Anda di halaman 1dari 5

Dapatkah Satu Perusahaan

Memiliki Beberapa Perjanjian


Kerja Bersama?
Pertanyaan

Di tempat kerja saya ada lebih dari satu serikat pekerja. Di dalam perundingan penggantian peraturan
perusahaan menjadi perjanjian kerja bersama, semua serikat pekerja dilibatkan. Tetapi di dalam
perundingan tersebut, antar serikat berbeda pendapat. Yang satu menyepakati yang satu tidak.
Seandainya perjanjian kerja bersama itu disahkan tanpa ada kata sepakat dari salah satu serikat, apakah
perjanjian kerja bersama itu tetap berlaku? Ataukah perjanjian kerja bersama itu berlaku hanya untuk
anggota serikat yang menyepakatinya?

Ulasan Lengkap

Peraturan Perusahaan

Agar sesuai dengan alur pertanyaan Anda, ada perlunya kita membahas peraturan perusahaan terlebih
dahulu, berdasarkan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (“UU
Ketenagakerjaan”) dan Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Nomor 28 Tahun 2014 tentang Tata Cara
Pembuatan dan Pengesahan Peraturan Perusahaan serta Pembuatan dan Pendaftaran Perjanjian
Kerja Bersama (“Permenaker 28/2014”).

Pasal 1 angka 20 UU Ketenagakerjaan menjelaskan bahwa peraturan perusahaan adalah peraturan


yang dibuat secara tertulis oleh pengusaha yang memuat syarat-syarat kerja dan tata tertib
perusahaan. Pasal 108 UU Ketenagakerjaan mengatur bahwa:

1. Pengusaha yang mempekerjakan pekerja/buruh sekurang-kurangnya 10 (sepuluh) orang wajib


membuat peraturan perusahaan yang mulai berlaku setelah disahkan oleh Menteri atau
pejabat yang ditunjuk.

2. Kewajiban membuat peraturan perusahaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak
berlaku bagi perusahaan yang telah memiliki perjanjian kerja bersama.

Peraturan perusahaan disusun oleh dan menjadi tanggung jawab dari pengusaha yang bersangkutan.[1]
Pasal 110 ayat (1) UU Ketenagakerjaan kemudian menegaskan bahwa peraturan perusahaan disusun
dengan memerhatikan saran dan pertimbangan dari wakil pekerja/buruh di perusahaan yang
bersangkutan.
 

Dalam hal di perusahaan yang bersangkutan telah terbentuk serikat pekerja/serikat buruh, maka wakil
pekerja/buruh adalah pengurus serikat pekerja/serikat buruh.[2] Pengusaha harus menyampaikan
naskah rancangan peraturan perusahaan kepada wakil pekerja/buruh dan/atau serikat pekerja/serikat
buruh untuk mendapatkan saran dan pertimbangan.[3]

Peraturan perusahaan sekurang-kurangnya memuat:[4]

a. hak dan kewajiban pengusaha;

b. hak dan kewajiban pekerja/buruh;

c. syarat kerja;

d. tata tertib perusahaan; dan

e. jangka waktu berlakunya peraturan perusahaan.

Selama masa berlakunya peraturan perusahaan, apabila serikat pekerja/serikat buruh di perusahaan
menghendaki perundingan pembuatan perjanjian kerja bersama, maka pengusaha wajib melayani.[5]

Berdasarkan uraian tersebut, perubahan peraturan perusahaan menjadi perjanjian kerja bersama
dimungkinkan.

Perjanjian Kerja Bersama

Pasal 1 angka 21 UU Ketenagakerjaan kemudian menjelaskan bahwa perjanjian kerja bersama adalah
perjanjian yang merupakan hasil perundingan antara serikat pekerja/serikat buruh atau beberapa
serikat pekerja/serikat buruh yang tercatat pada instansi yang bertanggung jawab di bidang
ketenagakerjaan dengan pengusaha, atau beberapa pengusaha atau perkumpulan pengusaha yang
memuat syarat-syarat kerja, hak, dan kewajiban kedua belah pihak.

Dalam satu perusahaan hanya dapat dibuat satu perjanjian kerja bersama yang berlaku bagi seluruh
pekerja/buruh di perusahaan.[6] Perundingan perjanjian kerja bersama harus didasari iktikad baik dan
kemauan bebas kedua belah pihak, secara musyawarah untuk mufakat.[7]

Masa berlaku perjanjian kerja bersama paling lama dua tahun, yang dapat diperpanjang paling lama satu
tahun berdasarkan kesepakatan tertulis antara pengusaha dan serikat.[8] Perjanjian kerja bersama
paling sedikit memuat:[9]
a. hak dan kewajiban pengusaha;

b. hak dan kewajiban serikat pekerja/serikat buruh serta pekerja/buruh;

c. jangka waktu dan tanggal mulai berlakunya perjanjian kerja bersama; dan

d. tanda tangan para pihak pembuat perjanjian kerja bersama.

Terkait pertanyaan Anda, patut diperhatikan bahwa Pasal 120 ayat (3) UU Ketenagakerjaan jo. Putusan
Mahkamah Konstitusi Nomor 115/PUU-VII/2009 (“Putusan MK 115/2009”) berbunyi:

Para serikat pekerja/serikat buruh membentuk tim perunding yang keanggotaannya ditentukan secara
proporsional berdasarkan jumlah anggota masing-masing serikat pekerja/serikat buruh.

Putusan MK 115/2009 juga menambahkan bahwa ketentuan tersebut dimaknai, “dalam hal di satu
perusahaan terdapat lebih dari satu serikat pekerja/serikat buruh, yang berhak mewakili dalam
melakukan perundingan dengan pengusaha dalam suatu perusahaan adalah maksimal tiga serikat
pekerja/serikat buruh atau gabungan serikat pekerja/serikat buruh yang jumlah anggotanya minimal 10
persen dari seluruh pekerja/buruh yang ada dalam perusahaan”.

Hal ini ditegaskan kembali dalam Pasal 19 ayat (1) Permenaker 28/2014. Lebih lanjut, jumlah tiga
serikat pekerja/serikat buruh ditentukan sesuai peringkat berdasarkan jumlah anggota yang terbanyak.
[10]

Ketika Serikat Pekerja/Serikat Buruh Lebih dari Satu dan Tak Bersepakat

Berdasarkan uraian tersebut, perundingan perjanjian kerja bersama dilaksanakan antara pengusaha
atau para pengusaha dengan maksimal tiga serikat pekerja/serikat buruh atau gabungan antar anggota
serikat pekerja/serikat buruh. Yang berhak diperhitungkan adalah serikat yang memiliki anggota minimal
10 persen dari jumlah seluruh pekerja/buruh di perusahaan.

Selain itu, dalam menentukan tim perunding pembuatan perjanjian kerja bersama, pihak pengusaha dan
pihak serikat pekerja/serikat buruh menunjuk tim perunding sesuai kebutuhan dengan ketentuan
masing-masing, paling banyak sembilan orang dengan kuasa penuh.[11]

Apabila perundingan pembuatan perjanjian kerja bersama tidak selesai dalam waktu yang disepakati
dalam tata tertib perundingan, maka kedua belah pihak dapat menjadwal kembali perundingan dengan
waktu paling lama 30 hari setelah perundingan gagal.[12]
 

Berdasarkan uraian tersebut, jika dari pihak para serikat pekerja/serikat buruh belum sepakat mengenai
ketentuan dalam perjanjian kerja bersama, maka perundingan dengan pengusaha dapat dijadwalkan
kembali. Perjanjian kerja bersama, menurut hemat kami, tidak akan berlaku berdasarkan tanda tangan
dari hanya sebagian perwakilan serikat pekerja/serikat buruh. Hal ini sesuai ketentuan di mana tanda
tangan seluruh pihak, termasuk seluruh perwakilan serikat pekerja/serikat buruh, merupakan muatan
minimum suatu perjanjian kerja bersama.

Selain itu, di dalam satu perusahaan hanya dapat dibuat satu perjanjian kerja bersama yang berlaku bagi
seluruh pekerja/buruh di perusahaan. Maka dari itu, perusahaan tidak dapat menyepakati dua
perjanjian kerja bersama yang berbeda dengan serikat pekerja/serikat buruh yang berbeda-beda pula.

Jika sebelum perundingan perjanjian kerja bersama yang buntu itu perusahaan Anda telah memiliki
peraturan perusahaan, maka Pasal 111 ayat (5) UU Ketenagakerjaan telah mengatur bahwa:

Dalam hal perundingan pembuatan perjanjian kerja bersama sebagaimana dimaksud dalam ayat (4)
tidak mencapai kesepakatan, maka peraturan perusahaan tetap berlaku sampai habis jangka waktu
berlakunya.

Seluruh informasi hukum yang ada di Klinik hukumonline.com disiapkan semata – mata untuk tujuan
pendidikan dan bersifat umum (lihat Pernyataan Penyangkalan selengkapnya). Untuk mendapatkan
nasihat hukum spesifik terhadap kasus Anda, konsultasikan langsung dengan Konsultan Mitra Justika.

Demikian jawaban kami, semoga bermanfaat.

Dasar Hukum:

1. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan ;

2. Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Nomor 28 Tahun 2014 tentang Tata Cara Pembuatan dan
Pengesahan Peraturan Perusahaan serta Pembuatan dan Pendaftaran Perjanjian Kerja Bersama.

Putusan:

Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 115/PUU-VII/2009.

 
[1] Pasal 109 UU Ketenagakerjaan

[2] Pasal 110 ayat (2) UU Ketenagakerjaan

[3] Pasal 6 ayat (1) Permenaker 28/2014

[4] Pasal 111 ayat (1) UU Ketenagakerjaan

[5] Pasal 111 ayat (4) UU Ketenagakerjaan

[6] Pasal 118 UU Ketenagakerjaan

[7] Pasal 14 ayat (2) dan (3) Permenaker 28/2014

[8] Pasal 123 ayat (1) dan (2) UU Ketenagakerjaan

[9] Pasal 124 ayat (1) UU Ketenagakerjaan

[10] Pasal 19 ayat (2) Permenaker 28/2014

[11] Pasal 22 ayat (1) Permenaker 28/2014

[12] Pasal 25 ayat (1) Permenaker 28/2014

Anda mungkin juga menyukai