Konfusi merupakan istilah yang umum digunakan pada seseorang yang tidak mampu
untuk berpikir secara cepat, jernih dan terdapat inkoherensi. Kondisi konfusi yang disertai
dengan agitasi, halusinasi dan kondisi emosional yang berfluktusi disebut sebagai delirium. 1
Konfusi juga merupakan gambaran khas dari kondisi kronik dari demensia, yang memiliki sifat
progresif terhadap kemampuan berpikir, berbahasa memori dan intelektual.1
Delirium digambarkan dengan kondisi gangguan persepsi yang menonjol, halusinasi dan
mimpi yang jelas, fantasi yang aneh, delusi, sulit untuk tidur, kecenderungan untuk mergerak,
sensitif mudah tersinggung dan ketakutan serta emosi yang berlebihan.1
Tanda cardinal dari delirium antara lain :3
1. gangguan kesadaran (penurunn kewaspadaan lingkungan)
2. perubahan fungsi kognitif (gangguan memori, disorientasi, gangguan bahasa) dan gangguan
persepsi (halusinasi, delusi)
Etiologi
Delirium mempunyai berbagai macam penyebab. Semuanya mempunyai pola gejalaserupa yang
berhubungan dengan tingkat kesadaran dan kognitif pasien. Penyebab utamaadalah berasal dari
penyakit susunan saraf pusat (seperti epilepsy), penyakit sistemik (sepertigagal jantung), dan
intoksikasi atau reaksi putus obat maupun zat toksik. Penyebab deliriumterbanyak terletak diluar
sistem saraf pusat, misalnya gagal ginjal dan hati. Neurotransmiteryang dianggap berperan
adalah asetilkolin, serotonin, serta glutamat. Area yang terutamaterkena adalah formasio
retikularis
I. Delirium
A. Pada penyakit medis atau bedah (tanpa tanda neurologis fokal atau
lateralisasi; cairan LCS jernih)
B. Pada kelainan neurologis yang menyebabkan tanda neurologis fokal atau
lateralisasi atau perubahan LCS
1. Vaskular, neoplastik, atau penyakit lain, khususnya yang melibatkan
lobus temporal dan bagian atas batang otak
2. Benturan dan kontusio (delirium traumatik)
3. Meningitis tipe purulen akut, fungal, tuberkulosis, dan neoplastik
4. Ensefalitis virus (contoh: herpes simpleks, mononukleosis infeksius),
bakteri (mycoplasma), dan penyebab lain
5. Perdarahan subarakhnoid
C. Keadaan abstinensia, intoksikasi eksogen, dan keadaan postkonvulsi
1. Alkohol withdrawal (deliriumtremens), obat sedatif barbiturat dan
nonbarbiturat, intoksikasi kronik
2. Intoksikasi obat: scopolamine, amfetamin, kokain, dan obat lain,
halusinogen, phencyclidine, dll
3. Delirium postkonvulsif
II. Psikosis, khusunya dengan karakteristik manik
III.Keadaan konfusio karena lesi serebri fokal
IV. Beclouded dementia, demensia atau penyakit otak lain yang disertai dengan
demam karena infeksi, reaksi obat, trauma, gagal jantung, atau penyakit medis
atau bedah
Patofisiologi
Subtrat anatomi dari delirium tidak sepennuhnya dipahami, diyakini merupakan
gabungan dan interaksi antar area dikorteks yang luas dengan jaras neuron di subkorteks.
Subkortikal Reticular Activating System dan nukleus di thalamus diyakini memiliki peran
terhadap perubahan level kesadaran, sedangkan keterlibatan korteks otak dan sistem limbic
memiliki peran terhadap perubahan fungsi kognitif dan tingkah laku.4
Berbagai gangguan fokal di otak akan menimbulkan manifestasi yang berbeda. Gangguan pada
lobus parietal nondominan akan menyebabkan missidentification syndrome, gangguan pada
thalamus dan sisi mesial lobus temporal akan menimbulkan gangguan amnestic, dan gangguan
pada lobus frontal akan bermanifestasi sebagai gangguan pemusatan perhatian dan fungsi
eksekutif. Pada banyak kasus pasien delirium akan muncul berbagai manifestasi klinik dalam
satu waktu.
Perubahan transmisi neuronal yang di jumpai pada delirium melibatkan berbagai
mekanisme, yang melibatkan tiga hipotesis :6
a. Efek langsung
Beberapa substansi memiliki efek langsung pada neurotransmitter di otak, terutama agen
antikolinergik dan dopaminergik. Gangguan metabolik lain seperti hipoksia, hipoglikemia atau
iskemia dapat ,mengganggu fungsi neuronal secara langsung dan mengurangi pembentukan atau
pelepasan neurotransmitter. Pada wanita dengan kanker payudara, kondisi hiperkalsemia
merupakan penyebab utama delirium.
b. Inflamasi
Gangguan primer dari luar otak seoperti penyakit inflamasi, trauma, atau prosedur bedah
dapat mengakibatkan delirium. Reaksi stres dari sel akan memacu munculnya respon inflamasi
perifer yaitu sitokin yang kemudian mengaktivasi microglia yang akan memroduksi reaksi
inflamasi di otak. Sitokin proinflamasi akan mempengaruhi sintesis dan pengeluaran dari
neurotransmitter di otak antara lain asetilkolin, dopamin, norepinefrin dan 5-HT sehingga akan
mengganggu komunikasi antar neuron. Sitokin proinflamasi juga dapat memberikan efek toksik
secara langsung pada neuron. Proses inflamasi berperan menyebabkan delirium pada pasien
dengan penyakit utama diotak terutama penyakit neurodegeneratif.
c. Respon stress akut
Faktor stres akan menginduksi sistem saraf simpatis untuk melepaskan lebih banyak noradrenalis
dan aksis hipotalamus-pituitari-adrenokortikal untuk melepaskan lebih banyak glukokortikoid
yang juga dapat mengaktivasi glia dan menyebabkan kerusakan neuron
Manifestasi Klinis
Gambaran Gambaran Pemeriksaan Disfungsi
Esensial Variabel Fisik Autonomik
Onset akut Gangguan persepsi Disartria Takikardi
Berfluktuasi Hiper/hipoaktif Disnomia Hipertensi
Tidak terfokus Gangguan tidur Disfagia Banyak berkeringat
Disorganisasi pikiran Gangguan emosional Afasia Flushing
dan verbal Nistagmus Dilatasi pupil
Kesadaran berkabut Ataksia
Defisit kognitif Tremor
Mioklonus
Faktor predisposisi
Peresepan obat dan polifarmasi
Gejala penghentian alkohol dan benzodiazepin
Sepsis, syok, hipotermia
Gangguan keseimbangan elektrolit (sodium, kalsium, magnesium, fosfat)
Defisiensi nutrien (tiamin, B12, folat)
Gagal janung, hati atau ginjal
Gangguan fungsi paru (hipoksemia)
Cerebrovascular accident atau kejang
Paska operasi, terutama jantung, ortopedi atau perawatan ICU
Jatuh dan fraktur
Anemia atau perdarahan saluran cerna
Nyeri
Kanker atau penyakit tahap akhir
Diagnosis
Klasifikasi dan kriteria diagnosis delirium adalah berdasarkan DSM V (diagnosis and Statistical
Manual of Mental Disorders, 5th edition). Kriteria DSM V tahun 2013 tidak berbeda dengan
DSM IV-TR tahun 2000. Berdasarkan DSM V delirium diklasifikasikan sebagai berikut:6
1. Delirium yang berhubungan dengan kondisi medik umum
2. Delirium intoksikasi substansi (penyalahgunaan obat)
3. Delirium penghentian substansi
4. Delirium diinduksi substansi (pengobatan atau toksin)
5. Delirium yang berhubungan dengan etiologi multipel
6. Delirium tidak terklasifikasi
Kriteria penegakkan diagnosis delirium menggunakan 5 kriteria dari DSM V, yaitu:6
a. Gangguan kesadaran (berupa penurunan kejernihan kesadarn terhadap lingkungan) dengan
penurunan kemampuan fokus, mempertahankan atau mengubah perhatian.
b. Gangguan berkembang dalam periode singkat (biasanya beberapa jam hingga hari) dan
cenderung berfluktuasi dalam perjalanannya.
c. Perubahan kognitif (seperti defisit memori, disorientasi, gangguan bahasa) atau perkembangan
gangguan persepsi yang tidak dapat dimasukkan ke dalam kondisi demensia
d. Gangguan pada kriteria (a) dan (c) tidak disebabkan oleh gangguan neurokognitif lain yang
telah ada, terbentuk ataupun sedang berkembang dan tidak timbul pada kondisi penurunan
tingkat kesadaran berat, seperti koma.
e. Temuan bukti dari riwayat, pemeriksaan fisik atau laboratorium yang mengindikasikan
gangguan terjadi akibat konsekuensi fisiologik langsung atau kondisi medik umum, intoksikasi
atau penghentian substansi (seperti penyalahgunaan obat atau pengobatan), pemaparan terhadap
toksin atau karena etiologi multipel
Pemeriksaan
Langkah evaluasi laboratorium
I. Afebris, tidak ada meningismus dan tidak ada defisit neurologis
A. Gangguan metabolik endogen : glukosa, natrium, kalsium, BUN, Pao2, PCO2, NH3, T4,
dan tes khusus lain untuk porpiria, penyakit Hashimoto
B. intoksikasi eksogen : screening toksikologi melalui darah dan urin
II. Febris atau dengan tanda iritasi meningeal
A. infeksi sistemik : cek darah lengkap, x foto thoraks, analisis urin dan kultur, kultur darah,
laju endap darah
B. Meningitis dan ensefalitis : pungsi lumbal
III. Tanda defisit neurologis fokal atau kejang
A. CT scan atau MRI
B. EEG
Penatalaksanaan
Penatalakssanaan kasus delirium dan kondisi konfusi akut didasarkan pada penyebab utama
kondisi tersebut, misalnya penghentian pemberian senyawa toksik atau obat yang menyebabkan
kondisi muncul. Kemudian yang dapat dilakukan adalah mengurangi kegelisahan dan
menghindarkan pasien dari cidera karena jatuh. Ruang perawatan dengan cahaya yang alami
akan membantu menjaga kondisi diurnal pasien. Pada pasien yang gelisah terkadang lebih dipilih
untuk membiarkan pasien berjalan daripada mengikat pasien di bed yang dapat membuat pasien
memberontak hingga lelah dan dapat menyebabkan pasien kolaps atau melukai diri. Pada pasien
yang tidak terlalu aktif dapat dijaga dengan kondisi bed yang selalu terpasang pembatas bed,
melakukan restrain pada pergelangan tangan atau pada pinggang. Perlu dilakukan edukasi yang
baik pada keluarga mengenai pilihan pengikatan pada pasien, yang semata dilakukan untuk
menjaga keamanan pasien. Pada pasien yang dapat bangun namun mengalami sedikit
kebingungan diizinkan untuk duduk ataupun berjalan kecuali ada penyakit yang mendasari yng
menjadi kontraindikasi.1
Obat yang memungkinkan menyebabkan kondisi delirium atau kondisi konfusi akut
sebaiknya dihentikan bila kondisi aman. Termasuk obat yang memiliki efek sedative,
antiansietas, narkotik, antikolinergik, antispastisitas, dan kortikosteroid, L-dopa, metoklopramid,
simetidin, antiaroitmia, antiepilepsi, dan antibiotik. Obat seperti haloperidol, quetiapine dan
risperidon dapat membantu mengatasi pasien yang gelisah dengan halusinasi, namun obat
tersebut juga harus diberikan dengan dosis efektif yang minimal.1
Tujuan pemberian obat tidur pada pasien delirium adalah untuk memastikan pasien bisa
beristirahat, menghindari kelelahan, dan memfasilitasi perawat untuk melakukan perawatan
namun tetap harus dalam pengawasan yang baik. Dokter perlu memberikan pengertian pada
pasien mengenai segala tindakan yang akan dilakukan walaupun hal yang sederhana seperti
mengukur suhu tubuh.