Anda di halaman 1dari 4

Pertama kalinya di kota Jakarta

Karya Tubagus Nur Rahmat Putra

Tiba di Bandara Soekarno-Hatta. Aku segera mengambil koperku berniat ingin keluar
dari pesawat yang kutumpangi semalam. Perlahan-lahan aku melangkahkan kaki beranjak
dari bangku yang aku duduki semalam, menuju pintu keluar pesawat. Tiba di pintu, aku
menghirup udara Jakarta yang segar terlebih lagi saat itu masih pagi, mataku memandang
keramaian orang-orang di Bandara, disertai dengan senyuman tipis atas keselamatanku
sampai tujuan. Tiba-tiba ada orang dari belakang yang menegurku untuk segera berjalan
menuruni anak tangga pesawat berhubung orang itu mau lewat.

Kutarik koperku, melangkah mengelilingi Bandara sambil memikul jaket berwarna abu-
abu di bahu kananku. Saat berjalan, aku melihat dompet seorang Perempuan jatuh tepat di
depanku. Perempuan itu berpenampilan agak seksi, memakai baju berwarna biru dengan
lengan di bagian bawah berwarna putih di sertai motif kekinian di seluruh penjuru baju,
menarik koper pake tangan kanan, memikul jaket berwarna hitam di bahu sebelah kiri. Aku
berlari mengambil dompet perempuan itu, mengejarnya yang tidak lain tujuannya adalah
untuk mengambil dompet itu.

“Mbak permisi, dompet ini milik mbak?”

“Iya, kok bisa ada sama kamu?” tanya perempuan itu heran.

“Tadi dompet ini jatuh di depan saya, pas tadi mbak lari-lari” kataku singkat.

“Makasih ya, mungkin kalau gak ada kamu, mungkin dompet ini udah keburu di ambil orang,
sekali lagi makasih ya!” katanya dengan sopan.

“Sama-sama!” jawabku singkat.

Perempuan itu melihat seisi dompetnya, memastikan apakah dompetnya masih utuh
atau tidak, usai hal itu, dia mengambil sejumlah uang ratusan ribuan yang saya sendiri tidak
tau tujuannya apa.

“Ini buat kamu!”

Perempuan itu menarik tanganku meletakkan uang beberapa lembar di atas tanganku.

“Eh, gak usah, saya ikhlas kok , ini kan udah kewajiban kita sebagai manusia harus saling
menolong.”

“Udah terima aja!” ujarnya dengan nada memaksakan.

“Sekali lagi maaf mbak, saya gak bisa terima.”


Perempuan itu menunjukkan wajahnya sedikit kesal karena aku tidak menerima
pemberiannya dia. Tapi wajah kesalnya tidak berlangsung lama berhubung malu dilihatin
orang di sekitar Bandara yang jalan kesana kemari.

“Kamu baik bangat deh, baru kali ini aku melihat laki-laki sebaik kamu, udah ganteng, baik
lagi, pasti orangtuamu sangat bangga melahirkan kamu!”

“Ah kamu bisa saja. Oh ya saya Muhammad Nasir, panggil saja Nasir, mbak siapa?” kataku
mengulurkan tangan melepas koperku dari tangan kanan yang dari tadi tak pernah lepas
ibarat gembok dengan anak kuncinya.

“Saya Indah Harianti, panggil saja Indah!” ucapnya membalas uluran tanganku sembari
tersenyum tipis.

Senyumnya mengingatkan aku pada ibuku di rumah, mempunyai lesung pipit di sebelah
kanan dengan hidung yang sedikit mancung. Aku menarik nafas, merenungi kerinduan pada
ibuku, padahal baru dua hari saja tidak bertemu pada ibuku, rasanya sudah tidak bertemu 1
tahun. Apakah ini namanya kasih sayang seorang ibu kepada anaknya?

“He kok bengong?”

Aku hanya diam, tidak menanggapi apa yang baru saja dia bilang, lagian buat apa
ngomongin masalah pribadi ke orang lain, malah nambah beban nantinya.

“Aku pergi dulu ya! Bye, salam kenal.” ucap Indah melangkah menuju pintu gerbang
Bandara.

“Salam kenal juga!” Batinku.

Begitu juga denganku. Kulangkahkan kakiku menuju pintu gerbang Bandara untuk
menuju kost-an temanku, kutarik koperku, mengambil sehelai kertas yang bertuliskan
alamat kost-an temanku. Langkah demi langkah ku langkahkan kakiku, melihat sekitar
Bandara yang sebagian besar dihuni oleh anak pemulung. Aku kasihan melihat anak
pemulung itu, masih kecil sudah bekerja keras untuk mencari makan, walaupun sebuah nasi
basi yang mereka temukan di sebuah tempat sampah Bandara, bagi mereka itu sudah lebih
dari cukup.

Aku teringat untuk yang kedua kalinya kepada keluargaku di rumah, aku bersyukur
masih mempunyai keluarga, walau itu dari kalangan yang serba kekurangan. Bagiku status
keluarga bukanlah alasan untuk tidak mampu menggapai impian setinggi langit. Buktinya,
bapak Chairul Tanjung walaupun ia dari kalangan keluarga tidak mampu, ia tetap berusaha
untuk bersekolah, meskipun waktu kuliah semester 1, ibunya sempat menjual sehelai kain
untuk biaya kuliahnya. Dan sampai sekarang ia sudah termasuk daftar 10 orang terkaya di
Indonesia, semoga saya bisa mengikuti jejaknya, amin. Batinku.
Dari kejauhan, saya melihat sebuah taksi meluncur sangat cepat. Tanpa saya kira, taksi
itu berhenti di hadapan saya, yang dari tadi kedatangannya kutunggu-tunggu baru saja
datang.

Kubuka bagasi taksi, mengangkat koperku ke dalamnya, sementara jaketku masih


kupikul di sebelah kananku. Kini aku ada di dalam taksi, memberikan sehelaian kertas yang
berisikan sebuah alamat, menandakan bahwa tujuanku tertera pada alamat itu. Maklum
orang dari kampung, belum mengenal kota Jakarta.

Sampai di kost-an temanku. Aku memastikan alamat yang ada di kertasku ini, apakah
alamatnya benar atau tidak. Setelah kuperhatiin dengan cermat, kini aku sudah percaya
bahwa rumah ini adalah kost-an temanku. Rumahnya indah berwarna pink, berlantai dua,
mempunyai puluhan pot bunga yang berbaris di pinggir teras membuat mata ingin
melihatnya terus menerus. Di samping rumah, juga terdapat taman dengan ayunan
berwarna putih di tambah pohon hijau segar dan asri. Wah, ini pasti pemilik kost-annya baik
banget, demikian juga dengan penghuninya. Kan jarang ditemukan rumah kost bertemakan
tanaman.

Kutekan bel yang ada di samping pintu kost, mengucap salam dengan kesan sopan, tapi
gak ada orang yang membukakan pintu untukku. Apa nggak ada orang? Masa iya sih, kost
segede ini di pagi hari penghuninya pada gak ada? Pada ke mana tu orang pagi-pagi? Apa
mungkin sekolah? Aduh, kok kamu jadi dodol gini sih? Secara ini kan hari Minggu, mana ada
orang sekolah hari Minggu. Pertanyaan itu tanpa sengaja muncul dalam benakku yang tidak
jelas asal usulnya.

Setelah cukup lama berdiri, tiba tiba ada seorang cowok yang keluar dari dalam kost,
berpenampilan kusut dengan kesan masih ngantuk, menggunakan kacamata, dan sedikit
lebih tinggi dari aku.

“Cari siapa?” tanya cowok itu dengan mata sedikit terpejam berhubung masih ngantuk.

Ya Ampun, ni anak pemalas atau ini sudah kebiasaan mereka? Masa sih, udah jam 10 pagi
masih tidur manis di kamar? pikirku bingung.

“Saya anak baru di kostan ini!”

“What, kamu anak baru?” tanyanya heran.

Aku mengangguk bingung.

Tiba-tiba dia yang dari tadi masih mengantuk, berubah menjadi segar alias tidak
mengantuk lagi. Berlari ke dalam kost seraya berteriak “Guys, kita kedatangan teman baru”.
Kemudian anak-anak yang lain pada keluar menemuiku, belum lagi anak-anak cewek turun
dari lantai dua hanya untuk menemuiku. Aku hanya bingung melihat tingkah laku mereka
yang sangat unik bagiku. “Di mana anak barunya?” tanya seorang cewek dari dalam kost.
Selain itu, langkahan kaki mereka terdengar dari luar menuju tempatku berdiri.

“Oh, jadi ini anak barunya?” tanya seorang cowok berkulit putih, dan ganteng.

“Hai Bro, selamat datang di kost an ini! By the way, kapan sampenya?” tanya teman cowok
ku.

“Angga lo kenal ama dia?” tanya seorang cewek berambut kemerahan.

“Yoi, orang gue yang kasih alamat ini ke dia”.

“Guys, kalian ini gimana sih? Dia ini kan tamu, masa ngobrolnya di luar, di ajak dong ke
dalam!” ucap cowok yang membukakan pintu tadi.

Kedatangan ku disambut dengan gembira oleh penghuni kost ini, mereka menggiringku
ke ruang tamu, belum lagi koperku mereka yang bawa. Aku merasa diperlakukan terlalu
berlebihan, tapi, I don’t care, selama itu membuat mereka happy, aku mengikut saja.

Anda mungkin juga menyukai