Anda di halaman 1dari 4

Akibat Jika Peraturan Perusahaan Tidak Disahkan oleh

Menaker
Pengesahan Peraturan Perusahaan
Pengertian peraturan perusahaan menurut Pasal 1 angka 20 Undang-
Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (“UU
Ketenagakerjaan”) adalah peraturan yang dibuat secara tertulis oleh
pengusaha yang memuat syarat-syarat kerja dan tata tertib perusahaan.
Pengusaha yang mempekerjakan pekerja/buruh sekurang-kurangnya 10
orang wajib membuat peraturan perusahaan yang mulai berlaku setelah
disahkan oleh Menteri Ketenagakerjaan atau pejabat yang ditunjuk. Namun
kewajiban tersebut tidak berlaku bagi perusahaan yang telah memiliki
perjanjian kerja bersama.

Peraturan perusahaan tersebut disusun oleh dan menjadi tanggung jawab dari
pengusaha yang bersangkutan. Ketentuan di dalamnya tidak boleh
bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, dengan
sekurang-kurangnya memuat:

a. hak dan kewajiban pengusaha;


b. hak dan kewajiban pekerja/buruh;
c. syarat kerja;
d. tata tertib perusahaan; dan
e. jangka waktu berlakunya peraturan perusahaan.

Pengesahan peraturan perusahaan harus sudah diberikan dalam waktu paling


lama 30 hari kerja sejak naskah peraturan perusahaan diterima. Jika
peraturan perusahaan telah sesuai dengan persyaratan dalam Pasal 111 ayat
(1) dan (2) UU Ketenagakerjaan , maka dalam waktu 30 hari kerja sudah
terlampaui dan peraturan perusahaan belum disahkan, peraturan
tersebut dianggap telah mendapatkan pengesahan.

Dalam hal peraturan perusahaan belum memenuhi persyaratan, Menteri


Ketenagakerjaan atau pejabat yang ditunjuk harus memberitahukan secara
tertulis kepada pengusaha mengenai perbaikan peraturan perusahaan. Dalam
waktu paling lama 14 hari kerja sejak tanggal pemberitahuan diterima,
pengusaha wajib menyampaikan kembali peraturan perusahaan yang telah
diperbaiki kepada Menteri Ketenagakerjaan atau pejabat yang ditunjuk.

Adapun ketentuan lebih spesifik mengenai tata cara pembuatan dan


pengesahan peraturan perusahaan diatur dengan Peraturan Menteri
Ketenagakerjaan Nomor 28 Tahun 2014 tentang Tata Cara Pembuatan
dan Pengesahan Peraturan Perusahaan Serta Pembuatan dan
Pendaftaran Perjanjian Kerja Bersama (“Permenaker 28/2014”).

Disebutkan dalam Pasal 7 ayat (1) Permenaker 28/2014, pengesahan


peraturan perusahaan dilakukan oleh:

a. Kepala Satuan Kerja Perangkat Daerah (“SKPD”) bidang ketenagakerjaan kabupaten/kota,


untuk perusahaan yang terdapat hanya dalam satu wilayah kabupaten/kota;
b. Kepala SKPD bidang ketenagakerjaan provinsi, untuk perusahaan yang terdapat pada lebih
dari satu kabupaten/kota dalam satu provinsi;
c. Direktur Jenderal Pembinaan Hubungan Industrial dan Jaminan Sosial Tenaga Kerja
(“Direktur Jenderal”), untuk perusahaan yang terdapat pada lebih dari satu provinsi.

Direktur jenderal yang dimaksud dapat mendelegasikan kewenangan


pengesahan peraturan perusahaan kepada direktur yang menyelenggarakan
urusan di bidang persyaratan kerja.
Pengusaha harus mengajukan permohonan pengesahan yang dilengkapi
dengan:

a. naskah peraturan perusahaan yang telah ditandatangani oleh pengusaha; dan


b. bukti telah dimintakan saran dan pertimbangan dari serikat pekerja/serikat buruh dan/atau
wakil pekerja/buruh apabila di perusahaan tidak ada serikat pekerja/serikat buruh.

Selanjutnya, pejabat yang ditunjuk melakukan penelitian terhadap


kelengkapan dokumen dan materi peraturan perusahaan yang tidak boleh
lebih rendah dari peraturan perundang-undangan.

Apabila tidak memenuhi persyaratan, maka sebagaimana yang telah diuraikan


sebelumnya, pejabat akan memberitahukan secara tertulis kepada pengusaha
mengenai perbaikan peraturan perusahaan. Dalam hal pengusaha tidak
menyampaikan kembali peraturan perusahaan yang telah diperbaiki, maka
proses pengesahan dimulai dari awal.

Atas permohonan pengesahan peraturan perusahaan yang telah memenuhi


persyaratan, pejabat wajib mengesahkan peraturan perusahaan dengan
menerbitkan surat keputusan dalam waktu paling lama lima hari kerja sejak
dokumen dan materi telah memenuhi persyaratan.
Jika Peraturan Perusahaan Tidak Disahkan
Menjawab pertanyaan Anda, telah diuraikan di atas bahwa peraturan
perusahaan mulai berlaku setelah disahkan oleh Menteri Ketenagakerjaan
atau pejabat yang ditunjuk, sebagaimana diatur dalam Pasal 108 ayat (1) UU
Ketenagakerjaan .

Dikarenakan peraturan perusahaan baru mulai berlaku setelah mendapat


pengesahan dari pejabat yang berwenang, maka menurut hemat kami,
peraturan perusahaan yang tidak diajukan pengesahannya oleh
perusahaan tidak berlaku atau tidak mempunyai kekuatan hukum.

Selain itu, pelanggaran atas ketentuan Pasal 108 ayat (1) UU Ketenagakerjaan
juga mengakibatkan pengusaha dapat dikenakan sanksi pidana denda paling
sedikit Rp5 juta dan paling banyak Rp50 juta. Tindak pidana ini merupakan
tindak pidana pelanggaran.

Peraturan perusahaan yang tidak disahkan juga berpotensi


menimbulkan perselisihan kepentingan, sebagaimana diatur
dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian
Perselisihan Hubungan Industrial (“UU 2/2004”). Menurut Pasal 1 angka
3 UU 2/2004:

Perselisihan kepentingan adalah perselisihan yang timbul dalam


hubungan kerja karena tidak adanya kesesuaian pendapat
mengenai pembuatan, dan atau perubahan syarat-syarat kerja yang
ditetapkan dalam perjanjian kerja, atau peraturan perusahaan, atau
perjanjian kerja bersama.

Penyelesaian perselisihan kepentingan wajib diupayakan terlebih dahulu


melalui perundingan bipartit secara musyawarah untuk mencapai mufakat,
dengan jangka waktu paling lama 30 hari kerja sejak tanggal dimulainya
perundingan. Jika dalam jangka waktu 30 hari salah satu pihak menolak
berunding atau perundingan tidak mencapai kesepakatan, maka perundingan
bipartit dianggap gagal.
Yang dimaksud sebagai perundingan bipartit adalah perundingan antara
pengusaha atau gabungan pengusaha dan pekerja atau serikat pekerja/serikat
buruh atau antara serikat pekerja/serikat buruh dan serikat pekerja/serikat
buruh yang lain dalam satu perusahaan yang berselisih.

Terhadap perundingan bipartit yang gagal, salah satu atau kedua belah pihak
mencatatkan perselisihannya kepada instansi yang bertanggung jawab di
bidang ketenagakerjaan setempat dengan melampirkan bukti bahwa upaya-
upaya penyelesaian melalui perundingan bipartit telah dilakukan.

Setelah menerima pencatatan, instansi yang bertanggung jawab di bidang


ketenagakerjaan setempat wajib menawarkan kepada para pihak untuk
menyepakati memilih penyelesaian melalui konsiliasi atau arbitrase.

Jika penyelesaian melalui konsiliasi tidak mencapai kesepakatan, maka salah


satu pihak dapat mengajukan gugatan ke Pengadilan Hubungan Industrial.

Sedangkan jika penyelesaian dipilih melalui arbitrase, masalah tersebut tidak


dapat diajukan gugatan ke Pengadilan Hubungan Industrial karena putusan
arbitrase bersifat akhir dan tetap, kecuali dalam hal-hal tertentu yang dapat
diajukan pembatalan ke Mahkamah Agung.

Anda mungkin juga menyukai