Anda di halaman 1dari 38

NERACA PEMBAYARAN

INTERNASIONAL
DAN PERDAGANGAN LUAR
NEGERI
BAB III

NERACA PEMBAYARAN INTERNASIONAL


DAN PERDAGANGAN LUAR NEGERI

A. PENDAHULUAN

Kebijaksanaan neraca pembayaran, sebagai bagian integral dari


kebijaksanaan pembangunan dan mempunyai peranan penting dalam
pemantapan stabilitas di bidang ekonomi, diarahkan guna mendorong
pemerataan pembangunan dan pertumbuhan ekonomi. Kebijaksanaan
neraca pembayaran juga diarahkan agar tercapai perubahan
fundamental dalam struktur produksi dan perdagangan luar negeri
sehingga dapat meningkatkan ketahanan ekonomi Indonesia terhadap
gejolak ekonomi dunia, seperti yang digariskan dalam Garis-garis
Besar Haluan Negara.

Di bidang Perdagangan luar negeri, kebijaksanaan ditujukan


untuk meningkatkan efisiensi dan produktivitas industri dalam negeri,
menunjang pengembangan ekspor nonmigas, memelihara kestabilan
harga dan penyediaan barang-barang yang dibutuhkan di dalam negeri

III/3
serta menunjang iklim usaha yang makin menarik bagi penanaman
modal. Kebijaksanaan di bidang pinjaman luar negeri, melengkapi
kebutuhan pembiayaan pembangunan di dalam negeri, diarahkan
untuk menjaga kestabilan perkembangan neraca pembayaran secara
keseluruhan.

B. PERKEMBANGAN INTERNASIONAL

Kondisi neraca pembayaran internasional dan perdagangan luar


negeri selama tahun ketiga pelaksanaan Repelita VI tidak terlepas dari
perkembangan situasi politik, ekonomi, dan moneter dunia. Pada
tahun 1996 perekonomian dunia tetap menunjukkan pertumbuhan
yang tinggi dengan laju inflasi cenderung menurun. Namun
percepatan pertumbuhan produksi dunia tersebut tidak secara sepadan
dibarengi dengan membaiknya pertumbuhan volume perdagangan
internasional. Volume perdagangan dunia pada tahun 1996 tetap
meningkat, namun peningkatannya lebih rendah dibandingkan tahun
sebelumnya. Sementara itu, situasi moneter internasional diwarnai
oleh menguatnya nilai tukar dolar Amerika Serikat terhadap mata
uang utama lainnya, menurunnya suku bunga internasional, dan
meningkatnya aliran modal ke negara-negara yang sedang tumbuh
pesat terutama di Asia.

Pada tahun 1996 ekonomi dunia tumbuh dengan 4,0%, sedikit


lebih tinggi dibandingkan tahun 1995 yang sebesar 3,7%.
Membaiknya perekonomian dunia tersebut terutama didorong oleh
terus berlanjutnya pertumbuhan ekonomi Amerika Serikat dan mulai
pulihnya perekonomian Jepang. Berlanjutnya pertumbuhan ekonomi
Amerika Serikat yang cukup tinggi dalam beberapa tahun terakhir erat
kaitannya dengan kebijaksanaan-kebijaksanaan fiskal, moneter, dan
pasar tenaga kerja yang dikeluarkan dalam kurun waktu tersebut.

III/4
Sedangkan membaiknya perekonomian Jepang erat terkait dengan
kebijaksanaan fiskal dan moneter yang relatif ekspansif pada tahun
terakhir ini. Sementara itu, pada tahun 1996 negara-negara maju
lainnya mencatat pertumbuhan ekonomi yang lebih rendah
dibandingkan tahun sebelumnya. Secara keseluruhan, negara-negara
maju pada tahun 1996 mengalami pertumbuhan yang sama besarnya
seperti yang terjadi pada tahun 1995 yaitu sebesar 2,5%. Dalam
waktu yang bersamaan, laju pertumbuhan ekonomi negara-negara
berkembang meningkat dari 6,0% pada tahun 1995 menjadi sebesar
6,5% pada tahun 1996.

Laju pertumbuhan perdagangan internasional telah mengalami


perlambatan dari 9,2% pada tahun 1995 menjadi 5,6% pada tahun
1996. Penurunan tersebut terutama disebabkan melambatnya
perdagangan antar negara-negara maju yang merupakan pangsa
terbesar perdagangan dunia. Volume ekspor dan impor negara-negara
maju turun dari masing-masing sebesar 8,4% dan 8,7% pada tahun
1995 menjadi masing-masing sebesar 5,0% dan 5,3% pada tahun
1996. Demikian pula volume ekspor dan impor negara-negara
berkembang juga turun dari masing-masing sebesar 11,2% dan 11,6%
pada tahun 1995 menjadi masing-masing sebesar 7,0% dan 8,3% pada
tahun 1996.

Sementara itu, harga minyak bumi di pasaran internasional terus


meningkat dalam dua tahun terakhir ini. Pada tahun 1995 harga
minyak bumi telah meningkat sebesar 8,0%, dan meningkat lagi
sebesar 18,9% selama tahun 1996. Berlawanan dengan perkembangan
harga minyak bumi, harga-harga kelompok komoditi pertanian, bahan
minuman, dan barang-barang logam mengalami penurunan dari
masing-masing sebesar 3,7%, 0,9%, dan 19,5% pada tahun 1995
menjadi masing-masing -3,0%, -17,4%, dan -11,9% pada tahun 1996.

III/5
Sedangkan harga kelompok makanan justru mengalami kenaikan dari
8,1% pada tahun 1995 menjadi 12,2% pada tahun 1996.

Dalam tahun 1996 dengan membaiknya kinerja perekonomian


Amerika Serikat, perkembangan nilai tukar dolar Amerika Serikat
terhadap mata uang utama dunia tampak menguat. Namun demikian
defisit transaksi berjalan Amerika Serikat terus mengalami
kenaikan yaitu dari US$148,2 miliar pada tahun 1995 menjadi
US$165,1 miliar pada tahun 1996. Bersamaan dengan itu surplus
transaksi berjalan Jepang mengalami penurunan dari US$111,4 miliar
pada tahun 1995 menjadi US$65,8 miliar pada tahun 1996. Secara
keseluruhan transaksi berjalan negara-negara maju mengalami defisit
sebesar US$ 6,0 miliar dalam tahun 1996, setelah mengalami surplus
sebesar US$21,4 miliar pada tahun 1995.

Di bidang perdagangan internasional, usaha-usaha untuk


liberalisasi perdagangan dan investasi baik di tingkat dunia maupun di
tingkat regional terus diupayakan. Pada bulan Desember 1996,
Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) mengadakan pertemuan
tingkat menteri untuk menegaskan kembali komitmen negara-negara
anggota dalam merealisasikan sistem perdagangan dan sekaligus
membahas liberalisasi investasi dan standar kerja.

Sementara itu, upaya untuk menjawab tantangan yang dihadapi


oleh sektor keuangan dan perbankan terhadap semakin terbukanya
perekonomian domestik suatu negara terus dilanjutkan melalui
peningkatan kerjasama dengan beberapa bank sentral baik melalui
forum internasional seperti Bank for International Settlements (BIS),
maupun forum regional seperti Executive's Meeting of East Asia and
Pacific Central Banks (EMEAP) dan South-East Asia Central Banks
(SEACEN).

III/6
Di bidang kerjasama ekonomi regional, Kerjasama Ekonomi Asia
Pasifik (APEC) mengeluarkan "Deklarasi Pemimpin Ekonomi APEC:
dari Visi ke Aksi" pada bulan Nopember 1996 di Philipina. Deklarasi
ini merupakan kesepakatan para pemimpin APEC untuk melangkah
lebih lanjut dari tahap visi dan perencanaan ke tahap implementasi
liberalisasi perdagangan dan investasi yang diwujudkan dalam bentuk
MAPA (Manila Action Plans for APEC). MAPA berisikan Rencana
Aksi Individual (Individual Action Plans/IAPs), Rencana Aksi
Kolektif (Collective Action Plans/CAPs), serta kerjasama ekonomi
dan teknik (Eco-Tech).

Di dalam kelompok ASEAN kerjasama antara negara-negara


anggota terus berlanjut. Selama tahun 1996 telah diadakan
serangkaian pertemuan yang membahas kesepakatan liberalisasi
perdagangan sektor jasa yang dilaksanakan oleh Coordinating
Committee on Services (CCS). Di samping itu telah diadakan pula
pertemuan Menteri Keuangan ASEAN, pertemuan dewan Kadin
ASEAN, dan pertemuan dunia bisnis ASEAN yang pertama. Perte-
muan CCS merupakan tindak lanjut pertemuan tingkat tinggi ASEAN
bulan Desember 1995 di Bangkok yang menyepakati terbentuknya
ASEAN Framework Agreement on Services (AFAS). Dalam per-
temuan CCS, setiap anggota menyampaikan jadwal komitmen
liberalisasi perdagangan yang sifatnya lebih liberal dibandingkan
dengan komitmen untuk GATS dalam kerangka WTO.

Untuk mempercepat proses liberalisasi di bidang perbankan dan


keuangan, asuransi, dan perpajakan, para Menteri Keuangan negara-
negara ASEAN mengadakan pertemuan pada bulan Maret 1996 di
Thailand. Di bidang perbankan dan keuangan disepakati untuk
memberikan prioritas bagi pertumbuhan bank komersial regional
dalam menghadapi persaingan sektor keuangan global yang semakin
kompetitif. Di bidang asuransi dan perpajakan disepakati untuk

III/7
mengadakan peningkatan kerjasama untuk mendukung bisnis asuransi
serta menghindari adanya pajak berganda. Di samping itu telah
disetujui untuk mengadakan penyesuaian tentang prosedur
kepabeanan, klasifikasi produk, dan prosedur pentarifan yang
ditujukan untuk memberikan fasilitas yang lebih baik bagi arus
perdagangan dan investasi di kawasan ASEAN.

Selanjutnya pada bulan Maret 1997 Dewan KADIN-ASEAN


mengadakan pertemuan ke-53 di Jakarta untuk melakukan usaha-usaha
dalam mengantisipasi era liberalisasi ASEAN. Pertemuan tersebut
ditujukan untuk meningkatkan dan sekaligus mendorong kegiatan
investasi di sektor industri barang modal, sektor pangan dan produk
pertanian, serta sektor pariwisata. Dalam waktu yang bersamaan
diadakan pula pertemuan First ASEAN Business Summit (FABS) yang
membahas perlunya aliansi strategis antara pengusaha ASEAN dengan
mitra asing di luar kawasan.

Di bidang kerjasama subregional, upaya-upaya untuk melakukan


kerjasama subregional di kawasan ASEAN seperti Indonesia,
Malaysia, Singapore Growth Triangle (IMS-GT), Indonesia,
Malaysia, Thailand Growth Triangle (IMT-GT), dan Brunai
Darussalam, Indonesia, Malaysia, Philippine East Asean Growth
Triangle (BIMP-GT) terus digalakkan. Di samping itu telah dibentuk
pula forum kerjasama antara Indonesia dan Australia yang dikenal
sebagai AIDA (Australia Indonesia Development Area).

III/8
C. PERKEMBANGAN NERACA PEMBAYARAN DAN
PERDAGANGAN LUAR NEGERI

1. Kebijaksanaan Perdagangan dan Keuangan Luar Negeri

Kebijaksanaan di bidang perdagangan dan keuangan luar negeri


diarahkan sepenuhnya untuk mendukung pelaksanaan dan
kelangsungan pembangunan di dalam negeri.

Memasuki tahun 1996/97, perdagangan luar negeri Indonesia


menghadapi tantangan yang cukup berat. Melemahnya pertumbuhan
perdagangan dunia, munculnya tuduhan dumping terhadap eksportir
Indonesia, maraknya isu ecolabelling, dan meningkatnya persaingan
di antara negara-negara berkembang dalam mengekspor barang, telah
mempengaruhi kinerja ekspor Indonesia. Di sisi lain, relatif
rendahnya tingkat efisiensi untuk memproduksi barang ekspor dan
struktur ekspor yang masih mengandalkan komoditas berasal dari
sumber daya alam dan tenaga kerja murah, serta belum memadainya
fasilitas pelabuhan ekspor di luar Jawa juga telah mempengaruhi
perkembangan perdagangan luar negeri Indonesia.

Upaya-upaya untuk mengatasi permasalahan-permasalahan yang


muncul selama pelaksanaan Repelita VI terus dilanjutkan. Berbeda
dengan tahun-tahun sebelumnya, kebijaksanaan deregulasi dan
debirokratisasi yang diluncurkan dalam tahun 1996/97 tidak lagi
mencakup seluruh bidang atau sektor, namun dimungkinkan untuk
meluncurkan di bidang atau sektor yang telah siap untuk dideregulasi.
Untuk itu, pada bulan Juni 1996 telah dikeluarkan paket kebijaksanaan
yang mencakup bidang ekspor, impor, dan iklim usaha. Paket ini
ditujukan untuk meningkatkan efisiensi dan ketahanan ekonomi,
menciptakan iklim berusaha yang kondusif, serta meningkatkan daya
saing produksi nasional di pasaran internasional.

III/9
Di bidang ekspor, kemudahan ekspor dan kemudahan pelayanan
bagi perusahaan eksportir terus dilanjutkan. Sejak Juni 1996, nilai
barang ekspor yang tidak perlu dilengkapi dokumen pemberitahuan
ekspor barang (PEB) dinaikkan dari maksimum sebesar Rp. 10 juta
menjadi maksimum Rp. 100 juta. Ketentuan mengenai pemeriksaan
barang ekspor oleh surveyor telah dicabut sehingga pemeriksaannya
dilaksanakan berdasarkan Undang-Undang Kepabeanan. Selanjutnya
dilakukan pula penyederhanaan persyaratan dan prosedur untuk
memperoleh Surat Keterangan Asal (SKA) barang ekspor Indonesia.
Jumlah pengaturan mengenai SKA dikurangi dari 31 macam menjadi
4 macam, lampiran pendukung dokumen SKA dikurangi dari 4
macam menjadi 2 macam, instansi penerbit SKA ditambah menjadi 3
tempat, dan pejabat yang berwenang menerbitkan SKA ditambah
menjadi 3 pejabat. Selain itu, diberikan pula kemudahan pelayanan
kepabeanan, perpajakan, dan perbankan bagi eksportir tertentu yang
mengekspor tekstil dan produk tekstil, alas kaki, barang elektronik,
serta barang jadi dari kayu, rotan, dan produk kulit.

Di bidang impor, paket Juni 1996 mencakup penghapusan dan


perubahan tarif bea masuk (BM) dan bea masuk tambahan (BMT),
penyederhanaan tata niaga impor, dan pembentukan komite anti
dumping Indonesia (KADI).

Guna memberikan kepastian berusaha dalam menentukan rencana


investasi dan rencana produksi, tarif bea masuk barang-barang
tertentu diturunkan sampai dengan tahun 2003 dengan jadwal sebagai
berikut : (a) untuk kelompok sasaran dengan tarif pada tahun 2000
setinggi-tingginya 5%, pada tahun 1997 dan 1999 setiap tarif
dikurangi 5% kecuali yang sudah mencapai 5%; (b) untuk kelompok
sasaran dengan tarif tahun 2003 setinggi-tingginya 10%, pada tahun
1996, 1998, 2000, dan 2002 dikurangi 5%, kecuali yang sudah
mencapai 10%. Produk-produk yang dikecualikan dari penjadwalan

III/10
penurunan tarif bea masuk ini adalah produk pertanian, produk
otomotif, produk kimia, barang plastik dan logam, dan produk
alkohol sulingan dan minuman yang mengandung alkohol. Dengan
adanya penjadwalan tarif bea masuk tersebut, maka telah diturunkan
tarif bea masuk sebanyak 1.497 pos tarif dari 7.288 pos tarif yang
ada.

Selanjutnya, dilakukan pula penurunan bea masuk atas 385 pos


tarif barang modal yang meliputi mesin penggerak kendaraan air
(motor tempel), dapur api dan tungku industri atau laboratorium, serta
mesin pengangkat, pemindah, pemuat atau pembongkar yang
dirancang untuk penggunaan di bawah tanah. Sesuai dengan Undang-
Undang Kepabeanan, bea masuk tambahan dihapuskan sedangkan
produk-produk yang impornya dipandang masih perlu dibatasi dengan
tarif yang meliputi 80 pos tarif, bea masuk tambahan yang berlaku
selama ini diakumulasikan ke dalam bea masuknya. Sementara itu,
dilakukan pula penyederhanaan tata niaga impor untuk produk-produk
kacang kedelai, mesin piston dan diesel, pompa displasemen, motor
dan generator listrik, serta traktor. Untuk produk-produk tersebut
yang semula impornya hanya dapat dilakukan oleh importir produsen
(IP), sejak Juni 1996 dapat dilakukan oleh importir umum (IU).

Untuk menghadapi praktek dumping dan sekaligus melindungi


industri dalam negeri, sejak Juni 1996 telah dikenakan bea masuk anti
dumping bagi barang impor dumping dan bea masuk imbalan bagi
impor bersubsidi. Komite Anti Dumping Indonesia (KADI) yang
dibentuk bertugas untuk melakukan penelitian dan penyelidikan
terhadap dumping dan subsidi serta pengusulan langkah-langkah yang
diperlukan.

Di bidang iklim usaha, paket Juni 1996 mencakup penyeder-


hanaan perijinan bagi industri yang berlokasi di kawasan industri,

III/11
penyelenggaraan tempat penimbunan berikat dan gudang berikat,
kelonggaran kegiatan impor bagi perusahaan penanaman modal asing
manufaktur, dan penyederhanaan prosedur impor limbah untuk bahan
baku industri. Bagi perusahaan-perusahaan industri yang berlokasi di
kawasan industri yang telah memperoleh persetujuan penanaman
modal asing dari Presiden, penanaman modal dari BKPM, dan
persetujuan prinsip atau ijin usaha dari instansi teknis untuk
perusahaan dalam rangka non PMA/PMDN, tidak diwajibkan
memiliki perijinan. Penyederhanaan perijinan ini ditujukan untuk
pengembangan industri yang berwawasan lingkungan sekaligus
mendorong pemusatan industri ke dalam kawasan industri yang sesuai
dengan Rencana Umum Tata Ruang.

Di samping itu, dikeluarkan pula peraturan mengenai tempat


penimbunan berikat di daerah pabean dan penyelenggaraan kawasan
berikat serta gudang berikat oleh swasta. Selanjutnya untuk
mendorong peningkatan ekspor nonmigas dan perluasan lapangan
kerja, bagi perusahaan PMA manufaktur diberi ijin dengan syarat-
syarat tertentu untuk mengimpor barang komplementer dari perusa-
haan afiliasinya di luar negeri, menjual hasil produksinya di dalam
negeri sampai tingkat penyalur, dan menjual barang komplementer
impor di pasar dalam negeri. Sedangkan penyederhanaan prosedur
impor limbah untuk bahan baku industri berupa penyempurnaan
prosedur dan uraian barang/pos tarif atas limbah yang dapat diimpor
dan melakukan penyesuaian dengan Undang-Undang Kepabeanan
yang berlaku.

Dalam rangka standarisasi mutu dan menangkal isu ecolabelling,


pihak swasta telah dihimbau untuk mendapatkan sertifikasi standar
dalam skema ISO-9000 dan ISO-14000. Di samping itu terus
ditingkatkan kesiapan lembaga surveyor dan kegiatan Lembaga

III/12
Ekolabeling Indonesia (LEI) yang menyusun skema ekolabel untuk
Indonesia yang mengacu pada standar teknis ekolabel internasional.

Upaya lain yang ditempuh untuk mendorong peningkatan ekspor


nonmigas adalah dibentuknya Tim Pengkajian Strategi Ekspor
(TIPSE). Pembentukan TIPSE ditujukan untuk membantu unit-unit
operasional yang bertanggung jawab dalam melakukan diplomasi,
promosi, dan fasilitasi perdagangan dengan sasaran untuk mendorong
ekspor nonmigas, menyelesaikan berbagai hambatan perdagangan di
negara tujuan ekspor, serta meningkatkan kerjasama bilateral dengan
mitra dagang. Selain itu, Tim ini akan memberikan strategi penetrasi
pasar tujuan ekspor yang tepat melalui pendekatan wilayah dan
pendekatan produk ekspor.

Untuk mendukung kemantapan neraca pembayaran dan kestabilan


moneter, pada bulan Maret 1997 dikeluarkan ketentuan baru mengenai
pinjaman komersial luar negeri (PKLN). Ketentuan baru ini
mencakup antara lain pengkaitan penerimaan PKLN dengan
pembiayaan ekspor dan kewajiban membayar terhadap pelanggaran
ketentuan PKLN.

Selanjutnya, dalam rangka kerjasama keuangan antara Indonesia


dengan negara-negara donor, Consultative Group for Indonesia
(CGI), telah mengadakan pertemuan ke lima di Paris pada bulan Juni
1996. Negara-negara donor telah sepakat untuk memberikan
komitmen pinjaman kepada Indonesia sebesar US$5.260,3 juta yang
terdiri dari sebesar US$2.563,6 juta pinjaman bilateral dan
US$2.696,7 juta pinjaman multilateral. Seperti tahun sebelumnya,
kebijaksanaan penggunaan pinjaman diarahkan antara lain untuk
pengembangan sumber daya manusia, pengembangan infrastruktur,
pengentasan kemiskinan dan pemerataan, dan pembangunan di bidang
pertanian.

III/13
2. Perkembangan Neraca Pembayaran

Perkembangan neraca pembayaran dalam tahun 1996/97 ditandai


dengan meningkatnya defisit transaksi berjalan, namun tetap dalam
batas yang aman. Peningkatan defisit transaksi berjalan terutama
disebabkan oleh melambatnya pertumbuhan ekspor non migas.
Melambatnya kinerja ekspor tidak hanya dialami oleh Indonesia saja,
namun merupakan gejala regional dan juga dialami oleh negara-
negara kelompok emerging markets di Asia seperti Korea Selatan,
Taiwan, Thailand, dan Malaysia.

Dalam tahun 1996/97 nilai ekspor secara keseluruhan meningkat


sebesar 9,0% dari US$47,8 miliar pada tahun 1995/96 menjadi
US$52,0 miliar. Laju pertumbuhan tersebut melambat dibandingkan
dengan kenaikan sebesar 13,3% dalam tahun 1995/96. Melambatnya
pertumbuhan ekspor dalam tahun 1996/97 ini terutama disebabkan
melambatnya laju pertumbuhan ekspor non migas dari 17,1%
menjadi 5,7%. Sejalan dengan naiknya harga minyak bumi di pasaran
internasional, nilai ekspor minyak bumi dan gas alam cair (LNG)
termasuk gas minyak bumi cair (LPG) masing-masing meningkat dari
3,4% menjadi 15,1% dan dari -1,1% menjadi 28,7% (Tabel III-1 dan
III-2). Peranan ekspor non migas dalam nilai ekspor keseluruhan
sedikit menurun dari 77,8% dalam tahun 1995/96 menjadi 75,5%
dalam tahun 1996/97.

Sementara itu, dalam tahun 1996/97 nilai impor (f.o.b.) secara


keseluruhan pertumbuhannya melambat dibandingkan pertumbuhan
tahun sebelumnya yaitu dari 21,6% menjadi 10,4% (Tabel III-1 dan
III-3). Perlambatan laju pertumbuhan impor ini terutama berasal dari
melambatnya pertumbuhan impor nonmigas dari 23,4% menjadi
9,4%. Sejalan dengan meningkatnya konsumsi dalam negeri untuk

III/14
keperluan angkutan dan industri, laju pertumbuhan impor migas
mengalami kenaikan dari 7,1% menjadi 20,2%.

Pengeluaran devisa neto untuk jasa-jasa mengalami peningkatan


sebesar 7,9% sehingga menjadi US$14,3 miliar pada tahun 1996/97.
Defisit transaksi jasa yang cukup besar ini terutama terjadi pada jasa
pengangkutan barang impor dan pembayaran bunga hutang luar
negeri. Sementara itu, penerimaan devisa dari jasa-jasa di luar jasa-
jasa sektor migas masih bertumpu pada sektor pariwisata dan panda-
patan dari tenaga kerja Indonesia di luar negeri.

Dari berbagai perkembangan tersebut defisit transaksi berjalan


meningkat dari US$7,0 miliar atau sekitar 3,4% terhadap PDB pada
tahun 1995/96 menjadi sebesar US$8,1 miliar atau sekitar 3,5%
terhadap PDB pada tahun 1996/97.

Bersamaan dengan defisit transaksi berjalan yang makin


membesar, arus modal masuk neto mengalami surplus yang cukup
besar yaitu sebesar US$11,0 miliar pada tahun 1996/97. Surplus
tersebut terutama berasal dari pemasukan modal sektor swasta neto
terdiri dari investasi langsung, investasi portfolio, dan modal lainnya
yang berjumlah sebesar US$11,8 miliar, sedikit meningkat
dibandingkan tahun 1995/96 yang sebesar US$11,7 miliar. Besarnya
jumlah arus modal masuk neto sektor swasta ini erat kaitannya dengan
semakin menariknya iklim investasi dan meningkatnya kepercayaan
investor asing terhadap kondisi ekonomi Indonesia secara
keseluruhan. Selanjutnya, pemasukan modal pemerintah menurun dari
US$5,7 miliar pada tahun 1995/96 menjadi US$5,4 miliar pada tahun
1996/97. Dalam periode yang sama, pelunasan pokok pinjaman
meningkat dari US$5,9 miliar menjadi US$6,1 miliar, sehingga secara
neto pemasukan modal pemerintah menjadi negatif sebesar US$0,7
miliar.

III/15
Semua perkembangan tersebut di atas telah menyebabkan jumlah
cadangan devisa meningkat dari US$16,0 miliar pada akhir tahun
1995/96 menjadi US$19,9 miliar pada akhir tahun 1996/97. Jumlah
cadangan devisa tersebut cukup untuk membiayai impor (c&f)
nonmigas selama 5,2 bulan.

D. EKSPOR

Dalam tahun 1996/97 laju pertumbuhan ekspor secara


keseluruhan mengalami perlambatan. Sejalan dengan meningkatnya
harga minyak bumi di pasaran internasional, ekspor migas meningkat
secara berarti sedangkan ekspor nonmigas, meskipun tetap meningkat,
mengalami perlambatan pertumbuhan. Nilai ekspor migas meningkat
cukup tinggi yaitu sebesar 20,3% dari US$10,6 miliar pada tahun
1995/96 menjadi US$12,8 miliar pada tahun 1996/97. Pening-
katan ini disebabkan membaiknya harga minyak bumi yang erat
kaitannya dengan meningkatnya permintaan minyak bumi di pasaran
internasional, yang terutama disebabkan oleh memburuknya musim
dingin di Amerika Serikat dan meningkatnya kebutuhan untuk
pembangkit tenaga listrik di Jepang.

Sementara itu ekspor nonmigas, meskipun masih mengalami


peningkatan, laju pertumbuhannya melambat. Pada tahun 1996/97
nilai ekspor nonmigas hanya meningkat sebesar 5,7% sehingga
mencapai US$39,3 miliar, jauh lebih kecil dibandingkan dengan
peningkatan dalam tahun 1995/96 yang sebesar 17,1%. Perlambatan
pertumbuhan ini disebabkan oleh faktor-faktor internal dan eksternal.
Di sisi internal, ekspor nonmigas kita masih menghadapi kendala
seperti relatif rendahnya tingkat efisiensi, struktur ekspor yang masih
mengandalkan komoditas berasal dari sumber daya alam dan tenaga
kerja murah, serta belum memadainya fasilitas pelabuhan ekspor di

III/16
luar Jawa. Di sisi eksternal, munculnya negara-negara pesaing baru
seperti Cina, Vietnam, dan India menyebabkan meningkatnya
persaingan di pasar internasional, khususnya untuk komoditas tekstil,
produk kayu, dan alas kaki.

Perkembangan beberapa komoditi ekspor nonmigas dalam tahun


1996/97 secara lebih rinci adalah sebagai berikut (Tabel III-4).

Ekspor tekstil dan produk tekstil dalam tiga tahun terakhir ini
tetap menjadi penyumbang devisa terbesar ekspor nonmigas. Dalam
tahun 1996/97 laju pertumbuhan ekspor komoditi tersebut melambat
dibandingkan tahun sebelumnya, yaitu dari 8,2% menjadi 0,7% atau
menjadi US$6.191 juta. Perlu ditambahkan, volume ekspor pakaian
jadi pada tahun 1996/97 meningkat sejalan dengan membaiknya
pemanfaatan kuota melalui perbaikan manajemen kuota.

Upaya penganekaragaman produk ekspor, terutama ekspor hasil


industri, yang digalakkan dalam beberapa tahun terakhir menunjukkan
hasilnya. Ekspor alat-alat listrik, termasuk di dalamnya komputer dan
bagiannya, dalam tahun 1996/97 meningkat pesat yaitu sebesar 40,3%
menjadi US$3.898 juta dari sebesar US$2.779 juta pada tahun
1995/96. Dengan demikian nilai ekspor produk ini melebihi nilai
ekspor kayu lapis dan untuk pertama kalinya menempati urutan kedua
sebagai penghasil devisa ekspor nonmigas setelah tekstil dan produk
tekstil.

Ditengah-tengah maraknya isu ecolabelling dan adanya


diskriminasi tarif bea masuk di negara tujuan ekspor, nilai ekspor
kayu lapis Indonesia dalam tahun 1996/97 tetap meningkat yaitu
menjadi US$3.549 juta atau naik sebesar 4,7% dibandingkan tahun
sebelumnya. Adanya peningkatan ini tidak terlepas dari usaha-usaha

III/17
pemasaran yang semakin mantap dan membaiknya harga komoditi
tersebut di pasaran internasional.

Perkembangan ekspor hasil tambang di luar timah dan aluminium


dalam tahun 1996/97 mengalami penurunan sebesar 4,4%, yaitu dari
US$3.293 juta dalam tahun 1995/96 menjadi US$3.148 juta.
Demikian juga ekspor aluminium mengalami penurunan yaitu sebesar
7,9% dari US$341 juta pada tahun 1995/96 menjadi US$314 juta pada
tahun 1996/97. Sedangkan nilai ekspor timah mengalami sedikit
peningkatan yaitu sebesar 4,0% menjadi US$289 juta pada tahun
1996/97.

Sementara itu, perkembangan nilai ekspor hasil pertanian cukup


bervariasi. Dalam kelompok ini, nilai ekspor teh, tembakau, dan
bungkil kopra mengalami peningkatan cukup pesat yaitu masing-
masing meningkat dengan 15,3%, 389,9%, dan 42,7% dalam tahun
1996/97. Sedangkan dalam tahun yang sama minyak kelapa sawit dan
biji kelapa sawit hanya meningkat dengan 0,6%. Sementara itu, nilai
ekspor komoditi lainnya seperti karet, lada, dan kopi, mengalami
penurunan masing-masing sebesar 11,1%, 42,3% dan 6,3% pada
tahun 1996/97.

E. IMPOR

Perkembangan kegiatan ekonomi dan pembangunan yang disertai


dengan serangkaian kebijaksanaan deregulasi dan debirokratisasi yang
dilaksanakan dalam beberapa tahun ini mempunyai pengaruh sangat
besar terhadap perkembangan impor selama tiga tahun pelaksanaan
Repelita VI. Pada dua tahun pelaksanaan Repelita VI, laju
pertumbuhan impor meningkat dengan pesat yaitu sebesar 17,1% pada
tahun 1994/95 dan 21,6% pada tahun 1995/96. Namun dengan

III/18
berbagai langkah efisiensi dan pengetatan di bidang fiskal dan
moneter, serta deregulasi di sektor riil, laju pertumbuhan impor dalam
tahun 1996/97 dapat dikendalikan.

Nilai impor (f.o.b) secara keseluruhan dalam tahun 1996/97


berjumlah US$45,8 miliar atau 10,4% lebih tinggi dari nilai impor
dalam tahun 1995/96 sebesar US$41,5 miliar. Peningkatan ini jauh
lebih lambat dibandingkan peningkatan pada tahun sebelumnya yang
sebesar 21,6%. Melambatnya pertumbuhan impor ini terutama berasal
dari pertumbuhan impor non migas yang malambat cukup tajam, yaitu
dari 23,4% pada tahun 1995/96 menjadi hanya sebesar 9,4% pada
tahun 1996/97. Sementara itu, sejalan dengan meningkatnya konsumsi
dalam negeri untuk keperluan angkutan dan industri, impor migas
mengalami peningkatan cukup besar yaitu sebesar 20,2% menjadi
US$4,7 miliar dalam tahun 1996/97.

Perkembangan beberapa komoditi impor nonmigas (c.i.f)


menurut golongan barang ekonomi dapat dilihat pada Tabel III-6 dan
III-7.

Komposisi impor di luar minyak dan gas bumi dalam tahun 1996
didominasi oleh impor bahan baku dan penolong yang mengambil
bagian sekitar 68,6% dari seluruh impor nonmigas, sedangkan
peranan barang modal dan barang konsumsi masing-masing sebesar
24,6% dan 6,8%. Perkembangan impor tersebut mencerminkan
semakin berkembangnya kegiatan industri di dalam negeri.

Nilai impor bahan baku dan penolong pada tahun 1996


mengalami perlambatan laju pertumbuhan yaitu dari sebesar 28,5%
pada tahun 1995 menjadi hanya sebesar 0,9% atau menjadi US$27,0
miliar. Perlambatan ini terutama disebabkan oleh menurunnya nilai
impor bahan baku industri lainnya yaitu dari US$17,2 miliar pada

III/19
tahun 1995 menjadi sebesar US$16,7 miliar pada tahun 1996, atau
turun sebesar 2,7%. Sedangkan nilai impor bahan baku industri
pangan & minuman dan impor suku cadang mengalami peningkatan
masing-masing sebesar 26,6% dan 3,3%.

Impor barang modal mengalami peningkatan sebesar 11,1% dari


US$8,7 miliar pada tahun 1995 menjadi US$9,7 miliar pada tahun
1996, sejalan dengan meningkatnya realisasi persetujuan penanaman
modal dalam beberapa tahun terakhir. Kenaikan terbesar terjadi pada
impor alat telekomunikasi sebesar 58,8% menjadi US$1,7 miliar dan
impor mesin industri dan barang modal lainnya sebesar 15,6%
menjadi US$5,7 miliar. Sedangkan impor mesin pembangkit listrik
dan peralatan listrik turun masing-masing sebesar 5,7% dan 32,2%.

Pertumbuhan impor kelompok barang konsumsi mengalami


perlambatan yang cukup tajam. Pada tahun 1996, kelompok barang
ini mengalami pertumbuhan yang melambat yaitu sebesar 18,2%,
setelah meningkat sangat pesat sebesar 66,1% pada tahun 1995.
Perlambatan cukup tajam terjadi pada laju pertumbuhan impor
makanan dan minuman untuk keperluan rumah tangga yang melambat
dari sebesar 99,8% pada tahun 1995 menjadi sebesar 40,3% atau
menjadi sebesar US$1,6 miliar pada tahun 1996. Sejalan dengan
meningkatnya daya beli masyarakat, impor barang konsumsi setengah
dan tidak tahan lama mengalami peningkatan sebesar 4,4% menjadi
US$666 juta pada tahun 1996.

F. JASA - JASA

Di bidang jasa-jasa, neraca jasa-jasa secara neto mengalami


defisit dengan peningkatan sebesar 7,9% sehingga menjadi US$14,3
miliar pada tahun 1996/97. Defisit jasa-jasa nonmigas meningkat dari

III/20
US$10,0 miliar pada tahun 1995/96 menjadi US$10,8 miliar pada
tahun 1996/97. Peningkatan defisit ini terutama berasal dari jasa
pengangkutan barang impor nonmigas yang meningkat sebesar 9,4%
menjadi US$4,6 miliar pada tahun 1996/97. Dalam waktu yang sama,
defisit jasa-jasa di luar pengangkutan meningkat sebesar 6,1%
menjadi US$6,2 miliar. Sementara itu, defisit jasa-jasa migas
meningkat dari sebesar US$3,2 miliar pada tahun 1995/96 menjadi
US$3,5 miliar pada tahun 1996/97.

Di sisi penerimaan jasa-jasa nonmigas, penerimaan devisa masih


tetap bertumpu pada sektor pariwisata dan transfer penghasilan tenaga
kerja Indonesia yang bekerja di luar negeri. Jumlah kedua sumber
penerimaan devisa ini meningkat dari sebesar US$6,1 miliar pada
tahun 1995/96 menjadi sebesar US$7,1 miliar pada tahun 1996/97.

G. LALU LINTAS MODAL

Lalu lintas modal neto pada tahun 1996/97 mengalami surplus


sebesar US$11,0 miliar, sedikit menurun dibandingkan surplus yang
terjadi pada tahun 1995/96 yang sebesar US$11,5 miliar. Di sektor
swasta, pemasukan modal lain neto meningkat dari US$11,7 miliar
pada tahun 1995/96 menjadi US$11,8 miliar pada tahun 1996/97. Di
lihat dari komposisinya, lalu lintas modal swasta tersebut berupa
investasi langsung, investasi portfolio, dan pinjaman luar negeri
swasta berjangka waktu menengah dan panjang. Seiring dengan
semakin baiknya iklim investasi dan meningkatnya kepercayaan
investor asing terhadap kondisi ekonomi Indonesia secara
keseluruhan, investasi langsung meningkat dari US$7,1 miliar pada
tahun 1995/96 menjadi US$8,6 miliar pada tahun 1996/97.

III/21
Di sektor pemerintah, pinjaman luar negeri pemerintah menurun
dari US$5,7 miliar pada tahun 1995/96 menjadi US$5,4 miliar pada
tahun 1996/97. Penurunan ini terjadi karena menurunnya bantuan
proyek dan pinjaman proyek lainnya yang masing-masing turun
menjadi US$3,2 miliar dan US$1,7 miliar pada tahun 1996/97.
Walaupun menunjukkan penurunan, namun pinjaman luar negeri
pemerintah tetap diperlukan terutama untuk membiayai kegiatan-
kegiatan yang belum dapat disediakan oleh sektor swasta seperti
program peningkatan kesejahteraan masyarakat, penyediaan prasarana
fisik dan nonfisik, serta program-program pengentasan kemiskinan.
Selanjutnya, dalam upaya mempercepat pembayaran hutang luar
negeri yang berbunga cukup tinggi, pelunasan pokok pinjaman
pemerintah mengalami peningkatan dari US$5,9 miliar pada tahun
1995/96 menjadi US$6,1 miliar pada tahun 1996/97.

Sementara itu, pelunasan pinjaman luar negeri yang terdiri dari


pokok dan bunga pinjaman pemerintah dan swasta meningkat dari
US$18,1 miliar pada tahun 1995/96 menjadi US$20,7 miliar pada
tahun 1996/97. Peningkatan ini terutama berasal dari pelunasan
pinjaman swasta yang meningkat dari US$9,0 miliar pada tahun
1995/96 menjadi US$11,9 miliar. Dengan demikian, DSR swasta
meningkat dari 16,3% pada tahun 1995/96 menjadi 19,6% pada tahun
1996/97. Dalam periode yang sama, pelunasan pinjaman pemerintah
justru menurun dari US$9,1 miliar menjadi US$8,8 miliar, sehingga
DSR pemerintah mengalami penurunan dari 16,4% pada tahun
1995/96 menjadi 14,6% pada tahun 1996/97. Secara keseluruhan,
DSR swasta dan pemerintah meningkat dari 32,7% pada tahun
1995/96 menjadi 34,2% pada tahun 1996/97 (Tabel III-8).

III/22
H. PERKEMBANGAN PINJAMAN LUAR NEGERI

Dalam upaya untuk mempertahankan momentum pembangunan


maka pinjaman luar negeri, baik pemerintah maupun swasta,
walaupun hanya merupakan pelengkap, merupakan sumber
pembiayaan pembangunan yang penting pula. Pinjaman luar negeri,
seperti diamanatkan oleh GBHN 1993, tidak boleh mempunyai ikatan
politik dan digunakan untuk kegiatan produktif, serta senantiasa
mempertimbangkan batas-batas kemampuan ekonomi nasional.

Dalam tahun 1996/97 persetujuan pinjaman luar negeri


pemerintah mengalami penurunan sebesar 7,8% yaitu dari US$8,7
miliar pada tahun 1995/96 menjadi sebesar US$8,0 miliar. Ditinjau
dari komposisi pinjaman, persetujuan pinjaman luar negeri pemerintah
sebagian besar tetap dalam bentuk pinjaman lunak, yang terdiri dari
bantuan khusus dan bantuan proyek. Sisanya merupakan pinjaman
setengah lunak dan pinjaman tunai. Peranan persetujuan pinjaman
lunak pada tahun 1996/97 meningkat menjadi sebesar 65,9% dari
sebesar 61,9% pada tahun 1995/96. Sedangkan peranan persetujuan
pinjaman setengah lunak dan pinjaman tunai menurun dari 38,1%
pada tahun 1995/96 menjadi 34,1% pada tahun 1996/97.
Perkembangan ini merupakan perwujudan dari kebijaksanaan
pinjaman luar negeri yang berhati-hati dengan senantiasa
memperhatikan kemampuan untuk membayar kembali (Tabel III-9 dan
III-10).

Pada tahun 1996/97, persetujuan bantuan proyek meningkat


sebesar 6,1% dari US$5,0 miliar pada tahun 1995/96 menjadi US$5,3
miliar. Persetujuan pinjaman setengah lunak dan komersial, termasuk
kredit ekspor, turun cukup tajam yaitu sebesar 34,8% dari US$2,8
miliar menjadi US$1,8 miliar. Penurunan tersebut antara lain
disebabkan oleh makin ketatnya kriteria pemberian kredit ekspor oleh

III/23
Tim PKLN. Kebijaksanaan ini sesuai dengan tekad kita dalam rangka
pengelolaan ekonomi makro yang berhati-hati. Sedangkan persetujuan
pinjaman tunai berupa pinjaman obligasi dan pinjaman dari kelompok
bank mengalami peningkatan dari US$500,0 juta menjadi US$900,0
juta pada tahun 1996/97.

Pinjaman pemerintah pada posisi akhir Maret 1997 sebesar


US$52,6 miliar atau sekitar 48,4% dari hutang keseluruhan, menurun
dibandingkan posisi akhir Maret 1996 yang sebesar US$58,6 miliar
atau sekitar 55,1% dari hutang keseluruhan (Tabel III-11).

Posisi pinjaman luar negeri pemerintah menunjukkan


kecenderungan yang menurun sebagai akibat dari lebih besarnya
jumlah pelunasan pokok pinjaman dibandingkan dengan pinjaman
yang baru. Di lain pihak dengan makin besarnya peranan swasta
dalam perekonomian nasional, posisi pinjaman luar negeri swasta
terus meningkat setiap tahunnya. Posisi pinjaman swasta
menunjukkan peningkatan sebagai akibat dari arus pinjaman baru
yang lebih besar dari pelunasannya.

Posisi hutang luar negeri swasta pada akhir Maret 1997 menjadi
US$56,1 miliar atau sekitar 51,6% dari hutang keseluruhan, jauh lebih
tinggi dibandingkan pada posisi akhir Maret 1996 yang sebesar
US$47,8 miliar atau sekitar 44,9% dari hutang keseluruhan.

Dengan perkembangan itu, posisi keseluruhan hutang luar negeri


Indonesia pada akhir Maret 1997 adalah sebesar US$108,7 miliar,
sedikit meningkat dibandingkan pada posisi akhir Maret 1996 yang
sebesar US$106,5 miliar.

III/24
TABEL III – 1
NERACA PEMBAYARAN
1993/94 – 1996/97
(juta US dolar)

1) Angka diperbaiki
2) Angka sementara
3) Angka ekspor berdasarkan dokumen Pemberitahuan Ekspor Barang (PEB) yang diolah oleh Bank Indonesia
Dengan menggunakan “Open date system”. Angka-angka ini berbeda dengan angka-angka dari Biro Pusat
Statistik yang mengolah dokumen PEB dengan menggunakan “cut-off date system”
4) Mulai tahun 1987/88 termasuk gas minyak bumi cair (LPG)
5) Tahun 1988/89 – 1990/91 termasuk yang dibiayai melalui Bantuan Khusus;
Mulai tahun 1991/92 termasuk yang dibiayai melalui Fast Disbursing Assistance
6) Tahun 1988/89 – 1990/91 termasuk Bantuan Khusus yang tidak berupa Bantuan Program
7) Mulai tahun 1991/92 termasuk Fast Disbursing Assistance yang tidak berupa Bantuan Program
8) Pokok Pinjaman

III/25
TABEL III – 2
NILAI EKSPOR (F.O.B.) 1)
1993/94 – 1996/97
(juta US dolar)

1) Angka ekspor berdasarkan dokumen Pemberitahuan Ekspor Barang (PEB) yang diolah oleh Bank Indonesia dengan menggunakan
“Open date system”. Angka-angka ini berbeda dengan angka-angka dari Biro Pusat Statistik yang mengolah dokumen PEB dengan
Menggunakan “cut-off date system”
2) Angka diperbaiki
3) Angka sementara
4) Perubahan terhadap tahun sebelumnya
5) Mulai tahun 1987/88 termasuk gas bumi cair (LPG)

III/26
GRAFIK III – 1
PERKEMBANGAN NILAI EKSPOR (F.O.B)
1993/94, 1994/95 – 1996/97

III/27
TABEL III – 3
NILAI IMPOR (F.O.B.) 1)
1993/94 – 1996/97
(juta US dolar)

1) Angka ekspor berdasarkan dokumen PPUD/PIUD yang diolah oleh Bank Indonesia dengan menggunakan
“Open date system”. Angka-angka ini berbeda dengan angka-angka Biro Pusat Statistik yang mengolah
dokumen PPUD/PIUD dengan Menggunakan “cut-off date system”
2) Angka diperbaiki
3) Angka sementara
4) Perubahan terhadap tahun sebelumnya

III/28
GRAFIK III – 2
PERKEMBANGAN NILAI IMPOR (F.O.B.)
1993/94, 1994/95 – 1996/97

III/29
TABEL III – 4
NILAI BEBERAPA BARANG EKSPOR DI LUAR MINYAK DAN GAS
BUMI 1)
1993/94 – 1996/97
(juta US dolar)

1) Angka ekspor berdasarkan dokumen Pemberitahuan Ekspor Barang (PEB) yang diolah oleh Bank Indonesia dengan menggunakan
“Open date system”. Angka-angka ini berbeda dengan angka-angka dari Biro Pusat Statistik yang mengolah dokumen PEB dengan Menggunakan “cut-
off date system”
2) Angka diperbaiki
3) Angka sementara
4) Perubahan terhadap tahun sebelumnya
5) Termasuk hasil lainnya

III/30
TABEL III – 5
HARGA BEBERAPA JENIS BARANG EKSPOR 1)
1993/94 – 1996/97

1) Harga rata-rata
2) Karet RSS III New York dalam US$sen.lb
3) Kopi Robusta Lampung, New York dalam US$sen/lb
4) Minyak sawit ex Sumatera, Rotterdam dalam US$/ton
5) Lada hitam Singapura dalam sn.$/100 Kg
6) Kayu, US Lumber, Tokyo dalam 1.000 Y/meter kubik
7) Plywood, Tokyo dalam Y/lb
8) Tea Plain, Londok dalam /Kg

III/31
TABEL III – 6
PERKEMBANGAN IMPOR DILUAR SEKTOR MINYAK DAN GAS
BUMI
MENURUT GOLONGAN EKONOMI (C.I.F) 1)
1993 – 1996

1) Angka impor berdasarkan dokumen PPUD/PIUD yang diolah oleh Bank Indonesia
dengan menggunakan “cut-off date system”
2) Angka diperbaiki

III/32
TABEL III – 7
PERKEMBANGAN IMPOR DI LUAR SEKTOR MINYAK DAN GAS BUMI
MENURUT GOLONGAN EKONOMI (C.I.F) 1)
1993 – 1996
(%)

1) Angka impor berdasarkan dokumen PPUD/PIUD yang diolah oleh Bank Indonesia
dengan menggunakan “cut-off date system

III/33
GRAFIK III – 3
PERKEMBANGAN IMPOR DI LUAR SEKTOR MINYAK DAN GAS BUMI
MENURUT GOLONGAN EKONOMI (C.I.F)
1993, 1994 – 1996

III/34
TABEL III – 8
PERLUNASAN PINJAMAN LUAR NEGERI DI INDONESIA
1993/94 – 1996/97
(juta US dolar)

1) Nilai ekspor barang dan jasa


2) Pokok dan bunga pinjaman
3) DSR, perbandingan antara jumlah pokok dan bunga pinjaman terhadap nilai barang dan jasa
4) Angka diperbaiki
5) Angka sementara

III/35
TABEL III – 9
PERKEMBANGAN PERSETUJUAN PINJAMAN LUAR NEGERI PEMERINTAH 1)
1993/94 – 1996/97
(juta US dolar)

1. Mulai tahun 1992/93 pinjaman dan hibah CGI atas dasar pledge dan pinjaman di luar CGI atas dasar persetujuan
2. Angka diperbaiki
3. Angka sementara
4. Perubahan terhadap tahun sebelumnya
5. Berupa Bantuan Program, Dana Pendamping (Local Cost), Pinjaman Sektor (Sector Loan) dan Two Step Loan
6. Termasuk Kredit Ekspor
7. Berupa pinjaman obligasi dan pinjaman dari kelompok bank

III/36
TABEL III – 10
PERSETUJUAN PINJAMAN LUAR NEGERI PEMERINTAH 1)
1993/94 – 1996/97
(juta US dolar)

1) Pinjaman dan hibah IGGI atas dasar pledge dan pinjaman di luar IGGI atas dasar persetujuan
Sampai tahun 1991/92; Mulai tahun 1992/93 pinjaman dan hibah CGI atas dasar pledge dan
Pinjaman di luar CGI atas dasar persetujuan
2) Angka diperbaiki
3) Angka sementara
4) Termasuk bantuan Khusus/fast Disbursing Assistance
5) Termasuk Kredit ekspor
6) Berupa pinjaman obligasi dan pinjaman dari kelompok bank

III/37
TABEL III – 11
POSISI PINJAMAN LUAR NEGERI INDONESIA
MARET 1994 – MARET 1997
(juta US$)

1) Angka sementara
2) Termasuk Pinjaman Lama & Fasilitas Kredit Ekspor

III/38

Anda mungkin juga menyukai