Anda di halaman 1dari 3

Covid-19 DAN MASALAH HUKUM HUBUNGAN KERJA ANTARA

PENGUSAHA DAN PEKERJA *)

*(Tulisan ini , khusus untuk Anggota APINDO dan Komunitas HR/IR)

A. Latar Belakang
Aktivitas bisnis saat ini baik lokal maupun nasional , dengan adanya Pandemik
COVID-19 saat in praktis terganggu atau bahkan terhenti.
Pemerintah baik Pusat maupun Daerah (Gubernur, Bupati dan Walikota) telah
menetapkan Pandemi COVID-19 sebagai keadaan / kondisi Darurat, bahkan
Kepala BNPB melalui Keputusan No. 9A dan 13 A Tahun 2020 menyatakan masa
darurat ini dari tanggal 29 Februari hingga 29 Mei 2020. Pemerintah juga
menentukan selain perusahaan yang bergerak di bidang Kesehatan, makanan pokok,
energi dan jasa keuangan , diserukan agar mempekerjakan pekerjanya di rumah
(WFH/KDR).
Kondisi tersebut diatas salah satu dampaknya dari Pengusaha adalah masalah
kelanjutan hubungan kerja antara Pengusaha tersebut dengan Pekerjanya.
Hubungan kerja antara Pengusaha dengan pekerjanya , dapat berupa:
a. Hubungan kerja PKWTT (Tetap);
b. Hubungan Kerja PKWT (Kontrak);
c. Hubungan Kerja Kemitraan (based on project);
d. Hubungan Kerja Harian Lepas/Borongan (based on project/result);

B. Permasalahan
Permasalahan yang timbul saat ini pada Pengusaha (hal ini terlihat dalam beberapa
percakapan di Grup- grup WA khususnya grup khusus praktisi HR/IR) adalah
antara lain: bagaimana selama kondisi tidak ada kegiatan tapi tetap harus
mempekerjakan pekerjanya, atau bagaimana pengaturan pekerja yang dirumahkan
tentang upahnya, atau bagaimana apabila secara keuangan pen gusaha tidak
mampu lagi membayar upah pekerjanya, atau bagaimana apabila pengusaha
setelah mengalami kesulitan keuangan berkehendak mengakhiri hubungan kerja
dengan pekerjanya.

1
C. Tinjauan Yuridis
Pengaturan Hubungan Kerja dalam bisnis saat ini disamping pedomannya UU RI
NO.13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan beserta peraturan pelaksanaannya, juga
saat ini adalah : Surat Edaran (SE) MENAKER NO.3/2020 tentang Penanganan
COVID-19.
Surat Edaran MENAKER yaitu :SE MENAKER NO.3/2020 , pada POINT II angka
4 mengatakan bahwa:……dengan mempertimbangkan kelangsungan usaha maka
perubahan besaran maupun pembayaran upah pekerja/buruh dilakukan sesuai
dengan kesepakatan antara pengusaha dengan pekerja/buruh dan Surat Edaran
(SE) MENAKER NO.5 Tahun 1998.
Surat Edaran (SE) memang tidak termasuk dalam hierarki perundang-undangan,
namun manakala perundang-undangan tidak mengatur secara jelas tentang
penanganan perselisihan hubungan kerja, SE ini menjadi salah satu pedoman
bagaimana menjalankan ketentuan perundang-undangan yang ada.
Pengusaha memang sedapat mungkin menghindari PHK, namun apabila tindakan
PHK tidak dapat dihindari Pengusaha harus terlebih dahulu membicarakannya
dengan SP/SB atau dengan pekerjanya.(Vide Pasal 151 UU R.I NO.13/2003);
D. S o l u s i .
1. Apabila Pengusaha masih ingin melanjutkan hubungan kerjanya dengan
Pekerja PKWTT (Tetap) dan PKWT (Hubungan kerja berakhir hingga
masa kontrak) dapat dengan WFH atau merumahkan pekerja dengan
memberikan upah 100% Upah atau kalau Pengusaha tidak mampu
dapat dibicarakan dengan SP/SB atau perwakilan Pekerja dengan
mengatakan bahwa Pengusaha hanya mampu membayar, misalnya 50%
dari Upah atau jumlah lain yang disepakati dan cara pembayarannya.
Kesepakatan itu dapat diikat dengan PB (Perjanjian Bersama), apabila
keadaan darurat dan krisis ini terus menerus / berlangsung lama Pengusaha
ingin melakukan PHK terhadap Pekerja PKWTT tidak bisa
menggunakan asas No Work No Pay, kami mengusulkan karena
biasanya pekerja tersebut sudah mengabdi lama terhadap perusahaan,
maka sebaiknya dirumahkan terlebih dahulu dengan berpedoman kepada
SE MENAKER NO.5 Tahun 1998, yaitu dengan merumahkan,
mengurangi jam kerja , meniadakan lembur atau shift, mengurangi upah
Mangement. Apabila Pengusaha setelah merumahkan pekerja benar-
benar tidak dapat menghindari terjadinya PHK, maka Pengusaha
2
dapat melakukan PHK setelah membicarakannya dengan SP/SB atau
pekerjannya dengan berpedoman kepada Pasal 164 ayat (1) UU RI
NO.13 Tahun 2003 atau sesuai yang telah diatur dalam Peraturan
Perusahaan (PP) atau PKB (Perjanjian Kerja Bersama) Perusahaan;
2. Melakukan WFH/merumahkan Pekerja Mitra/Free Lancer atau Pekerja
Harian Lepas/borongan tidak ada kewajiban Pengusaha untuk
membayar upahnya (No Work No Pay). Karena Upahnya dibayar
apabila ada pekerjaan (project), namun hak-hak sebelumnya yang harus
diberikan , tetap harus dibayarkan oleh Pengusaha. Kondisi keadaan
darurat ini , harus dikomunikasikan dengan baik terhadap pekerja-pekerja
ini, walau tidak secara tatap muka dapat dilakukan dengan media social
atau teleconference. Disamping itu perlu juga ada perhatian khusus dari
pengusaha, misalnya memberikan bantuan sembako, vitamin dan APD
terhadap mereka;
3. Pengusaha dalam masa darurat ini agar tetap melakukan hubungan /
koordinasi dengan Organisasi APINDO / Profesi, Instansi Pembina
Teknis , serta melakukan inovasi dalam program-program HRD yang
diluar dari biasanya. (Misalnya Program Healing, energizer, pembinaan
karyawan secara internal , kewirausahaan, dll dalam waktu tertentu
melalui E-Learning);
4. Menindaklanjuti Insentif pemanfaatan dari Pemerintah mengenai dampak
situasi darurat COVID-19 ini yang telah dan akan dikeluarkan seperti dari
OJK, KEMENKEU, BPJS Jamsostek dll.

Semoga tulisan ini bermanfaat dan bisnis anggota APINDO/Praktisi HR/IR dll tidak
terganggu dengan adanya COVID-19 ini, serta selalu dalam Lindungan Tuhan YME.

Jakarta, 27 Maret 2020.

Salam,

EDWAN HAMIDY DAULAY (EHD)

Anda mungkin juga menyukai