Anda di halaman 1dari 9

Analisa FUNDAMENTAL seri ke Lima

STRATEGY MEMILIH PERUSAHAAN UNTUK INVESTASI


JANGKA PANJANG

MODUL KE 9 KULIAH TELEGRAM MINGGUAN (SETIAP HARI JUM’AT)

Di susun Oleh : AchmAD DeDi

Khusus untuK member telegrAm

GROUP DISKUSI : @sufiinvesting


GROUP MATERI : @sufiinvestinglibrary
www.sufiinvesting.com
STRATEGI MEMBELI DAN MENJUAL SAHAM
Keputusan yang sangat penting dalam investasi saham adalah
keputusan untuk membeli dan menjual saham.

Keputusan membeli dan menjual saham, haruslah keputusan yang


penuh pertimbangan, selalu melakukan pekerjaan rumah, jangan
pernah buy dan sell, hanya berdasarkan panic buy atau panic sell,
keputusan emosional, atau feeling yang tidak pernah ada dasarnya
sama sekali.

Mengambil keputusan, hanya berdasarkan “feeling” atau hanya ikut-


ikutan kata orang, mendengar apa kata orang tanpa dasar
pengetahuan, tidak jauh beda dengan judi, hitung kancing (gambling).

Agar tidak terjebak gambling, kita harus memiliki blue print strategi,
yang sebelumnya kita rumuskan, sebagai gambaran ada beberapa hal
yang harus dirumuskan sebelum memutuskan membeli dan menjual
saham.

Blue print akan menjadikan kita memiliki pedoman.


Pedoman yang terencana dengan baik, akan menguatkan investor
supaya disiplin dan konsisten terhadap setiap keputusan investasi
yang dibuat, sehingga tidak akan mudah terpengaruh dengan fluktuasi
pasar, sesiapa yang tidak pernah mengerjakan Pekerjaan rumah
investasi akan mengikuti arus sehingga mudah terpengaruh apa kata
orang, dan kemungkinan kegagalan dalam investasi akan lebih besar.

Pekerjaan Rumah Investasi,

Kriteria membeli saham

Agar mampu merumuskan kriteria saham yang akan dibeli, seorang


investor harus dapat menjawab :

1. Perusahaan APA yang akan dibeli?


2. KAPAN waktu yang tepat untuk membeli ?
Dua jenis aliran investasi yang banyak diterapkan oleh investor
saham, adalah investasi nilai (value investing) dan investasi
momentum (momentum Investing).

Investasi nilai

Investasi nilai dilakukan dengan membandingkan nilai wajar suatu


saham dengan harga yang ditawarkan di pasar.

Investor nilai atau value investor hanya akan membeli saham satu
perusahaan jika harga yang ditawarkan di pasar jauh lebih rendah
dibandingkan dengan nilai intrinsik dari perusahaan tersebut.

Value investor akan menganalisis secara mendalam kondisi keuangan


perusahaan tersebut, dan menghitung berapa nilai wajar dari saham
tersebut.

Value investor cenderung berinvestasi dalam jangka waktu panjang,


dan tidak mudah terpengaruh terhadap fluktuasi harga dalam jangka
pendek.

Value investor memandang krisis menjadi kesempatan untuk


mendapatkan perusahaan bernilai tinggi dengan harga yang murah.

Krisis dilihat sebagai kolam emas bagi investor nilai karena pada masa
tersebut biasanya perusahaan-perusahaan bernilai tinggi diobral
dengan harga diskon.

Membeli kemudian menunggu hingga kondisi krisis semakin membaik,


kenaikkan harga signifikan berada dalam genggaman, dimana harga
akan kembali merefleksikan nilai wajarnya.

Mampukah Anda menggambarkan perusahaan apa yang tidak akan


bangkrut meski terjadi krisis.

Gambaran saya pribadi,

Perusahaan tahan banting adalah yang produk atau jasanya tetap


dibutuhkan, dan tidak bisa dihindari untuk digunakan meskipun krisis.
Perusahaan jalan tol salah satunya, sebab kepadatan kendaraan tidak
akan berkurang meski situasi krisis, yang menggunakan tol tetap
banyak.

Contoh lain, perusahaan yang menjual kebutuhan pokok sehari-hari


yang dibutuhkan masyarakat, apapun situasinya,masyarakat tetap
akan memaksakan diri untuk membeli produk yang dibutuhkannya.

Hal yang menarik adalah, meski perusahaan tersebut tetap bertahan


ditengah krisis, namun, psikologi market secara makro ditengah krisis
mempengaruhi, dan harga saham dipasar tetap jatuh lebih rendah
dibandingkan nilai intrinsik dari perusahaan tersebut.

Salah satu krisis keuangan yang pernah melanda dunia termasuk


Indonesia adalah tahun 2008, yang dikenal dengan krisis global
akibat subprime mortgage di Amerika.

Pada saat itu, krisis tersebut membuat panik semua pelaku pasar
modal hampir diseluruh bursa yang ada didunia, mendorong mereka
untuk menjual secara besar-besaran, sehingga harga saham jatuh
lebih dari 50 %. Indeks harga saham gabungan (IHSG) turun
signifikan dari 2500 ke level 1300.

Saat itu semua perusahaan dijual setengah harga.

Investor yang bijak menjadikan masa krisis sebagai waktu terbaik


untuk mengumpulkan saham-saham terbaik, sebab saat krisis hanya
berlangsung beberapa tahun saja tidak selama-lamanya, terbukti saat
krisis mulai mereda, IHSG berbalik ke level 2500 semudah membalik
telapak tangan.

Tahun 2015 indeks sudah berada di level 4900.

Dari 1300 menjadi 4900, artinya berlipat 277 %.

Sejarah membuktikan bahwa , dalam jangka pendek saham selalu naik


dan turun, namun jangka panjang arah lebih kuat, karena ekonomi
betumbuh dan perusahaan berkembang, tidak ada satu orang
pengusahapun yang bercita-cita membangun usaha untuk bangkrut,
kecuali yang memang didesain dari awal untuk merampok uang
investor, namun perusahaan pada umumnya, tetap ingin untung dan
berupaya kearah tersebut.

Fakta inilah yang membuat investor jangka panjang tidak terlalu


memusingkan fluktuasi jangka pendek.

Profit dan loss hanyalah catatan yang belum terealisasi.

Jika kita memiliki indeks di 2500 kemudian menjual di 1300, jelas


kita telah merealisasi loss, lain halnya kita bersabar dan bertahan
lebih lama, indeks merangkak naik ke 4900, dengan kesabaran dan
keyakinan, loss yang tidak direalisasi berujung indah pada waktunya,
menjadi profit yang terealisasi.

Dari indeks kita telah dapat gambaran, semakin kuat fakta berbicara,
ketika kita melihat secara spesifik ke perusahaannya.

Pada krisis 2008, harga saham BBRI (Bank BRI) jatuh dari level
3.500 menjadi hanya 1.200. Dan ditahun 2015 sudah berada dilevel
10.000, berapa banyak untung yang didapat saat mampu melakukan
investasi yang tepat pada masa tersebut.

Investasi momentum

Aliran investasi momentum kebalikan dari investasi nilai, aliran


investasi ini memanfaatkan momentum jangka pendek untuk
mengeksekusi kebijakan buy dan sellnya.

Sebagai contoh, membeli dan menjual saham dengan memanfaatkan


rumor, berita di media massa, aksi korporasi,dan lain-lain.

Ketika perusahaan mengumumkan akan membagikan dividen, harga


saham umumnya akan bergerak naik untuk merespons pengumuman
tersebut.

Investor momentum memanfaatkan pergerakan naik turunnya harga


saham jangka pendek untuk ikut andil mengambil keuntungan.
Penganut strategi investasi momentum, lebih tepat disebut trader
daripada investor, atau bisa juga disebut spekulan, yang berspekulasi
untuk mengambil keuntungan jangka pendek dari suatu momentum
tertentu, bisa dibilang “ untung-untungan”.

Trader atau spekulan terkadang bisa dikategorikan “untung-


untungan”.

Mereka bertransaksi atas dasar apa yang sedang “hot” , “ viral”,


sedang ramai dan panas dibicarakan di market.

Investor momentum cenderung mudah terpengaruh oleh apa kata


media dan apa kata orang lain.

Investor sejati akan membeli perusahaan dengan dasar dan alasan


yang kuat.

Mereka melihat jauh ke depan bahwa perusahaan yang mereka beli


dapat bertumbuh.

Investor sejati memiliki strategi investasi jangka panjang.

Dalam jangka pendek, harga saham selalu naik dan turun akibat
serbuan berita positif dan berita negatif, atau sebuah rancangan
yang memerangkap investor ritel. Lain halnya dengan jangka panjang,
tren harga saham lebih kuat dan lebih mencerminkan nilai dari
perusahaan tersebut.

Modul ini sangat tidak menyarankan Anda menjadi investor


momentum, sebab ranahnya berbeda, ada bahasan khusus bagi
mereka yang lebih bergairah dengan transaksi cepat, instan, jangka
pendek.

Pembahasan trading jangka pendek tidak akan Anda temukan di


pembahasan strategi memilih perusahaan untuk investasi jangka
panjang.
Mencoba mengambil keuntungan dari naik dan turunnya harga jangka
pendek akan menjebak Anda dalam ketamakan atau keserakahan,
yang pada akhirnya hanya akan membawa Anda pada kerugian,
ingatlah, semakin banyak komisi yang dibayarkan pada broker, dan
semakin banyak pajak yang harus dibayar.

Teknik memilih saham


Ilmu paling dasar untuk memilih saham telah saya sampaikan di modul
sebelumnya, yaitu menggunakan rasio PBV dan PER.

Memilih saham berdasarkan rasio PBV

Semakin rendah rasio PBV, maka dapat dikatakan saham tersebut


murah, saham dengan nilai rasio PBV 1, mengandung arti, harga saham
yang ditawarkan sama dengan nilai bukunya.

Jika dibawah 1, maka saham tersebut dikategorikan under value.

Jika ada saham yang memiliki rasio PBV diatas 1, lihat kinerja
perusahaan tersebut atau keunggulannya, boleh juga rasio PBV
digunakan untuk membandingkan perusahaan sejenis, jika ada
perusahaan yang memiliki bidang usaha dan sektor yang sama, maka
cari PBV paling rendah dari keduanya.

PBV 1.5 X tentunya lebih murah dari 1.7 x.

Perbandingan tersebut haruslah apple to apple, perusahaan sejenis


dengan sektor yang sama.

Memilih saham berdasarkan rasio PER

PER dihitung dengan membandingkan harga saham di pasaran dengan


laba bersih per saham (EPS).

EPS didapat dari laba bersih dibagi jumlah saham beredar.

Semakin rendah PER, semakin murah suatu saham.

Laba bersih merupakan ukuran dari kinerja sebuah perusahaan dalam


periode tertentu.
Sehingga PER menunjukkan berapa lama waktu yang diperlukan, suatu
perusahaan memberikan imbal hasil, dari rupiah yang kita belikan
untuk selembar saham dibanding laba yang kita dapatkan dari saham
tersebut.

Semakin kecil nilai PER, semakin sebentar waktu yang diperlukan


untuk balik modal.

Semakin kecil, semakin murah.

Apakah cukup hanya bermodalkan rasio PBV dan PER saja untuk
memilih saham-saham yang murah?

Rasio PER dan PBV hanyalah pijakan awal untuk mengambil keputusan
investasi, ada kalanya saham yang PER dan PBV-nya tinggi, terus naik
harganya, sementara, saham yang PER dan PBV-nya rendah, harganya
tidak naik-naik.

Yang pernah mengalami fenomena diatas akan paham sebab pernah


mengalaminya, namun bagi yang belum pernah jangan sampai terjebak,
belajarlah pada mereka yang telah mengalami.

Fenomena value trap (jebakan nilai) sering terjadi dipasar modal,


banyak investor tertarik membeli saham karena memiliki PER dan
PBV-nya yang murah, namun ironis, saham yang memiliki PER dan PBV
rendah tersebut tidak bergerak harganya, tidak naik-naik tetap
disitu-situ saja, bahkan tak jarang malah turun.

Berdasarkan teori saham yang memiliki PER dan PBV rendah lebih
layak untuk dibeli, dan memberi potensi kenaikkan harga lebih besar
untuk menyesuaikan PER dan PBV-nya dengan PER dan PBV rata-rata
industrinya.

Namun realita di market seringkali bertolak belakang.

Kenyataan ini menjadikan kita tidak cukup hanya menggunakan PER


dan PBV sebagai dasar investasi, kemudian menyimpulkan suatu saham
layak dibeli atau tidak.
Berdasarkan pengalaman, saya mempelajari bahwa saham yang
memiliki PER dan PBV tinggi memiliki dua kemungkinan.

Kemungkinan pertama, saham tersebut memang betul-betul mahal


secara valuasi (over value).

Kemungkinan kedua, pasar melihat perusahaan tersebut memiliki


prospek pertumbuhan yang cerah dan memiliki kualitas, sehingga
pasar menghargai saham tersebut di harga premium, atau memiliki
rasio valuasi diatas rata-rata industri.

Sebaliknya, saham yang memiliki PER dan PBV rendah juga memiliki
dua kemungkinan.

Kemungkinan pertama, saham tersebut benar-benar murah (under


value) dan belum dilirik market.

Kemungkinan kedua, perusahaan tersebut tidak memiliki prospek,


atau beresiko tinggi sehingga pasar memberi harga rendah untuk
perusahaan tersebut.

Menemukan saham yang memiliki rasio PER dan PBV rendah hanyalah
pondasi awal, kita harus menelusuri lebih lanjut, apakah saham
tersebut benar-benar layak dibeli karena memiliki valuasi yang
murah, atau sebenarnya memiliki masalah sehingga terlalu beresiko
membeli perusaahan tersebut.

Jadi, bagaimana kriteria saham yang layak beli?

Temukan jawabannya di modul selanjutnya, Jum’at yang akan datang,


Insya Alloh..

Anda mungkin juga menyukai