. Penurunan tekanan darah yang berlebihan atau dalam jangka panjang dapat menyebabkan
iskhemia serebral umum.
6. Penyalahgunaan obat tertentu. pada remaja dan dewasa muda
7. Konsultan individu yang muda untuk mengontrol lemak darah, tekanan darah, merokok
kretek dan obesitas.
8. Mungkin terdapat hubungan antara konsumsi alkohol dengan stroke.

Penyebab serangan stroke secara umum dapat dibagi menjadi 2 bagian menurut
Wardhana (2011) :
1. Penyebab internal yang irreversibel atau faktor tak terkendali.
Faktor risiko yang tidak bisa dihindari atau factor tak terkendali, adalah :
a. Faktor jenis kelamin
Menurut data statistic yang diperoleh dari hasil Riset Kesehatan Indonesia,
kaum pria berisiko terkena stroke kurang lebih 1,05 kali lebih banyak dari pada kaum
wanita.
No Jenis Kelamin Terkena Stroke (%)
1 Pria 6,10
2 Wanita 5,80
Sumber :Data Riset Kesehatan Indonesia th. 2007 / Ida
b. Faktor Usia
Berdasarkan hasil Data Hasil Kesehatan Indonesia, diperoleh data kaitan antara
serangan stroke dan usia, seperti yang ditampilkan pada di bawah ini.
No Usia (tahun) Terkena Stroke (%)
1 18 – 24 1,100
2 25 – 34 1,60
3 35 – 44 2,90
4 45 – 54 8,10
5 55 – 64 15,50
6 65 – 74 25,00
7 >75 29,70
Sumber :Data Riset Kesehatan Indonesia th. 2007 / Ida

c. Faktor Keturunan Riwayat Stroke


Faktor keturunan yang dimaksudkan di sini bukannya factor terkena serangan
strok sebagai factor genetika, akan tetapi factor pencetus atau factor risiko terkena
serangan stroke yang dapat menurun, misalnya factor yang berupa penyakit atau cacat
:
1. Sakit jantung
2. Sakit gula atau diabetes
3. Sakit tekanan darah tinggi
4. Cacat bawaan pembuluh darah
Disamping hal tersebut di atas, pola hidup atau gaya hidup dan pola makan
seringkali juga berpengaruh pada factor keturunan yang dapat menimbulkan serangan
stroke.
d. Faktor keturunan Ras/Etnik

2. Faktor Eksternal yang Reversible atau factor terkendali


Dikatakan bisa dikendalikan atau dihindari, karena factor pencetusnya dari luar
(eksternal) yang bisa dikendalikan atau dihindari dengan memakai obat tertentu dibantu
pola hidup dan pola makan yang baik.
a. Kadar kolesterol darah
Penebalan dinding dalam pembuluh darah dapat menyebabkan terjadinya sumbatan
aliran darah ke otak akan terjadi serangan stroke.
b. Kadar gula darah
Penderita diabetes mellitus yang disingkat : “DM” kemungkinan akan mendapat
serangan stroke 1,5 – 3 kali dibandingkan dengna orang yang tidak kena DM.
Seorang penderita diabetes pada usia 50 – 60 tahun, kemungkinan akan mendapat
serangan stroke 3 kali lipat dari biasanya.

c. Kebiasaan merokok
Rokok dapat memicu peningkatan produksi fibrinogen, yaitu faktor penggumpalan
darah yang merangsang stroke karena merokok.
d. Kebiasaan minum alkohol
e. Kebiasaan memakai obat-obatan terlarang
f. Penyakit tekanan darah tinggi (hipertensi)
g. Penyakit jantung
h. Infeksi
i. Cidera kepala dan leher

D. Tanda dan gejala


1. Berikut ini tanda-tanda serangan stroke awal yang perlu diketahui sebagai berikut:
a. Sering merasa kesemutan, atau geringgingan (bahasa jawa)
b. Merasa sulit berbicara, karena lidah terasa kaku,
c. Penglihatan tiba-tiba jadi kabur, atau bisa juga butasesaat.
d. Bila menulis, tulisan tidak teratur rapi (tidak karuan),bila melakukan tandatangan,
bentuk tandatangannyaberubah-ubah.
e. Kalau memegang benda, benda yang dipegang terlepastanpa disadari.
f. Sulit memasukkan benang ke lobang jarum, dan jugakadang-kadang sulit
memasukkan kancing baju kelubangnya.
g. Kalau memakai sandal, seringkali sandal terlepas tanpadisadari.
h. Sulit melepaskan sandal dengan mengibaskannya, tapiharus dilepas dengan
bantuan tangan.
i. Tiba-tiba lupa sesaat, misalnya lupa nama isteri/suami,atau lupa nama anak, atau
iupa nama teman.
j. Kadang-kadang tekanan darah jadi tinggi.
k. Rasa nyeri di betis pada waktu berjalan.
l. Rasa pusing di kepala sesaat kemudian hilang dengan sendirinya.
m. Sakit kepala pada waktu dini hari pada saat terbangun.
n. Sakit kepala berat yang hilang bila diobati.
o. Gangguan penglihatan pada saat merrmtar leher.
p. Rasa mual, pusing dan pingsan tanpa sebab yang jelas.
q. Merasa bingung sejenak, kemudian hilang dengan cepat.
r. Terasa ada suara mendengung atau mendesing di dalamtelinga.
2. Tanda-tanda serangan stroke susulan tersebut dapat bersifat :
a. Sesaat, artinya tanda-tanda serangan stroke susulan hanya berlangsung sebentar,
hanya beberapa menit sampai dengan beberapa jam saja setelah itu tanda-tanda
serangan stroke menghilang tanpa harus diobati. Bila hal ini terfadi, maka
serangan stroke tersebut dinamakan serangan otak selintas atau "Transient
Ischemic Attact" (TIA) dan peristiwa ini harus diwaspadai, karena serangan stroke
yang sama akan terjadi lagi dalam waktu tidak terlalu lama, bisa terjadi dalam
hitungan jam, hari, minggu atau beberapa bulan kemudian dan dampaknya akan
lebih berat. Berhati-hatilah bila ada tanda-tanda terserang TIA.
b. Sementara, artinya tanda-tanda serangan stroke susulan berlangsung agak lama
bisa lebih dari 24 jam. Tanda-tandanya sudah tampak jelas, sehingga dokter
dengan mudah mengatakan "anda terkena stroke" dansegera dibawa ke rumah
sakit untuk mendapatkan perawatan lebih lanjut
c. Serius, artinya tanda-tanda serangan stroke makin lama makin berat dan ini
disebabkan karena adanya penyum-batan pada pembuluh darah yang menuju ke
otak. Dampak yang ditimbulkan kerap kali sudah menetap atau menimbulkan
cacat permanen. Seperti sudah dijelaskan di muka, tanda-tanda serangan stroke
tidak harus terjadi semua secara bersamaan, bisa hanya muncul salah satu tanda,
dapat juga timbul dua atau lebih tanda-tanda serangan stroke.

3. Tanda Pasti Serangan Stroke


Dan sekian banyak tanda-tanda serangan stroke baik serangan stroke awal
maupun serangan stroke lanjutan, ada tanda pasti serangan stroke yang perlu diingat
yaitu: TSB. Apa itu TSB? TSB adalah singkatan dari tanda-tanda pasti bahwa telah
terjadi serangan stroke, yaitu :
T = tangan, apabila kedua lengan tangan tidak bisa diangkat sejajar dengan bahu -
tanda pasti terkena serangan stroke!
S = senyum, apabila diminta tersenyum, senyum nampak miring atau muka tampak
perot atau mencong - tanda pasti terkena serangan stroke!
B = bicara, apabila diminta mengucapkan kalimat atau kata-kata berikut: "kering-
kerontang, kurus-kering, kerupuk-keripik, kira-kira, kerut-kerut....,." tidak bisa
diucapkan sempurna, lidah jadi cedal atau pelo - tanda pasti terkena serangan stroke.

E. Gambaran Klinis
Secara umum gangguan pembuluh darah otak atau sroke merupakan sirkulasi serebral
yang dapat disebabkan karena trombus, embolus dan perdarahan serebral. Embolus dapat
merupakan akibat bekuan darah plek aorta matosa fragmen, lemak dan udara. embolus pada
otak kebanyakan berasal dari jantung, sekunder terhadapinfark miokard atau fibrilasi atrium,
Jika etiologi stroke adalah hemorargi maka faktor pencetusnya biasanya adalah hipertensi.
Abnormalitas vaskuler seperti Malformasi Arteri Venera (MAV) dan aneurisma serbral lebih
rentan terhadap ruptur dan menyebabkan hemorargia pada hipertensi (Rizaldy, 2010).
Pada stroke trombosis atau embolik bagian otak yang mengalami iskhemik atau infark
sulit ditentukan. Ada peluang dimana stroke akan meluas setelah serangan pertama dapat
terjadi edema serebral dan peningkatan intra kranial(PTIK) herniasai dan kematian setelah
trombolitik terjadi pada area yang luasnya saat serangan, karena stroke trombolitik banyak
terjadi karena arterosklerosis, maka ada resiko terjadi stroke untuk masa mendatang. Pada
pasien yang sudah pernah mengalami stroke embolitik pasien juga mengalami atau
mempunyai kasus untuk mengalami stroke jika penyebabnya tidak ditangani. Jika luas
jaringan otak yang rusak akibat stroke hemorargik tidak besar dan bukan pada tempat yang
vital, maka pasien dapat pulih dengan (Dewanto, dkk, 2009).
Defisit minimal. Jika hemorargik luas terjadi pada daerah yang vital, pasien mungkin
tidak dapat pulih

F. Patofisiologi
Pada keadaan fisiologis normal, aliran darah pada otak selalu tetap yaitu 50 ml/ menit
/ 100 gr otak. Hal ini terjadi karena auto regulasi yang mengembangkan arteri pada waktu
hipotensi yang menguncup waktu hipertensi. Apabila tekanan darah tinggi terus menerus
terjadi maka dapat menimbulkan perubahan atroklerotik karena perfusi dapat menyebabkan
perdarahan intra kranial. Ruptur arteri juga dapat menyebabkan perdarahan yang akan
menimbulkan ekstavasasi darah ke jaringan otak sekitarnya. Darah yang merembes ini dapat
menekan, mengiritasi, dan menimbulkan fase spasme arteri hemisfer otak (Dewanto, dkk,
2009).
Ruptur arteri juga dapat mengakibatkan terhentinya aliran darah sehingga timbul
iskemik focal dan infark jaringan otak. Daerah ini akan mengalami defisit neurologis yang
berupa hemiparalisis. Keluarnya darah yang mendadak dari pembuluh darah otak dapat
meningkatkan tekanan darah cerebrospinalis, hilang kesadaran maupun gegar otak. Koma
terjadi karena apabila daerah ekstravasal terjadi hematoma yang menimbulkan penekanan
pada seluruh isi kranial (Rizaldy, 2010).

G. Pemeriksaan Penunjang
Menurut pemeriksaan diagnostik pada pasien dengan masalah stroke menurut
Batticaca (2008) meliputi sebagai berikut :
1. Angiografi Serebral
Membantu menentukan penyebab daristroke secara specific seperti perdarahan artriovena
atau rupture dan untuk mencari sumber perdarahan seperti aneurisma atau malformasi
vaskuler.
2. Lumbal Pungsi
Tekanan yang meningkat dan disertai bercak darah pada cairan lumbal menunjukan
adanya hemoragi pada subarachnoid atau perdarahan pada intra cranial. Peningkatan
jumlah protein menunjukan adanya proses inflamasi. Hasil likour merah biasanya
dijumpai pada perdarahan yang massif, sedangkan perdarahan yang kecilwarna likour
masih normal (xantrkrom) sewaktu hari-hari pertama.
3. CT Scan
Pemindaian ini memperlihatkan secara spesifik letak edema, posisi hematoma, adanya
jaringan orak yang infark atau iskemia, dan posisi secara pasti. Hasil pemeriksaannya
biasanya di dapatkan hiperdens fokal, kadang pemadatan terlihat diventrikel, atau
menyebar dipermukaan otak.

4. MRI
MRI (Magnetic Imaging Resonance) menggunakan gelombang magnetic untuk
menentukan posisi, besar dan luas terjadinya perdarahan otak. Hasil pemeriksaan
biasanya di dapatkan di daerah yang mengalami lesi dan infark akibat hemoragik.
5. USG Doppler
Untuk mengidentifikasi adanya penyakit arteriovena (masalah sistem karotis)
6. EEG
Pemeriksaan ini bertujuan untuk melihat masalah yang timbul dan dampak dari jaringan
yang infark sehingga menurunya impuls listrik dalam jaringan otak.
7. Pemeriksaan laboratorium
a. Pemeriksaan darah rutin
Pemeriksaan kimia darah : pada stroke akut dapat terjadi hiperglikemi dan kemudian
berangsur menurun
b. Pemeriksaan darah lengkap : untuk mencari kelaina pada daerah itu sendiri

H. Komplikasi
Komplikasi pada penderita stroke menurut Nanda (2013):
1. Dini (0-48jam)
Edema serebri, defisit neurologi cenderung memberat, dapat mengakibatkan peningkatan
tekanan intra kranial, hibernasi dan akhirnya menimbulkan kematian.
2. Jangka pendek (1-14 hari)
a. Pneumonia akibat immobilisasi lama
b. Infark miokard
c. Emboli paru, cenderung terjadi 7-14 hari pasca stroke, seringkali terjadi pada saat
penderita mulai melakukan mobilisasi.
d. Jangka panjang (>14 hari)
1) Stroke rekuren
2) Infark miokard

I. Penatalaksanaan Medis Dan Keperawatan


1. Penatalaksanaan medis umum dari cidera cerebrovaskuler atau stroke adalah:
a. Farmakoterapi : Agen antihipertensi, antikoagulan (untuk stroke yang disebabkan
thrombus), kortikosteroid untuk mengurangi edema cerebral, asma aminokaproik
(Amicar) untuk perdarahan subarachnoid.
b. Pembedahan endarterektomi : eksisi tunika intima arteri yang menebal dan atero
matosa ( untuk sumbatan karotis yang di sebabkan oleh arterosklerosis).
c. Rehabilitasi
Rehabilitasi merupakan bagian penting dalam proses pemulihan stroke. Tujuan
rehabilitasi ini adalah untuk menolong penderita stroke untuk memperoleh kembali
apa yang mungkin dapat dipertahankan untuk memaksimalkan fungsi tubuh pada
penderita stroke (Stroke and Heart Foundation, 2010).
Lumbantobing (2004) menyatakan bahwa tujuan rehabilitasi ialah menjaga
atau meningkatkan kemampuan jasmani, rohani, keadaan ekonomi dan kemampuan
kerja semaksimal mungkin. Berbagai usaha dilakukan untuk mencapai tujuan ini,
diantaranya terapi fisik/ fisioterapi, latihan bicara, latihan mental, terapi okupasi,
psikoterapi , memberi alat bantu, ortotik prostetik, dan olah raga. Bentuk tindakan di
atas tentunya disesuaikan dengan berat ringan cacat, bentuk cacat, kemampuan atau
tingkat mental penderita.
Young & Forster (2007) menyatakan bahwa penanganan rehabilitasi
merupakan pendekatan multidisiplin, beberapa ahli di berbagai bidang bekerja sama,
misalnya dokter keluarga, ahli rehabilitasi medik, ahli saraf, perawat dan anggota
keluarga. Koordinator tindakan rehabilitasi ini sebaiknya dipegang oleh dokter
keluarga, yang lebih banyak mengetahui penderita, keluarganya, latar belakang
pendidikannya, serta tugas jabatan. Dokter keluarga dapat bertidak sebagai
motivator, memberi bimbingan dan petunjuk kepada penderita dan keluarganya
(Dewanto, dkk, 2009).

2. Penatalaksanaan keperawatan
a. Berusaha menstabilkan tanda – tanda vital
b. Berusaha menemukan dan memperbaiki aritmia jantung
c. Merawat kandung kemih, sedapat mungkin jangan memakai kateter
d. Menempatkan pasien dalam posisi yang tepat, harus dilakukan secepat mungkin
pasien harus dirubah posisi setiap 2 jam dan dilakukan latihan-latihan gerak pasif

3. Perawatan Penderita Stroke Dirumah


Menurut Batticaca (2008), penanganan dan perawatan penderita stroke di
rumah antara lain, berobat secara teratur ke dokter, tidak menghentikan atau
mengubah dan menambah dosis obat tanpa petunjuk dokter, meminta bantuan petugas
kesehatan atau fisioterapi untuk memulihkan kondisi tubuh yang lemah atau lumpuh,
memperbaiki kondisi fisik dengan latihan teratur di rumah, membantu kebutuhan
klien, memotivasi klien agar tetap bersemangat dalam latihan fisik, memeriksakan
tekanan darah secara teratur, dan segera bawa klien ke dokter atau rumah sakit jika
timbul tanda dan gejala stroke.
Vallery (2006) dalam Agustina,dkk (2009) mengemukakan bahwa pasien dan
orang yang merawat/ keluarga perlu menyadari semua tantangan dan tanggung jawab
yang akan dihadapi sebelum meninggalkan rumah sakit atau fasilitas rehabilitasi lain.
Meskipun sebagian besar pasien telah mengalami pemulihan yang cukup bermakna
sebelum di pulangkan, sebagian masih memerlukan bantuan untuk turun dari tempat
tidur, mengenakan pakaian, makan, dan berjalan. Keluarga sebaiknya mengetahui
tentang layanan komunitas lokal yang dapat memberikan bantuan, termasuk dokter
keluarga, perawat kunjungan rumah, ahli fisioterapi, petugas sosial, ahli terapi wicara,
dan layanan relawan. Kebutuhan pasien pasca rawat dapat meliputi kebutuhan
fisiologis, psikologis, sosial dan spiritual.
Berikut ini merupakan perawatan penderita stroke yang dapat dilakukan oleh
keluarga di rumah.
a. Jika pasien selalu membuka mata dalam jangka panjang, maka mata mereka dapat
mengering dan menyebabkan infeksi dan ulkus kornea. Untuk mencegah hal ini,
keluarga dianjurkan penggunaan pelumas, salep, atau air mata buatan yang dapat
dibeli bebas. Penderita stroke yang tidak dapat minum tanpa bantuan harus
membersihkan mulutnya dengan sikat lembut yang lembab atau kapas penyerap
sekitar satu jam. Perawatan mulut yang teratur sangat penting, terutama untuk
penderita yang sulit atau tidak dapat menelan (Edmund, 2007).
b. Menangani masalah makan dan minum
Penderita stroke memerlukan makanan yang memadai, lezat, dan seimbang
dengan cukup serat, cairan (2 liter atau lebih sehari), dan miktonutrien. Jika nafsu
makan penderita berkurang maka penedrita stroke dapat diberi makanan ringan
tinggi - kalori yang lezat dalam jumlah terbatas setiap 2 -3 jam, bersama dengan
minuman suplemen nutrisional. Penderita stroke harus makan dalam posisi duduk,
bukan berbaring, untuk mencegah tersedak dan pneumonia aspirasi. Keluarga
dapat elakukan modifikasi dalam penggunaan alat makan penderita stroke, seperti
meletakkan antiselip pada alas piring atau menggunakan piring yang cekung
sehingga makanan tidak mudah tumpah. Keluarga dapat juga menyediakankan
alat - alat bantu untuk penderita stroke yang makan dengan satu tangan, seperti
mangkuk telur yang dapat ditempelkan pada meja
c. Kepatuhan program pengobatan di rumah
Pelayanan kesehatan berperan dalam upaya promotif, pencegahan, diagnosa
dini dan pengobatan, pembatasan kecacatan, serta pemulihan (rehabilitasi) suatu
penyakit (Maryam, 2008). Dukungan keluarga diketahui sangat penting dalam
kepatuhan terhadap program pengobatan jangka panjang (Schatz, 1998 dalam
Stanley, 2006). Keluarga bertanggung jawab terhadap semua prosedur dan
pengobatan anggota keluarga yang sakit, seperti menggunakan obat menggunakan
alat - alat khusus, dan menjalankan latihan (Friedman, 2005).
d. Mengatasi Masalah Emosional dan Kognitif
Sebagian masalah emosional muncul segera setelah stroke, sebagai akibat
kerusakan di otak. Hampir 70% pasien stroke sedikit banyak mengalami masalah
emosional, misalnya reaksi sedih, mudah tersinggung, tidak bahagia, murung,
atau depresi. Terdapat bukti bahwa orang yang menderita depresi pasca stroke
memiliki kemungkinan tiga kali lebihbesar meninggal dalam 10 tahun
dibandingkan dengan penderita stroke tanpa depresi. Namun, jika penderita stroke
dan orang yang merawatnya menyadari masalah ini, biasanya ada hal - hal yang
dapat dikerjakan untuk mengatasi masalah tersebut (Lotta, 2006).
Ketidakmampuan seseorang untuk mengekspresikan dirinya sendiri akibat
masalah bahasa dapat menimbulkan sikap mudah marah. Masalah emosional lain
timbul pada tahap lebih belakangan, misalnya sewaktu pasien akhirnya menyadari
dampak penuh stroke atas kemandirian mereka. Orang yang pernah mengalami
stroke sangat rentan terhadap perubahan dalam situasi mereka, terutama jika
mereka akan meninggalkan rumah sakit atau saat mereka pertama kali keluar
rumah untuk berjalan - jalan. Ini merupakan reaksi fisiologis normal, dan
penderita stroke harus didorong untuk membahas kekhawatiran mereka akan
karier serta anggota keluarga sehingga masalah tersebut dapat diatasi sebanyak
mungkin (Lotta, 2006).
Pada sebagian besar kasus, masalah emosional mereda seiring waktu, tetapi
ketika terjadi, masalah itu dapat menyebabkan penderita stroke menolak terapi
atau kehilangan motivasi untuk menjalani proses rehabilitasi, yang dapat
memengaruhi pemulihan penderita. Masalah emosional reaktif ini sering dapat
dikurangi secara substansial dengan mendorong penderita stroke membicarakan
ketakutan dan kemarahan mereka. Penderita stroke harus merasa bahwa mereka
adalah anggota keluarga yang berharga. Penting bagi keluarga untuk
mempertahankan lingkungan rumah yang suportif, yang mendorong timbulnya
perhatian orang lain dan aktivitas waktu luang, misalnya membaca, memasak,
berjalan -jalan, berbelanja, bermain, dan berbicara.
Penderita stroke yang keluarganya atau orang yang merawatnya tidak
suportif dan yang memiliki kehidupan keluarga yang tidak berfungsi cenderung
memiliki prognosis lebih buruk dibandingkan dengan penderita lainnya. Sebagian
penderita stroke mungkin merasa nyaman jika mereka berbagi pengalaman
mereka dengan penderita stroke lain (Lotta, 2006). Masalah emosional penderita
stroke dapat diatasi dengan konseling individual atau terapi kelompok. Psikoterapi
juga dapat membantu sebagian penderita, misalnya mereka yang mengalami
apatis berat, depresi, tak tertarik atau menentang pengobatan. Jika masalahnya
menetap, terutama depresi, dokter mungkin menganjurkan obat antidepresan
(misalnya, fluoksetin dan amitriptilin) atau berkonsultasi dengan psikiater atau
ahli psikologi klinis. Konsultasi dini biasanya dianjurkan untuk penderita stroke
yang mengalami depresi berat, terutama mereka yang mungkin ingin bunuh diri
(Dewanto, dkk, 2009)
Masalah kognitif pada penderita stroke mencakup kesulitan berpikir,
memusatkan perhatian, mengingat, membuat keputusan, menggunakan nalar,
membuat rencana, dan belajar. Hal - hal ini sering menjadi komplikasi stroke,
mengenai sekitar 64% dari penderita stroke yang selamat dan menyebabkan
demensia pada 1 dari 5 penderita stroke usia yang lebih lanjut. Namun, bagi
banyak penderita stroke, masalah kognitif yang ringan cenderung akan mereda
seiring dengan waktu, dan kemampuan mereka akan pulih sepenuhnya. Jika
penderita stroke tidak dapat mengikuti instruksi di obat resep, orang yang
merawat perlu menjamin bahwa penderita stroke minum obat dalam jumlah dan
saat yang tepat. Ada baiknya dibuat bagan atau tabel tentang aktivitas harian,
obat, dan kemajuan penderita stroke pada selembar kertas. Penderita stroke
dengan gangguan kognitif yang parah, misalnya demensia, jarang pulih sempurna
dan dapat bertambah buruk seiring dengan waktu. Hal ini terutama berlaku pada
orang berusia lanjut yang pernah mengalami beberapa kali stroke serta mengidap
penyakit - penyakit lain (John, 2004).
e. Pencegahan cedera/ jatuh
Dewanto, dkk, 2009 menyatakan faktor risiko yang mempermudah pasien
jatuh antara lain masalah ayunan langkah dan keseimbangan, obat - obat sedatif,
kesulitan melakukan aktivitas sehari - hari, inaktivitas, inkontinensia, gangguan
penglihatan, dan berkurangnya kekuatan tungkai bawah. Yudi (2007) menyatakan
bahwa indikasi terbaik bahwa penderita stroke siap bergerak ke tingkat mobilitas
vang lebih tinggi adalah kemampuan menoleransi tingkat mobilitas yang telah
mereka capai.
Demi alasan keamanan, sebaiknya ada satu atau dua orang asisten berdiri
di samping penderita stroke dan membantu penderita, terutama pada tahap - tahap
awal. Ketika berdiri atau berjalan, penderita stroke sebaiknya berupaya
menggunakan tungkai mereka yang lumpuh dengan menopangkan beban badan
mereka pada tungkai tersebut sebisa mungkin dan dengan memindahkan beban
badan dari satu sisi tubuh ke sisi lainnya. Pada awalnya, penderita stroke harus
mencoba hanya beberapa langkah kecil. Sesi latihan yang sering dan singkat,
dengan peningkatan gerakan secara perlahan, merupakan cara yang paling aman
dan efektif. Jika penderita stroke telah yakin dapat berjalan di lantai yang datar,
mereka dapat mulai naik tangga, tetapi tetap memperhatikan bahwa susunan
tangganya telah aman dan kuat. Selain itu,
Graham (2006) menyatakan jika penderita stroke menggunakan kursi roda,
sebaiknya rumah mereka memiliki tangga, dibangun jalan masuk landai dari kayu
atau beton. Keluarga juga mungkin perlu memperlebar pintu - pintu rumah agar
penderita stroke dapat bergerak bebas di dalam rumah. Pemasangan kabel listrik
yang aman, pegangan tangan di kamar mandi dan adaptasi rumah lainnya juga
dapat membantu penderita stroke.

KONSEP LANJUT USIA (LANSIA)


1. Definisi Lansia
Usia lanjut dikatakan sebagai tahap akhir perkembangan pada daur kehidupan manusia.
Sedangkan menurut Pasal 1 ayat (2), (3), (4) UU No. 13 Tahun 1998 tentang kesehatan
dikatakan bahwa usia lanjut adalah seseorang yang telah mencapai usia lebih dari 60 tahun
(Maryam dkk, 2008).
Berdasarkan defenisi secara umum, seseorang dikatakan lanjut usia (lansia) apabila
usianya 65 tahun ke atas. Lansia bukan suatu penyakit, namun merupakan tahap lanjut dari
suatu proses kehidupan yang ditandai dengan penurunan kemampuan tubuh untuk
beradaptasi dengan stres lingkungan. Lansia adalah keadaan yang ditandai oleh kegagalan
seseorang untuk mempertahankan keseimbangan terhadap kondisi stres fisiologis. Kegagalan
ini berkaitan dengan penurunan daya kemampuan untuk hidup serta peningkatan kepekaan
secara individual (Efendi, 2009).

2. Batasan Umur Lanjut Usia


Menurut pendapat berbagai ahli dalam Efendi (2009) batasan-batasan umur yang
mencakup batasan umur lansia adalah sebagai berikut:
a. Menurut Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1998 dalam Bab 1 Pasal 1 ayat 2 yang
berbunyi “Lanjut usia adalah seseorang yang mencapai usia 60 (enam puluh) tahun ke
atas”.
b. Menurut World Health Organization (WHO), usia lanjut dibagi menjadi empat kriteria
berikut : usia pertengahan (middle age) ialah 45-59 tahun, lanjut usia (elderly) ialah 60-
74 tahun, lanjut usia tua (old) ialah 75-90 tahun, usia sangat tua (very old) ialah di atas 90
tahun.
c. Menurut Dra. Jos Masdani (Psikolog UI) terdapat empat fase yaitu : pertama (fase
inventus) ialah 25-40 tahun, kedua (fase virilities) ialah 40-55 tahun, ketiga (fase
presenium) ialah 55-65 tahun, keempat (fase senium) ialah 65 hingga tutup usia.
d. Menurut Prof. Dr. Koesoemato Setyonegoro masa lanjut usia (geriatric age): > 65 tahun
atau 70 tahun. Masa lanjut usia (getiatric age) itu sendiri dibagi menjadi tiga batasan
umur, yaitu young old (70-75 tahun), old (75-80 tahun), dan very old ( > 80 tahun)
(Efendi, 2009). 
3. Klasifikasi Lansia
Klasifikasi berikut ini adalah lima klasifikasi pada lansia berdasarkan Depkes RI
(2003) dalam Maryam dkk (2009) yang terdiri dari : pralansia (prasenilis) yaitu seseorang
yang berusia antara 45-59 tahun, lansia ialah seseorang yang berusia 60 tahun atau lebih,
lansia resiko tinggi ialah seseorang yang berusia 70 tahun atau lebih/seseorang yang berusia
60 tahun atau lebih dengan masalah kesehatan, lansia potensial ialah lansia yang masih
mampu melakukan pekerjaan dan/atau kegiatan yang dapat menghasilkan barang/jasa, lansia
tidak potensial ialah lansia yang tidak berdaya mencari nafkah, sehingga hidupnya
bergantung pada bantuan orang lain.

4. Karakteristik Lansia
Lansia memiliki karakteristik sebagai berikut: berusia lebih dari 60 tahun (sesuai
dengan pasal 1 ayat (2) UU No.13 tentang kesehatan), kebutuhan dan masalah yang
bervariasi dari rentang sehat sampai sakit, dari kebutuhan biopsikososial sampai spiritual,
serta dari kondisi adaptif hingga kondisi maladaptif, lingkungan tempat tinggal bervariasi
(Maryam dkk, 2008).

5. Tipe Lansia
Beberapa tipe pada lansia bergantung pada karakter, pengalaman hidup, lingkungan,
kodisi fisik, mental, sosial, dan ekonominya (Nugroho 2000 dalam Maryam dkk, 2008). Tipe
tersebut dijabarkan sebagai berikut.
a. Tipe arif bijaksana
Kaya dengan hikmah, pengalaman, menyesuaikan diri dengan perubahan zaman,
mempunyai kesibukan, bersikap ramah, rendah hati, sederhana, dermawan, memenuhi
undangan, dan menjadi panutan.
b. Tipe mandiri
Mengganti kegiatan yang hilang dengan yang baru, selektif dalam mencari pekerjaan,
bergaul dengan teman, dan memenuhi undangan.
c. Tipe tidak puas
Konflik lahir batin menentang proses penuaan sehingga menjadi pemarah, tidak sabar,
mudah tersinggung, sulit dilayani, pengkritik dan banyak menuntut.
d. Tipe pasrah
Menerima dan menunggu nasib baik, mengikuti kegiatan agama, dan melakukan
pekerjaan apa saja.
e. Tipe bingung
Kaget, kehilangan kepribadian, mengasingkan diri, minder, menyesal, pasif, dan acuh tak
acuh.
Tipe lain dari lansia adalah tipe optimis, tipe konstruktif, tipe independen
(ketergantungan), tipe defensife (bertahan), tipe militan dan serius, tipe pemarah/frustasi
(kecewa akibat kegagalan dalam melakukan sesuatu), serta tipe putus asa (benci pada diri
sendiri). 

6. Proses Penuaan
Penuaan adalah normal, dengan perubahan fisik dan tingkah laku yang dapat
diramalkan yang terjadi pada semua orang pada saat mereka mencapai usia tahap
perkembangan kronologis tertentu. Ini merupakan suatu fenomena yang kompleks
multidimensional yang dapat diobservasi di dalam satu sel dan berkembang sampai pada
keseluruhan sistem. (Stanley, 2006).
Tahap dewasa merupakan tahap tubuh mencapai titik perkembangan yang maksimal.
Setelah itu tubuh mulai menyusut dikarenakan berkurangnya jumlah sel-sel yang ada di
dalam tubuh. Sebagai akibatnya, tubuh juga akan mengalami penurunan fungsi secara
perlahan-lahan. Itulah yang dikatakan proses penuaan (Maryam dkk, 2008).
Aging process atau proses penuaan merupakan suatu proses biologis yang tidak dapat
dihindari dan akan dialami oleh setiap orang. Menua adalah suatu proses menghilangnya
secara perlahan-lahan (gradual) kemampuan jaringan untuk memperbaiki diri atau
mengganti serta mempertahankan struktur dan fungsi secara normal, ketahanan terhadap
cedera, termasuk adanya infeksi.
Proses penuaan sudah mulai berlangsung sejak seseorang mencapai dewasa, misalnya
dengan terjadinya kehilangan jaringan pada otot, susunan saraf, dan jaringan lain sehingga
tubuh ‘mati’ sedikit demi sedikit. Sebenarnya tidak ada batasan yang tegas, pada usia berapa
kondisi kesehatan seseorang mulai menurun. Setiap orang memiliki fungsi fisiologis alat
tubuh yang sangat berbeda, baik dalam hal pencapaian puncak fungsi tersebut maupun saat
menurunnya. Umumnya fungsi fisiologis tubuh mencapai puncaknya pada usia 20-30 tahun.
Setelah mencapai puncak, fungsi alat tubuh akan berada dalam kondisi tetap utuh beberapa
saat, kemudian menurun sedikit demi sedikit sesuai dengan bertambahnya usia (Mubarak,
2009).
Pengaruh proses menua dapat menimbulkan berbagai masalah, baik secara biologis,
mental, maupun ekonomi. Semakin lanjut usia seseorang, maka kemampuan fisiknya akan
semakin menurun, sehingga dapat mengakibatkan kemunduran pada peran-peran sosialnya
(Tamher, 2009). Oleh karena itu, perlu perlu membantu individu lansia untuk menjaga harkat
dan otonomi maksimal meskipun dalam keadaan kehilangan fisik, sosial dan psikologis
(Smeltzer, 2001).

7. Teori-Teori Proses Penuaan


Menurut Maryam, dkk (2008) ada beberapa teori yang berkaitan dengan proses
penuaan, yaitu : teori biologi, teori psikologi, teori sosial, dan teori spiritual.
a. Teori biologis
Teori biologi mencakup teori genetik dan mutasi, immunology slow theory, teori stres,
teori radikal bebas, dan teori rantai silang.
1) Teori genetik dan mutasi
Menurut teori genetik dan mutasi, semua terprogram secara genetik untuk spesies-
spesies tertentu. Menua terjadi sebagai akibat dari perubahan biokimia yang
diprogram oleh molekul-molekul DNA dan setiap sel pada saatnya akan mengalami
mutasi.
2) Immunology slow theory
Menurut immunology slow theory, sistem imun menjadi efektif dengan bertambahnya
usia dan masuknya virus ke dalam tubuh yang dapat menyebabkan kerusakan organ
tubuh.
3) Teori stres
Teori stres mengungkapkan menua terjadi akibat hilangnya sel-sel yang biasa
digunakan tubuh. Regenerasi jaringan tidak dapat mempertahankan kestabilan
lingkungan internal, kelebihan usaha, dan stres yang menyebabkan sel-sel tubuh lelah
terpakai.
4) Teori radikal bebas
Radikal bebas dapat terbentuk di alam bebas, tidak stabilnya radikal bebas (kelompok
atom) mengakibatkan oksidasi oksigen bahan-bahan organik seperti karbohidrat dan
protein. Radikal ini menyebabkan sel-sel tidak dapat melakukan regenerasi.
5) Teori rantai silang
Pada teori rantai silang diungkapkan bahwa reaksi kimia sel-sel yang tua
menyebabkan ikatan yang kuat, khususnya jaringan kolagen. Ikatan ini menyebabkan
kurangnya elastisitas kekacauan, dan hilangnya fungsi sel.
b. Teori psikologi
Perubahan psikologis yang terjadi dapat dihubungkan pula dengan keakuratan
mental dan keadaan fungsional yang efektif. Adanya penurunan dan intelektualitas yang
meliputi persepsi, kemampuan kognitif, memori, dan belajar pada usia lanjut
menyebabkan mereka sulit untuk dipahami dan berinteraksi.
Persepsi merupakan kemampuan interpretasi pada lingkungan. Dengan adanya
penurunan fungsi sistem sensorik, maka akan terjadi pula penurunan kemampuan untuk
menerima, memproses, dan merespons stimulus sehingga terkadang akan muncul
aksi/reaksi yang berbeda dari stimulus yang ada.
c. Teori sosial
Ada beberapa teori sosial yang berkaitan dengan proses penuaan, yaitu teori
interaksi sosial (social exchange theory), teori penarikan diri (disengagement theory),
teori aktivitas (activity theory), teori kesinambungan (continuity theory), teori
perkembangan (development theory), dan teori stratifikasi usia (age stratification theory).
1) Teori interaksi sosial
Teori ini mencoba menjelaskan mengapa lansia bertindak pada suatu situasi tertentu,
yaitu atas dasar hal-hal yang dihargai masyarakat. Pada lansia, kekuasaan dan
prestasinya berkurang sehingga menyebabkan interaksi sosial mereka juga berkurang,
yang tersisa hanyalah harga diri dan kemampuan mereka untuk mengikuti perintah.
2) Teori penarikan diri
Teori ini menyatakan bahwa kemiskinan yang diderita lansia dan menurunnya derajat
kesehatan mengakibatkan seorang lansia secara perlahan-lahan menarik diri dari
pergaulan di sekitarnya.
3) Teori aktivitas
Teori ini menyatakan bahwa penuaan yang sukses bergantung bagaimana seorang
lansia merasakan kepuasan dalam melakukan aktivitas serta mempertahankan
aktivitas tersebut lebih penting dibandingkan kuantitas dan aktivitas yang dilakukan.
4) Teori kesinambungan
Teori ini mengemukakan adanya kesinambungan dalam siklus kehidupan lansia.
Pengalaman hidup seseorang pada suatu saat merupakan gambarannya kelak pada
saat ia menjadi lansia. Hal ini dapat terlihat bahwa gaya hidup, perilaku, dan harapan
seseorang ternyata tidak berubah meskipun ia telah menjadi lansia.
5) Teori perkembangan
Teori perkembangan menjelaskan bagaimana proses menjadi tua merupakan suatu
tantangan dan bagaimana jawaban lansia terhadap berbagai tantangan tersebut yang
dapat bernilai positif ataupun negatif. Akan tetapi, teori ini tidak menggariskan
bagaimana cara menjadi tua yang diinginkan atau yang seharusnya diterapkan oleh
lansia tersebut.
6) Teori stratifikasi usia
Keunggulan teori stratifikasi usia adalah bahwa pendekatan yang dilakukan
bersifat deterministik dan dapat dipergunakan untuk mempelajari sifat lansia secara
kelompok dan bersifat makro. Setiap kelompok dapat ditinjau dari sudut pandang
demografi dan keterkaitannya dengan kelompok usia lainnya. Kelemahannya adalah
teori ini tidak dapat dipergunakan untuk menilai lansia secara perorangan, mengingat
bahwa stratifikasi sangat kompleks dan dinamis serta terkait dengan klasifikasi kelas
dan kelompok etnik.
7) Teori spiritual
Komponen spiritual dan tumbuh kembang merujuk pada pengertian hubungan
individu dengan alam semesta dan persepsi individu tentang arti kehidupan. 

8. Tugas Perkembangan Lansia


Lansia harus menyesuaikan diri terhadap perubahan fisik yang terjadi seiring
penuaan. Waktu dan durasi perubahan ini bervariasi pada tiap individu, namun seiring
penuaan sistem tubuh, perubahan penampilan dan fungsi tubuh akan terjadi. Perubahan ini
tidak dihubungkan dengan penyakit dan merupakan perubahan normal. Adanya penyakit
terkadang mengubah waktu timbulnya perubahan atau dampaknya terhadap kehidupan
sehari-hari.
Adapun tugas perkembangan pada lansia dalam adalah : beradaptasi terhadap
penurunan kesehatan dan kekuatan fisik, beradaptasi terhadap masa pensiun dan penurunan
pendapatan, beradaptasi terhadap kematian pasangan, menerima diri sebagai individu yang
menua, mempertahankan kehidupan yang memuaskan, menetapkan kembali hubungan
dengan anak yang telah dewasa, menemukan cara mempertahankan kualitas hidup (Potter &
Perry, 2009).

9. Morbiditas Dan Mortalitas Pada Usia Lanjut


Semakin bertambahnya usia seseorang maka semakin rentan pula orang tersebut
untuk terjangkit suatu penyakit. Sebenarnya bukan hanya orang tua saja yang perlu
khawatir, setiap orang mulai dari anak-anak juga harus selalu waspada terhadap serangan
penyakit yang mampu datang kapanpun hanya saja, dengan bertambah usia maka daya tahan
tubuh terhadap penyakit juga semakin berkurang apalagi ditambah dengan pola hidup yang
tidak sehat.
Salah satu penyakit yang siap menggerayangi para lansia adalah berbagai penyakit
yang termasuk dalam penyakit degeneratif. Penyakit degeneratif adalah penyakit yang
terjadi ataupun mengiringi dengan proses penuaan pada seseorang. Penyakit ini sering
terjadi ketika bertambahnya usia seseorang yang juga diakibatkan oleh berkurangnya atau
menurunnya fungsi organ tubuh manusia. Tubuh akan mengalami defisiensi produksi enzim
dan hormone imunodefisiensi, peroksida lipid, kerusakan sel, pembuluh darah, jaringan
protein dan kulit (penuaan) sehingga memunculkan berbagai penyakit degenerative.
Ada beberapa jenis penyakit degeneratif diantaranya adalah hipertensi,
hiperlipidemia, hypercholesterolemia, stroke, jantung koroner, kerusakan syaraf otak dalam
istilah lainnya pikun, arthritis rematoid, diabetes mellitus type 2, penuaan kulit, osteoporosis
dan berbagai penyakit lainnya. Penyakit degeneratif pada lansia ini selain disebabkan oleh
bertambahnya usia serta menurunnya fungsi organ tubuh juga mampu disebabkan oleh
berbagai hal lainnya seperti pola hidup yang tidak sehat karena kurangnya olah raga,
merokok, mengkonsumsi alcohol dan narkoba, kurang istirahat dan stress.
Selain itu juga dapat disebabkan karena banyak mengkonsumsi lemak jenuh yang
menyebabkan tingginya kadar kolesterol, banyak mengkonsumsi gula yang tidak diimbangi
dengan serat, berat badan yang diatas normal atau obesitas, terlalu banyak terkena paparan
zat kimia dan radikal bebas, banyak mengkonsumsi makanan instan dan penyedap (MSG)
serta banyak mengkonsumsi makanan teroksidasi yakni makanan yang dimasak dengan
minyak jlantah atau dimasak pada suhu tinggi dan makanan yang dibakar.
Salah satu jenis penyakit degeneratif yang memiliki resiko tingginya angka mortalitas
adalah stroke. Stroke merupakan penyebab kematian dan kecacatan yang utama di banyak
negara termasuk Indonesia. Pola penyebab kematian di rumah sakit yang utama dari
Informasi Rumah Sakit Departemen Kesehatan Republik Indonesia (2004) menyebutkan
bahwa stroke menempati urutan pertama sebagai penyebab kematian di rumah sakit. Di
Amerika Serikat, stroke merupakan penyebab kematian nomor tiga setelah penyakit jantung
dan kanker pada orang dewasa (National Stroke Association, 2009). Menurut American
Heart Association dalam Japardi (2002), insidensi penyakit stroke di Amerika Serikat
mencapai 500.000 pertahun. Di negara-negara berkembang, jumlah penderita stroke cukup
tinggi dan mencapai dua pertiga dari total penderita stroke di seluruh dunia (WHO, 2004).
Dari data Departemen Kesehatan R.I. (2009), prevalensi stroke di Indonesia mencapai
angka 8,3 per 1.000 penduduk. Daerah yang memiliki prevalensi stroke tertinggi adalah
Nanggroe Aceh Darussalam (16,6 per 1.000 penduduk) dan yang terendah adalah Papua
(3,8 per 1.000 penduduk). Dari 8,3 per 1.000 penderita stroke, 6 diantaranya telah didignosis
oleh tenaga kesehatan. Hal ini menujukkan sekitar 72,3% kasus stroke di masyarakat telah
terdiagnosis oleh tenaga kesehatan, namun angka kematian akibat stroke tetap tinggi.
Sampai saat ini stroke masih merupakan masalah kesehatan yang serius. Stroke
dengan serangannya yang akut dapat menyebabkan kematian dalam waktu singkat. Selain
itu stroke juga sebagai penyebab utama kecacatan fisik maupun mental pada usia produktif
dan usia lanjut (Gorelick, 1995). Dilihat dari kelompok umur, di Indonesia, penderita stroke
tersebut terbanyak pada kelompok umur yang produktif. Apabila mortalitas dan cacat yang
terjadi dapat diatasi maka penderita stroke yang produktif tersebut masih dapat meneruskan
kariernya untuk mendapatkan penghasilan dalam menghidupi keluarganya,
menyumbangkan pikiran dan darma baktinya kepada nusa dan bangsa. Dengan penanganan
stroke yang baik, cepat dan tepat, berarti dapat mengatasi berkurangnya sumber daya
manusia yang potensial dalam masyarakat Indonesia (Lamsudin, 2000).
Sejumlah faktor risiko stroke telah diketahui, baik yang dapat dimodifikasi maupun
yang tidak dapat dimodifikasi. Faktor risiko yang tidak dapat dimodifikasi adalah usia, jenis
kelamin, herediter dan ras/etnis, sedangkan faktor risiko yang dapat dimodifikasi adalah
riwayat stroke, hipertensi, penyakti jantung, DM, stenosis karotis, TIA, hiperkolesterol,
penggunaan kontrasepsi oral, obesitas, merokok, alkoholik, penggunaan narkotik, antibodi
anti fosfolipid, hiperurisemi, peninggian hematokrit dan peninggian kadar fibrinogen
(Kelompok Studi Serebovaskuler & Neurogeriatri Perdossi, 2001).
Obesitas merupakan suatu keadaan dengan akumulasi lemak yang tidak normal atau
berlebihan di jaringan adiposa sehingga dapat mengganggu kesehatan (Sugondo, 2009).
Obesitas dipengaruhi oleh lingkungan, kebiasaan makan, kurangnya kegiatan fisik, dan
kemakmuran. Pada zaman sekarang ini kelebihan berat badan ataupun obesitas sudah
menjadi hal biasa di dunia, baik di negara maju maupun di negara yang sedang berkembang.
Hal tersebut patut mendapat perhatian karena kelebihan berat badan dapat memacu kelainan
kardiovaskuler terutama stroke dan penyakit jantung, Diabetes, kelainan muskuloskeletal,
dan beberapa kanker (WHO, 2011).

10. Program Kesehatan Lanjut Usia


Puskesmas adalah unit terdepan dalam pelayanan kesehatan kepada masyarakat
secara menyeluruh, terpadu dan bermutu yang antara lain melakukan upaya pemberdayaan
masyarakat dalam rangka meningkatkan kemampuan masyarakat untuk hidup sehat, serta
sebagai pusat pengembangan dan peningkatan kesehatan masyarakat di wilayah kerjanya.
Saat ini Puskesmas diharapkan dapat melaksanakan berbagai macam program dalam bentuk
upaya kesehatan wajib dan pengembangan. Program pembinaan kesahatan lanjut usia
merupakan upaya kesehatan pengembangan puskesmas yang lebih mengutamakan upaya
promotif, preventif dengan tidak mengabaikan upaya kuratif dan rehabilitative. Upaya
Kesehatan bagi Lanjut Usia :
a. Upaya Promotif
Kegiatan promotif dilakukan kepada lanjut usia, keluarga ataupun masyarakat di
sekitarnya, antara lain berupa penyuluhan tentang perilaku hidup sehat, gizi untuk lanjut
usia, proses degeneratif seperti katarak, presbikusis dan lain-lain. Upaya peningkatan
kebugaran jasmani, pemeliharaan kemandirian serta produktivitas masyarakat lanjut usia:
1) Perilaku Hidup Sehat
Perilaku hidup sehat adalah sekumpulan perilaku yang dipraktekkan atas dasar
kesadaran sebagai hasil pembelajaran yang menjadikan seseorang atau keluarga dapat
menolong diri sendiri di bidang kesehatan dan berperan aktif dalam mewujudkan
kesehatan masyarakatnya. Menurut Dachroni tahun 1998, PHBS erat kaitanya dengan
pemberdayaan masyarakat karena bidang garapanya adalah membantu masyarakat
yang seterusnya bermuara pada pemeliharaan, perubahan, atau peningkatan perilaku
positif dalam bidang kesehatan. Perilaku hidup bersih dan sehat ini sesuai dengan visi
promosi kesehatan dan dapat di praktekan pada masing-masing tatanan. Gaya hidup
sehat untuk lansia yang terpenting seperti tidak merokok, melakukan aktivitas 30
menit sehari, personal higiene, mengatur kesehatan lingkungan seperti rumah sehat
dan membuang kotoran pada tempatnya.
2) Gizi untuk Lanjut Usia
Konsumsi makan yang cukup dan seimbang akan bermanfaat bagi lanjut usia
untuk mencegah atau mengurangi kemungkinan penyakit kekurangan gizi, yang
seyogyanya telah dilakukan sejak muda dengan tujuan agar tercapai kondisi
kesehatan yang prima dan tetap produktif di hari tua. Hidangan gizi seimbang adalah
makanan yang mengandung zat tenaga, zat pembangun, dan zat pengatur.
a) Sumber zat tenaga atau kalori adalah bahan makanan pokok seperti beras,
jagung, ubi dan lainya yang mengandung karbohidrat.
b) Sumber zat pembangun atau protein penting untuk pertumbuhan dan mengganti
sel-sel yang rusak, pada hewani seperti telur, ikan dan susu. Sedangkan pada
nabati seperti kacang-kacangan, tempe, tahu.
c) Sumber zat pengatur, bahan mengandung berbagai vitamin dan mineral yang
berperan untuk melancarkan bekerjanya fungsi organ tubuh contohnya sayuran
dan buah.
b. Upaya Preventif
Kegiatan ini bertujuan untuk mencegah sedini mungkin terjadinya penyakit dan
komplikasinya akibat proses degeneratif. Kegiatan berupa deteksi dini dan pemantauan
kesehatan lanjut usia yang dapat dilakukan di kelompok lanjut usia ( posyandu lansia )
atau Puskesmas dengan menggunakan Kartu Menuju Sehat ( KMS ) lanjut usia.
c. Upaya Kuratif
Kegiatan pengobatan ringan bagi lanjut usia yang sakit bila dimungkinan dapat di
lakukan di kelompok lanjut usia atau Posyandu lansia. Pengobatan lebih lanjut ataupun
perawatan bagi lanjut usia yang sakit dapat dilakukan di fasilitas pelayanan seperti
Puskesmas Pembantu, Puskesmas ataupun di Pos Kesehatan Desa. Apabila sakit yang
diderita lanjut usia membutuhkan penanganan dengan fasilitas lebih lengkap, maka
dilakukan rujukan ke Rumah Sakit setempat.
d. Upaya Rehabilitatif
Upaya rehabilitatif ini dapat berupa upaya medis, psikososial, edukatif maupun
upaya-upaya lain yang dapat semaksimal mungkin mengembalikan kemampuan
fungsional dan kepercayaan diri lanjut usia.

11. Perubahan-Perubahan Yang Terjadi Pada Lanjut Usia


a. Perubahan-perubahan fisik
1) Sistem persyarafan
Cepatnya menurun hubungan persyarafan / kemampuan berkurang, lambat
dalam respon dan waktu untuk bereaksi, khususnya dengan stres, mengecilnya saraf
panca indera, berkurangnya penglihatan, hilangnya pendengaran, mengecil syaraf
pencium dan perasa, lebih sensitif terhadap perubahan suhu.
2) Sistem penglihatan
Kornea lebih berbentuk sfevis (bola), lensa lebih suram (kekeruhan pada lensa)
menjadi katarak, jelas menyebabkan gangguan penglihatan, meningkatnya ambang
pengamatan sinar, daya adaptasi terhadap kegelapan lebih lambat dan susah melihat
dalam cahaya gelap.
3) Sistem kardiovaskuler
Kemampuan jantung memompa darah menurun 1% setiap tahun sesudah
berumur 20 tahun, hal ini menyebabkan menurunnya kontraksi dan volumenya,
kehilangan elastisitas pembuluh darah,kurangnya efektivitas pembuluh darah perifer
untuk oksigenisasi, perubahan posisi dari tidur ke duduk (duduk ke berdiri) bisa
menyebabkan tekanan darah menurun menjadi 65 mmHg (mengakibatkan pusing
mendadak), tekanan darah meninggi diakibatkan oleh meningkatnya resistensi dari
pembuluh darah perifer.
4) Sistem Integumen
Kulit mengerut atau keriput akibat kehilangan jaringan lemak, permukaan kulit
kasar dan bersisik, kulit kepala dan rambut menipis berwarna kelabu, rambut dalam
hidung dan telinga menebal.
5) Rambut
Penurunan pigmen yang menyebabkan rambut berwarna abu – abu atau putih,
penipisan seiring penurunan jumlah melanosit, rambut pubik rontok akibat perubahan
hormonal.
6) Telinga
Atrofi organ korti dan saraf auditorius , ketidakmampuan membedakan
konsonan bernada tinggi , perubahan struktural degeneratif dalam keseluruhan sistem
pendengaran.
7) Sistem meskuluskleta
Peningkatan jaringan adiposa, penurunan masa tubuh yang tidak berlemak dan
kandungan mineral tubuh, penurunan pembentukan kolagen dan masa otot,
penurunan viskositas cairan sinovial dan lebih banyak membran sinovial yang
fibritik.
b. Perubahan-perubahan mental
Faktor-faktor yang mempengaruhi perubahan mental: perubahan fisik, khususnya
organ perasa, kesehatan umum, tingkat pendidikan, keturunan, lingkungan.

c. Perubahan-perubahan psikososial
1) Pensiun
Seseorang pensiunan akan mengalami kehilangan-kehilangan antara lain: kehilangan
finansial (income berkurang), kehilangan status, kehilangan teman / relasi, kehilangan
pekerjaan, merasakan atau sadar akan kematian.
2) Perubahan dalam cara hidup
3) Gangguan panca indera, timbul kebutaan dan ketulian
4) Hilangnya kekuatan dan ketegapan fisik

BAB II
KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN
A. Pengkajian
1. Aktifitas/istirahat
Gejala : merasa kesulitan untuk melakukan aktifitas karena kelemahan, kehilangan
sensasi atau paralisis (hemiplegia). Merasa mudah lelah, susah untuk beristirahat (nyeri
atau kejang otot).
Tanda : gangguan tonus otot (flaksid, spatis); paralitik (hemiplegia), dan terjadi
kelemahan umum. Gangguan penglihatan, gangguan tingkat kesadaran.
2. Sirkulasi
Gejala: adanya penyakit jantung: endokarditis bakterial, GJK
Tanda: hipertensi arterial, disritmia, perubahan EKG
3. Integritas ego
Gejala: perasaan tidak berdaya, perasaan putus asa
Tanda: emosi yang labil dan ketidaksiapan untuk marah, sedih, dan gembira. Kesulitan
untuk mengekspresikan diri.
4. Eliminasi
Gejala: perubahan pola berkemih, seperti inkontinensia urine, anuria, distensi abdomen,
bising usus
5. Makanan/cairan
Gejala: Nafsu makan hilang, mual muntah selama fase akut (peningkatan TIK),
kehilangan sensasi pada lidah, pipi, dan tenggorokan, disfagia, adanya riwayat DM,
peningkatan lemak dalam darah
Tanda: kesulitan menelan (gangguan pada reflex palatum dan faringeal), obesitas
6. Neurosensori
Gejala: pusing (sebelum serangan CSV/ selama TIA), sakit kepala, penglihatan menurun,
kehilangan daya lihat sebagian, gangguan rasa pengecapan dan penciuman.
Tanda: status mental/kesadaran: biasanya terjadi koma pada tahap awal hemoragik.
Gangguan fungsi kognitif, ekstremitas: kelemahan atau paralisis, afasia: gangguan atau
kehilangan fungsi bahasa mungkin afasia motorik (kesulitan untuk mengungkapkan
kata). Reseptif (afasia sensorik) yaitu kesulitan untuk memahami kata kata secara
bermakna, atau afasia global yaitu gabungan dari kedua hal di atas. Kehilangan
kemampuan untuk mengenali atau menghayati masuknya rangsang visual, pendengaran,
taktil (agnosia), seperti gangguan kesadaran terhadap citra tubuh, kewaspadaan, kelainan
terhadap bagian tubuh yang terkena, gangguan persepsi. Kehilangan kemampuan
menggunakan motorik saat pasien in gin menggerakkannya (apraksia). Ukuran atau
reaksi pupil tidak sama, dilatasi atau miosis pupil ipsilateral (perdarahan atau herniasi).
Kekakuan muka biasanya karena perdarahan, kejang biasanya karena adanya pencetus
perdarahan.
7. Nyeri/kenyamanan
Gejala: sakit kepala dengan intensitas yang berbeda-beda (karena arteri karotis terkena)
Tanda: tingkah laku yang tidak stabil, gelisah, ketegangan pada otot atau fasial.
8. Pernafasan
Gejala: merokok atau faktor resiko
Tanda: ketidakmampuan menelan atau batuk atau hambatan jalan nafas. Timbulnya
pernafasan sulit dan atau tak teratur, suara nafas terdengar/ronkhi (aspirasi sekresi)
9. Keamanan
Tanda: motorik atau sensorik: masalah dengan penglihatan, kesulitan dalam menelan,
tidak mampu untuk memenuhi kebutuhan nutrisi sendiri
10. Interaksi social
Tanda: masalah bicara, ketidakmampuan untuk berkomunikasi
11. Pemeriksaan Fisik
Tanda – tanda vital yang meliputi tekanan darah, nadi, suhu dan pernafasan
12. Pemeriksaan Neurologi
a. Fungsi serebral
Terdiri dari status mental, fungsi intelektual, daya pikir, status emosional, persepsi,
kemampuan motorik, dan bahasa.
b. Pengukuran GCS
1) Eyes ( membuka mata )
Spontan :4
Terhadap rangsangan suara :3
Terhadap rangsangan nyeri :2
Tidak ada respon :1
2) Motorik
Sesuai perintah :6
Karena nyeri local :5
Menarik daerah nyeri :4
Fleksi abnormal :3
Ekstensi abnormal :2
Tidak ada respon :1
3) Verbal
Orientasi waktu :5
Bicara kacau (kalimat) :4
Kata – kata tidak tepat :3
Tidak bermakna (bergumam) :2
Tidak berespon :1
c. Saraf cranial
Besar pupil tidak sama, ptosis kelopak mata
Nervus : Defisit dari Nervus
1) N. I : Olfactory
2) N. II : Optic
3) N. III : Oculomotor
4) N. IV : Moto trochlear ( gerakan kebawah / kedalam mata )
5) N.V : Trigeminal ( Gerakan rahang, muka )
6) N.VI : Abducens ( Lateral Mata )
7) N.VII : Facial
8) N.VIII : Acoustic ( cochlea, vestibular )
9) N. IX : Glosofaringeal
10) N.X : Vogus ( motor, palatum, faring, laring )
11) N.XI : Asesori Spinal : mastoid, trapezius
12) N.XI : Hypoglosal ( Motor – lidah )

d. Pemeriksaan motorik
Meliputi pengkajian motorik kasar, tes keseimbangan, dan pengkajian motorik
halus.
e. Pemeriksaan sensorik
Meliputi sensasi taktil, sensasi suhu dan nyeri, vibrasi dan propriosepsi, dan
merasakan posisi.
f. Status refleks
1) Refleks bisep
Peregangan tendon bisep pada saat siku dalam keadaan fleksi. Orang yang
menguji menyokong lengan bawah satu tangan sambil menempatkan ibu jari
dengan menggunakan palu refleks.
2) Refleks trisep
Lengan pasien fleksi pada siku dan pronasi dan di posisikan di depan dada.
Palpasi 2,5-5 cm di atas siku. Refleks ini menyebabkan kontraksi otot trisep
dan ekstensi siku.
3) Refleks brachioradialis
Tangan klien diletakkan di atas paha dalam keadaan pronasi. Pukulkan refleks
hammer di atas tenson pergelangan tangan, amati fleksi, supinasi dari tangan
klien.

4) Refleks abdomen
Klien tetap dalam posisi supine tanpa mengenakan baju. Sentuhkan ujung
tajam refleks hammer ke kulit bagian abdomen mulai dari arah lateral ke
bagian umbilical, dan amati kontraksi otot abdomen.
5) Refleks patella
Refleks patella di timbulkan dengan cara mengetok tendon patella tepat di
bawah partela. Pasien dalam keadaan duduk atau tidur terlentang. Jika pasien
terlentang, pengkaji menyokong kaki untuk memudahkan relaksasi otot.
Konstraksi guadrisep dan ekstensi lutut adalah respon normal.
6) Refleks Achilles/ankle
Pegang telapak kaki klien dengan tangan non dominan pemeriksa. Pukul
tendon Achilles dengan bagian tumpul refleks hammer dan amati kontraksi
otot kuadrisep.
7) Refleks plantar
Klien dalam posisi supine dan kedua tungkai bawah sedikit eksternal rotasi,
stimulasi telapak kakki klien dengan ujung tajam refleks hammer. Sentuhan
dimulai dari tumit kea rah luar telapak kaki klien. Amati gerakan telapak kaki
(normal jika gerak plantar fleksi jari-jari kaki)
8) Refleks babinsky
Indikasi adanya penyakit SSP. Bila bagian lateral seseorang dengan penyakit
SSP digores, maka akan terjadi kontraksi kaki dan menarik bersama-sama.
Pada pasien yang mengalami penyakit SSP, maka pada system motorik jari-
jari kaki menyebar dan menjauh. Pada bayi refleks ini normal.
9) Refleks kernig
Klien berbaring difleksikan pahanya pada persendian panggul sampai
membuat sudut 900
10) Refleks laseque
Klien berbaring difleksikan pahanya pada persendian panggul sampai
membuat sudut 60-700
11) Refleks brudzinski
Klien berbaring kemudian tangan pemeriksa ditempatkan di bawah kepala
pasien yang sedang berbaring, tekukkan kepala sejauh mungkin sampai dagu
mencapai dada. Tangan yang satu lagi sebaiknya ditempatkan di dada klien
untuk mencegahnya diangkatnya badan. Bila tanda brudzinski positif, maka
tindakan ini mengakibatkan fleksi kedua tungkai.
12) Refleks brudzinski II
Klien berbaring satu tungkai difleksikan pada persendian penggul, sedangkan
tungkai yang satu lagi berada dalam keadaan ekstensi lurus. Bila tungkai yang
satu ikut terfleksi, maka tanda brudzinski II positif.
B. Diagnosa Keperawatan
1. Hambatan mobilitas di tempat tidur berhubungan dengan gangguan neuromuscular
(NANDA 2016, Domain.4 Aktivitas/Istirahat, Kelas.2 Aktivitas/Olahraga, hal. 231)
2. Defisiensi pengetahuan berhubungan dengan kurang sumber pengetahuan
(NANDA 2016, Domain 5. Persepsi/Kognisi, Kelas 4. Kognisi, hal.275)
3. Risiko kerusakan integritas kulit berhubungan dengan imobilitas fisik
(NANDA 2016, Domain 11. Keamanan/Perlindungan, Kelas.2 Cidera Fisik, hal.246)

C. Rencana Keperawatan
No Dx NOC NIC
1. Hambatan Setelah dilakukan tindakan (0740) Perawatan Tirah Baring
mobilitas fisik keperawatan diharapkan 1. Jelaskan alasan diperlukannya
ditempat tidur hambatan mobilitas fisik tirah baring
berkurang dengan KH : 2. Posisikan sesuai body
(0219) Pergerakan Sendi : Bahu aligment yang tepat
1. Fleksi depan 180o 3. Balikkan pasien yang tidak
dipertahankan pada 4 dapat mobilisasi paling tidak 2
ditingkatkan ke 5 jam sesuai dengan jadwal
2. Rotasi eksternal 90o yang spesifik
dipertahankan pada 4 4. Ajarkan latihan ditempat tidur
ditingkatkan ke 5 dengan cara yang tepat
3. Rotasi internal 90o pada 5. Monitor komplikasi dari tirah
4 ditingkatkan ke 5 baring (misalnya: nyeri
punggung, konstipasi, depresi,
kebingungan)

(0840) Pengaturan Posisi


1. Posisikan pasien untuk
mengurangi dyspneu
2. Dorong latihan rom aktif dan
pasif
3. Sokong leher dengan tepat
4. Balikkan pasien setiap 2 jam
atau sesuai dengan jadwal

2. Defiensi Setelah dilakukan tindakan (5510) Pendidikan Kesehatan


Pengetahuan keperawatan diharapkan 1. Rumuskan tujuan dalam
pengetahuan bertambah dengan program pendidikan
KH: kesehatan
(1863) Pengetahuan Manajemen 2. Libatkan individu, keluarga
Stroke dan kelompok dalam
1. Tingkat pengetahuan pilihan perencanaan dan rencana
pengobatan yang tersedia implementasi gaya hidup
meningkat dipertahanakan atau modifikasi perilaku
pada 4 ditingkatkan ke 5 kesehatan
2. Tingkat pengetahuan 3. Gunakan berbagai strategi dan
komplikasi stroke bertambah intervensi utama dalam
dipertahanakan pada 4 program pendidikan
ditingkatkan ke 5 4. Rencanakan tindak lanjut
3. Mengenali tanda dan gejala untuk memperkuat perilaku
penyakit hemoregik kesehatan atau adaptasi
dipertahanakan pada 4 terhadap gaya hidup
ditingkatkan ke 5

3. Risiko kerusakan Setelah dilakukan tindakan (1610) Memandikan


integritas kulit keperawatan diharapkan tidak 1. Bantu memandikan pasien
ada tanda-tanda risiko kerusakan dengan menggunakan kursi
integritas kulit dengan KH: untuk mandi
(0204) Konsekuensi Imobilitas : 2. Cuci rambut sesuai indikasi
Fisiologis dan kebutuhan
1. Nyeri tekan tidak ada 3. Cukur pasien sesuai
dipertahanakan pada 4 kebutuhan
ditingkatkan ke 5 4. Monitor kondisi kulit saat
2. Konstipasi tidak ada mandi
dipertahanakan pada 4 5. Monitor fungsi kemampuan
ditingkatkan ke 5 saat mandi
3. Tonus otot baik (3500) Manajemen Tekanan
dipertahanakan pada 4 1. Berikan pakaian yang tidak
ditingkatkan ke 5 ketat
4. Kekuatan otot baik 2. Berikan pijatan punggung atau
dipertahanakan pada 4 leher dengan cara yang tepat
ditingkatkan ke 5 3. Monitor status nutrisi pasien
4. Monitor sumber tekanan dan
gesekan
5. Monitor area kulit dari adanya
kemerahan dan adanya
kemerahan dan adanya pecah-
pecah
6. Balikkan posisi pasien setiap
2 jam sekali
(3590) Pengecekan Kulit
1. Periksa kulit dan selaput
lender terkait dengan adanya
kemerahan, kehangatan,
ekstrim, edema
2. Monitor kulit untuk adanya
ruam dan lecet
3. Monitor sumber tekanan dan
gesekan
4. Ajarkan anggota keluarga
mengenai tanda-tanda
kerusakan kulit dengan tepat
DAFTAR PUSTAKA

Auryn V., 2011, Mengenal & Memahami Stroke, Yogyakarta : Kata Hati.
Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 2013. Stroke, (Online), (http://
depkes.co.id/stroke.html)
Friedman, M. M. (2005). Keperawatan Keluarga Teori dan Praktek, Edisi 3. Jakarta: EGC
Mubarak, Wahid iqbal, dkk, 2011. Ilmu Pengantar Komunitas Pengantar dan Teori Buku 1,
Salemba Medika, Jakarta.
Mubarak, Wahid iqbal dkk, 2012. Ilmu Pengantar Komunitas Pengantar dan Teori Buku 2,
Salemba Medika, Jakarta.
Notoatmodjo, Soekidjo, 2010. Promosi Kesehatan Teori dan Aplikasi, Rineka Cipta, Jakarta.
Notoatmodjo, Soekidjo, 2011. Kesehatan Masyarakat Ilmu dan Seni. Rineka Cipta, Jakarta.
Nurarif, amin huda dkk, 2013. Aplikasi Asuhan Keperawatan Berdasarkan Diagnosa Medis dan
NANDA NIC-NOC. Media Action, Jakarta.
Profil Puskesmas Periuk Jaya, 2013 dan 2014
Rasyid , 2007 , Unit Stroke (Manajenen Stroke Secara Komprehensif) , Jakarta , Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia
Suprajitno, 2004. Asuhan Keperawatan Keluarga, EGC, Jakarta.
Suyono, Haryono, 2006. Meningkatnya Penduduk Rawan Stroke, (Online),
(http://www.cybermed.cbn.net.id. Diakses 2 Juni 20017)
Wardhana, A.W, 2007, Strategi Mengatasi & Bangkit Dari Stroke, Yogyakarta : Pustaka Pelajar.

Anda mungkin juga menyukai