Anda di halaman 1dari 11

BAB II

PEMBAHASAN

2.1. Definisi
Alergi atau hipersensitivitas adalah kegagalan kekebalan tubuh di mana tubuh
seseorang menjadi hipersensitif dalam bereaksi secara imunologi terhadap bahan-bahan
yang umumnya non imunogenik. Dengan kata lain, tubuh manusia bereaksi berlebihan
terhadap lingkungan atau bahan-bahan yang oleh tubuh dianggap asing atau berbahaya.
Bahan-bahan yang menyebabkan hipersensitivitas tersebut disebut alergen.
(Baratawidjaja dan Rengganis,2014)
Reaksi Alergi (Reaksi Hipersensitivitas) adalah reaksi-reaksi dari sistem kekebalan
yang terjadi ketika jaringan tubuh yang normal mengalami cedera/terluka. Mekanisme
dimana sistem kekebalan melindungi tubuh dan mekanisme dimana reaksi
hipersensitivitas bisa melukai tubuh adalah sama. Karena itu reaksi alergi juga
melibatkan antibodi, limfosit dan sel-sel lainnya yang merupakan komponen dalam
system imun yang berfungsi sebagai pelindung yang normal pada sistem kekebalan.
Istilah hipersensitivitas berkenaan dengan ketidaktepatan reaksi imunologis,daripada
usaha untuk menyembuhkan, reaksi ini menciptakan kerusakan jaringan dan merupakan
suatu bentuk penting dalam proses perjalana penyakit secara keseluruhan (Mohanty dan
Leela,2014).
Walaupun secara umum dikatakan bahwa sistem imun baik spesifik maupun non
spesifik merupakan suatu sistem pertahanan terhadap invasi benda asing (Baratawidjaja
dan Rengganis, 2014), namun kenyataanya tidak selalu demikian, karena ketika respon
imun berusaha untuk mengeliminasi antigen tanpa menyebabkan kerusakan yang luas,
pada saat yang sama respon imun dapat menghasilkan efek merusak yang memicu
kerusakan jaringan bahkan sampai menimbulkan kematian (Stevens,2010).

2.2. Etiologi
Ada beberapa hal penyebab gangguan hipersensitivitas secara umum yaitu :
(Mohanty dan Leela, 2014).
1. Reaksi hipersensitivitas dapat ditimbulkan secara eksogen oleh antigen lingkungan
(mikroba dan non mikroba) atau secara endogen oleh antigen diri (self). Manusia
hidup di lingkungan yang penuh dengan zat-zat yang mampu menimbulkan respons
imun. Antigen eksogen meliputi yang ada di debu, serbuk sari, makanan, obat-
obatan, mikroba, dan berbagai bahan kimia. Respon imun akibat antigen eksogen
dapat terjadi pada berbagai bentuk, mulai dari gangguan ringan, seperti gatal-gatal
kulit, hingga penyakit yang berpotensi fatal, seperti asma bronkial dan anafilaksis.
Beberapa reaksi yang umum pada antigen lingkungan menyebabkan kelompok
penyakit dikenal sebagai alergi. Respon imun terhadap diri sendiri atau autologous,
antigen, mengakibatkan penyakit autoimun.
2. Hipersensitivitas biasanya diakibatkan oleh ketidakseimbangan antara mekanisme
efektor respon imun dan mekanisme kontrol yang berfungsi membatasi respon-
respon secara normal. Faktanya banyak hipersensitivitas diduga penyebab utamanya
adalah kegagalan regulasi normal. Kita akan kembali ke konsep ini saat kita
mempertimbangkan autoimmunitas.
3. Perkembangan penyakit hipersensitivitas (alergi dan autoimun) sering dikaitkan
dengan pewarisan gen kepekaan tertentu.
4. Mekanisme cedera jaringan pada reaksi hipersensitivitas sama dengan mekanisme
efektor pertahanan terhadap infeksi patogen. Masalah pada hipersensitivitas adalah
karena reaksi-reaksi ini kurang terkontrol, berlebihan, atau tidak tepat (misalnya
secara normal berlawanan terhadap antigen lingkungan dan antigen diri).

2.3 Klasifikasi
a. Klasifikasi menurut waktu timbulnya reaksi (Baratawidjaja dan Rengganis, 2014) :
1) Reaksi cepat
2) Reaksi intermediet
3) Reaksi lambat
b. Penyakit hipersensitivitas dapat diklasifikasikan berdasarkan mekanisme imunologi
yang memperantarai penyakit. Klasifikasi ini berguna dalam membedakan
mekanisme respon imun menyebabkan cedera jaringan dan penyakit, dan manifestasi
patologis dan klinis yang menyertainya. (Abbas dkk.,2015).
1. Hipersensitifitas tipe I
Hipersensitifitas tipe I disebut juga sebagai hipersensitivitas langsung atau
anafilaktik. Reaksi ini berhubungan dengan kulit, mata, nasofaring, jaringan
bronkopulmonari, dan saluran gastrointestinal. Reaksi ini dapat mengakibatkan
gejala yang beragam, mulai dari ketidaknyamanan kecil hingga kematian. Waktu
reaksi berkisar antara 15-30 menit setelah terpapar antigen, namun terkadang
juga dapat mengalami keterlambatan awal hingga 10-12 jam. Hipersensitivitas
tipe I diperantarai oleh imunoglobulin E (IgE). Komponen seluler utama pada
reaksi ini adalah mastosit atau basofil. Reaksi ini diperkuat dan dipengaruhi oleh
keping darah, neutrofil, dan eosinofil. (Abbas dkk., 2014)
Uji diagnostik yang dapat digunakan untuk mendeteksi hipersensitivitas
tipe I adalah tes kulit (tusukan dan intradermal) dan ELISA untuk mengukur IgE
total dan antibodi IgE spesifik untuk melawan alergen (antigen tertentu penyebab
alergi) yang dicurigai. Peningkatan kadar IgE merupakan salah satu penanda
terjadinya alergi akibat hipersensitivitas pada bagian yang tidak terpapar
langsung oleh alergen). Namun, peningkatan IgE juga dapat dikarenakan
beberapa penyakit non-atopik seperti infeksi cacing, mieloma, dll. Pengobatan
yang dapat ditempuh untuk mengatasi hipersensitivitas tipe I adalah
menggunakan anti-histamin untuk memblokir reseptor histamin, penggunaan
Imunoglobulin G (IgG), hyposensitization (imunoterapi atau desensitization)
untuk beberapa alergi tertentu. (Abbas dkk.,2015).
Kebanyakan reaksi hipersensitivitas tipe I local, memiliki dua fase yang
mudah dipahami. Reaksi segera ditandai dengan vasodilatasi, kebocoran vaskular
dan tergantung lokasi, kejang otot polos atau sekresi kelenjar. Perubahan ini
biasanya menjadi jelas dalam beberapa menit setelah terpapar alergen dan
cenderung mereda dalam beberapa jam. Dalam banyak kasus (misalnya : Rinitis
Alergi dan Asma bronkial), terjadi dalam hitungan detik menghilang dalam 2
sampai 24 jam kemudian tanpa paparan tambahan antigen dan bisa berlangsung
selama beberapa hari. Reaksi fase akhir ini ditandai dengan infiltrasi jaringan
dengan eosinofil, neutrofil, basofil, monosit, dan sel T CD4+, serta kerusakan
jaringan, biasanya dalam bentuk kerusakan sel epitel mukosa.
Sebagian besar gangguan hipersensitivitas segera disebabkan respon TH2
yang berlebihan dan sel-sel ini berperan sentral dengan merangsang produksi IgE
dan menimbulkan inflamasi. (Abbas dkk.,2015).
Adapun penyakit-penyakit yang disebabkan oleh reaksi alergi tipe I
adalah:
a. Konjungtivitis
b. Asma
c. Rinitis
d. Anafilaktic shock

2. Hipersensitifitas tipe II
Hipersensitivitas tipe II diakibatkan oleh antibodi berupa imunoglobulin G
(IgG) dan imunoglobulin E (IgE) untuk melawan antigen pada permukaan sel
dan matriks ekstraseluler. Kerusakan akan terbatas atau spesifik pada sel atau
jaringan yang langsung berhubungan dengan antigen tersebut. Pada umumnya,
antibodi yang langsung berinteraksi dengan antigen permukaan sel akan bersifat
patogenik dan menimbulkan kerusakan pada target sel.
Hipersensitivitas dapat melibatkan reaksi komplemen (atau reaksi silang)
yang berikatan dengan antibodi sel sehingga dapat pula menimbulkan kerusakan
jaringan. Beberapa tipe dari hipersensitivitas tipe II adalah: (santoso, 2015).
a. Pemfigus (IgG bereaksi dengan senyawa intraseluler di antara sel
epidermal)
b. Anemia hemolitik autoimun (dipicu obat-obatan seperti penisilin yang
dapat menempel pada permukaan sel darah merah dan berperan seperti
hapten untuk produksi antibodi kemudian berikatan dengan permukaan
sel darah merah dan menyebabkan lisis sel darah merah)
c. Sindrom Goodpasture (IgG bereaksi dengan membran permukaan
glomerulus sehingga menyebabkan kerusakan ginjal).
3. Hipersensitifitas tipe III
Hipersensitivitas tipe III merupakan hipersensitivitas kompleks imun. Hal
ini disebabkan adanya pengendapan kompleks antigen-antibodi yang kecil dan
terlarut di dalam jaringan. Hal ini ditandai dengan timbulnya inflamasi atau
peradangan. Pada kondisi normal, kompleks antigen-antibodi yang diproduksi
dalam jumlah besar dan seimbang akan dibersihkan dengan adanya fagosit.
Namun, kadang-kadang, kehadiran bakteri, virus, lingkungan, atau antigen
(spora fungi, bahan sayuran, atau hewan) yang persisten akan membuat tubuh
secara otomatis memproduksi antibodi terhadap senyawa asing tersebut sehingga
terjadi pengendapan kompleks antigen-antibodi secara terus-menerus. Hal ini
juga terjadi pada penderita penyakit autoimun. Pengendapan kompleks antigen-
antibodi tersebut akan menyebar pada membran sekresi aktif dan di dalam
saluran kecil sehingga dapat memengaruhi beberapa organ, seperti kulit, ginjal,
paru-paru, sendi, atau dalam bagian koroid pleksus otak. (Cunningham dkk.,
2014).
Patogenesis kompleks imun terdiri dari dua pola dasar, yaitu kompleks
imun karena kelebihan antigen dan kompleks imun karena kelebihan antibodi.
Kelebihan antigen kronis akan menimbulkan sakit serum (serum sickness) yang
dapat memicu terjadinya artritis atau glomerulonefritis. Kompleks imun karena
kelebihan antibodi disebut juga sebagai reaksi Arthus, diakibatkan oleh paparan
antigen dalam dosis rendah yang terjadi dalam waktu lama sehingga
menginduksi timbulnya kompleks dan kelebihan antibodi. Beberapa contoh sakit
yang diakibatkan reaksi Arthus adalah spora Aspergillus clavatus dan A.
fumigatus yang menimbulkan sakit pada paru-paru pekerja lahan gandum (malt)
dan spora Penicillium casei pada paru-paru pembuat keju. (Cunningham dkk.,
2010).

4. Hipersensitifitas tipe IV
Hipersensitivitas tipe IV dikenal sebagai hipersensitivitas yang
diperantarai sel atau tipe lambat (delayed-type). Reaksi ini terjadi karena
aktivitas perusakan jaringan oleh sel T dan makrofag. Waktu cukup lama
dibutuhkan dalam reaksi ini untuk aktivasi dan diferensiasi sel T, sekresi sitokin
dan kemokin, serta akumulasi makrofag dan leukosit lain pada daerah yang
terkena paparan. Beberapa contoh umum dari hipersensitivitas tipe IV adalah
hipersensitivitas pneumonitis, hipersensitivitas kontak (kontak dermatitis), dan
reaksi hipersensitivitas tipe lambat kronis (delayed type hipersensitivity, DTH).
Hipersensitivitas tipe IV dapat dikelompokkan ke dalam tiga kategori
berdasarkan waktu awal timbulnya gejala, serta penampakan klinis dan
histologis. Ketiga kategori tersebut dapat dilihat pada tabel di bawah ini.
Mekanisme Berbagai Gangguan Yang Diperantarai Secara Imunologis
(Cunningham dkk.,2010).

Tipe Mekanisme Imun Gangguan Prototipe


1 Tipe Anafilaksis Alergen mengikat silang antibody Anafilaksis, beberapa bentuk
2.4 Manifestasi Klinis IgE & pelepasan amino vasoaktif asma bronchial
dan mediatorlain dari basofil dan
sel mast rektumen sel radang lain
2 Antibodi IgG atau IgM  berikatan dengan Anemia hemolitik autoimun,
terhadap antigen antigen pada permukaan sel        eritroblastosis fetalis,
jaringan tertentu fagositosis sel target atau lisis sel penyakit Goodpasture,
target oleh komplemen atau pemfigus vulgaris
sitotosisitas yang diperantarai oleh
sel yang bergantung antibodi
3 Penyakit Kompleks antigen-antibodi   Reahsi Arthua, serum
Kompleks Imun mengaktifkan komplemen  sickness, lupus eritematosus
menarik perhatian nenutrofil sistemik, bentuk tertentu
menjadikan pelepasan enzim glumerulonefritis akut
lisosom, radikal bebas oksigen,
dll                     
4 Hipersensivitas Limfisit T tersensitisasi pelepasan Tuberkulosis, dermatitis
Selular sitokin dan sitotoksisitas yang kontak, penolakan transplant
(Lambat) diperantarai oleh sel T

1. Reaksi tipe I
Dapat terjadi sebagai suatu gangguan sistemik atau reaksi lokal. Pemberian
antigen protein atau obat (misalnya, penisilin) secara sistemik (parental)
menimbulkan anafilaksis sistemik. Dalam beberapa menit setelah pajanan, pada
pejamu yang tersensitisasi akan muncul rasa gatal, urtikaria (bintik merah dan
bengkak), dan eritems kulit,diikuti oleh kesulitan bernafas berat yang disebabkan
oleh bronkokonstriksi paru dan diperkuat dengan hipersekresi mukus. Edema laring
dapat memperberat persoalan dengan menyebabkan obstruksi saluran pernafasan
bagian atas. Selain itu, otot semua saluran pencernaan dapat terserang, dan
mengakibatkan vomitus, kaku perut, dan diare. Tanpa intervensi segera,dapatterjadi
vasodilatasi sistemik (syok anafilaktik ), dan penderita dapat mengalami kegagalan
sirkulasi dan kematian dalam beberapa menit.
Reaksi lokal biasanya terjadi bila antigen hanya terbatas pada tempat tertentu
sesuai jalur pemajanannya, seperti di kulit (kontak, menyebabkan urtikaria), traktus
gastrointestinal (ingesti,menyebabkan diare), atau paru (inhalasi, menyebabkan
bronkokonstriksi). (Sumelung dkk., 2014).

2. Reaksi tipe II
Umumnya berupa kelainan darah, seperti anemia hemolitik, trombositopenia,
eosinofilia dan granulositopenia

3. Reaksi Hipersensivitas tipe III


1) Urtikaria, angioedema, eritema, makulopapula, eritema multiforme dan lain-
lain. gejala sering disertai pruritis.
2) Demam
3) Kelainan sendi, artralgia dan efusi sendi
4) Limfadenopati
a. Kejang perut, mual
b. Neuritis optic
c. Glomerulonefritis
d. Sindrom lupus eritematosus sistemik
e. Gejala vaskulitis lain
4. Hipersensitivitas tipe IV
Dapat berupa reaksi paru akut seperti demam, sesak, batuk dan efusi
pleura. Obat yang tersering menyebabkan reaksi ini yaitu nitrofuratonin, nefritis
intestisial, ensafalomielitis. hepatitis juga dapat merupakan manifestasi reaksi obat.
Adapun Gejala klinis umumnya : (Dhiya An, 2016):
 Pada saluran pernafasan : asma
 Pada saluran cerna: mual,muntah,diare,nyeri perut
 Pada kulit: urtikaria. angioderma, dermatitis, pruritus, gatal, demam, gatal
 Pada mulut: rasa gatal dan pembengkakan bibir

2.5 Patofisiologi
Saat  pertama kali masuknya alergen (ex. telur ) ke dalam tubuh  seseorang  yang
mengkonsumsi makanan tetapi dia belum pernah terkena alergi. Namun ketika untuk
kedua kalinya orang tersebut mengkonsumsi makanan yang sama barulah tampak gejala-
gejala timbulnya alergi pada kulit orang tersebut. Setelah tanda-tanda itu muncul maka
antigen akan mengenali alergen yang masuk yang  akan memicu aktifnya sel T, dimana
sel T tersebut yang akan merangsang sel B untuk  mengaktifkan antibodi (Ig E). Proses
ini mengakibatkan melekatnya antibodi pada sel mast yang dikeluarkan oleh basofil.
Apabila seseorang mengalami paparan untuk kedua kalinya oleh alergen yang sama
maka akan terjadi 2 hal  yaitu,: (Ashari, 2015).
1. Ketika mulai terjadinya produksi sitokin oleh sel T. Sitokin memberikan efek
terhadap berbagai sel terutama dalam menarik sel – sel radang misalnya netrofil dan
eosinofil, sehingga menimbulkan reaksi peradangan yang menyebabkan panas.
2. Alergen  tersebut akan langsung mengaktifkan antibodi ( Ig E ) yang merangsang
sel mast kemudian melepaskan histamin dalam jumlah yang banyak, kemudian
histamin tersebut beredar di dalam tubuh melalui pembuluh darah.   Saat mereka
mencapai kulit, alergen akan menyebabkan terjadinya gatal, prutitus, angioderma,
urtikaria, kemerahan pada kulit dan dermatitis. Pada saat mereka mencapai paru
paru, alergen dapat mencetuskan terjadinya asma. Gejala alergi yang paling
ditakutkan dikenal dengan nama anafilaktik syok. Gejala ini ditandai dengan
tekanan darah yang menurun, kesadaran menurun, dan bila tidak ditangani segera
dapat menyebabkan kematian

2.6 Pemeriksaan Penunjang


1. Uji kulit :
Sebagai pemerikasaan penyaring (misalnya dengan alergen hirup seperti
tungau, kapuk, debu rumah, bulu kucing, tepung sari rumput, atau alergen
makanan seperti susu, telur, kacang, ikan).
2. Darah tepi:
Bila eosinofilia 5% atau 500/ml condong pada alergi. Hitung leukosit
5000/ml disertai neutropenia 3% sering ditemukan pada alergi makanan.
3. IgE total dan spesifik:
Harga normal IgE total adalah 1000u/l sampai umur 20 tahun. Kadar IgE
lebih dari 30u/ml pada umumnya menunjukkan bahwa penderita adalah atopi, atau
mengalami infeksi parasit atau keadaan depresi imun seluler.
4. Tes intradermal nilainya terbatas, berbahaya.
5. Tes hemaglutinin dan antibodi presipitat tidak sensitif.
6. Biopsi usus:
Sekunder dan sesudah dirangsang dengan makanan food chalenge
didapatkan inflamasi / atrofi mukosa usus, peningkatan limfosit intraepitelial dan
IgM. IgE ( dengan mikroskop imunofluoresen ).
7. Pemeriksaan/ tes D Xylose, proktosigmoidoskopi dan biopsi usus.
8. Diit coba buta ganda ( Double blind food chalenge ) untuk diagnosa pasti (Dhiya
An, 2016)

2.7 Pengobatan
Penanganan gangguan alergi berlandaskan pada empat dasar:
1. Menghindari allergen
2. Terapi farmakologis
a. Adrenergik
Yang termasuk obat-obat adrenergik adalah katelokamin ( epinefrin,
isoetarin, isoproterenol, bitolterol ) dan nonkatelomin ( efedrin, albuterol,
metaproterenol, salmeterol, terbutalin, pributerol, prokaterol dan fenoterol ).
Inhalasi dosis tunggal salmeterol dapat menimbulkan bronkodilatasi sedikitnya
selam 12 jam, menghambat reaksi fase cepat maupun lambat terhadap alergen
inhalen, dan menghambat hiperesponsivitas bronkial akibat alergen selama 34
jam. (Sumelung dkk., 2014)
b. Antihistamin
Obat dari berbagai struktur kimia yang bersaing dengan histamin pada
reseptor di berbagai jaringan. Karena antihistamin berperan sebagai antagonis
kompetitif mereka lebih efektif dalam mencegah daripada melawan kerja
histamine.
c. Kromolin Sodium
Kromolin sodium adalah garam disodium 1,3-bis-2-hidroksipropan. Zat
ini merupakan analog kimia obat khellin yang mempunyai sifat merelaksasikan
otot polos. Obat ini tidak mempunyai sifat bronkodilator karenanya obat ini tidak
efektif unutk pengobatan asma akut. Kromolin paling bermanfaat pada asma
alergika atau ekstrinsik.
d. Kortikosteroid
Kortikosteroid adalah obat paling kuat yang tersedia untuk pengobatan
alergi. Beberapa pengaruh prednison nyata dalam 2 jam sesudah pemberian
peroral atau intravena yaitu penurunan eosinofil serta limfosit prrimer. Steroid
topikal mempunyai pengaruh lokal langsung yang meliputi pengurangan radang,
edema, produksi mukus, permeabilitas vaskuler, dan kadar Ig E mukosa.
3. Imunoterapi
Imunoterapi diindikasikan pada penderita rhinitis alergika, asma yang
diperantarai Ig E atau alergi terhadap serangga. Imunoterapi dapat menghambat
pelepasan histamin dari basofil pada tantangan dengan antigen E ragweed in vitro.
Leukosit individu yang diobati memerlukan pemaparan terhadap jumlah antigen E
yang lebih banyak dalam upaya melepaskan histamin dalam jumlah yang sama
seperti yang mereka lepaskan sebelum terapi. Preparat leukosit dari beberapa
penderita yang diobati bereaksi seolah-olah mereka telah terdesensitisasisecara
sempurna dan tidak melepaskan histamin pada tantangan dengan antigen E ragweed
pada kadar berapapun
4. Profilaksis
Profilaksis dengan steroid anabolik atau plasmin inhibitor seperti
traneksamat, sering kali sangat efektif untuk urtikaria atau angioedema.
(Baratawidjaja dan Rengganis,2014)

Anda mungkin juga menyukai