Anda di halaman 1dari 12

A.

      Pendahuluan

Ilmu merupakan hasil dari peradaban manusia yang semata-mata membantu memudahkan
pekerjaan manusia. Dalam hal ini pekerjaan manusia bukan hanya aspek praktis semata melainkan
ilmu berhasil menerjemahkan alam semesta yang berlaku secara umum. Sehingga setiap orang
dapat memahami gejala-gejala alam secara serentak dan ilmu itu juga dapat digunakan oleh semua
orang tanpa batas apapun. Dengan kemajuan ilmu, manusia bisa merasakan kemudahan
seperti transportasi, pemukiman, pendidikan, komunikasi , ekonomi , kedokteran , Bahkan
seperti yang diketahui makhluk hidup yang tidak dapat dilihat oleh mata telanjang saja, dapat
diidentifikasi menggunakan mikroskop sebagai salah satu hasil dari perkembangan ilmu
pengetahuan. Singkatnya ilmu merupakan sarana untuk membantu manusia dalam mencapai
tujuan hidup.

Sesuatu dikatakan sebuah ilmu pengetahuan apabila memenuhi tiga aspek, yaitu aspek
ontologi, epistemologi, dan aksiologi. Dalam filsafat ilmu ketiga aspek ini juga disebut
metode ilmiah, yaitu suatu cara atau prosedur untuk mengukur sebuah ilmu atau
pengetahuan. Bila ontologi berbicara tentang hakikat sebuah ilmu dan aksiologi berbicara
tentang fungsi sebuah ilmu, maka epistemologi membahas sebuah teori ilmu (the body of
knowledge) . (Kartanegara, 2000)

Untuk mengetahui perbandingan Ekonomi Islam dan Ekonomi Konvensional maka


Pendekatan pembeda pertama bisa dicermati dari pemahaman cara pandang terhadap
dunia (worldview) yang diungkap oleh kedua sistem khususnya yang berkaitan dengan alam
beserta isinya. Dengan kata lain, sesungguhnya perbincangan tentang paradigma sistem
ekonomi harus dimulai dari pandangan dasar terhadap sumber daya atau harta kekayaan.
Siapakah sesungguhnya pemilik alam semesta beserta isinya ini? Bagaimana posisi manusia
dalam menyikapi alam beserta isinya? Patutkah manusia bertindak sekehendaknya dalam
rangka memenuhi semua kebutuhan dan keinginan hidupnya? Jawaban dari pertanyaan
pertanyaan inilah yang kemudian akan membedakan konsep produksi, komsumsi dan
distribusi kedua konsep tersebut.

Interaksi antara manusia, yang memiliki pemahaman komprehensif tentang konsep tawhid,
konsep nubuwwah, konsep khali>fat Alla>h termasuk konsep tentang alam (baca
sumberdaya), dan alam inilah yang sesungguhnya menjadi tema sentral pembahasan
tentang perekonomian. Dengan pemahaman yang paripurna akan Islamic Worldview,
seharusnya pemanfaatan dan penggunaan alam (produksi, konsumsi dan distribusi) beserta
isinya seharusnya memberikan kemaslahatan maupun pencapaian falah bagi seluruh umat
manusia di dunia ini. Pemahaman pandangan ini pula seharusnya menjadi kerangka rujukan
untuk aturan maupun cara pandang terhadap permasalahan-permasalahan ekonomi
masyarakat.

Sebagai sebuah ilmu, melihat perbedaan antara ekonomi Islam dan konvensional bisa
dicermati dari pendekatan yang sering digunakan dalam filsafat umum. yaitu pendekatan
ontologis, epistemologis, dan aksiologis.
Dengan kemajuan ilmu manusia bisa merasakan kemudahan lainnya seperti
transportasi, pemukiman, pendidikan, komunikasi dan lain sebagainya. Simgkatnya ilmu
merupakan sarana untuk membantu manusia dalam mencapai tujuan hidupnya.Kemudian
timbul pertanyaan, apakah ilmu selalu merupakan berkah dan penyelamat bagi manusia? Dan
memang sudah terbukti, dengan kemajuan ilmu pengetahuan, manusia dapat menciptakan
berbagai bentuk teknologi. Misalnya, pembuatan bom yang pada awalnya untuk
memudahkan kerja manusia, namun kemudian dipergunakan untuk hal-hal yang bersifat
negatif yang menimbulkan malapetaka bagi manusia itu sendiri, seperti yang terjadi di Bali 6
tahun yang lalu dan menciptakan senjata kuman yang dipakai sebagai alat untuk mrmbunuh
sesama manusia. Di sinilah ilmu harus diletakkan secara proporsional dan memihak pada
nilai-nilai kebaikan dan kemanusiaan. Sebab, jika ilmu tidak berpihak kepada nilai-nilai,
maka yaang terjadi adalah bencana dan malapetaka.
B.       Pengertian Aksiologi
 Menurut bahasa Yunani, aksiologi berasal dari kata axios artinya nilai dan logos
artinya teori atau ilmu. Menurut Kamus Bahasa Indonesia aksiologi adalah kegunaan ilmu
pengetahuan bagi kehidupan manusia, kajian tentang nilai-nilai khususnya etika. Nilai
digunakan sebagai kata benda abstrak, Dalam pengertian yang lebih sempit seperti baik,
menarik dan bagus. Sedangkan dalam pengertian yang lebih luas mencakup sebagai
tambahan segala bentuk kewajiban, kebenaran dan kesucian. Nilai sebagai kata benda
konkret. Contohnya ketika kita berkata sebuah nilai atau nilai-nilai. Ia sering dipakai untuk
merujuk kepada sesuatu yang bernilai, seperti nilainya atau nilai dia. Nilai juga dipakai
sebagai kata kerja dalam ekspresi menilai, memberi nilai atau dinilai. Aksiologi merupakan
cabang filsafat ilmu yang mempertanyakan bagaimana manusia menggunakan ilmunya.
Aksiologi adalah istilah yang berasal dari kata Yunani yaitu; axios yang berarti sesuai atau
wajar. 1[1]
Sedangkan logos yang berarti ilmu. Menurut John Sinclair, dalam lingkup kajian
filsafat nilai merujuk pada pemikiran atau suatu sistem seperti politik, sosial dan agama.
sedangkan nilai itu sendiri adalah sesuatu yang berharga, yang diidamkan oleh setiap insan.

1
Dari definisi aksiologi di atas, terlihat dengan jelas bahwa permasalahan utama adalah
mengenai nilai. Nilai yang dimaksud adalah sesuatu yang dimiliki manusia untuk melakukan
berbagai pertimbangan tentang apa yang dinilai.
Teori tentang nilai yang dalam filsafat mengacu pada masalah etika dan estetika.
Aksiologi ilmu terdiri dari nilai-nilai yang bersifat normatif dalam pemberian makna terhadap
kebenaran atau kenyataan sebagaimana dijumpai dalam kehidupan, yang menjelajahi
berbagai kawasan, seperti kawasan sosial, kawasan simbolik atau pun fisik material. Jadi,
aksiologi adalah teori tentang nilai. Berikut ini dijelaskan beberapa definisi aksiologi :
1.      Menurut Suriasumantri aksiologi adalah teori nilai yang berkaitan dengan kegunaan dari
pengetahuan yang di peroleh.2[2]
2.      Menurut Wibisono dalam Surajiyo (2009), aksiologi adalah nilai-nilai sebagai tolak ukur
kebenaran, etika dan moral sebagai dasar normative penelitian dan penggalian, serta
penerapan ilmu.3[3]
3.      Scheleer dan Langeveld memberikan definisi tentang aksiologi sebagai berikut. Scheleer
mengontraskan aksiologi dengan praxeology, yaitu suatu teori dasar tentang tindakan tetapi
lebih sering dikontraskan dengan deontology, yaitu suatu teori mengenai tindakan baik secara
moral.  
4.      Langeveld memberikan pendapat bahwa aksiologi terdiri atas dua hal utama, yaitu etika dan
estetika. Etika merupakan bagian filsafat nilai dan penilaian yang membicarakan perilaku
orang, sedangkan estetika adalah bagian filsafat tentang nilai dan penilaian yang memandang
karya manusia dari sudut indah dan jelek.
5.      Kattsoff mendefinisikan aksiologi sebagai ilmu pengetahuan yang menyelediki hakekat nilai
yang umumnya ditinjau dari sudut pandang kefilsafatan.4[4]
C.    Objek Kajian Filsafat Aksiologis
Dalam aksiologis dibicarakan tentang kegunaan ilmu pengetahuan bagi kehidupan
manusia dan juga nilai-nilai yang harus dilembagakan pada setiap dominannya. Aksiologi
pada dasarnya bersifat ide dan karena itu ia abstrak dan tidak dapat disentuh oleh panca indra.
Yang dapat ditangkap dari aspek aksiologis adalah materi atau tingkah laku yang
mengandung nilai. Karena itu nilai bukan soal benar atau salah karena ia tidak dapat diuji .
Ukurannya sangat subjektif dan objek kajiannya adalah soal apakah suatu nilai dekehendaki

4
atau tidak. Berbeda dengan fakta yang juga abstrak namun dapat diuji dan argumentasi
rasionaldapat memaksa orang untuk menerima kebenarannya. Pengukuran benar dan salah
dari suatu fakta dapat dilakukan secara objektif dan empiris.5[5]
Landasan aksiologis ilmu berkaitan dengan dampak ilmu bagi umat manusia.
Persoalan utama yang mengedepan di sini adalah: ”Apa manfaat (untuk apa) ilmu bagi
manusia?” (dalam psikologi, lihat juga ”The New Science of Axiological Psychology” oleh
Leon Pomeory). Dalam konteks ini, dapat ditambahkan pertanyaan: ”Sejauh mana
pengetahuan ilmiah dapat digunakan?”. Dalam hal ini, persoalannya bukan lagi kebenaran,
melainkan kebaikan. Secara epistemologis, persoalan ini berada di luar batas pengetahuan
sains. Menurut Bertens, pertanyaan ini menyangkut etika: ”Apakah yang bisa dilakukan
berkat perkembangan ilmu pengetahuan, pada kenyataannya boleh dipraktikkan juga?”.
Pertanyaan aksiologis ini bukan merupakan pertanyaan yang dijawab oleh ilmu itu sendiri,
melainkan harus dijawab oleh manusia di balik ilmu itu. Jawabnya adalah bahwa
pengetahuan ilmiah harus dibatasi penggunaannya, yakni sejauh ditentukan oleh kesadaran
moral manusia. Namun, jadi, sejauh mana hak kebebasan untuk meneliti? Hal ini merupakan
permasalahan yang pelik.6[6]
Pedoman untuk menguji nilai dipengaruhi oleh psikologi maupun teori logika. Para
hedonis menemukan pedoman mengenai jumlah atu besarnya kenikmatan yang dirasakan
seseorang atau masyarakat sebagai barometer dari sistem nilai. Kaum Idealis menjadikan
sistem objektif mengenai norma-norma rasional atau yang paling ideal sebagai kriteria. Dari
berbagai corak aliran ini maka hubungan antara nilai dan fakta dapat diselidiki melalui tiga
hal. Pertama, aliran naturalis potsitivisme yang menyatakan tidak ada kaitan antara
pengalaman manusia dengan sistem nilai. Kedua, objektifisme logis yang menyatakan bahwa
nilai merupakan esensi logis dan substnatif yang tidak ada kaitannya dengan status atau
tindakan eksistensi dalam realitas. Ketiga, aliran objektif metafisis yang menyatakan nilai
adalah norma ideal yang mengandung unsur integral objektif dan aktif dari kenyataan
metafisik.7[7]
Dengan demikian dalam filsafat aksiologis pembicaraan utama terkait erat dengan
kaitan ilmu dan moral. Hal ini telah lama menjadi bahan pembahasan para pemikir antara lain
Merton, Popper, Russel, dan pemikira lainnya. Pertanyaan umum yang sering muncul

7
berkenaan dengan hal tersebut adalah : apakah itu itu bebas dari sistem nilai ? Ataukah
sebaliknya, apakah itu itu terikat pada sistem nilai?.8[8]
 Ternyata pertanyaan tersebut tidak mendapatkan jawaban yang sama dari para
ilmuwan. Ada dua kelompok ilmuwan yang masing-masing punya pendirian terhadap
masalah tersebut. Kelompok pertama menghendai ilmu harus bersifat netral terhadap sistem
nilai. Menurut mereka tugas ilmuwan adalah menemukan pengetahuan ilmiah. Ilmu ini
selanjutnya dipergunakan untuk apa, terserah pada yang menggunakannya, ilmuwan tidak
ikut campur. Kelompok kedua sebaliknya berpendapat bahwa netralitas ilmu hanya terbatas
pada metafisik keilmuan, sedangkan dalam penggunaannya, bahkan pemilihan objek
penelitian, maka kegiatan keilmuan harus berlandaskan azas-azas moral.9[9]
Hubungan antara ilmu dengan moral oleh Jujun S. dikaji secara hatihati dengan
mempertimbangkan tiga dimensi filosofis ilmu. Pandangan Jujun S mengenai hal tersebut
adalah sebagai berikut:10[10]
1.      Untuk mendapatkan pengertian yang benar mengenai kaitan antara ilmu dan moral maka
pembahasan masalah ini harus didekati dari segi-segi yang lebih terperinci yaitu segi
ontologi, epistemologi, dan aksiologi.
2.      Menafsirkan hakikat ilmu dan moral sebaiknya memperhitungkan faktor sejarah, baik sejarah
perkembangan ilmu itu sendiri, maupun penggunaan ilmu dalam lingkup perjalanan sejarah
kemanusiaan.
3.      Secara ontologis dalam pemilihan wujud yang akan dijadikan objek penelaahannya (objek
ontologis / objek formal) ilmu dibimbing oleh kaidah moral yang berazaskan tidak mengubah
kodrat manusia, tidak merendahkan martabat manusia, dan tidak mencampuri masalah
kehidupan.
4.      Secara epistemologis, upaya ilmiah tercermin dalam metoda keilmuan yang berporoskan
proses logiko-hipotetiko-verifikatif dengan kaidah moral yang berazaskan menemukan
kebenaran, yang dilakukan dengan penuh kejujuran, tanpa kepentingan langsung tertentu dan
berdasarkan kekuatan argumentasi an sich.
5.      Secara aksiologis ilmu harus digunakan dan dimanfaatkan untuk kemaslahatan manusia
dengan jalan meningkatkan taraf hidupnya dan dengan memperhatikan kodrat manusia,

10
martabat manusia, dan keseimbangan / kelestarian alam. Upaya ilmiah ini dilakukan dengan
penggunaan dan pemanfaatan pengetahuan ilmiah secara komunal universal.
Ternyata keterkaitan ilmu dengan sistem nilai khususnya moral tidak cukup bila
hanya dibahas dari tinjauan aksilogi semata. Tinjauan ontologis dan epistemologi diperlukan
juga karena azas moral juga mewarnai perilaku ilmuwan dalam pemilihan objek telaah ilmu
maupun dalam menemukan kebenaran ilmiah. 
Dari awal perkembangan ilmu selalu dikaitkan dengan masalah moral. Copernicus
(1473-1543) yang menyatakan bumi berputar mengelilingi matahari, yang kemudian
diperkuat oleh Galileo (1564- 1642) yang menyatakan bumi bukan merupakan pusat tata
surya yang akhirnya harus berakhir di pengadilan inkuisisi. Kondisi ini selama 2 abad
mempengaruhi proses perkembangan berpikir di Eropa. Moral reasioning adalah proses
dengan mana tingkah laku manusia, institusi atau kebijakan dinilai apakah sesuai atau
menyalahi standar moral. Kriterianya: Logis, bukti nyata yang digunakan untuk mendukung
penilaian haruslah tepat, konsisten dengan lainnya.
Moralitas sebagai persoalan penting dalam aksiologi sering juga dipahami sebagai
etika. Dalam bahasa Inggris etika disebut ethic (singular) yang berarti a system of moral
principles or rules of behavior. atau suatu sistem, prinsip moral, aturan atau cara berperilaku.
Akan tetapi, terkadang ethics (dengan tambahan huruf s) dapat berarti singular. Jika ini yang
dimaksud maka ethics berarti the branch of philosophy that deals with moral principles, suatu
cabang filsafat yang memberikan batasan prinsip-prinsip moral. Jika ethics dengan maksud
plural (jamak) berarti moral principles that govern or influence a person’s behavior. prinsip-
prinsip moral yang dipengaruhi oleh perilaku pribadi. 11[11]
Dalam bahasa Yunani Kuno, etika berarti ethos, yang apabila dalam bentuk tunggal
mempunyai arti tempat tinggal yang biasa, padang rumput, kandang, adat, akhlak, watak
perasaan, sikap, cara berpikir. Dalam bentuk jamak (ta etha) artinya adalah adat kebiasaan.
Jadi, jika kita membatasi diri pada asal-usul kata ini, maka “etika” berarti ilmu tentang apa
yang biasa dilakukan atau ilmu tentang adat kebiasaan. 12[12] Arti inilah yang menjadi latar
belakang bagi terbentuknya istilah “etika” yang oleh Aristoteles (384-322 SM.) sudah dipakai
untuk menunjukkan filsafat moral.  Etika secara lebih detail merupakan ilmu yang membahas
tentang moralitas atau tentang manusia sejauh berkaitan dengan moralitas.  
D.    Aksiologi Nilai Kegunaan Ilmu

11

12
Teori tentang nilai dalam filsafat mengacu pada permasalahan etika dan estetika
dimana makna etika memiliki dua arti yaitu merupakan suatu kumpulan pengetahuan
mengenai penilaian terhadap perbuatan manusia dan suatu predikat yang dipakai untuk
membedakan perbuatan, tingkah laku, atau yang lainnya. Nilai itu bersifat objektif, tapi
kadang-kadang bersifat subjektif. Dikatakan objektif jika nilai-nilai tidak tergantung pada
subjek atau kesadaran yang menilai.
Tolak ukur suatu gagasan berada pada objeknya, bukan pada subjek yang melakukan
penilaian. Kebenaran tidak tergantung pada kebenaran pada pendapat individu melainkan
pada objektivitas fakta. Sebaliknya, nilai menjadi subjektif, apabila subjek berperan dalam
memberi penilaian; kesadaran manusia menjadi tolak ukur penilaian. Dengan demikian nilai
subjektif selalu memperhatikan berbagai pandangan yang dimiliki akal budi manusia, seperti
perasaan yang akan mengasah kepada suka atau tidak suka, senang atau tidak senang.
Kenyataan yang tidak dapat dipungkiri bahwa peradaban manusia sangat berhutang kepada
ilmu dan teknologi, sains dan teknologi dikembangkan untuk memudahkan hidup manusia
agar lebih mudah dan nyaman.
Peradaban manusia berkembang sejalan dengan perkembangan sains dan teknologi
karena itu kita tidak bisa dipungkiri peradaban manusia berhutang budi pada sains dan
teknologi. Berkat sain dan teknologi pemenuhan kebutuhan manusia bisa dilakukan dengan
lebih cepat dan mudah. Perkembangan ini baik dibidang kesehatan, pengangkutan,
pemukiman, pendidikan dan komunikasi telah mempermudah kehidupan manusia.
Sejak dalam tahap-tahap pertama ilmu sudah dikaitkan dengan tujuan perang,
disamping lain ilmu sering dikaitkan dengan faktor kemanusiaan, dimana bukan lagi
teknologi yang berkembang seiring dengan perkembangan dan kebutuhan manusia, namun
sebaliknya manusialah yang akhirnya yang harus menyesuaikan diri dengan teknologi.
Menghadapi kenyataan ini ilmu yang pada hakikatnya mempelajari alam sebagai
mana adanya mulai mempertanyakan hal yang bersifat seharusnya, untuk apa sebenarnya
ilmu itu harus digunakan? Dimana batasnya? Kearah mana ilmu akan berkembang?
Kemudian bagaimana dengan nilai dalam ilmu pengetahuan. Perkembangan dan kemajuan
ilmu pengetahuan telah menciptakan berbagai bentuk kemudahan bagi manusia.
Namun apakah hal itu selalu demikian? Bahwa ilmu pengetahuan dan teknologinya
merupakan berkah dan penyelamat bagi manusia, terbebas dari kutuk yang membawa
malapetaka dan kesengsaraan? Memang mempelajari teknologi seperti bom atom, manusia
bisa memanfaatkan wujudnya sebagai sumber energi bagi keselamatan umat manusia, tetapi
dipihak lain hal ini bisa juga berakibat sebaliknya, yakni membawa mausia pada penciptaan
bom atom yang menimbulkan malapetaka.
 Menghadapi hal yang demikian, ilmu pengetahuan yang pada esensinya mempelajari
alam sebagaimana adanya, mulai dipertanyakan untuk apa sebenarnya ilmu itu harus
dipergunakan? Dihadapkan dengan masalah moral dalam menghadapi ekses ilmu dan
teknologi yang bersifat merusak ini para ilmuan terbagi kedalam golongan pendapat yaitu
golongan pertama yang menginginkan bahwa ilmu harus bersifat netral terhadap nilai-nilai
baik itu secara ontologis maupun aksiologi.     Sebaliknya golongan kedua bahwa netralisasi
terhadap nilai- nilai hanyalah terbatas pada metavisis keilmuan sedangkan dalam
penggunaanya ilmu berlandaskan pada moral golongan kedua mendasarkan pendapatnya
pada beberapa hal yakni: Ilmu secara factual telah dipergunakan secara destruktif oleh
manusia yang telah dibuktikan dengan adanya dua perang dunia yang mempergunakan
teknologi- teknologi keilmuan.
Ilmu telah berkembang pesat dan makin eksetoris sehingga ilmuan telah mengetahui
apa yang mungkin terjadi apabila adanya penyalahgunaan.Ilmu dapat mengubah manusia dan
kemanusiaan yang paling hakiki seperti pada kasus revolusi genetika dan tehnik perubahan
sosial. Berkenaan dengan nilai guna ilmu, tak dapat dibantah lagi bahwa ilmu itu sangat
bermanfaat bagi seluruh umat manusia, dengan ilmu sesorang dapat mengubah wajah dunia.
Berkaitan dengan hal ini, menurut Francis Bacon seperti yang dikutip oleh Jujun S.
Suriasumatri yaitu bahwa “pengetahuan adalah kekuasaan” apakah kekuasaan itu merupakan
berkat atau justru malapetaka bagi umat manusia. Memang kalaupun terjadi malapetaka yang
disebabkan oleh ilmu, bahwa kita tidak bisa mengatakan bahwa itu merupakan kesalahan
ilmu, karena ilmu itu sendiri merupakan alat bagi manusia untuk mencapai kebahagiaan
hidupnya, lagi pula ilmu memiliki sifat netral, ilmu tidak mengenal baik ataupun buruk
melainkan tergantung pada pemilik dalam menggunakannya.13[13]
E.     Kegunaan Aksiologi  Terhadap Tujuan Ilmu Pengetahuan
Berkenaan dengan nilai guna ilmu, baik itu ilmu umum maupun ilmu agama, tak
dapat dibantah lagi bahwa kedua ilmu itu sangat bermanfaat bagi seluruh umat manusia,
dengan ilmu sesorang dapat mengubah wajah dunia. Berkaitan dengan hal ini, menurut
Francis Bacon seperti yang dikutip oleh Jujun.S.Suriasumatri yaitu bahwa “pengetahuan
adalah kekuasaan” apakah kekuasaan itu merupakan berkat atau justru malapetaka bagi umat
manusia. Memang kalaupun terjadi malapetaka yang disebabkan oleh ilmu, bahwa kita tidak
bisa mengatakan bahwa itu merupakan kesalahan ilmu, karena ilmu itu sendiri merupakan
13
alat bagi manusia untuk mencapai kebahagiaan hidupnya, lagi pula ilmu memiliki sifat netral,
ilmu tidak mengenal baik ataupun buruk melainkan tergantung pada pemilik dalam
menggunakannya.
Nilai kegunaan ilmu, untuk mengetahui kegunaan filsafat ilmu atau untuk apa filsafat
ilmu itu digunakan, kita dapat memulainya dengan melihat filsafat sebagai tiga hal, yaitu:
1.      Filsafat sebagai kumpulan teori digunakan memahami dan mereaksi dunia pemikiran. Jika
seseorang hendak ikut membentuk dunia atau ikut mendukung suatu ide yang membentuk
suatu dunia, atau hendak menentang suatu sistem kebudayaan atau sistem ekonomi, atau
sistem politik, maka sebaiknya mempelajari teori-teori filsafatnya. Inilah kegunaan
mempelajari teori-teori filsafat ilmu.
2.      Filsafat sebagai pandangan hidup. Filsafat dalam posisi yang kedua ini semua teori ajarannya
diterima kebenaranya dan dilaksanakan dalam kehidupan. Filsafat ilmu sebagai pandangan
hidup gunanya ialah untuk petunjuk dalam menjalani kehidupan.
3.      Filsafat sebagai metodologi dalam memecahkan masalah. Dalam hidup ini kita menghadapi
banyak masalah. Bila ada batui didepan pintu, setiap keluar dari pintu itu kaki kita
tersandung, maka batu itu masalah. Kehidupan akan dijalani lebih enak bila masalah masalah
itu dapat diselesaikan. Ada banyak cara menyelesaikan masalah, mulai dari cara yang
sederhana sampai yang paling rumit. Bila cara yang digunakan amat sederhana maka
biasanya masalah tidak terselesaikan secara tuntas.penyelesaian yang detail itu biasanya
dapat mengungkap semua masalah yang berkembang dalam kehidupan manusia.14[14]
F.     Kaitan Aksiologi dengan Filsafat Ilmu
Nilai itu bersifat objektif, tapi kadang-kadang bersifat subjektif. Dikatakan objektif
jika nilai-nilai tidak tergantung pada subjek atau kesadaran yang menilai. Tolak ukur suatu
gagasan berada pada objeknya, bukan pada subjek yang melakukan penilaian. Kebenaran
tidak tergantung pada kebenaran pada pendapat individu melainkan pada objektivitas fakta.
Sebaliknya, nilai menjadi subjektif, apabila subjek berperan dalam memberi penilaian;
kesadaran manusia menjadi tolak ukur penilaian. Dengan demikian nilai subjektif selalu
memperhatikan berbagai pandangan yang dimiliki akal budi manusia, seperti perasaan yang
akan mengasah kepada suka atau tidak suka, senang atau tidak senang.15[15]
Bagaimana dengan objektivitas ilmu? Sudah menjadi ketentuan umum dan diterima
oleh berbagai kalangan bahwa ilmu harus bersifat objektif. Salah satu faktor yang

14

15
membedakan antara peryataan ilmiah dengan anggapan umum ialah terletak pada
objektifitasnya. Seorang ilmuan harus melihat realitas empiris dengan mengesampingkan
kesadaran yang bersifat idiologis, agama dan budaya. Seorang ilmuan haruslah bebas dalam
menentukan topik penelitian. Ketika seorang ilmuan bekerja dia hanya tertuju kepada proses
kerja ilmiah dan tujuannya agar penelitiannya berhasil dengan baik. Nilai objektif hanya
menjadi tujuan utamanya, dia tidak mau terikat pada nilai subjektif.16[16]
G.    Beberapa Penjelasan Aksiologi
1.      Ilmu dan Moral
Benarkah bahwa makin cerdas, maka makin pandai kita menemukan kebenaran,
makin benar maka makin baik pula perbuatan kita? Apakah manusia mempunyai penalaran
tinggi, lalu makin berbudi, sebab moral mereka dilandasi oleh anlisis yang hakiki, atau
sebaliknya makin cerdas maka makin pandai pula kita berdusta?. Masalah moral berkaitan
dengan metafisika keilmuan, maka dalam tahap manipulasi ini masalah moral berkaitan
dengan cara penggunaan pengetahuan ilmiah.
Ontologi diartikan sebagai pengkajian mengenai hakikat realitas dari objek yang di
telaah dalam membuahkan pengetahuan, aksiologi diartikan sebagai teori nilai yang berkaitan
dengan kegunaan dari pengetahuan yang diperoleh. Sokrates minum racun, John Huss
dibakar sebagai contoh betapa ilmuan memiliki landasan moral, jika tidak ilmuan sangat
mudah tergelincir dalam prostitusi intelektual.
2.      Tanggung Jawab Sosial Ilmuan
Seorang ilmuan mempunyai tanggung jawab sosial di bahunya. Bukan saja karena ia
adalah warga masyarakat yang kepentingannya terlibat secara langsung dengan di masyarakat
yang yang lebih penting adalah karena dia mempunyai fungsi tertentu dalam
keberlangsungan hidup manusia.
Sampai ikut bertanggung jawab agar produk keilmuannya sampai dan dapat
dimanfaatkan oleh masyarakat. Sikap sosial seorang ilmuan adalah konsisten dengan proses
penelaahan keilmuan yang dilakukan. Sering dikatakan bahwa ilmu itu bebas dari sistem
nilai. Ilmu itu sendiri netraldan para ilmuanlah yang memberikannya nilai.
3.      Nuklir dan Pilihan Moral
Seorang ilmuan secara moral tidak akam membiarkan hasil penemuannya
dipergunakan untuk menindas bangsa lain meskipun yang mempergunakan itu adalah
bangsanya sendiri. Seorang ilmuan tidak boleh berpangku tangan, dia harus memilih sikap,
berpihak pada kemanusiaan. Pilihan moral memang terkadang getir sebab tidak bersifat hitam
16
di atas putih. Seperti halnya yang terjadi pada Albert Einstein diperintahkan untuk membuat
bom atom oleh pemerintah negaranya.
Seorang ilmuan tidak boleh menyembunyikan hasil penemuannya, apapun juga
bentuknya dari masyarakat luas serta apapun juga konsekuensi yang akan terjadi dari
penemuannya itu. Seorang ilmuan tidak boleh memutar balikkan temuannya jika hipotesis
yang dijunjung tinggi tersusun atas kerangkan pemikiran yang terpengaruh preferensi moral
ternyata hancur berantakan karena bertentangan dengan fakta-fakta pengujian
4.      Revolusi Genetik
Revolusi Genetik merupakan babakan baru dalam sejarah keilmuwan manusia sebab
sebelum ini ilmu tidak pernah menyentuh manusia sebagai objek penelaah itu sendiri. Hal ini
buka berarti bahwa sebelumnya tidak pernah ada penelaahan ilmiah yang berkaitan dengan
jasad manusia, tentu saja banyak sekali, namun penelaahan-penelaahan itu dimaksudkan
untuk mengembangkan ilmu dan teknologi.
Dengan penelitian genetika maka masalahnya menjadi sangat lain, kita tidak lagi
menelaah organ-organ manusia dalam upaya untuk menciptakan teknologi yang memberikan
kemudahan bagi kita, melainkan manusia itu sendiri sekarang menjadi objek penelaah yang
akan menghasilkan bukan lagi teknologi yang memberikan kemudahan, melainkan teknologi
untuk mengubah manusia itu sendiri. Pembahasan ini berdasarkan kepada asumsi bahwa
penemuan dalam riset genetika akan dipergunakan dengan itikad baik untuk keluhuruan
manusia.17[17]
H.      Kesimpulan
Jika Ilmu Pengetahuan Tertentu dikaji dari ketiga aspek (ontologi, epistemologi dan
aksiologi), maka perlu mempelajari esensi atau hakikat yaitu inti atau hal yang pokok atau
intisari atau dasar atau kenyataan yang benar dari ilmu tersebut.Contohnya :Membangun
Filsafat Teknologi Pendidikan perlu menelusuri dari aspek : Ontologi  eksistensi
(keberadaan) dan essensi (keberartian) ilmu-lmu Teknologi
Pendidikan.Epistemologi   metode yang digunakan untuk membuktikan kebenaran  ilmu-ilmu
Teknologi Pendidikan.Aksiologi  manfaat dari ilmu Teknologi Pendidikan. Ilmu
menghasilkan teknologi yang akan diterapkan pada masyarakat. Teknologi dalam
penerapannya dapat menjadi berkah dan penyelamat bagi manusia, tetapi juga bisa menjadi
bencana bagi manusia. Disinilah pemanfaatan pengetahuan dan teknologi harus diperhatikan
sebaik-baiknya. Dalam filsafat penerapan teknologi meninjaunya dari segi aksiologi
keilmuwan
17
Ilmu memiliki fungsi yang bersifat estetik, yang kalau kita konsumsikan dengan baik,
memberikan kenikmatan batiniah atau kepuasan jiwa. Jiwa kita tergetar, terharu, tersenyum
oleh komunikasi aristik, menyebabkan dunia makna yang tak terjangkau kasat mata. Jiwa kita
bertambah kaya, persepsi kita bertambah dewasa, yang selanjutnya akan mengubah sikap dan
kelakuan kita.
http://khaidiralibatubara.blogspot.co.id/2015/09/aksiologi-sains.html

Anda mungkin juga menyukai