Anda di halaman 1dari 36

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Pada masa lanjut usia secara bertahap seseorang mengalami berbagai kemunduran, baik
kemunduran fisik, mental, dan sosial (Azizah, 2011). Perubahan fisik yang terjadi pada setiap
lanjut usia sangat bervariasi, perubahan ini terjadi dalam berbagai sistem, yaitu sistem
integumen, sistem kardiovaskuler, sistem gastrointestinal, sistem reproduksi, sistem
muskuloskeletal, sistem neurologis, dan sistem urologi. Semua perubahan fisiologis ini bukan
merupakan proses patologis, tetapi perubahan fisiologis umum yang perlu diantisipasi (Potter &
Perry, 2005).
Pada lanjut usia sering terjadi masalah “empat besar” yang memerlukan perawatan segera,
yaitu : imobilisasi, ketidakstabilan, gangguan mental, dan inkontinensia dan impotensi. Bagi
lanjut usia masalah inkontinensia dan impotensi merupakan masalah yang tidak menyenangkan
(Watson, 2003). Masalah inkontinensia dan impotensi tidak disebabkan langsung oleh proses
penuaan, pemicu terjadinya inkontinensia pada lanjut usia adalah kondisi yang sering terjadi
pada lanjut usia yang dikombinasikan dengan perubahan terkait usia dalam sistem urinaria
(Stanley & Beare, 2007).
Inkontinensia urin merupakan keluarnya urin yang tidak terkendali dalam waktu yang
tidak dikehendaki tanpa memperhatikan frekuensi dan jumlahnya yang akan menyebabkan
masalah sosial dan higienis penderitanya. Selain masalah sosial dan hieginis inkontinensia urin
mempunyai komplikasi yang cukup serius seperti infeksi saluran kemih, kelainan kulit,
gangguan tidur, problem psikososial seperti depresi, mudah marah dan terisolasi (Setiati, dkk,
2007). Sedangkan, disfungsi ereksi atau impotensi adalah ketidakmampuan yang persisten dalam
mencapai atau mempertahankan fungsi ereksi untuk aktivitas seksual yang memuaskan. Batasan
tersebut menunjukkan bahwa proses fungsi seksual laki-laki mempunyai dua komponen yaitu
mencapai keadaan ereksi dan mempertahankannya (Samekto Wibowo dan Abdul Gofir, 2008).

Prevalensi inkontinensia urin cukup tinggi, yakni pada wanita kurang lebih 10-40% dan 4-
8% sudah dalam keadaan cukup parah pada saat datang berobat. Pada pria prevalensinya lebih
rendah daripada wanita yaitu kurang lebih separuhnya. Survei yang dilakukan diberbagai negara
Asia didapat bahwa prevalensi pada beberapa negara Asia adalah rata-rata 21,6% (14,8% pada
wanita dan 6,8% pada pria). Dibandingkan pada usia produksi, pada usia lanjut prevalensi
inkontinensia lebih tinggi. Prevalensi inkontinensia urin pada manula wanita sebesar 38% dan
pria 19% (Purnomo, 2008). Prevalensi inkontinensia urin di Indonesia sulit ditentukan dengan
pasti. Hal ini karena hasil penelitian epidemiologi yang beragam dalam subyek penelitian,
metode kuesioner, dan definisi inkontinensia urin yang digunakan. Sekitar 50% usia lanjut di
instalasi perawatan kronis dan 11-30% di masyarakat mengalami inkontinensia urin.
Prevalensinya meningkat seiring dengan peningkatan umur. Perempuan lebih sering mengalami
inkontinensia urin dibandingkan laki-laki dengan perbandingan 1,5 : 1 (Setiati, dkk, 2007).
Penelitian National Institutes of Health 2002 menunjukkan kurang lebih 15 juta sampai 30
juta laki-laki di Amerika mengalami disfungsi ereksi. Insidensi terjadinya gangguan bervariasi
dan meningkat seiring dengan usia. Pada usia 40 tahun, terdapat kurang lebih 5% laki-laki
mengalami keadaan disfungsi ereksi, pada usia 65 tahun, terdapat kurang lebih 15-25%
(Handriadi Winaga, 2006). Prevalensi disfungsi ereksi di Indonesia belum diketahui secara tepat,
diperkirakan 16 % laki-laki usia 20 – 75 tahun di Indonesia mengalami disfungsi ereksi
(Samekto Wibowo dan Abdul Gofir, 2008).
Inkontinensia urin merupakan masalah yang belum terselesaikan pada lanjut usia.
Inkontinensia urin pada lanjut usia dapat menimbulkan masalah baru bagi lanjut usia, oleh
karena itu inkontinensia memerlukan penatalaksanaan tersendiri untuk dapat diatasi (Purnomo,
2008).
Disfungsi ereksi atau impotensi bagi laki-laki dapat menimbulkan depresi bagi penderita
yang berujung terganggunya hubungan suami istri serta menyebabkan masalah dalam kehidupan
rumah tangga (Infosehat, 2007). Secara garis besar, penyebab disfungsi ereksi terdiri dari faktor
organik, psikis, dan andropause. Umumnya laki-laki berumur lebih dari 40 tahun mengalami
penurunan kadar testosteron secara bertahap. Saat mencapai usia 40 tahun, laki-laki akan
mengalami penurunan kadar testosteron dalam darah sekitar 1,2 % per tahun. Bahkan di usia 70,
penurunan kadar testosteron dapat mencapai 70% (Bin Muhsin, 2008).
Oleh karena itu, peran perawat dalam membuat asuhan keperawatan gerontik pada
kelompok usia lanjut dan menambah pengetahuan kepada masyarakat terutama usia lanjut
tentang inkontinensia dan distensi urine atau impotensi.
1.2. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian di atas, rumusan masalah pada penulisan ini adalah “Bagaimana
asuhan keperawatan dengan inkontinensia dan impotensi pada usia lanjut?“.

1.3. Tujuan Penulisan


1.3.1 Tujuan Umum
Tujuan penulisan makalah ini untuk mengetahui asuhan keperawatan dengan
inkontinensia dan impotensi pada usia lanjut
1.3.2 Tujuan Khusus
1. Mengetahui pengkajian keperawatan dalam asuhan keperawatan dengan inkontinensia
pada usia lanjut
2. Mengetahui diagnosa keperawatan dalam asuhan keperawatan dengan inkontinensia
pada usia lanjut
3. Mengetahui perencanaan keperawatan dalam asuhan keperawatan dengan
inkontinensia pada usia lanjut

1.4. Manfaat Penulisan


1.4.1 Bagi masyarakat
Mampu memberikan gambaran tentang asuhan keperawatan dengan inkontinensia
dan impotensi pada usia lanjut.

1.4.2 Bagi mahasiswa


Mampu memahami konsep dan proses asuhan keperawatan dengan inkontinensia dan
impotensi pada usia lanjut sehingga dapat menjadi bekal saat melakukan proses asuhan
keperawatan gerontik di lingkungan masyarakat khususnya pada usia lanjut.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Perubahan Seksual pada Lansia Pria


Seiring proses penuaan, kemampuan seksualitas juga akan mengalami penurunan.
Kemampuan untuk mempertahankan seks yang aktif sampai usia lanjut bergantung hanya
pada beberapa faktor yaitu kesehatan fisik dan mental, dan eksistensi yang aktif serta
pasangan yang menarik. Perubahan perilaku sekspada pria yang memasuki masa tua meliputi
berkurangnya respon erotis terhadap orgasme, ejakulasi prematur, dan sakit pada alat
kelamin sewaktu masturbasi.
Salah satu perubahan masalah seksualitas yang terjadi pada pria lansia adalah:
2.1.1 Impotensi atau disfungsi ereksi
A. DEFINISI
Impotensi atau Disfungsi ereksi (DE) adalah ketidakmampuan secara konsisten
untuk mencapai dan atau mempertahankan ereksi sedemikian rupa sehingga
mencapai aktivitas seksual yang memuaskan.
Secara umum impotensia dibedakan menjadi impotensia coendi
(ketidakmampuan untuk melakukan hubungan seksual), impotensia erigendi (tidak
mampu ber-ereksi) dan impotensia generandi (tidak mampu menghasilkan
keturunan). Prevalensi DE sekitar 52% pada pria di antara 40-70 tahun dan
bahkan lebih besar pada pria yang lebih tua.Untuk timbul ereksi diperlukan adanya
rangsangan yang bisa berasal dari rangsangan psikologik (fantasi, bayangan erotik),
olfaktorik (bau-bauan) dan rangsangan sentuh atau rabaan. Proses ereksi
menyangkut berbagai fungsi diantaranya saraf, vaskular, hormonal, psikologik dan
kimiawi.
B. ETIOLOGI
1) DE organik, sebagai akibat gangguan akibat gangguan endokrin, neurogenik,
vaskuler (aterosklerosis atau fibrosis).
 DE endokrinologik biasanya berupa sindroma ADAM (Androgen
Deficiency in the Aging Male), yang merupakan hipogonadisme pada lansia.
DE tipe ini disebabkan oleh gangguan testikular baik primer maupun
sekunder. Selain itu juga dapat disebabkan oleh penyakit yang menyebabkan
hiperprolaktinemia, hipertiroid, hipotiroid dan Cushing’s disease.
 DE neurogenik dapat disebabkan oleh gangguan jalur impuls terjadinya
ereksi. Lesi dilobus temporalis sebagai akibat trauma atau multiple sclerosis
stroke, gangguan atau rusaknya jalur asupan sensorik misalnya pada
polineuropati diabetik, tabes dorsalis atau penyakit ganglia radiks dorsalis
medula spinalis, juga pada gangguan nervus erigentes akibat pasca
prostatektomi total atau operasi rektosigmoid.
 DE vaskuler merupakan DE yang paling sering pada lansia yang mungkin
berhubungan erat dengan prevalensi penyakit aterosklerosis yang tinggi
pada lansia. Gangguan aliran darah arteri ke korpus kavernosus seperti
bekuan darah, aterosklerosis, atau hilangnya kelenturan dinding pembuluh
darah dapat menyebabkan DE.
2) DE psikogenik, sebelum ini selalu dikatakan sebagai penyebab utama DE,
namun menurut penelitian hal ini tidak benar. Justru penyebab utama DE pada
lansia gangguan organik, walaupun faktor psikogenik ikut memegang peranan. 
DE jenis ini yang berpotensi reversibel potensial biasanya yang disebabkan oleh
kecemasan depresi, rasa bersalah, masalah perkawinan atau juga akibat dari rasa
takut akan gagal dalam hubungan seksual.  

C. PATOFISIOLOGI
Disfungsi ereksi dapat mengakibatkan kelainan pada salah satu dari empat
system yang diperlukan untuk ereksi normal. Dapat bersidat organik mengenai
kelainan pada pembuluh darah, saraf dan hormonal. Atau psikogenik yaitu
kelainan dari empat system mengenai penerimaan psikologis terhadap rangsangan
seksual. (Dipiro et.al,2009)
Disfungsi ereksi dapat terjadi karena tiga mekanisme dasar yaitu, adanya
kegagalan menginisiasi (psikogenik, endokrinologik, atau neurogenic), kegagalan
untuk mengisi (arteriogenik), atau kegagalan dalam menyimpan volume darah
yang adekuat di dalam jaringan lankular (disfungsi venooklusif). Factor
psikogenik umumnya sering terjadi bersamaan dengan factor etiologi lain.
Penyebab disfungsi ereksi organic termasuk penyakit yang membahayakan
aliran pembuluh darah ke corpora cavernosum (penyakit vascular perifer,
arterisclorosis, hipertensi esensial) mengganggu nere konduksi ke otak (cedera
tulang belakang, stroke) dan berkaitan dengan hipogonadisme (prostat atau kanker
testis, hipotalamus atau gangguan hipofisis). Penyebab disfungsi ereksi (DE)
organic meliputi malaise, depresi reaktif, atau kecemasan, sedasi, penyakit
Alzeimer, hipotiroidisme, dan gangguan mental. (Dipiro et.al.,2009).

D. MANIFESTASI KLINIS
Secara umum manifestasi klinis dari disfungsi ereksi menurut (Dipiro et.al, 2008)
yaitu:
a.    Umum
-    Perubahan emosi
-    Depresi
-    Kecemasan
-    Kesulitan dalam perkawinan dan menghindari keintiman seksual
-    Timbul ketidakpatuhan pasien, akibat pengobatan penyakit yang
mengakibatkan disfungsi ereksi.
b.   Gejala
Impotensi atau ketidakmampuan untuk melakukan hubungan seksual

E. PENATALAKSANAAN
Phosphodiesterase-5 (PDE5) inhibitors merupakan terapi pilihan utama untuk
disfungsi ereksi. PDE5 akan menyebabkan relaksasi otot. Oleh karena itu dengan
menghambat PDE5, obat ini berpotensi untuk mendorong terjadinya ereksi.
Namun obat ini menjadi kontra indikasi pada pasien yang mendapatkan terapi
nitrogliserin atau golongan nitrat lainnya, karena efeknya dapat menyebabkan
tekanan darah turun drastis dan penurunan perfusi arteri koroner dan dapat
menyebabkan miokard infark. Pemakaian obat ini bersama obat-obatan alfa
bloker.
Salah satu obat yang sangat populer di dunia untuk mengatasi DE adalah
sildenafil sitrat (Viagra). Obat ini bekerja dengan jalan mem-blok pemecahan
GMP siklik yang mempertahankan vasodilatasi korpora kavernosa, tetapi obat ini
hanya bisa diberikan bila keadaan vaskuler penis masih intak. Seperti PDE5, obat
ini juga menjadi kontraindikasi pada pemakaian obat-obatan golongan nitrat
karena dapat menyebabkan hipotensi bahkan syok (Vinik, 1998).
HRT (hormon replacement therapy) diindikasikan pada pria dengan
hipogonadal. Pengobatan yang aman dan efektif dengan injeksi intra muscular
jangka panjang, maupun transdermal testoteron gel. Testoteron oral sebaiknya
dihindari karena kemungkinan toksik hepatik pada penggunaan jangka lama.
Semua pria yang menggunakan terapi testoterone replacement perlu mendapatkan
pemeriksaan rektal digital dan PSA test sedikitnya 1 tahun sekali.
Pemberian testoteron dapat menyebabkan beberapa efek samping, antara lain:
 Pada laki-laki: testis mengecil, produksi sperma berkurang, ginekomastia,
pembesaran prostat
 Pada wanita: klitoris membesar, tumbuh rambut di daerah muka, volume
suara membesar
 Umum: hepatotoksik, peningkatan hematokrit darah, aterosklerosis, dan
hipertrofi jantung.
Ada beberapa cara lain selain dengan terapi testoteron. Misalnya alat vakum
maupun protesa. Alat vakum meningkatkan pembesaran penis dengan membuat
keadaan vakum yang menarik darah ke dalam penis. Saat terjadi ereksi, sebuah
gelang karet atau cincin konstriksi pasang pada pangkal penis dan alat vakum
tersebut dilepas. Gelang tersebut dapat memperlambat aliran balik vena dan
membantu mempertahankan ereksi lebih dari 30 menit. Alat vakum ini dapat
mengakibatkan petekhie dan membuat ujung penis lebih dingin dari biasanya.
Protesa pada penis mungkin membantu ketika cara lain tidak berhasil.
Pembedahan revaskularisasi penis relatif bersifat eksperimental dan belum ada
kesuksesan yang tinggi.

F. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan Laborat
1. Total serum testoteron
2. Dihydrotestoteron
3. Estradiol
4. Rata-rata gonadotropin releasing horman
5. Serum luteinizing hormon (LH)
6. Serum prolaktin
7. Antigen spesifik prostat
8. Darah lengkap
9. Thyroid stimulating hormone

2.2 Perubahan Sistem Pencernaan


Sistem pencernaan pada lansia tidak luput mengalami perubahan seiring dengan
bertambahnya usia. Lansia mengalami banyak perubahan dalam sistem gastrointestinal, dimulai di
mulut dan berakhir di rektum. Pada awal sistem, orang dewasa yang lebih tua biasanya mengalami
masalah mengunyah dan menelan makanan. Masalah gigi dan gusi seringkali menghambat lansia
untuk mengunyah (mengunyah) makanan. Hal ini dapat menyebabkan penurunan pilihan makanan
terhadap makanan lunak yang terkait dengan rasa atau penampilannya yang buruk. Perawat harus
secara konsisten menilai kemampuan klien untuk mengunyah makanan.
Salah satu penyakit yang menyerang sistem pencernaan lansia adalah inkontinensia fekal.
2.2.1 Inkontinensia Fekal
A. DEFINISI
Inkontinensia fekal merupakan suatu keadaan yang menunjukkan kehilangan
kemampuan dalam mengendalikan cairan atau kotoran (feses) yang menyebabkan
masalah sosial atau masalah kebersihan (Norton C, Whitehead WE, Bliss DZ,
Tries J 2005 dalam Tong, Yat-Ching 2007).
Inkontinensia fekal dapat didefinisikan sebagai hilangnya control pengeluaran
feses (kotoran) atau gas (flatus). Hal ini sering disebabkan oleh kegagalan dari
satu atau lebih komponen yang memungkinkan tubuh untuk mengontrol evakuasi
tinja secara tepat dengan kondisi sosial (Benjamin Wedro 2013).
Gangguan kontinensia usus pada individu lansia sering kali menimbulkan rasa
malu, dapat menghambat kontak social lansia, dan dapat berpengaruh buruk
terhadap harga diri, serta menciptakan tugas pemberian asuhan yang tidak
menyenangkan bagi anggota keluarga atau pemberi asuhan lain. Selain itu,
inkontinensia alvi dapat menimbulkan dampak buruk, seperti kerusakan integritas
kulit dan infeksi.

B. ETIOLOGI
Etiologi Inkontinensia fekal yang paling sering ditemukan pada lansia yang
sesuai, disajikan oleh NANDA (1999) dalam dalam Mass. ML, Buckwalter. KC,
Hardy. MD, Reimer. TT, Titler. MG, Specht. JP. (2011) yaitu:
1. Gangguan kognisi
2. Gangguan saluran cerna
3. Penurunan kenali sfingter rectum
4. Kerusakan kapasitas reservoir
5. Faktor lingkungan
6. Obat-obatan dan terapi (Penyalahgunaan laksatif, antibiotic, laktosa, narkotik,
diuretic, dll)
7. Gangguan neuromuscular
8. Kerusakan neuron motoric bawah

C. PATOFISIOLOGI
Pengendalian saraf usus terjadi melalui persarafan parasimpatik dan simpatik.
Serabut simpatik pada tingkat vertebra torakal 11 dan 12 (T11 dan T12) dan
vertebra lumbal 1 dan 2 (L1 dan L2) membentuk saraf hipogastrik (adrenergic).
System simpatik menyebabkan konstriksi sfingter dan menghambat peristalsis.
Serabut parasimpatik yang mengendalikan usus ditemukan pada saraf vagus dan
pada serabut yang berasal dari vertebra ssakral 2, 3, dan 4 (S2, S3, dan S4), yang
berjalan melewati pleksus hipogastrik untuk membentuk pleksus yang disebut
saraf pelvik (kolinergik).
Defekasi normal meliputi dua reflex (King & Harke 1994 dalam Mass. ML,
Buckwalter. KC, Hardy. MD, Reimer. TT, Titler. MG, Specht. JP. 2011). Pleksus
mienterik inferior di usus besar bergabung dengan saraf hipogastrik
mengendalikan reflex intriksik. Reflex kedua timbul dari segmen sacrum medulla
spinalis. Reflex ini biasanya terpicu setelah makan, khususnya setelah pertama
kali makan, ketika gelombang peristaltic yang kuat mendorong materi feses ke
dalam rectum. Distensi pada rectum menstimulasi reflex defekasi melalui pleksus
mienterik untuk memulai gelombang peristaltic lanjutan dari kolon desenden
menuju anus. Sfingter anus interna relaksasi ketika gelombang mencapainya, dan
jika sfingter anus eksterna juga rileks, terjadi defekasi. Kendali defekasi volunter
dimulai dengan mengontraksi sfingter eksterna, yang mengurangi peristalsis dan
dorongan untuk defekasi. Sfingter anus eksterna dipersarafi oleh saraf pudendal,
saraf motoric volunter yang berasal dari S2, S3, dan S4.
Defekasi sebenarnya lemah dan tidak efektif kecuali dibantu oleh reflex
spinal. Stimulasi ke rectum mengawali sinyal melalui saraf ke S2, S3, dan S4
medula spinalis, yang selanjutnya mengirim impuls untuk memperkuat
gelombang peristaltic. Individu dengan mekanisme kendali normal mampu
merasakan keinginan untuk defekasi ketika feses masuk dan mendistensi rectum.
Reflex spinal dapat terabaikan akibat inhibisi sadar dari region hipotalamus
anterior otak, sehingga terjadi kontraksi sfingter eksterna. Reflex defekasi akan
hilang dalam beberapa menit, jika individu tersebut mungkin tidak kembali dalam
beberapa jam. Reflex tersebut dapat kembali dicetuskan dengan menarik nafas
dalam atau mengejan, tetapi reflex yang dimunculkjan dengan cara ini tidak
seefektif reflex yang muncul secara alami. Inhibisi yang lama mengakibatkan
ketidak efektifan progresif reflex defekasi.

D. MANIFESTASI KLINIS
Beberapa manifestai klinis yang dapat ditemukan pada lansia dengan
inkotinensia fekal adalah merembesnya feses cair yang disertai dengan buang gas
dari dubur atau penderita sama sekali tidak dapat mengendalikan keluarnya feses.
Umumnya, orang dewasa tidak mengalami kecelakaan buang air besar. Ini
kecuali mungkin sesekali ketika terserang diare parah. Tapi itu tidak berlaku bagi
orang yang mengalami inkontinensia fekal. Kejadian BAB di celana itu berulang-
ulang dan kronis.
Gejalanya antara lain :
a) Tidak dapat mengendalikan gas atau feses yang mungkin cair atau padat
dari perut
b) Mungkin tidak sempat ke toilet untuk BAB
Bagi beberapa orang termasuk anak-anak inkontinensia tinja adalah masalah
yang relative kecil,terbatas pada sesekali mengotori pakaian mereka.bagi yang
lain,kondisi bisa menghancurkan lengkap karena kurangnya kontrol usus.

E. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK
Dapat dilakukan dengan pemeriksaan fisik yaitu,
1. Umum
Berupa tinggi badan, berat badan, gangguan neuromuscular dan trauma
medulla spinalis, adanya demensia atau gangguan saraf lainnya, (stroke dan
penyakit Parkinson)
2. Lokal
Meliputi pemeriksaan inspeksi dan pemeriksaan rectum, pada inspeksi dapat
dilihat bagaimana kontraksi anus saat dikerutkan, reflek kulit anus, dan sensai
dermatom lombukostal, pemeriksaan rectum dialkukan untuk mengetahui
apakah terdapat pada sfingter atau pada tonus anus.
Selain itu dapat dilakukan :
 Anorectal Ultrasonography
Memeriksa dan mengevaluasi struktur dari sfingter anal.
 Protosigmoid Coloscophy
Melihat kedalaman rectum atau kolon untuk menemukan tanda penyakit
atau masalah yang dapat menyebabkan inkontinensia fekal seperti
inflamasi tumor, atau jaringan parut.
 Anal Manometry
Memeriksa keketatan dari sfingter anal dan kemampuan sfingter anal
dalam merespon sinyal serta sensitivitas dan fungsi dari rectum. MRI
terkadang juga digunakan untuk mengevaluasi sfingter.

F. PENATALAKSANAAN
Penanganan yang baik terhadap sembelit akan mencegah timbulnya skibala
dan dapatmenghindari kejadian inkontinensia alvi. Langkah utama dalam
penanganan sembelit pada pasien geriatri adalah dengan mengidentifikasi faktor –
faktor yang menyebabkantimbulnya sembelit.beberapa hal yang bisa dilakukan
dalam penanganan inkontinensia alvi adalah dengan mengatur waktu ke toilet,
meningkatkan mobilisasi, dan pengaturan posisi tubuh ketika sedang melakukan
buang air besar di toilet.
Pada inkontinensia alvi yang disebabkan oleh gangguan saraf, terapi latihan
otot dasar panggul terkadang dapat dilakukan, meskipun sebagian besar pasien
geriatri dengandimensia tidak dapat menjalani terapi tersebut. Penatalaksanaan
inkontinence tergantung pada jenis inkontinensia yang telah diuraikan diatas.
1. Pada overflow inkontinence yang disebabkan konstipasi, perlu diberikan obat
pencahar, dan perlu pula dibantu dengan pemberian makanan yang
mengandung banyak serat (buah-buahan dan sayur-sayuran, tahu, tempe dan
lain-lain), minum yang cukup serta perlu gerakan tubuh yang cukup.
2. Pada inkontinensia simtomatik, perlu diketahui terlebih dahulu penyakit yang
menyebabkannya dan memberikan pengobatan.
3. Pada neurogenic incontinence, pengobatannya sulit. Hal yang paling
penting
adalah melatih penderita untuk memasuki kamar kecil
(WC) setiap kali setelahmakan dan berjalan di pagi hari ataupun setelah
minum air panas. Latihan ini sajadapat memadai pada sebagian penderita. Jika
perlu, dapat diberikan obat pencahar setelah makan dan dua puluh menit
kemudian, penderita harus telah berada dikamra kecil. Jika tidak menolong
dapat dilakukan dengan memompa kotoran tadi dengan alat dan melatih pola
buang air besar yang teratur.
4. Pada anorektal inkontinence perlu dilatih kekuatan otot-otot pada dasar
panggul

2.3 Perubahan Sistem Perkemihan pada Lansia


Perubahan dalam sistem kemih sering terjadi seiring bertambahnya usia. Ginjal, yang
bertanggung jawab untuk memusatkan urin dan menyaring produk metabolik untuk
eliminasi, mengalami penurunan jumlah nefron dan glomerulus seiring bertambahnya usia.
Pada lansia, kapasitas kandung kemih dan kapasitas volume juga bisa menurun. Hal ini
menyebabkan tingginya insiden inkontinensia urin  atau kehilangan urin secara tidak
disengaja di antara orang dewasa yang lebih tua. Penelitian telah menunjukkan bahwa
antara 10% dan 58% wanita dan 6% sampai 28% pria mengalami inkontinensia setiap hari.
2.3.1 Inkontinensia Urin
A. DEFENISI
Inkontinensia urin merupakan kehilangan kontrol berkemih yang bersifat
sementara atau menetap. Pasien tidak dapat mengontrol sfingter uretra eksterna.
Merembesnya urine dapat berlangsung terus menerus atau sedikitsedikit (Potter
dan Perry, 2005).
Menurut Hidayat (2006), inkontinensia urin merupakan ketidakmampuan
ototsfingter eksternal sementara atau menetap untuk mengontrol ekskresi urin.
Secara umum penyebabinkontinensia dapat berupa proses penuaan, pembesaran
kelenjar prostat, penurunan kesadaran, danpenggunaan obat narkotik atau
sedatif.Inkontinensia urin yang dialami oleh pasien dapat menimbulkan dampak
yang merugikan pada pasien, seperti gangguan kenyamanan karena pakaian basah
terus, risiko terjadi dekubitus (luka pada daerah yang tertekan),dan dapat
menimbulkan rasa rendah diri pada pasien. Inkontinensia urin yang tidak segera
ditangani juga akanmempersulit rehabilitasi pengontrolan keluarnya urin
(Hariyati, 2000).

B. JENIS INKONTINENSIA
1. Inkontinensia urgensi
Inkontinensia urgensi adalah urinasi involunter yang terjadi segera setelah
sensasi kuat urgensi untuk berkemih muncul (Carroll-Johnson dalam Mass
M.L et all 2011). Inkontinensia urgensi, sering disebabkan oleh otot detrusor
yang terlalu aktif yang menyebabkan kandung kemih terpaksa berkontraksi
berlebihan. Gejala lain termasuk frekuensi kencing, nokturia, dan enuresis.
Kondisi neurologis, seperti stroke, lesi sumsum tulang belakang suprasacral,
dan multiple sclerosis berhubungan dengan urge incontinence. Lansia tua
mungkin mengeluh dorongan tiba -tiba untuk buang air kecil dan
ketidakmampuan menahan kencing.
2. Inkontinensia stress
Inkontinensia stres adalah kebocoran urine yang berkaitan dengan
peningkatan tekanan intraabdomen, sering kali terjadi akibat batuk, bersin
atau ketika mengangkat barang. (Carroll-Johnson dalam Mass M.L et all
2011). Lansia mungkin mengeluh bocor urin yang terjadi selama aktivitas
fisik atau dengan peningkatan tekanan intra -abdomen (misalnya batuk,
bersin, membungkuk, mengangkat, atau tertawa). Penyebabnya adalah
kelemahan otot panggul atau uretra Hipermotilitas.
3. Inkontinensia overflow
Inkontinensia overflow terjadi ketika kandung kemih menjadi cukup
distensi sehingga upaya berkemih mengakibatkan pengeluaran urine yang
sedikit tapi sering, kerap kali dalam bentuk dribbling. Terjadi saat kandung
kemih menjadi terlalu penuh karena penyumbatan, tetapi individu tidak akan
merasa ingin buang air kecil. Hal ini disebabkan oleh otot rendah kandung
kemih, atau outlet kandung kemih atau obstruksi uretra menyebabkan
overdistensi dan penuh. Sensasi tidak nyaman, penuh atau tekanan di perut
bagian bawah juga dirasakan. Kondisi yang berhubungan dengan
inkontinensia overflow termasuk efek samping obat, operasi panggul radikal,
neuropati diabetes, cedera tulang belakang rendah dan benign prostatic
hyperplasia (BPH).
4. Inkontinensia fungsional
Inkontinensia fungsional terjadi bila gangguan fisik atau psikologis
mengurangi kemampuan pasien untuk mengenali sinyal untuk berkemih,
menemukan tempat yang tepat untuk berkemih dan kemampuan mereka untuk
mempertahankan kontinensia. Inkontinensia fungsional dapat dilihat pasca-
bedah atau pada orang dewasa yang lebih tua dengan demensia.
5. Inkontinensia campuran.
Inkontinensia campuran adalah kombinasi dari dua atau lebih jenis
inkontinensia, paling sering inkontinensia stres dan inkontinensia urgensi
bersama-sama.
6. Inkontinensia refleks
Inkontinensia refleks merupakan pengeluaran urine akibat hiperrefleksia
otot detrusor dan/ atau relaksasi uretra secara involunter ketika tidak ada
sensasi yang biasanya dihubungkan dengan sensasi berkemih (national
Continence Society Commite on Standarrdization of Terminology. Bentuk
inkontinensia ini menyertai lesi kompleks medulla spinalis di atas konus
medularis. Kontraksi kandung kemih atau sebagai respons terhadap stimulus
dari abdomen bawah atau dari perineum (Wheatley dalam Mass M.L et all
2011)
7. Inkontinensia total
Inkontinensia total adalah pengeluaran urine yang tidak dapat diprediksi
atau continue akibat neuropati reseptor regangan kandung kemih, kerusakan
pada kendali perkemihan di neuro serebri, lesi medulla spinalis atau saraf
perifer di bawah lengkung reflex atau fistula anatomic akibat pembedahan,
trauma kecelakaan, atau malformasi. (Carroll-Johnson dalam Mass M.L et all
2011)
8. Inkontinensia Iatrogenik
Inkontinensia Iatrogenik terjadi akibat faktor yang dikendalikan dokter
dan/atau perawat, misalnya restrain, obat, pembatasan asupan cairan, tirah
baring, dan/atau cairan intravena.Tanpa terapi, lansia akan kembali kontinen.

C. ETIOLOGI
Secara umum penyebab inkontinensia urin merupakan kelainan urologis,
neurologis dan fungsional. Kelainan urologis pada inkontinensia urin dapat
disebabkan karena adanya tumor, batu, atau radang. Kelainan neurologis
sebagai kerusakan pada pusat miksi di pons, antara pons atau sakral medula
spinalis, serta radiks S2-S4 akan terjadi menimbulkan gangguan dari fungsi
kandung kemih dan hilang sensibilitas kandung kemih. (Setiati dan
Pramantara, 2007). Faktor lain yang berhubungan (Mass. ML, Buckwalter. KC,
Hardy. MD, Reimer. TT, Titler. MG, Specht. JP 2011):
1) Kapasitas kandung kemih: sedikit atau overdistensi
2) Asupan kafein/ alcohol yang tinggi
3) Efek obat (antikolinergik, diuretic, narkotik, beta-adrenergik)
4) Iritasi kandung kemih
5) Infeksi
6) Ketidakstabilan destrusor
7) Hiperefleksia destrusor
Faktor resiko (Mass. ML, Buckwalter. KC, Hardy. MD, Reimer. TT, Titler.
MG, Specht. JP 2011)
1) Penyakit kronis yang menyertai penuaan :
2) Stoke, Parkinson, arthritis, demensia, diabetes mellitus
3) Penurunan fasilitasi dan inhibisi pada fungsi serebri dapat membuat
pengendalian urine menjadi tidak dapat diprediksi
4) Penggunaan kateter yang menetap dalam jangka waktu yang lama
5) Faktor lingkungan : hambatan fisik
Faktor risiko yang berhubungan dengan inkontinensia (Castronovo 2001),
meliputi imobilitas, gangguan kognisi, obat-obatan, obesitas morbid, merokok,
impaksi tinja, delirium, hambatan lingkungan, aktivitas fisik berdampak tinggi,
diabetes, stroke, penurunan estrogen, dan kelemahan otot panggul. Rendahnya
asupan cairan (terutama air) atau kelebihan kafein atau alkohol, yang memiliki
efek diuretik, dapat menyebabkan iritasi kandung kemih menyebabkan
meningkatnya urgensi.

D. PATOFISIOLOGI
Pada lanjut usia inkontinensia urin berkaitan erat dengan anatomi dan
fisiologis juga dipengaruhi oleh faktor fungsional, psikologis dan lingkungan.
Pada tingkat yang paling dasar, proses berkemih diatur oleh reflek yang berpusat
di pusat berkemih disacrum. Jalur aferen membawa informasi mengenai volume
kandung kemih di medulla spinalis (Darmojo, 2000).
Pengisian kandung kemih dilakukan dengan cara relaksasi kandung kemih
melalui penghambatan kerja syaraf parasimpatis dan kontraksi leher kandung
kemih yang dipersarafi oleh saraf simpatis serta saraf somatic yang
mempersyarafi otot dasar panggul.
Pengosongan kandung kemih melalui persarafan kolinergik parasimpatis yang
menyebabkan kontraksi kandung kemih sedangkan efek simpatis kandung kemih
berkurang. Jika kortek serebri menekan pusat penghambatan,akan merangsang
timbulnya berkemih. Hilangnya penghambatan pusat kortikal ini dapat
disebabkan karena usia sehingga lansia sering mengalami inkontinensia urin.
Karena dengan kerusakan dapat mengganggu kondisi antara kontraksi kandung
kemih dan relaksasi uretra yang mana gangguan kontraksi kandung kemih akan
menimbulkan inkontinensia (Setiati, 2001).

E. MANIFESTASI KLINIS
1) Kulit ruam
2) Dekubitus
3) Iritasi kandung kemih
4) Ketidakmampuan mengontrol BAK
5) Ketidaknyamanan daerah pubis2.
6) Distensi vesika urinaria.
7) Ketidak sanggupan untuk berkemih.
8) Sering berkemih, saat vesika urinaria berisi sedikit urine. ( 25-50 ml)
- Ketidakseimbangan jumlah urine yang dikeluarkan dengan asupannya.
- Meningkatkan keresahan dan keinginan berkemih.
- Adanya urine sebanyak 3000-4000 ml dalam kandung kemih.

F. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK
(Grace, P.A & Borley, N.R. 2006)
1. Kultur urin untuk menyingkirkan infeksi
2. IVU, untuk menilai saluran bagian atas dan adanya obstuksi.
3. Urodinamik :
4. Uroflowmetri, mengukur kecepatan aliran.
5. Sistometri, menggambarkan kontraktur detrusor
a) Sistometri video, menunjukkan kebocoran urine saat mengedan pada
pasien dengan inkontinensia stress dan
b) Flowmetri tekanan uretra, mengukur tekanan uretra dan kandung kemih
saat istirahat dan selama berkemih.
6. Sistoskopi, jika dicurigai terdapat batu atau neoplasma kandung kemih.
7. Pemeriksaan spekuum vagina, sistogrm jika dicurigai terdapat fistula
vesikovagina.

G. PENATALAKSANAAN
(Mass. ML, Buckwalter. KC, Hardy. MD, Reimer. TT, Titler. MG, Specht. JP
2011)
1. Latihan Dasar Panggul
Melibatkan kontraksi berulang otot pubokoksigeus, otot yang membentuk
struktur penyokong panggul dan mengelilingi pintu panggul pada vagina,
uretra dan rectum. Latihan ini sering disebut senam kagel, pertama kali
dijelaskan oleh Arnold H. Kagel sebagai pilihan terapi untuk klien
inkontinensia stress.
Dengan kontraksi berulang akan menguatkan otot pubokoksigeus dan
mengurangi episode inkontinensia
2. Pelatihan Kandung Kemih dan pelatihan Kebiasaan Berkemih
Pelatihan kandung kemih melibatkan pemanjangan atau pemendekan
bertahap periode di antara berkemih, dengan sasaran memulihkan pola
berkemih dan mengembalikan kontinensia. Merupakan pilihan terapi untuk
klien inkontinensia urgensi akibat overdistensi atau penurunan kapasitas
kandung kemih. Pelatihan kebiasaan berkemih dilakukan dengan
menyesuaikan jadwal eliminasi dengan respon klien guna menghindari
episode inkontinensia. Merupakan pilihan terasi pada klien inkontinensia
fungsional yang berhubungan dengan defisit perceptual/kognitif atau defisit
fisik.
3. Meningkatkan Asupan cairan Sebagai Penunjang Pelatihan Kandung Kemih
dan kebiasaan Berkemih
Program ini bertujuan untuk meningkatkan ka[asitas kandung kemih dan
menurunkan aktivitas detrusor. Individu lansia yang mengalami inkontinensia
beresiko mengalami dehidrasi. Inkontinensia berkurang, jika asupan cairan
1200-1800ml/hari dapat dicapai dan dipertahankan.
4. Kateterisasi Intermiten
Tujuannya adalah mempertahankan volume urine di dalam kandung kemih
300ml atau kurang.Kateterisasi dilakuakan 2-3 jam dan dilakukan satu
samapai dua kali pada malam hari.
5. Pilihan Terapi Lain
Tergantung pada tipe dan etiologi inkontinensia. Inkontinenisa fungsional
dengan defisit fisik dilakukan pula program penguatan otot dan modifikasi
lingkungan untuk mengurangi hambatan anatara klien dengan kursi buang air.
Inkontinensia urgensi dengan iritasi kandung kemih karena urine yang sangat
pekat dapat diterapi dengan asupan cairan 1.500-2000ml.
BAB III
KASUS SEMU

Ny K 64 tahun. Klien tinggal di panti werdha Harapan, klien mengatakan keluhan ingin
BAK terus-menerus dan tidak bisa ditahan sampai ke toilet. Klien mengatakan kencingnya lebih
dari 10 kali dalam sehari. Klien juga mengatakan dia tidak bisa menahan kencingnya, karena dia
tidak sempat lagi untuk sampai toilet.  klien mengaku dia mengurangi minum agar tidak
mengompol lagi. Klien mengatakan sering menahan haus. Klien mengatakan lecet-lecet pada
kulitnya. Klien mengatakan malu apabila keluar kamar, karena mengompol dan bau air
kencingnya yang menyengat. sehingga hanya diam dikamar. Klien mengatakan tidak pernah
mengalami penyakit yang sama sebelumya. Klien mengatakan pernah dirawat di RS dan
dipasang kateter. Observasi Tanda-Tanda Vital :   TD 160/90 mmHg  Nadi : 90x/menit  RR :
18x/menit   S : 370C.
BAB IV
ASUHAN KEPERAWATAN

4.1. Pengkajian Keperawatan


Tanggal pengkajian : 22 sept 2018
4.1.1 Identitas klien
 Nama : Ny. K
Umur : 64 tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
 Agama : Islam
Status Perkawinan : Sudah Menikah
Suku Bangsa : Jawa
Pendidikan : SD
Pekerjaan : Tidak Bekerja
Tgl masuk RS : 21 September 2018
No. Register : 15665

4.1.2 Penanggung Jawab


Nama : Tn. F 
 Umur : 65 tahun
 Pekerjaan : Swasta
Alamat : Hibrida 10

4.1.3 Status kesehatan sekarang


1. Keluhan utama
Klien mengatakan keluhan ingin BAK terus-menerus dan tidak bisa ditahan
sampai ke toilet.
2. Riwayat kesehatan sekarang
Klien mengatakan kencingnya lebih dari 10 kali dalam sehari. Klien juga
mengatakan dia tidak bisa menahan kencingnya, karena dia tidak sempat lagi
untuk sampai toilet.  klien mengaku dia mengurangi minum agar tidak
mengompol lagi. Klien mengatakan sering menahan haus. Klien mengatakan
lecet-lecet pada kulitnya. Klien mengatakan malu apabila keluar kamar, karena
mengompol dan bau air kencingnya yang menyengat. sehingga hanya diam
dikamar.
3. Riwayat kesehatan dulu
Klien mengatakan tidak pernah mengalami penyakit yang sama sebelumya.
Klien mengatakan pernah dipasang kateter 

4.1.4 Perubahan terkait Proses Menua


Fungsi Fisiologis
1. Kondisi Umum
Ya Tidak
Kelelahan : √
Perubahan BB : √
Perubahan nafsu : √
makan
Masalah tidur : √
Kemampuan ADL : √
KETERANGAN : Klien kelelahan karena harus bolak balik ke kamar
mandi
2. Integumen
Ya Tidak
Lesi / luka : √
Pruritus : √
Perubahan pigmen : √
Memar : √
Pola penyembuhan : √
lesi
KETERANGAN : Klien mengalami luka lecet akibat terlalu sering kecing

3. Hematopoetic
Ya Tidak
Perdarahan abnormal : √
Pembengkakan kel : √
limfe
Anemia : √
KETERANGAN :
4 Kepala
.
Ya Tidak
Sakit kepala : √
Pusing : √
Gatal pada kulit kepala : √
KETERANGAN :
5 Mata
.
Ya Tidak
Perubahan : √
penglihatan
Pakai kacamata : √
Kekeringan mata : √
Nyeri : √
Gatal : √
Photobobia : √
Diplopia : √
Riwayat infeksi : √
KETERANGAN :
6. Telinga
Ya Tidak
Penurunan pendengaran : √
Discharge : √
Tinitus : √
Vertigo : √
Alat bantu dengar : √
Riwayat infeksi : √
Kebiasaan membersihkan : √
telinga
Dampak pada ADL : Tidak ada dampak pada ADL
KETERANGAN :

7. Hidung sinus
Ya Tidak
Rhinorrhea : √
Discharge : √
Epistaksis : √
Obstruksi : √
Snoring : √
Alergi : √
Riwayat infeksi : √
KETERANGAN :
8. Mulut, tenggorokan
Ya Tidak
Nyeri telan : √
Kesulitan menelan : √
Lesi : √
Perdarahan gusi : √
Caries : √
Perubahan rasa : √
Gigi palsu : √
Riwayat Infeksi : √
Pola sikat gigi : Klien sikat gigi 2x sehari
KETERANGAN :
9 Leher
.
Ya Tidak
Kekakuan : √
Nyeri tekan : √
Massa : √
KETERANGAN :

10 Pernafasan
.
Ya Tidak
Batuk : √
Nafas pendek : √
Hemoptisis : √
Wheezing : √
Asma : √
KETERANGAN :

11. Kardiovaskuler
Ya Tidak
Chest pain : √
Palpitasi : √
Dipsnoe : √
Paroximal nocturnal : √
Orthopnea : √
Murmur : √
Edema : √
KETERANGAN :

12. Gastrointestinal

Ya Tidak
Disphagia : √
Nausea / vomiting : √
Hemateemesis : √
Perubahan nafsu makan : √
Massa : √
Jaundice : √
Perubahan pola BAB : √
Melena : √
Hemorrhoid : √
Pola BAB : .klien BAB 1x sehari
KETERANGAN :

13 Perkemihan
.
Ya Tidak
Dysuria : √
Frekuensi :  10x
Hesitancy : √
Urgency : √
Hematuria : √
Poliuria : √
Oliguria : √
Nocturia : √
Inkontinensia : √
Nyeri berkemih : √
Pola BAK :  10x sehari dan tidak bisa ditahan
KETERANGAN : Klien BAK > 10 x sehari dan tidak bisa ditahan
smapai kamar mandi

14 Reproduksi (laki-laki)
.
Ya Tidak
Lesi :
Disharge :
Testiculer pain :
Testiculer massa :
Perubahan gairah sex :
Impotensi :

Reproduksi
(perempuan)
Lesi : √
Discharge : √
Postcoital bleeding : √
Nyeri pelvis : √
Prolap : √
Riwayat menstruasi : Menopause
Aktifitas seksual : √
Pap smear : √
KETERANGAN :
15 Muskuloskeletal
.
Ya Tidak
Nyeri Sendi : √
Bengkak : √
Kaku sendi : √
Deformitas : √
Spasme : √
Kram : √
Kelemahan otot : √
Masalah gaya berjalan : √
Nyeri punggung : √
Pola latihan : Sebelum inkontinensia klien aktif ikut senam lansia
Dampak ADL : -
KETERANGAN :

16 Persyarafan
.
Ya Tidak
Headache : √
Seizures : √
Syncope : √
Tic/tremor : √
Paralysis : √
Paresis : √
Masalah memori : √
KETERANGAN :

5 POTENSI PERTUMBUHAN PSIKOSOSIAL DAN SPIRITUAL :


.
Psikososial YA Tidak
Cemas : √
Depresi : √
Ketakutan : √
Insomnia : √
Kesulitan dalam mengambil : √
keputusan
Kesulitan konsentrasi : √
Mekanisme koping : Maladaptif
Persepsi tentang kematian: klien mengatakan pasrah terhadap kehendak Tuhan
Dampak pada ADL :. Klien mengatakan malu apabila keluar kamar, karena mengompol dan
bau air kencingnya yang menyengat. sehingga hanya diam dikamar.
Spiritual
 Aktivitas ibadah : klien sholat 5 waktu
 Hambatan :. klien bingung melkasanakan sholat karena Susah menahan BAK
KETERANGAN :.............................................................................................................

6. LINGKUNGAN :

 Kamar : dikamar klien terdapat 2 tempat tidur, kamar bau pesing

 Kamar mandi : bersih , tidak licin


 Dalam rumah.wisma : bersih, lantai tidak licin
 Luar rumah : terdapat taman kecil di depan rumah yang biasanya di tanami bunga
dan sayur

7. ADDITIONAL RISK FACTOR


Riwayat perilaku (kebiasaan, pekerjaan, aktivitas) yang mempengaruhi kondisi saat ini :
Tidak ada

8. NEGATIVE FUNCTIONAL CONSEQUENCES

1. Kemampuan ADL : Ketergantungan Ringan


2. Aspek Kognitif : tidak ada gangguan kognitif
3. Tes Keseimbangan : resiko tinggi jatuh
4. GDS : Tidak depresi
5. Status Nutrisi : tidak ada gangguan nutrisi
6. Fungsi social lansia : difungsi sedang
7. Hasil pemeriksaan Diagnostik :-

Lampiran

1. Kemampuan ADL
Tingkat kemandirian dalam kehidupan sehari-hari (Indeks Barthel)
No. Item yang Skor Skor Klien
dinilai
1. Makan 0 = Tidak mampu
1 = Butuh bantuan memotong lauk, mengoles 2
mentega dll
2 =  Mandiri
2. Mandi 0 = Tergantung orang lain 1
1 = Mandiri
3. Perawatan diri 1 = Membutuhkan bantuan orang lain 1
2 = Mandiri dalam perawatan muka, rambut,
gigi, dan bercukur
4. Berpakaian 0  =  Tergantung orang lain 2
1  =  Sebagian dibantu (misal mengancing
baju)
2  =  Mandiri
5. Buang air kecil 0  =  Inkontinensia atau pakai kateter dan tidak
terkontrol
0
1  =  Kadang Inkontinensia (maks, 1x24 jam)
2  =  Kontinensia (teratur untuk lebih dari 7 hari)
6. Buang air 0  =  Inkontinensia (tidak teratur atau perlu
2
besar enema)
1  =  Kadang Inkontensia (sekali seminggu)
2  =  Kontinensia (teratur)
7. Penggunaan 0  =  Tergantung bantuan orang lain
toilet 1  =  Membutuhkan bantuan, tapi dapat
2
melakukan beberapa hal sendiri
2  =  Mandiri
8. Transfer 0  =  Tidak mampu
1  =   Butuh bantuan untuk bisa duduk (2 orang) 2
2  =   Bantuan kecil (1 orang)
3  =   Mandiri
9. Mobilitas 0  =   Immobile (tidak mampu)
(berjalan di 1  =   Menggunakan kursi roda
permukaan 2  =   Berjalan dengan bantuan satu orang 3
datar) 3  =   Mandiri (meskipun menggunakan alat
bantu seperti, tongkat)
10. Naik turun 0  =   Tidak mampu 2
tangga 1  =   Membutuhkan bantuan (alat bantu)
2  =   Mandiri
Interpretasi:
1. Skor 20 : Mandiri
2. Skor 12-19 : Ketergantungan Ringan
3. Skor 9-11 : Ketergantungan Sedang
4. Skor 5-8 : Ketergantungan Berat
5. Skor 0-4 : Ketergantungan Total
Error: Reference source not found
2. MMSE (Mini Mental Status Exam)
Nama :
Tgl/Jam:
No Aspek Nilai Nilai Kriteria
Kognitif maksimal Klien
1 Orientasi 5 5 Menyebutkan dengan benar :

Tahun : ..........................................
Hari :...............................................
Musim : ..........................................
Bulan : ...........................................
Tanggal :........................................
2 Orientasi 5 5 Dimana sekarang kita berada ?
Negara: …………..........……..….…
Panti : ……………………….…..…..
Propinsi: …………………................
Wisma : …………………………......
Kabupaten/kota : ……………….….
3 Registrasi 3 3 Sebutkan 3 nama obyek (misal : kursi, meja,
kertas), kemudian ditanyakan kepada klien,
menjawab :

1) Kursi 2). Meja 3). Kertas

4 Perhatian dan 5 3 Meminta klien berhitung mulai dari 100


kalkulasi kemudia kurangi 7 sampai 5 tingkat.

Jawaban :
1). 93 2). 86 3). 79 4). 72 5).
65
ATAU

Ejalah kata "DUNIA" secara mundur.


Skor 1 poin per huruf dalam urutan yang
benar

Variasi Jawaban Klien:


AINUD = 5; AIND = 4; AND = 3; AN =
2; UINDA=1

5 Mengingat 3 3 Minta klien untuk mengulangi ketiga obyek


pada poin ke- 2 (tiap poin nilai 1)
6 Bahasa 9 9 Menanyakan pada klien tentang benda
(sambil menunjukan benda tersebut).
1)...................................
2)...................................

3). Minta klien untuk mengulangi kata berikut


:
“ tidak ada, dan, jika, atau tetapi

Klien menjawab :
........................................................

Minta klien untuk mengikuti perintah berikut


yang terdiri 3 langkah.
4) Ambil kertas ditangan anda
5) Lipat dua
6) Taruh dilantai.

Perintahkan pada klien untuk hal berikut (bila


aktifitas sesuai perintah nilai satu poin)
7). Meminta klien untuk membaca kalimat
yang bertuliskan: “Tutup mata anda”

8). Perintahkan kepada klien untuk menulis


kalimat dan

9). Menyalin gambar 2 segi lima yang saling


bertumpuk

Total nilai 30 28

Interpretasi hasil :
24 – 30 : tidak ada gangguan kognitif
18 – 23 : gangguan kognitif sedang
0 - 17 : gangguan kognitif berat
Kesimpulan :…………………………………………………………………………………..

1. Tes Keseimbangan22 sept 2018


Time Up Go Test
No Tanggal Pemeriksaan Hasil TUG (detik)
1 10 September 2018 18
2 15 September 2018 17
3 20 September 2018 18
Rata-rata Waktu TUG 17,3

Interpretasi hasil Resiko tinggi jatuh

Hasil pengamatan
Keseimbangan klien bagus, terdapat lambaian
tangan,

Interpretasi hasil:
Apabila hasil pemeriksaan TUG menunjukan hasil berikut:
≤13,5 detik Tidak ada resiko jatu
>13,5 detik Resiko tinggi jatuh
>24 detik Diperkirakan jatuh dalam kurun waktu 6
bulan
>30 detik Diperkirakan membutuhkan bantuan
dalam mobilisasi dan melakukan ADL
(Bohannon: 2006; Shumway-Cook,Brauer & Woolacott: 2000; Kristensen, Foss & Kehlet:
2007: Podsiadlo & Richardson:1991)
3. GDS
Pengkajian Depresi
Jawaban
No Pertanyaan
Ya Tdk Hasil
1. Anda puas dengan kehidupan anda saat ini 0 1 1
2. Anda merasa bosan dengan berbagai aktifitas dan kesenangan 1 0 0
3. Anda merasa bahwa hidup anda hampa / kosong 1 0 0
4. Anda sering merasa bosan 1 0 0
5. Anda memiliki motivasi yang baik sepanjang waktu 0 1 0
8. Anda takut ada sesuatu yang buruk terjadi pada anda 1 0 0
7. Anda lebih merasa bahagia di sepanjang waktu 0 1 0
8. Anda sering merasakan butuh bantuan 1 0 0
9. Anda lebih senang tinggal dirumah daripada keluar melakukan 1 0 0
sesuatu hal
10 Anda merasa memiliki banyak masalah dengan ingatan anda 1 0 0
.
11. Anda menemukan bahwa hidup ini sangat luar biasa 0 1 1
12 Anda tidak tertarik dengan jalan hidup anda 1 0 0
.
13 Anda merasa diri anda sangat energik / bersemangat 0 1 0
.
14 Anda merasa tidak punya harapan 1 0 0
.
15 Anda berfikir bahwa orang lain lebih baik dari diri anda 1 0 0
.
Jumlah 2
(Geriatric Depressoion Scale (Short Form) dari Yesafage (1983) dalam
Gerontological Nursing, 2006)
Interpretasi :Jika Diperoleh skore 5 atau lebih, maka diindikasikan
depresi

33
1. Status Nutrisi
Pengkajian determinan nutrisi pada lansia:
Skrining Skor
Mengalami penurunan asupan makanan lebih dari tiga bulan selama adanya penurunan nafsu makan,
gangguan pencernaan, menelan dan kesulitan menelan makanan
A 0 = Adanya penurunan asupan makanan yang besar 2
1 = Adanya penurunan asupan makanan yang sedang
2 = Tidak ada penurunan asupan makanan
Mengalami penurunan berat badan selama tiga bulan terakhir
0 = Penurunan BB >3 kg 2
B 1 = Tidak diketahui
2 = Penurunan BB 1-3 kg
3 = Tidak mengalami penurunan BB
Mobilitas
0 = Tidak dapat turun dari tempat tidur / kursi roda 2
C
1 = Dapat turun dari tempat tidur / kursi roda namun tidak dapat berjalan jauh
2 = Dapat berjalan jauh
Mengalami stres psikologis atau memiliki penyakit akut tiga bulan terakhir
D 0 =Ya 2
2 = Tidak
Mengalami gangguan neuropsikologis
0 = Mengalami demensia atau depresi berat 2
E
1 = Mengalami demensia ringan
2 = Tidak mengalami gangguan neuropsikologis
Indeks massa tubuh (IMT)
0 = IMT < 19 1
F1 1 = IMT 19-21
2 = IMT 21-23
3 = >23
Jika IMT tidak dapat diukur ganti pertanyaan F1 dengan F2
Jangan menjawab pertanyaan F2 jika pertanyaan F1 sudah terpenuhi
Lingkar betis (cm)
F2 0 = jika < 31 3
3 = jika > 31
Skor maksimal 14

Interpretasi:
12-14 : Status gizi normal
8-11 : Resiko mengalami malnutrisi
0.7 : Mengalami malnutrisi

34
6. Fungsi sosial lansia
APGAR KELUARGA DENGAN LANSIA
Alat Skrining yang dapat digunakan untuk mengkaji fungsi sosial lansia
NO URAIAN FUNGSI SKORE
1. Saya puas bahwa saya dapat kembali pada keluarga (teman- ADAPTATION 1
teman) saya untuk membantu pada waktu sesuatu
menyusahkan saya
2. Saya puas dengan cara keluarga (teman-teman)saya PARTNERSHI 1
membicarakan sesuatu dengan saya dan mengungkapkan P
masalah dengan saya
3. Saya puas dengan cara keluarga (teman-teman) saya GROWTH 1
menerima dan mendukung keinginan saya untuk melakukan
aktivitas / arah baru
4. Saya puas dengan cara keluarga (teman-teman) saya AFFECTION 1
mengekspresikan afek dan berespon terhadap emosi-emosi
saya seperti marah, sedih/mencintai
5. Saya puas dengan cara teman-teman saya dan saya RESOLVE 1
meneyediakan waktu bersama-sama
Kategori Skor: TOTAL 5
Pertanyaan-pertanyaan yang dijawab:
1). Selalu : skore 2 2). Kadang-kadang : 1
3). Hampir tidak pernah : skore 0
Intepretasi:
< 3 = Disfungsi berat
4 - 6 = Disfungsi sedang
> 6 = Fungsi baik
Smilkstein, 1978 dalam Gerontologic Nursing and health aging 2005

35
7. Pengkajian kualitas tidur (PSQI)

KUESIONER KUALITAS TIDUR (PSQI)


1. Jam berapa biasanya anda mulai tidur malam? 20.00 WIB
2. Berapa lama anda biasanya baru bisa tertidur tiap malam? 20.00/20.30 WIB
3. Jam berapa anda biasanya bangun pagi? 03.00 WIB
4. Berapa lama anda tidur dimalam hari? 7 jam
5 Seberapa sering masalah-masalah Tidak 1x 2x ≥3x
dibawah ini mengganggu tidur anda? pernah seminggu seminggu seminggu
a. Tidak mampu tertidur selama 30 menit √
sejak berbaring
b. Terbangun ditengah malam atau terlalu √
dini
c. Terbangun untuk ke kamar mandi √
d. Tidak mampu bernafas dengan leluasa √
e. Batuk atau mengorok √
f. Kedinginan dimalam hari √
g. Kepanasan dimalam hari √
h. Mimpi buruk √
i. Terasa nyeri √
j. Alasan lain ……… √
6 Seberapa sering anda menggunakan √
obat tidur
7 Seberapa sering anda mengantuk √
ketika melakukan aktifitas disiang hari
Tidak Kecil Sedang Besar
antusias

8 Seberapa besar antusias anda ingin √


menyelesaikan masalah yang anda
hadapi
Sangat Baik kurang Sangat
baik kurang
9 Pertanyaan pre-intervensi : Bagaimana √
kualitas tidur anda selama sebulan
yang lalu
Pertanyaan post-intervensi :
Bagaimana kualitas tidur anda selama
seminggu yang lalu

Cara perhitungan Skor PSQI dan Interpretasi Skor

4.2. Diagnosa Keperawatan


4.3. Intervensi Keperawatan

36

Anda mungkin juga menyukai