Pendahuluan
Secara global, diperkirakan sebanyak 24 juta orang telah menderita skizofrenia (WHO,
2009). Di Indonesia, menurut Riskesdas (2007) sebanyak 1 juta orang atau sekitar 0,46% dari
total pendududk Indonesia menderita skizofrenia. Sedangkan yang mengalami gangguan mental
emosiona (cemas dan depresi) adalah 11,6% atau sekitar 19 juta penduduk.
Mengalami gangguan jiwa tidak hanya berdampak pada individu tetapi juga pada
keluarga dan negara. Kerugian ekonomi minimal akibat masalah kesehan jiwa mencapai 20
Triliun rupiah. Karena itu masalah gangguan jiwa ini perlu mendapatkan perhatioan yang serius
dari pemerintah agar pelayanan bagi penderita gangguan jiwa ini bisa lebih baik.
Pelayanan bagi penderita gangguan jiwa tidak terlepas dari peran para profesional
kesehatan seperti psikiater, psikolog, perawat psikiatri, occupational therapist dan pekerja sosial.
Sehingga diperlukan peningkatan pemahaman yang terus menerus tentang gangguan jiwa ini.
BAB II
ISI
Gangguan Jiwa
A. Pengertian
Gangguan jiwa merupakan psikologik atau pola perilaku yang ditunjukkan
pada individu yang menyebabkan distress, menurunkan kualitas kehidupan dan disfungsi.
Hal tersebut mencerminkan disfungsi psikologis, bukan sebagai akibat dari
penyimpangan sosial maupun konflik dengan masyarakat (Stuart, 2013). Sedangkan
menurut Keliat, (2011) gangguan jiwa merupakan pola perilaku, sindrom yang secara
klinis bermakna berhubungan dengan penderitaan, distress dan menimbulkan hendaya
pada lebih atau satu fungsi kehidupan manusia.
Menurut American Psychiatric Association atau APA mendefinisikan
gangguan jiwa pola perilaku/ sindrom, psikologis secara klinik terjadi pada individu
berkaitan dengan distres yang dialami, misalnya gejala menyakitkan, ketunadayaan
dalam hambatan arah fungsi lebih penting dengan peningkatan resiko kematian,
penderitaan, nyeri, kehilangan kebebasan yang penting dan ketunadayaan (O’Brien,
2013).
Gangguan jiwa adalah bentuk dari manifestasi penyimpangan perilaku
akibat distorsi emosi sehingga ditemukan tingkah laku dalam ketidak wajaran. Hal
tersebut dapat terjadi karena semua fungsi kejiwaan menurun (Nasir, Abdul & Muhith,
2011).
Menurut Videbeck dalam Nasir, (2011) mengatakan bahwa kriteria umum
gangguan adalah sebagai berikut :
a. Tidak puas hidup di dunia.
b. Ketidak puasan dengan karakteristik, kemampuan dan prestasi diri.
c. Koping yang tidak afektif dengan peristiwa kehidupan.
d. Tidak terjadi pertumbuhan personal.
Menurut Keliat dkk dalam Prabowo, (2014) mengatakan ada juga ciri dari
gangguan jiwa yang dapat diidentifikasi adalah sebagai berikut:
a. Mengurung diri.
b. Tidak kenal orang lain.
c. Marah tanpa sebab.
d. Bicara kacau.
e. Tidak mampu merawat diri.
B. Penyabab
Penyebab gangguan jiwa Pada umumnya orang awam beranggapan bahwa gangguan jiwa
disebabkan oleh santet atau diguna – guna atau kekuatan supra natural. Akan tetapi
sesungguhnya gangguan jiwa disebabkan oleh banyak faktor yang beriteraksi satu sama lain.
Seperti dapat kita lihat pada bagan dibawah ini.
2. Faktor Bologi
1) Faktor Genetik
Hingga saat ini belum ditemukan adanya gen tertentu yang menyebabkan
terjadinya gangguan jiwa. Akan tetapi telah ditemukan adanya variasi dari multiple
gen yang telah berkontribusi pada terganggunya fungsi otak (Mohr, 2003). Sebuah
penelitian yang dilakukan oleh National Institute of Health di Amerika serikat telah
menemukan adanya variasi genetik pada 33000 pasien dgn diagnosa skizofrenia,
Autis, ADHD, bipolar disorder dan mayor deppressive disorder. (NIH, USA, 2013).
Penelitian tersebut menemukan bahwa Variasi CACNA1C dan CACNB2 diketahui
telah mempengaruhi circuitry yang meliputi memori, perhatian, cara berpikir dan
emosi (NIH, USA, 2013). Disamping itu juga telah ditemukan bahwa dari orang tua
dan anak dapat menurunkan sebesar 10%. Dari keponakan atau cucu sebesar 2 – 4 %
dan saudara kembar identik sebesar 48 %.
3) Neurotransmitter
Menurut Frisch & Frisch (2011), Neurotransmiter adalah senyawa organik
endogenus membawa sinyal di antara neuron. Neurotransmitter terdiri dari:
Dopamin: berfungsi membantu otak mengatasi depresi, meningkatkan ingatan
dan meningkatkan kewaspadaan mental.
Serotonin: pengaturan tidur, persepsi nyeri, mengatur status mood dan
temperatur tubuh serta berperan dalam perilaku aggresi atau marah dan libido
Norepinefrin: Fungsi Utama adalah mengatur fungsi kesiagaan, pusat
perhatian dan orientasi; mengatur “fight-flight”dan proses pembelajaran dan
memory
Asetilkolin: mempengaruhi kesiagaan, kewaspadaan, dan pemusatan perhatian
Glutamat: pengaturan kemampuan memori dan memelihara fungsi automatic.
3. Faktor psikoedukasi
Faktor ini juga tidak kalah pentingnya dalam kontribusinya terhadap
terjadinya gangguan jiwa. Sebuah penelitian di Jawa yang dilakukan oleh Pebrianti,
Wijayanti, dan Munjiati (2009) menemukan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara
tipe pola asuh keluarga dengan kejadian Skizofrenia. Sekitar 69 % dari responden (penderita
skizofrenia) diasuh dengan pola otoriter, dan sekitar 16,7 % diasuh dengan pola permissive.
Penelitian lain yang dilakukan oleh Erlina, Soewadi dan Pramono si
Sumatra Barat tentang determinan faktor timbulnya skizofrenia menemukan bahwa pola asuh
keluarga patogenik mempunyai risiko 4,5 kali untuk mengalami gangguan jiwa skizofrenia
dibandingkan dengan pola asuh keluarga tidak patogenik. Adapun yang mereka maksud
dengan pola suh patogenik tersebut antara lain :
1) Melindungi anak secara berlebihan karena memanjakannya
2) Melindungi anak secara berlebihan karena sikap “berkuasa” dan “harus tunduk saja”
3) Sikap penolakan terhadap kehadiran si anak (rejected child)
4) Menentukan norma-norma etika dan moral yang terlalu tinggi
5) Penanaman disiplin yang terlalu keras
6) Penetapan aturan yang tidak teratur atau yang bertentangan
7) Adanya perselisihan dan pertengkaran antara kedua orang tua
8) Perceraian
9) Persaingan dengan sibling yang tidak sehat
10) Nilai-nilai yang buruk (yang tidak bermoral)
11) Perfeksionisme dan ambisi (cita-cita yang terlalu tinggi bagi si anak)
12) Ayah dan atau ibu mengalami gangguan jiwa (psikotik atau non-psikotik)
Berkaitan dengan penelantaran anak, sebuah penelitian yang telah
dilakukan oleh Schafer et al (2007) pada 30 pasien wanita dengan skizofrenia,
menemukan adanya korelasi yang bermakna antara anak-anak yang ditelantarkan baik
secara fisik maupun mental dengan gangguan jiwa. Pada analisis multivariabel, Schafer
menemukan bahwa mereka yang mempunyai status ekonomi rendah berisiko 7,4 kali
untuk menderita ganguan jiwa skizofrenia dibanding dengan mereka yang mempunyai
status ekonomi tinggi . Artinya mereka dari kelompok ekonomi rendah kemungkinan
mempunyai risiko 7,4 kali lebih besar mengalami kejadian skizofrenia dibandingkan
mereka yang dari kelompok ekonomi tinggi.
4. Faktor koping
Menurut Lazarus (2006), Ketika individu mengalami masalah, secara umum
ada dua strategi koping yang biasanya digunakan oleh individu tersebut, yaitu:
Problem-solving focused coping, dimana individu secara aktif mencari penyelesaian
dari masalah untuk menghilangkan kondisi atau situasi yang menimbulkan stres
Emotion-focused coping, dimana individu melibatkan usaha-usaha untuk mengatur
emosinya dalam rangka menyesuaikan diri dengan dampak yang akan timbul akibat
suatu kondisi atau situasi yang penuh tekanan.
Individu yang menggunakan problem –solving focused coping cenderung
berorientasi pada pemecahan masalah yang dialaminya sehingga bisa terhindar dari stres
yang berkepanjangan sebaliknya individu yang senantiasa menggunakan emotion-
focused coping cenderung berfokus pada ego mereka sehingga masalah yang dihadapi
tidak pernah ada pemecahannya yang membuat mereka mengalami stres yang
berkepanjangan bahkan akhirnya bisa jatuh kekeadaan gangguan jiwa berat.
5. Stressor psikososial
Faktor stressor psikososial juga turut berkontribusi terhadap terjadinya
gangguan jiwa. Seberapa berat stressor yang dialami seseorang sangat mempengaruhi respon
dan koping mereka. Seseorang mengalami stressor yang berat seperti kehilangan suami
tentunya berbeda dengan seseorang yang hanya mengalami strssor ringan seperti terkena
macet dijalan. Banyaknya stressor dan seringnya mengalami sebuah stressor juga
mempengaruhi respon dan koping. Seseorang yang mengalami banyak masalah tentu berbeda
dengan seseorang yang tidak punya banyak masalah.
C. Gejala
Menurut Hawari (2001), tanda dan gejala gangguan jiwa ringan (cemas) adalah sebagai
berikut:
Perasan khawatir, firasat buruk, takut akan pikirannya sendiri dan mudah
tersinggung
Merasa tegang, tidak tenang, gelisah, mudah terkejut
Takut sendirian, takut pada keramaian, dan banyak orang
Gangguan pola tidur, mimpi-mimpi yang menegangkan
Gangguan konsentrasi dan daya ingat
Keluhan-keluhan somatik seperti rasa sakit pada otot dan tulang, pendengaran
berdenging (tinitus), berdebar-debar, sesak nafas, gangguan pencernaan,
gangguan perkemihan dan sakit kepala.
Sedangkan tanda dan gejala depresi menurut NIMH USA antara lain: Rasa sedih
yang terus-menerus
Rasa putus asa dan pesimis
Rasa bersalah, tidak berharga dan tidak berdaya
Kehilangan minat
Energi lemah, menjadi lamban
Sulit tidur (insomnia) atau tidur berlebihan (hipersomnia)
Sulit makan atau rakus makan (menjadi kurus atau kegemukan)
Tidak tenang dan gampang tersinggung
Berpikir ingin mati atau bunuh diri Apa tanda dan gejala gangguan jiwa
berat ? Secara cepat sebenarnya kita dapat mengenali seseorang yang mengalami
gangguan jiwa berat. Mereka yang mengalami gangguan jiwa berat tidak bisa
menjalankan kehidupannya sehari – hari, bicaranya tidak nyambung, sering
berperilaku menyimpang dan terkadang mengamuk. Orang gila yang kita temukan
dijalanan itu biasnya mengalami gangguan jiwa berat.
Adapun menurut DSM IV, tanda dan gejalanya adalah :
1) Gejala positif yaitu sekumpulan gejala perilaku tambahan yang menyimpang
dari perilaku normal seseorang termasuk distorsi persepsi (halusinasi), distorsi
isi pikir (waham), distorsi dalam proses berpikir dan bahasa dan distorsi
perilaku dan pengontrolan diri.
2) Gejala negatif yaitu sekumpulan gejala penyimpangan berupa hilangnya
sebagian fungsi normal dari individu termasuk keterbatasan dalam ekspresi
emosi, keterbatasan dalam produktifitas berfikir, keterbatasab dalam berbicara
(alogia), keterbatasan dalam maksud dan tujuan perilaku.
D. Cara Penangan
Berikut ini adalah beberapa pengobatan gangguan jiwa yang bisa dilakukan, di antaranya:
1. psikofarmako
Penanganan penderita gangguan jiwa dengan cara ini adalah dengan memberikan terapi
obat-obatan yang akan ditujukan pada gangguan fungsi neuro-transmitter sehingga
gejala-gejala klinis tadi dapat dihilangkan. Terapi penyembuhan sakit jiwa ini diberikan
dalam jangka waktu relatif lama, bisa berbulan-bulan hingga memakan waktu bertahun-
tahun.
2. Psikoterapi
Terapi gangguan jiwa yang harus diberikan apabila penderita telah diberikan terapi
psikofarmaka dan telah mencapai tahapan di mana kemampuan menilai realitas sudah
kembali pulih dan pemahaman diri sudah baik.
3. Terapi psikososial
4. Terapi psikoreligius
Terapi gangguan jiwa lainnya adalah terapi keagamaan. Terapi ini berupa kegiatan ritual
keagamaan seperti sembahyang, berdoa, mamanjatkan puji-pujian kepada Tuhan,
mendengar ceramah keagamaan, atau kajian kitab suci. Serangkaian penelitian terhadap
pasien pasca epilepsi menemukan bahwa, sebagian besar mengungkapkan pengalaman
spiritualnya dengan menemukan kebenaran tertinggi karena merasa berdekatan dengan
cahaya Ilahi.
5. Rehabilitasi
Penyembuhan sakit jiwa yang paling banyak dilakukan adalah program rehabilitasi. Hal
ini penting dilakukan sebagi persiapan penempatan kembali ke keluarga dan masyarakat.
Program ini biasanya dilakukan di lembaga (institusi) rehabilitasi.
Dalam program rehabilitasi dilakukan berbagai kegiatan antara lain; dengan terapi
kelompok yang bertujuan membebaskan penderita dari stres dan dapat membantu agar
dapat mengerti sebab dari kesukaran serta membantu terbentuknya mekanisme
pembelaan yang lebih baik dan dapat diterima oleh keluarga/masyarakat.
Selain itu, menjalankan ibadah keagamaan bersama, kegiatan kesenian, terapi fisik
berupa olahraga, keterampilan, berbagai macam kursus, bercocok tanam, dan rekreasi
(Maramis, 1990).
Pada umumnya program rehabilitasi ini berlangsung antara 3-6 bulan. Secara berkala
dilakukan evaluasi paling sedikit dua kali yaitu evaluasi sebelum penderita mengikuti
program rehabilitasi dan evaluasi pada saat si penderita akan dikembalikan ke keluarga
dan ke masyarakat (Hawari, 2007).
Selain itu, peran keluarga adalah sesuatu yang penting dalam penyembuhan sakit jiwa ini.
Keluarga adalah orang-orang yang sangat dekat dengan pasien dan dianggap paling
banyak tahu kondisi pasien serta dianggap paling banyak memberi pengaruh pada pasien.