Anda di halaman 1dari 3

STANDAR OPERASIONAL PROSEDUR (SOP)

PEMBERIAN TRANSFUSI

A. PENGERTIAN
Transfusi darah merupakan tindakan keperawatan yang di lakukan pada klien yang membutuhkan darah
dan/atau produk darah dengan cara memasukkan darah melalui vena dengan menggunakan set transfuse.
Transfusi darah adalah proses menyalurkan darah atau produk berbasis darah dari satu orang ke sistem
peredaran orang lainnya (wikipedia, 2011)

B. TUJUAN
1. Meningkatkan volume darah sirkulasi (setelah pembedahan, trauma atau hemoragic).
2. Meningkatkan jumlah sel darah merah dan untuk mempertahankan kadar hemoglobin pada klien anemia.
3. Memberikan komponen seluler tertentu sebagai terapi sulih (misalnya: faktor pembekuan untuk
membantu mengontrol perdarahan pada pasien hemofilia).
4. Meningkatkan kemampuan darah dalam mengangkut oksigen
5. Memperbaiki kekebalan
6. Memperbaiki masalah pembekuan.

C. INDIKASI
1. Anemia pada perdarahan akut setelah didahului penggantian volume dengan cairan.
2. Anemia kronis jika Hb tidak dapat ditingkatkan dengan cara lain.
3. Gangguan pembekuan darah karena defisiensi komponen.
4. Plasma loss atau hipoalbuminemia jika tidak dapat lagi diberikan plasma subtitute atau larutan albumin.
5. Kecelakaan, trauma atau operasi pembedahan yang besar.
6. Perdarahan akut sampai Hb <8 gr% atau Hct < 30%
7. Klien dengan penyakit kelainan darah tertentu (misalnya anemia, leukemia)

D. TEMPAT PEMASANGAN
1. Gunakan vena distal lengan untuk pilihan pertama
2. Jika memungkinkan pilih lengan non dominan
3. Pilih vena-vena di atas area fleksi
4. Gunakan vena kaki jika vena lengan tidak dapat diakses
5. Pilih vena yang mudah diraba, vena yang besar dan yang memungkinkan aliran cairan adequat
6. Pastikan bahwa lokasi yang dipilih tidak akan mengganggu aktivitas sehari-hari pasien
7. Pilih lokasi yang tidak mempengaruhi pembedahan atau prosedur-prosedur yang direncanakan
Hindari menggunakan vena berikut:
1. Vena pada area fleksi (misal:fossa ante cubiti)
2. Vena yang rusak karena insersi sebelumnya (misal karena flebitis, infiltrasi atau sklerosis)
3. Vena yang nyeri palpasi
4. Vena yang tidak stabil, mudah bergerak ketika jarum dimasukkan
5. Vena yang mudah pecah
6. Vena yang berbelok-belok
7. Vena dorsal yang rapuh pada klien lansia dan pembuluh darah pada ekstremitas dengan gangguan
sirkulasi (misal pada mastektomi, graft dialysis atau paralysis).

E. EFEK SAMPING
Reaksi yang paling sering terjadi adalah demam dan reaksi alergi (hipersensitivitas), yang terjadi sekitar 1-2%
pada setiap transfuse, ditandai :
        gatal-gatal
        kemerahan
        pembengkakan
        pusing
        demam
        sakit kepala

F. KOMPLIKASI
1. Reaksi transfusi hemolitik :
a.  Reaksi hemolitik ekstravaskuler
b.  Reaksi hemolitik intravaskuler
2. Infeksi :
a.  Bakteri (stapilokok, citobakter)
b.  Virus (hepatitis, AIDS, CMV)
c.  Parasit (malaria)
3. Lain-lain Demam, urtikaria, anafilaksis, hiperkalemia, asidosis

G. YANG PERLU DIPERHATIKAN


1. Jenis aglutinogen dari darah donor dalam eritrositnya, sedangkan pada resipien perlu diperhatikan macam
aglutinin di dalam plasma darahnya. Hukum Landsteiner menyatakan bahwa bila aglutinogen bertemu
dengan zat antinya (aglutinin), maka akan terjadi aglutinasi atau penggumpalan darah. (Sugiyarto, 1997 :
100 - 101).
2. Perhatikan kemungkinan terjadinya transfusi darah masing-masing golongan darah dari berbagai macam
golongan darah.
   Golongan darah A hanya bisa mendonorkan darah kepada golongan darah A dan AB dan menerima
darah dari golongan darah A dan O.
   Golongan darah B hanya bisa mendonorkan darah kepada golongan darah B dan AB dan menerima
darah dari golongan darah B dan O.
   Golongan darah AB hanya bisa mendonorkan darah kepada golongan darah AB saja dan menerima
darah dari semua golongan darah (A, B, AB dan O) maka dari itu golongan darah AB disebut sebagai
resipien universal.
   Golongan darah O bisa mendonorkan darah kepada semua golongan darah (A, B, AB,dan O) dan
menerima darah dari golongan darah O saja, maka dari itu golongan darah O disebut sebagai donor
universal.
3. Penderita dipersiapkan dengan pemasangan infus dengan jarum besar (16-18). Jarum yang terlalu kecil
(23-25) dapat menyebabkan hemolisis.
4. Transfusi dilakukan dengan transfusi set yang memiliki saringan untuk menghalangi bekuan fibrin dan
partikel debris lainnya. Transfusi set baku memiliki saringan dan ukuran pori-pori 170 mikron. Pada
keadaan normal, sebuah transfusi set dapat digunakan untuk 2 sampai 4 unit darah.
5. Vena terbaik untuk kanulasi darah adalah vena pada bagian dorsal tangan dan pada lengan atas. Dalam
keadaan darurat dapat dilakukan venaseksi untuk menjamin kelancaran dan kecepatan transfusi.
6. Waktu mengambil darah dari lemari es, perhatikan plasmanya. Jika ada tanda-tanda hemolisis (warna
coklat hitam, keruh) jangan diberikan. Darah yang belum akan ditransfusikan harus tetap di dalam lemari
es. Setelah darah sudah dikeluarkan dari lemari es harus didiamkan selama 30 menit,dan baru langsung
ditransfusikan.
7. Jangan menggunakan larutan dekstrose dan larutan garam hipotonik dapat menyebabkan hemolisis.
Ringer laktat atau larutan lain yang mengandung kalsium akan menyebabkan koagulasi.
8. Jangan menambahkan obat apapun ke dalam darah yang ditransfusikan. Obat-obatan memiliki pH yang
berbeda sehingga dapat menyebabkan hemolisis, lagipula bila terjadi reaksi transfusi akan sulit untuk
menentukan apakah hal itu terjadi akibat obat atau akibat darah yang ditransfusikan.
9. Jika sejumlah besar darah akan ditransfusikan dalam waktu yang singkat, maka dibutuhkan darah hangat,
karena darah yang dingin akan mengakibatkan aritmia ventrikel bahkan kematian. Menghangatkan darah
dengan air hangat hendaknya pada suhu 370C -390C. Karena bila > 400C, eritrosit akan rusak.
10. Pada 100 ml pertama pemberian darah lengkap hendaknya diteliti dengan hati-hati dan diberikan
perlahan-lahan untuk kemungkinan deteksi dini reaksi transfusi.
11. Transfusi set mengalirkan darah 1 ml dalam 20 tetes. Laju tercepat yang bisa tercapai adalah 60 ml
permenit. Laju transfusi tergantung pada status kardiopulmoner resipien. Jika status kardiopulmoner
normal, maka dapat diberikan 10-15 ml/kgBB dalam waktu 2-4 jam. Jika tidak ada hemovolemia maka
batas aman transfusi adalah 1 ml/kgBB/jam (1 unit kurang lebih 3 jam) atau 1000 ml dalam 24 jam. Tetapi
jika terdapat gagal jantung yang mengancam maka tidak boleh ditransfusikan melebihi 2 ml/kgBB/jam.
Karena darah adalah medium kultur yang ideal untuk bakteri, sebaiknya transfusi satu unit darah tidak
boleh melewati 5 jam karena meningkatnya resiko proliferasi bakteri.
12. Kasus-kasus dengan perdarahan yang hebat kadang-kadang dibutuhkan transfusi yang cepat sampai 6-7
bag dalam setengah jam. Setelah sirkulasi tampak membaik dikurangi hingga 1 bag tiap 15 menit

H. PROSEDUR
1. ALAT
• Transfuse set
• Gunting & plester

2. BAHAN
• Darah dalam kantung
• Cairan NaCl 0,9%

3. LANGKAH
A.   Tahap PraInteraksi
1.   Melakukan verifikasi data sebelumnya bila ada
2.   Mencuci tangan
3.   Menempatkan alat di dekat pasien dengan benar

B.   Tahap Orientasi
1.   Memberikan salam sebagai pendekatan terapeutik
2.   Menjelaskan tujuan  dan prosedur tindakan pada keluarga/pasien
3.   Memberikan kesempatan kepada pasien untuk bertanya
4.   Menanyakan kesiapan klien sebelum kegiatan dilakukan

C.   Tahap Kerja
1. Sebelum transfusi, diberikan terlebih dahulu 50-100 ml NaCl fisiologik. Dengan tetesan hidrasi NaCl 20
tetes/menit
2. Ganti cairan NaCl dengan darah, atur tetesan sesuai kebutuhan
3. Observasi terjadinya reaksi

D.    Tahap Terminasi


1.      Melakukan evaluasi tindakan
2.      Berpamitan dengan klien
3.      Membereskan alat-alat
4.      Mencuci tangan
5.     Mencatat kegiatan dalam lembar catatan perawatan

Anda mungkin juga menyukai